Car
ShoppiAiri, Typo
—
“Kamu mau duluan pulang atau ikut aku sebentar beli sesuatu?” tanya Shota, membuyarkan lamunan Airi yang sudah berjalan di depan lelaki itu. Kedua alisnya terangkat sebentar sebelum akhirnya tersenyum. “Aku pulang duluan saja. Mocca pasti sudah cerewet mencariku.” Jawab Airi. Mereka baru saja selesai berbelanja di supermarket, mengisi beberapa kebutuhan rumahan mereka.
Awalnya Airi ingin mereka naik mobil saja karena tahu yang mereka beli akan lumayan banyak. Tapi, Shota ingin jalan-jalan bersama kekasihnya. Anggap saja dia ingin Shopping Date bersama Airi.
“Sini kubawakan punyamu.” Airi mengambil tas belanja dari tangan Shota. Tapi, Shota mengelak mengundang sebelah alis Airi yang terangkat. “Berat. Biar aku saja.” Katanya.
Airi menghela napas. “Jarak apartemen dari sini Cuma 6 menit, Shota. Aku tidak akan kelelahan kalau kau pikir begitu.” Kata Airi. Shota menarik napas dan menyerahkan tasnya pada Airi. “Jangan mengeluh kau kelelahan karena membawa itu semua ya.” cibir Shota.
Airi merotasi kedua bola matanya. Dia kembali berjalan meninggalkan Shota yang masuk ke salah satu toko perhiasan disana tanpa diketahui Airi. Sementara Airi berjalan menyusuri pendestrian yang dipenuhi oleh toko-toko yang cukup menarik untuk dimasuki sebenarnya. Tapi, Airi belum punya waktu untuk mengunjungi toko-toko di sekitar sana.
Langkahnya terhenti begitu dia sampai di persimpangan. Menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi biru. Beberapa kendaraan mulai berjalan melewati mereka yang menunggu di pinggir jalanan. Airi melihat ke sekitar dan terdiam mendapati sosok lelaki yang menggunakan seragam seorang kurir. Tiba-tiba rasa takut dan gemetar menyerangnya meski Airi masih berusaha sekuat tenaga untuk mengatur emosinya. Rasa traumanya.
“Kau seharusnya mati saja, Airi...”
Napas Airi berhembus cepat. Dadanya seperti dihimpit sesuatu yang menyesakkan. Seperti dinding tinggi yang menghalanginya dengan Shota. Airi tidak bisa mencengkram dadanya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Dia hanya bisa mencengkram kuat-kuat genggamannya pada tali tas yang dia bawa. Hingga dia tidak sadar bahwa langkahnya bergerak untuk melawan lampu pejalan kaki yang masih berwarna merah.
Tepat sebelum sebuah truk menyambar tubuhnya, seseorang menarik tangannya kencang untuk menyingkir dari sana. Membawanya ke pinggir jalanan kembali dan memeluknya erat. Airi masih dalam kondisi shock dan tidak stabil, dia masih merasakan sesuatu yang tidak nyata membayangi pandangannya. Sesuatu yang menakutkan. Tangan Shota—ya, Shota yang menariknya dari percobaan bunuh diri secara tidak sadar itu—mengusap-usap belakang kepala dan punggungnya lembut.
“Ya Tuhan, Airi, apa yang kau pikirkan?” Shota melonggarkan pelukannya dan menangkup wajah Airi, menatap lamat-lamat kekasih tersayangnya ini. “A-Aku...” Airi tidak sanggup menjawab.
“Jangan melamun seperti itu. Kau membuatku takut, sayang... Astaga!”
Airi mengerjap dengan pandangan sayu. Dia menggigit bibir bawahnya dan bersandar pada dada Shota. Dipejamkan matanya sejenak, teringat dengan diagnosa dokter tentang dirinya waktu itu. PTSD. Airi tidak pernah menyangka dia akan punya trauma seperti ini. Terlebih pada kurir dan kotak paket. Konyol sekali.
“Maaf...” Yang dia syukuri adalah Shota setidaknya belum tahu tentang kondisi mentalnya saat ini. Dia tidak perlu tahu untuk sementara waktu. Airi ingin mengobati dirinya seorang diri terlebih dahulu.
Untungnya, belanjaan yang dia bawa tidak terlepas dari genggamannya.