Cat Universe #1

Typo, OOT


Dengan matanya yang tajam, Taiga semakin menatap sinis kearah Hokuto—sang kucing siberian black yang sedang berlomba tatap-tatapan dengan kucing berjenis sama dengan Taiga—Turkish Anggora betina bernama Aline itu. Taiga merotasi bola matanya sembari melipat kedua kaki depannya dan bersandar di atasnya.

Ini bukan pertama kalinya Hokuto datang jauh dari blok belakang—blok nomor 7 untuk menghampiri sang pujaan hati yang tinggal satu blok bersama Taiga itu. awalnya Hokuto masih malu-malu dan meminta bantuannya untuk mendekati Aline, lama-lama kucing jantan itu mulai mandiri dan mendekati Aline dengan lebih agresif. Yah, tidak agresif karena di mata Taiga, Hokuto masih ada sedikit rasa malu. Agak berbeda dengan kucing berjenis bombay berwarna abu-abu yang tinggal di blok sebelahnya—kalau tidak salah namanya Juri.

Aline juga terlihat memberikan rasa tertariknya pada Hokuto dengan membicarakan kucing itu setiap kali mereka makan bersama—oh iya, owner dari Taiga dan Aline merupakan sahabat dekat sejak kecil. Jadi, mereka sudah terbiasa bersama, namun Taiga tidak sedikitpun tertarik untuk mengawini Aline. Terlebih juga setiap musim mating, Taiga memilih untuk mendekam di rumah dan berguling-guling—yang juga terkadang membuat ownernya sedikit jengah dan nyaris membawanya ke klinik hewan untuk di steril.

Taiga tahu apa itu steril, dia belum mau disteril. Pernah suatu ketika, ownernya tiba-tiba bilang padanya bahwa Taiga akan disteril besok. Saat itu juga, Taiga langsung lari dan bersembunyi di rumah Aline—lebih tepatnya di bawah kasur milik ownernya Aline. Setiap kali sang ownernya ingin meraihnya, Taiga selalu mendesis galak dan menatap tajam kearah ownernya hingga sang ownernya membatalkan niatnya untuk mensteril Taiga.

“Taiga,” Kucing berwarna putih yang sedang melamun itu mengangkat kepalanya saat Hokuto mendekat kearah Taiga. “Sudah selesai lomba tatapannya sama Aline?” cibir Taiga.

Hokuto tertawa. Kucing jantan itu duduk di sebelahnya dan melipat ke dalam kedua kakinya. “Udah. Aline lagi dipanggil babunya. Mau dimandiin bentar, sih, kata Aline tadi.”

Taiga yang kali ini tertawa. “Tumben dia mau mandi. Biasanya kabur-kaburan mulu.” Kata Taiga. Hokuto mengangguk. “Oh iya, tadi aku ketemu Agatha,” kedua telinga tajam Taiga langsung berdiri dan pupil matanya membesar. Hokuto yang melihat tersenyum geli. “lagi sama Shin.” Lanjutnya.

“Oh.” Balas Taiga. Agatha—Kucing berjenis Ragdoll yang tinggal di blok sebelah—blok nomor 2, satu blok dengan Juri dan Shin yang disebutkan Hokuto tadi. Seekor kucing putih dengan aksen cokelat yang membuat Taiga—mungkin jatuh cinta padanya sejak pertama bertemu.

“Cuma oh doang? Gak takut Agatha diambil Shin?” Hokuto menjilat pawnya dan mengusapkannya pada kepalanya. Taiga tidak membalas pertanyaan Hokuto barusan. Kedua matanya mengerjap beberapa kali dan pupilnya mengecil sedikit. Kucing jantan itu bangkit dari duduknya dan merenggangkan tubuhnya.

“Aku mau jalan-jalan.” Tanpa menoleh, Taiga membawa keempat kakinya untuk berjalan menjauhi Hokuto. “Mau nyamperin Agatha yaa?” Taiga mendesis pelan mendengar suara Hokuto yang menggodanya. Dia berjalan terus dan berbelok di tikungan menuju blok nomor 2. Iya, Taiga mau nyamperin Agatha. Hitung-hitung menjalin silahturahmi antar sesama kucing. Enggak sih, Taiga sebenarnya mau PDKT. Memang manusia doang yang bisa?

Taiga sedikit berhenti berjalan saat menemukan kucing berwarna putih dengan aksen cokelat itu tersentak melihat kearahnya dan langsung berlari pergi. Kedua telinga Taiga mengerut. Dia kembali berjalan, kali ini menghampiri kucing berjenis


Agatha sedang duduk tenang di lantai teras rumahnya sembari melihat Shin—kucing berjenis Chartreux berwarna oranye itu memainkan tali rapia berwarna hitam yang dia temukan di bawah pohon rindang dekat rumah Agatha. Dengan tenang duduk berposisi seperti patung Spinx, Agatha mengangkat kepala, merasakan kedatangan sesuatu. Pupilnya membesar melihat sosok kucing turkish anggora yang Agatha kenal bernama Taiga berjalan santai kearah mereka. Agatha langsung bangkit dari duduknya dengan panik dan menghampiri Shin.

“Kalau Taiga nyariin aku, bilang aku gak kesini. Aku gak ada. Gitu ya, Shin!” Ujar Agatha pada Shin yang fokusnya terpecah dengan Agatha. Kucing betina itu langsung berlari menuju taman kecil di dekat sana. Belum sempat mengiyakan ucapan Agatha, suara Taiga sudah menghampiri telinganya.

“Hai, Shin.” Sapa Taiga. Berdiri dengan manis di sebelah kucing jantan dari keluarga Morimoto itu. “Halo, Taiga.” Balas Shin. Taiga mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari-cari keberadaan Agatha disana. Namun, nihil.

“Agatha kemana?” tanyanya. Sembari memainkan tali, Shin menjawab santai. “Tadi kata Agatha, dia gak kesini.” Taiga mengangkat tinggi sebelah telinganya. Shin langsung mengangkat kepalanya dan bertemu pandang dengan Taiga yang menyipit kearahnya.

Kucing jantan itu tersenyum kikuk dan berpura-pura sibuk dengan mainannya. Taiga menghela napas. Dia beranjak untuk berjalan kearah taman kecil disana. Agatha selalu menghindar darinya setiap kali Taiga muncul. Padahal Taiga Cuma mau duduk dengan tenang di sebelah Agatha. Cukup memperhatikan kucing betina itu saja sudah membuat Taiga senang.

Melewati bangku taman yang dibelakangnya tumbuh banyak semak-semak liar, Taiga berhenti di depannya. menatapnya sejenak karena semak-semak yang bergerak mencurigakan. Dia memasang ancang-ancang, menggoyangkan ekor panjangnya dan menajamkan pandangannya.

Suara teriakan khas kucing terdengar saat seekor kucing melompat keluar menabrak Taiga. “Agatha?!”

Agatha menarik tubuhnya dari Taiga dan bersembunyi di balik tangga perosotan, menatap Taiga dengan kedua pupilnya yang membesar itu. Kenapa dia sangat menggemaskan?, Taiga berujar pelan di dalam benaknya. Kucing jantan itu mendekat pelan kearah Agatha, sementara Agatha mendesis.

“Segitunya gak mau ketemu sama aku?” Taiga bertanya pelan dengan kedua telinga yang terlipat dan tatapan sedihnya. Agatha mengerjap sejenak. Sementara Agatha mencerna apa yang diucapkan Taiga, kucing jantan milik keluarga Kyomoto itu mendekat dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh kaki kanan depan milik Agatha.

Tidak. Agatha bukan tidak mau bertemu Taiga. Dia hanya tidak suka sensasi yang ditimbulkan tubuhnya setiap kali Agatha melihat Taiga. Agatha tidak yakin dia bisa tahan untuk sekedar duduk diam bersebelahan dengan kucing jantan yang cukup terkenal di cluster itu.

“Yauda aku mau pulang dulu. Tadi mau main juga sama Agatha dan Shin tapi Agatha enggak suka ya?” Taiga menarik tangannya dan tersenyum, berjalan menjauhi Agatha yang masih betah dengan posisinya di bawah perosotan itu.

Pertemuan pertama dengan Taiga bukan sesuatu yang menyenangkan. Waktu itu Agatha tidak sengaja main terlalu jauh dan tidak tahu bagaimana cara pulang. Untuk seharian itu, Agatha memojokan diri di salah satu ruko tidak berpenghuni untuk menghindari hujan yang turun hari itu. Dia tidak begitu suka terkena air. Namun, hari itu kucing turkish anggora berwarna putih berlari-lari menerjang hujan kearahnya. Bulu-bulu halusnya terlihat basah terkena hujan. Kucing itu bilang padanya bahwa Agatha dicari-cari oleh pemiliknya.

Pemiliknya meminta kucing itu untuk mencari Agatha dan kalau ketemu kucing itu akan diberikan snack. Agatha baru tahu namanya setelah mereka sampai di rumah, ownernya yang bilang bahwa kucing turkish itu bernama Taiga. Tinggalnya tidak jauh dari rumahnya.

“Aku tidak suka kena hujan.” “Kenapa? Aku suka hujan. Udara jadi segar dan aroma sekitar jadi sangat alami.” Setelah mengucapkan itu, Taiga mendorong bagian belakang tubuhnya untuk berjalan namun Agatha enggan menerjang hujan. Taiga sampai mengerang dan hendak menggigit leher Agatha. Kucing betina Ragdoll itu jelas mendesis dan menatap tajam kearah Taiga, bersiap-siap menyerangnya.

Taiga sedikit terkejut dan dia menyadari apa yang dia lakukan pada Agatha tidak mendapat consent dari sang kucing. Taiga bukan kucing jantan yang akan ‘menyerang’ betina begitu saja. Biar dia kucing, dia masih bisa memilih kucing mana yang mau dia ajak mating. Setelah mengucapkan kata maaf, Taiga memilih duduk di sebelah Agatha, memperhatikan hujan.

“Yaudah, kita pulang setelah hujan reda ya.” kata Taiga. Agatha masih menatapnya tajam. “Aku gak gigit lagi. Sini duduk.” Taiga yang sedang duduk santai menepuk lantai ruko dengan kaki depannya. Tatapannya melembut, seakan mengatakan bahwa dia serius dengan ucapannya. Agatha kembali rileks dan membawa dirinya duduk tidak jauh dari Taiga.

Kedua kucing ras itu duduk tenang memperhatikan hujan. Sesekali memperhatikan orang-orang yang lalu lalang menggunakan payung atau jas hujan menerobos rintik demi rintik air yang turun dari langit hari itu.

“Taiga!” Agatha memanggil kencang. Sang kucing sampai nyaris kehilangan keseimbangannya. Taiga menoleh, Agatha mendekat perlahan. “Ayo main...,” ucapnya pelan. “sama Shin.”

Ini pertama kalinya Agatha mengajak Taiga. Kucing betina itu ingat bahwa dia belum membalas kebaikan Taiga hari itu yang sudah menyelamatkannya, meskipun ownernya sendiri sudah memberikan snack sesuai janjinya.