Christmast Eve

ShoppiAiri, Fluff, Typo

Watanabe Shota mengerang pelan. Pandangannya tidak lepas dari layar ponsel yang menampilkan room chat dengan kontak bernama Airi. Dia sudah mengirimkan lima chat di jam berbeda tapi tidak ada satupun yang menunjukkan tanda sudah dibaca. Kemana perempuan itu? Bukannya sekarang adalah masa-masa sibuk persiapan untuk solo konsernya? Ya, mungkin saja karena itu Airi tidak sempat membalas pesannya.

“Kenapa, Shoppi? Mukamu keliatan gak tenang gitu.” Koji tiba-tiba bersuara sembari duduk di sebelah lelaki bermarga Watanabe itu. Shota tadinya tidak mau menanggapi, namun begitu mengingat Koji dan Airi cukup dekat membuatnya langsung menoleh kearah Koji dengan harapan dia bisa menemukan jawaban atas kecemasannya. “Airi ada mengabarimu sesuatu tidak?” Tanyanya.

Koji terdiam sejenak, menatap sang lelaki, tak lama tersenyum dengan kedua mata menyipit. “Utututuu~ Shoppi mencemaskan FWB nya.” Goda Koji.

Shota berdecak. Dia merotasi bola matanya dan kembali duduk menyamping Koji. Koji langsung menahan lelaki itu untuk duduk menghadapnya.

“Iya, iya, iyaa! Tadi malam Airi mengabari di grup kami bertiga—Tsuki dan aku kalau dia hari ini gak bisa ikut kumpul kayak biasanya karena lagi sakit.” Jawab Koji.

Kedua mata Shota langsung membulat. Air mukanya berubah cemas. “Kenapa dia tidak mengabariku...” Gumam Shota.

“Aku baru tahu kalau FWB harus mengabari perihal begitu.” Kata Koji sembari membuka ponselnya. Shota terdiam sejenak. Napasnya terhela pelan.

Ya. Hubungannya dengan Airi hanyalah friends with banefit. Meski dari awal dia mencetuskan ide ini hanyalah alibi untuk bisa lebih dekat dengan Airi. Perasaan sebenarnya adalah dia sudah menyukai Airi sejak pertama kali mereka bertemu lagi. Tapi, mendengar rumor bahwa Airi tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki untuk saat ini, membuat kepercayaan diri Shota sedikit menurun.

Setelah mereka tak sengaja bertemu lagi di sebuah bar, muncul lah ide untuk mengajak Airi menjalani hubungan FWB ini. Yah, Shota juga sudah mulai terbuka dengan mengatakan bahwa dia menyukai Airi. Tapi, perempuan itu selalu menghindar darinya. Dia juga selalu mendengar penolakan dari Airi setiap Tsuki menggodanya dan Shota. Tapi, entah kenapa, Shota enggan menyerah. Melihat respon Airi yang terkadang positif pada setiap afeksi yang dia berikan membuat Shota yakin bahwa mungkin saja perempuan itu sudah mulai terbuka padanya.

Setelah ini, dia maupun Snow Man tidak ada jadwal apapun. Mungkin, Shota bisa mangkir juga dari pertemuan hari ini. Toh tidak ada Airi rasanya akan percuma.


“Loh Shoppi kemana?” Tanya Hikaru begitu mereka sudah kumpul di tempat biasa untuk makan bersama. Tsuki yang biasanya jadi garda terdepan untuk menggoda Airi dan Shota juga menyadari absennya lelaki itu.

“Kayaknya jenguk Airi deh.” Balas Koji. Tsuki mengulum senyum simpul yang terkesan puas.

“Heee, padahal cuma FWB tapi segitunya.” Ujar Tsuki. Koji ikut mengangguk-angguk setuju.

“Kita tunggu saja tanggal jadian ShoppiAiri.” Kata Koji.

Sementara di sisi lain, seorang lelaki yang kerap dicap sebagai bangsawan itu melahap makanan pesanannya dalam diam, bermaksud untuk menetralkan rasa cemburu serta mengubur dalam-dalam sesuatu yang dia rasakan pada Airi.

Dia tidak seharusnya menikung sahabatnya sendiri, kan?


Airi memutar tubuhnya ke sisi lain, menarik naik selimut yang dia kenakan hari itu. Dia menarik napas dengan susah payah, sesekali disertai batuk. Airi mengerang. Dia tidak suka sakit. Airi jadi tidak bisa melakukan banyak hal dengan tubuhnya. Bahkan hari itu saja dia tidak bisa menghadiri acara makan-makan mingguan bersama Snow Man dengan Tsuki, Haruna, dan Mina. Apalagi malam itu malam natal. Harusnya dia bisa makan-makan dengan gratis hari itu. Demam sialan.

Airi sudah menelpon manajernya untuk membawakannya obat dan juga plester penurun panas. Tapi, dia tidak menyangka akan memakan waktu selama ini. Dia berdecak. Airi kembali terlelap dalam tidurnya.

Terlelap dalam beberapa jam kedepan, membuat Airi terbangun dengan plester penurun panas sudah tertempel di keningnya. Airi mengernyit. Telinganya mendapati suara ribut di luar. Oh, rupanya sang manajer sudah datang. Dia menarik napas dan beranjak keluar dari selimutnya. “Semoga saja dapurku tidak meledak dia gunakan.” gerutu Airi sembari berjalan pelan keluar kamarnya. Dia mematung mendapati bukan manajernya yang berada disana, melainkan sosok lelaki bernama lengkap Watanabe Shota.

“Wa-Watanabe?” Suara Airi serak. Dia berdehem namun malah berakhir dengan suara batuk yang menyiksanya hingga membuat Airi harus berjongkok sembari memegangi dadanya. Shota yang sedang memindahkan sesuatu ke dalam wadah, segera menghampiri Airi. berjongkok di sebelahnya dan mengusap-usap punggungnya.

“Ayo duduk dulu.” ajaknya. Shota merangkul Airi dan membawa perempuan itu untuk duduk di atas sofa, kemudian berlari masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil selimutnya. Diselimutinya Airi dengan selimut itu.

“Minum obat dulu ya? Ah, makan dulu.” kata Shota. Lelaki itu tidak memberikan kesempatan untuk Airi untuk bersuara. Shota berlari ke dapur dan kembali membawakan segelas air beserta semangkuk sup telur. Makanan orang sakit yang Airi sukai. Airi ingat dia pernah bilang pada Shota bahwa dia sangat menyukai sup telur yang dibuat mendiang ibunya. Ini pertama kalinya Shota membuatkan makanan ini untuknya.

Shota menyodorkan gelas pada bibir Airi. tatapannya seakan berkata untuk menyuruh Airi minum. Perempuan itu meminum air itu dan menghela napas lega, merasakan tenggorokannya kembali segar.

“Aku suapin atau makan sendiri?” tanyanya. Airi mengulum bibirnya yang kering. Dia bergumam menjawab pertanyaan Shota, Shota mengangguk dan mendekatkan mangkuk itu kearah Airi sementara Airi menyendok makanan itu untuk dia santap. Suapan pertama hingga kedua masih aman, hingga Airi tidak tahan merasakan kekuatan tangannya melemah dan menghasilkan getaran yang menjengkelkan.

Shota tertawa pelan sementara Airi mendelik mendengarnya. “Maaf.” kata Shota. Dia mengambil sendok dari tangan Airi, menyendok sup dari mangkuknya dan meniupnya pelan sebelum diarahkan ke Airi. Perempuan itu menatap Shota sebelum akhirnya menerima suapan dari Shota. Lima belas menit dihabiskan hanya untuk menyantap sup itu. Biasanya Airi bisa menghabiskannya dalam waktu lima menit. Airi mengerang sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa setelah dia selesai meminum obatnya.

“Manajer-san kemana? Kenapa kau yang kemari?” tanya Airi. Shota mengibaskan tangannya di wastafel pencucian piring sebelum mengelap tangannya dengan kain terdekat. “Tadi, aku tidak sengaja bertemu dengan manajer Airi di lobby, beliau sebenarnya sedang terburu-buru, katanya mumpung aku ada disini beliau memintaku untuk sekalian merawatmu.”

Airi jelas tidak percaya. Ini pasti ada campur tangan Matsumoto Tsuki. Tsuki sialan.

“Sekarang mau tidur lagi atau mau nonton aja?” Tanya Shota, lelaki itu sudah berdiri di dekatnya.

“Tidur aja kurasa.” balas Airi. Shota mengangguk. Dia membantu Airi untuk berjalan ke kamarnya. Lelaki itu hendak beranjak selepas Airi berhasil tiduran di kasurnya saat tangannya diraih oleh Airi. Shota mengerjap.

“Temani….” lirih Airi dengan wajah memerah. Entah efek demam atau memang perempuan itu sedang salah tingkah. Shota tersenyum geli. Dia menarik napas dan mengangguk, naik keatas ranjang Airi. Biasanya mereka bercinta di ranjang itu, tapi sekarang ranjang itu bukan hanya untuk bercinta, tapi juga berbagi kehangatan yang sesungguhnya.

Shota menarik Airi ke dalam pelukannya. Mengusap-usap punggung perempuan itu saat Airi terbatuk-batuk lagi. Situasi seperti ini sangatlah jarang dia lakukan bersama Airi.

Lelaki bermarga Watanabe itu mencium puncak kepala Airi lembut. “Cepat sembuh, sayang…”

Bohong kalau jantung Airi sekarang tidak berdebar kencang.