Cruel Summer part 2

ShoppiAiri, Angst, Typo, Cringe, Fast plot


Hari itu, jadwal untuk show Takizawa Kabuki Final. Mereka berhasil menyelesaikan pertunjukan dengan baik tanpa luka sedikitpun. Syukurlah. Saat ini kesembilan member Snow Man sedang merekam video mengenai Sore Suno 2 jam spesial yang akan diposting di Johnnys Web. Shota mengulum senyum tipis, sesekali menyisir rambutnya kebelakangan, menunjukkan keningnya yang terkadang bisa membuat nabe tan berseru heboh. Ya, alasan mengapa dia mengganti gaya rambutnya dengan sedikit demi sedikit menunjukkan jidatnya juga karena ingin mencoba suasana baru.

Sementara Koji, Meme, Fukka dan lainnya berbicara, Shota hanya diam menyimak. Tidak benar-benar karena pikirannya masih terfokus pada kekasihnya—Minamoto Airi yang saat ini sedang menjaga jarak darinya berkat berita yang muncul di sosial media tentang hubungan mereka. Kedua agensi meminta mereka untuk tidak berhubungan selama beberapa saat. Keputusan Airi yang mengiyakan perintah agensi juga membuat Shota sedikit frustasi.

Padahal sejauh ini yang dia baca di sosial media, justru fans lebih banyak mendukung mereka. Aroma-aroma mengenai hubungan mereka sudah lama tercium oleh fans sejak project drama romantis itu. Menurut para fans—atas pengamatan Shota, mereka pasangan yang serasi dan cocok. Jadi, apa yang TOBE dan Johnnys khawatirkan? Tidak ada. Malah mereka seharusnya mengklarifikasi dan mencari keuntungan apa yang bisa diambil dari reaksi fans.

“Are, Nabe? Ada apa?” Suara Fukka tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Lelaki akrab disapa Shoppi itu langsung menggerakkan bola matanya untuk fokus pada kamera yang disodorkan oleh Sakuma. Dia mempertahankan ekspresi seriusnya dan mengacungkan jari telunjuk keatas. Suara Raul tertawa terdengar seraya lelaki jangkung itu menepuk pelan kepalanya, Shota langsung menoleh kearah Raul dan menyunggingkan seulas senyum.

“Ah, maksudnya tuh aku nomor satu gitu, ‘kan?” Ujar Koji mengundang tawa member lainnya. Shota hanya mempertahankan senyumnya. Setelahnya dia tidak lagi menangkap pembicaraan member. Pengambilan video selesai. Shota turun dari atas anak tangga dengan perlahan, berniat untuk kembali ke ruangannya saat tiba-tiba seseorang menarik sikunya.

Shota menoleh, melihat Iwamoto Hikaru menatapnya dengan serius. “Chotto ii?” tanyanya. Shota mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Mereka kembali naik keatas tangga dan berdiri berhadapan. Sebelah tangan Iwamoto dimasukkan ke dalam saku celana merah yang dikenakan mereka untuk tampil tadi.

“Aku tahu hubunganmu dengan Minamoto sedang tidak baik-baik saja,” ucap Iwamoto. Shota mengulum bibirnya, menyapu bagian dalam pipinya dan menunduk sedikit. “tapi, tolong fokus dan profesional sedikit, ya, Shota. Ini takibuki terakhir kita. Aku, kamu, kita semua mau yang terbaik.” Katanya.

“Hee, profesional ya...” Gumam Shota. Iwamoto menepuk pundak Shota. “Kalian pasti akan kembali bersama. Ini Cuma masalah waktu.” Tambah Iwamoto, dia tidak mau terdengar egois hanya karena mementingkan Takibuki dibandingkan kehidupan pribadi anggota grupnya. Tapi, dia juga tidak mau Shota dicap tidak profesional karena tidak bisa fokus dengan apa yang ada di depannya dulu.

“Ya. Terima kasih, Hii-kun.”


“Ah, Takizawa-san! Otsukaresama!” Suara Sakuma yang memanggil senior mereka yang sudah hengkang dari Johnnys itu membuat Shota bangkit dari posisi rebahannya di lantai gakuya. Koji sedikit melirik kearah Shota. “Kau mau bertemu Takki?” tanya Koji.

Shota membalas tatapan Koji. “Entahlah. Aku takut emosi pada Takki.” Balas Shota. Di lubuk hati terdalamnya dia masih emosi dengan cara agensi Takki mengurusi berita ini. Koji mengulum senyum, dia mendekat kearah Shota dan memukul pelan pundak lelaki bermarga Watanabe itu.

“Tidak ada salahnya bicara pada Takki, Shoppi. Dia pasti juga ingin mengatakan sesuatu.” Tepat setelah Koji berkata seperti itu, Takki muncul di depan pintu gakuya Koji dan Shota. Keduanya langsung bangkit dan merunduk sopan. Takki-Takizawa Hideaki tersenyum. Sudah lama dia tidak bertemu dengan junior penerus Takibuki ini.

“Hisashiburi, Watanabe-kun.” Sapanya.


Tsuki mengedarkan pandangan dari balik kacamata berlensa gradasi merah miliknya, mencari keberadaan Airi di kafe langganan mereka itu. “Ah.” Tsuki bergumam setelah menemukan keberadaan Airi di pojok kafe di dekat jendela. Perempuan itu sedang menikmati lemon mint tea nya seraya memandangi keramaian yang melewati pandangannya.

Langkah Tsuki mendekati keberadaan sang perempuan bermarga Minamoto itu. Airi langsung menoleh dan tersenyum miring. “Long time no see, bitch.” Sapa Airi. “You too, bitch. Lama kita tidak bertemu, kau malah ketahuan pacaran dengan Watanabe.” Balas Tsuki, seraya duduk di depan Airi.

Airi tertawa mendengarnya. “Well, namanya juga publik figur,” balas Airi. “tumben sekali kau sempat kembali ke Jepang, bukankah ada jadwal world tour dalam waktu dekat ini?” lanjutnya. Tsuki memanggil pelayan sebelum membalas ucapan Airi. Sang pelayan menyerahkan menu pada Tsuki dan dengan cepat perempuan itu memilih ginger ale.

“Kau membuatku kembali kesini, bitch.” Kata Tsuki. Perempuan bermarga Matsumoto itu melepaskan kacamatanya. Airi menggumam sebagai balasan. “So... Kalian pisah rumah?” tanya Tsuki.

Airi tidak menatap langsung kearah Tsuki. Dia mengulum senyum. “Hee, jadi kau khawatir padaku? Aiguuu, lucunya, Matsumoto Tsuki.” Cibir Airi. Tsuki berdecak. “Kau seharusnya merasa terhormat karena kau dicemaskan oleh seorang Matsumoto Tsuki.” Balas Tsuki.

Airi merotasi bola matanya. “Aku lebih suka dicemaskan kucingku.” Tsuki melotot. Bisa bisanya posisinya lebih rendah dari seekor kucing. Tak lama pesanan ginger ale milik Tsuki datang. Dia mengucapkan terima kasih. “Tapi, kau baik-baik saja kan?” tanya Tsuki. Airi melirik kearah perempuan di hadapannya.

Dia tersenyum geli. “As you see. Aku baik-baik saja, untuk saat ini.” katanya. Tsuki menatap lamat-lamat Airi, memperhatikan gerak-gerik perempuan di depannya ini dan memastikan bahwa dia sungguh baik-baik saja. “Well, thank god, then.” Balas Tsuki.

Hening selama beberapa saat. Sungguh sesuatu yang jarang terjadi diantara mereka. Tapi, Tsuki sadar bahwa Airi sedang ingin lebih banyak diam dan hanya ingin ditemani untuk saat ini. Perempuan itu hanya punya tante dan kakak jauhnya di Johnnys. Itupun, dia tidak terlalu dekat dengan mereka. Jadi, Tsuki asumsikan bahwa Airi benar-benar seorang diri di sini.

“Airi,” panggil Tsuki membuat Airi sedikit terkejut dengan panggilan perempuan itu yang tiba-tiba. “beritahu aku kalau terjadi sesuatu padamu.” Lanjutnya.

Airi tertawa. “Terima kasih, bitch.”

“What the fuck, Bitch.”

Keduanya tertawa renyah.


“Watanabe-kun,” “Ya, Takizawa-san.”

Saat ini, Takki dan Shota sedang berjalan santai di Shinbashi Enbujo, tempat diadakannya Takibuki. Suasana di dalam ruangan itu sudah lebih sepi. Hanya menyisakan beberapa staf yang sedang bersiap untuk pergi dari sana setelah melakukan pembersihan sisa-sisa pertunjukan hari itu. Takki menurunkan salah satu bangku dan duduk disana, dia menepuk bangku di sebelahnya meminta Shota untuk duduk di sebelahnya.

Keduanya duduk menghadap kearah panggung di depan mereka. Sempat keheningan memenuhi atmosfer keduanya. “Maafkan aku, ya, Watanabe-kun,” awalnya Shota hendak bersuara begitu mendengar Takki meminta maaf padanya. “aku harus memisahkan kamu dengan Minamoto untuk sementara waktu.” Lanjutnya.

Shota menggigit bibir dalamnya. Ada rasa tidak nyaman yang menyeruak di hatinya. “Sebenarnya, aku tidak ingin memisahkan kalian meski hanya untuk sementara.” Katanya. Shota langsung menatap Takki. Dia sedikit tidak percaya dengan apa yang dikatakan sang seniornya di Johnnys, dulu.

“Lalu, kenapa anda melakukan itu? Bagaimana kalau nanti terjadi sesuatu padanya dan aku tidak ada disampingnya? Dengan tetap membiarkan kami tinggal satu rumah, akan mencegah sesuatu yang buruk terjadi padanya, Takizawa-san!” Shota tahu cepat atau lambat dia akan menyuarakan perasaan tidak nyaman dan emosinya pada Takki dan ini adalah sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan akan dia lakukan pada orang yang dia hormati.

“Itu keputusan Minamoto. Justru dia tidak mau membuatmu dalam keadaan bahaya, dia memikirkan andai nanti penggemar fanatiknya datang dan mencelakaimu, dia tidak akan yakin bisa memaafkan dirinya sendiri.” Ucap Takki.

Shota berdecak, dia menghela napas. “Justru itu kami ada untuk saling melindungi. Aku akan melindunginya, Takki.” Kata Shota. Sosok lelaki mantan duo bersama Miyake Ken itu menatap lurus kearah Shota dari balik kacamatanya.

“Dan lagi, anda lihat di media sosial, fans mendukung kami!” ujar Shota. Dia seperti tidak memberikan kesempatan untuk Takizawa untuk bersuara. Rasa sesak dan takut di benaknya seakan meluap keluar. Takki mengangguk mendengar argumen yang diberikan Shota. “Iya, Watanabe-kun. Tapi, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya, kalian masih punya fans fanatik yang bisa melakukan hal buruk pada kalian.”

Shota menyandarkan punggungnya. Dia mendongak dan menatap langit-langit theater Shinbanshi itu. Pikirannya benar-benar berkecamuk saat ini. Perasaan tidak enak tiba-tiba memenuhi relung hatinya dan itu mengganggunya. Sangat.


Hari itu adalah hari liburnya. Airi melirik sekali lagi jam dinding di apartemen lamanya ini. Dia menghela napas. Sudah seharusnya manajernya sampai di apartemennya untuk membantunya memandikan Mocca. Mocca benar-benar akan berubah menjadi kucing agresif karena tidak suka dengan air. Jadi, dia meminta bantuan Kuro untuk memegang Mocca sementara dia akan memandikannya.

Suara bel terdengar di depan apartemennya. Airi beranjak dan mengecek siapa yang bertamu pada siang hari seperti ini lewat intercom. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup topi dengan nama kantor pengiriman. Sosok itu memberitahunya bahwa Airi mendapat kiriman. Airi mencoba mengingat-ingat apakah dia memesan sesuatu atau ada yang mengiriminya barang.

Mungkin, Haruna mengiriminya sesuatu tapi lupa mengabari. Baiklah. Dia akan menerimanya dulu saja sebelum bertanya nanti. Mocca terlihat mengikutinya, kucing itu terlihat bertingkah posesif padanya membuat Airi tertawa geli.

“Apa ini? Padahal kau mau kumandikan, kenapa jadi tidak mau ditinggal seperti ini?” katanya. Airi membuka pintu begitu dia mendengar suara pengirim paket di depan.

Sosok kurir tersebut mengangkat kepalanya dan melempar kotak itu ke samping sebelum akhirnya memaksa masuk, Airi terlalu terkejut hingga hanya bisa melompat mundur. “Kau... bukan kurir?” tanyanya bingung. Dia mencoba menenangkan diri.

“Dasar bodoh.” Bisik sang lelaki asing itu sebelum mendorong Airi dan membuat Airi jatuh terbaring, sementara sang lelaki mulai mencengkram lehernya kuat-kuat. Airi menggerakkan kakinya dengan tidak nyaman, tangannya berusaha melepaskan cengkraman sang lelaki.

“Kau tidak seharusnya berpacaran dengan Watanabe, Airi! Idol itu milik semuanya!” seru sang lelaki asing tersebut. Airi masih berusaha mencari napasnya yang tercekat. “Ta-hhhpi, idol ... juga manusia!” Airi melepaskan kalimatnya. Napasnya semakin hilang selaras dengan semakin kencangnya cengkraman lelaki itu pada lehernya.

Terdengara suara Mocca mendesis. Kucing itu melompat ke wajah sang penyerang dan mencakar kepala lelaki tersebut, membuat Airi terlepas dari cengkraman sang lelaki. Kesal karena rencananya digagalkan seekor kucing, lelaki itu mengurung Mocca ke dalam sebuah lemari penyimpanan di dekat sana. Mocca mengeong kencang dari dalam, meminta dikeluarkan.

Sang lelaki kembali mendekat kearah Airi yang sekarang mencoba merangkak menjauhinya, napasnya semakin cepat dan pandangannya mulai mengabur. Lelaki itu menarik paksa rambutnya, membuat kepala Airi mendongak. “Kalau jadinya seperti ini, kau seharusnya mati saja, Airi.” Bisiknya.

Lelaki itu membenturkan kepala Airi ke lantai apartemennya. Sebelum dia melakukan hal itu kembali, terdengar seruan seseorang. Suara yang Airi kenal. Setelahnya dia merasakan berat diatas tubuhnya hilang dan terdengar suara ribut.

Airi merasakan kepalanya sakit luar biasa. Pandangannya mengabur dan napasnya sangat sakit. Bahkan dia nyaris tidak bisa merasakan napasnya sendiri. Terlalu sesak. Sesak yang kali ini begitu nyata.

Shota... Apakah kali ini aku akan bertemu ayah dan ibu...

Hal terakhir yang dia pikirkan sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.