Cruel Summer Part 3

ShoppiAiri, Angst, Typo


“Watanabe, kau dapat kiriman.” Takahashi menghampiri Shota yang sedang duduk di samping Meguro di ruangan latihan yang dipenuhi kaca itu. Mereka baru selesai menyelesaikan koreografi untuk beberapa lagu di album iDome.

Shota mengulurkan tangan dan menerima dua bungkusan tersebut, berterima kasih pada manajernya lalu lelaki bermarga Takahashi itu pamit dari sana.

Hatinya sedikit menghangat kala menyadari salah satunya adalah kain furoshiki yang sering dia lihat dari lemari Airi. Benar saja, ternyata kiriman itu dari Airi.

Shota mengulum sebuah senyum. Dibukanya ikatan tas furoshiki berwarna biru dengan aksen sulur daun berwarna merah muda. Di dalamnya ada sebuah kartu ucapan.

“Aku menonton soresuno kemarin, tolong jangan memaksakan diri. Kau perlu istirahat, Shota.”

Lelaki bermarga Watanabe itu tersenyum lebar. Dia tahu bahwa Airi masih peduli padanya meski mereka sudah jarang berkomunikasi dan Shota nyaris berpikir bahwa Airi tidak lagi mencintainya. Sungguh pikiran yang buruk.

“Syukurlah dia baik-baik saja, ya.” Suara Meguro tiba-tiba berucap padanya. Shota menoleh kearah kekasih Shirokawa Haruna itu dan kepalanya mengangguk. Sebelum dia membuka kotak makan yang dikirimkan Airi itu, dia membuka kiriman lainnya.

Sebuah kotak yang isinya sangat ringan membuat Shota mengernyit bingung. Aneh sekali. Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak. Perasaannya terasa mengganjal. Sebagian dari dirinya berkata untuk jangan membuka kiriman yang satu itu.

Shota membuka selotip yang menyegel kotak tersebut. Dia membuka perlahan kotak tersebut dan berjengit. Tangannya refleks melempar kotak tersebut dan Shota berdiri, merapatkan dirinya pada dinding di belakangnya. Kedua matanya mengerjap, tangannya mengepal erat untuk mencegah gemetar yang dia rasakan semakin timbul.

Tidak hanya Shota yang terkejut, Meguro, Koji, Fukka, Sakuma, Raul, Date, Iwamoto, maupun Ryohei ikut tersentak karena suara benda yang terlempar cukup keras. Dari dalam kotak itu, terlempar keluar sebuah foto bertuliskan dengan warna merah, menyatakan bahwa Airi lebih baik mati dibanding harus menjalin hubungan dengan Shota.

Napas Shota memburu. Perasaan tidak enak dan mengganjal di hatinya semakin membesar. Pikirannya sudah dipenuhi dengan Airi, Airi dan Airi. Apakah perempuan itu baik-baik saja?

Fukka mengambil foto tersebut. “Siapa yang berani mengirimkan ini ke jimusho...?” gumamnya tidak percaya. Sementara Iwamoto terlihat jengah, dipikirannya hal seperti ini seharusnya melewati pemeriksaan yang ketat. Kenapa bisa-bisanya lewat pemeriksaan?

Iwamoto mengambil foto itu dari tangan Fukka. Lelaki itu berjalan kearah telepon yang tertempel di dinding ruang latihan itu, memanggil manajer Shota untuk kembali ke ruangan tersebut.

Raul segera menghampiri Shota yang masih diam pada posisinya. Lelaki jangkung yang nyaris memiliki tinggi dua meter itu merangkul sang kakak. Barulah dia sadar bahwa tubuh Shota sudah sangat gemetar, meski lelaki itu terlihat berusaha memfokuskan pandangannya agar terlihat tetap baik-baik saja.

Raul menggigit bibirnya. Dia langsung memeluk Shota erat, mengusap-usap punggung sang kakak untuk menenangkannya.

“Kenapa bisa bisanya kiriman seperti ini lewat pemeriksaan kalian?” Iwamoto bertanya dengan tegas pada sang manajer.

Sementara Takahashi terkejut dengan apa yang disodorkan oleh Iwamoto padanya. Kedua matanya mengerjap. Diambilnya foto tersebut dari tangan Iwamoto.

“Maaf, kiriman ini tidak sempat kami cek...” kata Takahashi. Iwamoto berdecak. Lelaki yang memiliki warna kuning sebagai color representative di Snow Man itu menghembuskan napas. Kedua tangannya berkacak pinggang dan pandangannya menunduk sedikit.

“Maaf aku bilang begini, tapi,” Iwamoto menarik napasnya. “tolong dengan sangat lakukan pekerjaan kalian dengan lebih baik.” Bisiknya.

Ano! Maaf memotong pembicaraan kalian, tapi, Shota kau harus tahu ini,” Suara Koji tiba-tiba mengintrupsi mereka. Seluruh pandangan menatap kearahnya dengan bingung. Lelaki itu menarik napas dan menggigit bibirnya. Shota menatap Koji dengan curiga. Semoga saja ini tidak sesuai dengan perasaan mengganjal yang sedari tadi menggerogotinya.

“Airi diserang fans fanatik di kediamannya tadi sore. Dia hilang kesadaran dan belum membaik sampai saat ini.”

Tiba-tiba saja Shota merasakan seluruh dunianya terhisap. Napas yang sedari tadi dia keluar masukkan menjadi hilang. Tubuhnya membeku dan gemetarnya hilang dalam sekejap, digantikan dengan rasa berdebar yang kencang.

Astaga... Ya Tuhan... Lelucon macam apa lagi ini...


Tsuki baru saja sampai di dorm begitu dia menyalakan ponsel yang sedari tadi dia matikan. Hari itu dia sibuk menyusun koreografi dengan koreografer yang biasa mengurus dance yang dibawakan RED*ONE. Kenapa dia sudah kembali ke Korea? Tsuki tidak bisa berlama-lama di Jepang. Setelah dia pamit pada keluarganya untuk keliling dunia mencari kitab suci—yang langsung dicibir dan dicap sebagai jelmaan Song Gokong oleh Ryosuke, bertemu Airi dan juga Ryohei—Ya, dia dipaksa Airi untuk menemui pacarnya itu barang sepuluh menit saja.

Perempuan bermarga Matsumoto itu mengerjap bingung saat mendapati banyak panggilan tidak terjawab beserta beberapa pesan dari kontak manajer baru Airi. Sisanya hanya notifikasi lain yang dia rasa tidak begitu penting.

Ya. Saat Airi menekan kontrak dengan TOBE, dia meminta izin Tsuki dan Koji untuk mencantumkan kontak darurat yang bisa dihubungi jika terjadi sesuatu.

Kalo diingat, sepengetahuan Tsuki, Airi itu yatim piatu. Dia hanya punya tante dan kakak sepupu jauhnya. Dan yang paling dia percaya hanyalah Tsuki dan Koji. Sembari membuka pintu dorm yang dia tinggali, Tsuki membuka pesan LINE dari Kuro.

Matanya melebar kaget, sementara tubuhnya dengan refleks bersandar lemas pada pintu di belakang yang sudah dia tutup. Tangannya tanpa dia sadari menggenggam erat benda persegi tersebut, meremasnya.

Apa-apaan ini...

“Tsuki-unnie, okaeri...” Suara lembut yang dia kenal menyapa. Kepala Tsuki mendongak, bertemu pandang dengan Haruna yang sedang menikmati marshmallow yang tertusuk di garpunya. Sepertinya Eunbi juga sudah pulang dan sedang mengajak Haruna membuat cemilan.

Tsuki mengerjap beberapa kali. Terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya.

“Oh, tadaima, Haruna.” Balasnya. Tsuki segera melepas sepatu dan masuk ke dalam. Haruna sedikit memiringkan kepalanya dengan bingung. Tsuki meletakan tasnya ke atas sofa dan menghampiri Eunbi yang sedang membakar sisa marshmallow. Dilihatnya sang perempuan mengajak ngobrol Eunbi.

Haruna mengerutkan kening. Sebelum dia menyapa Tsuki tadi, dia menyadari ekspresi tegang yang dibuat oleh sang perempuan. Apakah ada sesuatu yang mengganggu Tsuki?

Tsuki melirik sedikit kearah Haruna yang masih memandanginya. Dia memejamkan mata. Ragu untuk memberitahu Haruna atau tidak. Dia hanya takut kalau berita ini akan membuat Haruna mengalami deja vu dan mempengaruhi kondisinya. Tapi, cepat atau lambat perempuan bermarga Shirokawa itu akan tahu dari pacarnya, si Meguro Maguro itu.

Tsuki menarik napas dan berbalik. Dia bersandar pada kitchen set di belakangnya. “Haruna,” panggilnya. Haruna mengangkat kedua alisnya dan menatap Tsuki dengan sepasang matanya yang bulat.

Kalau Meguro melihat mungkin lelaki itu akan menerjang Haruna dan memeluknya erat-erat.

“aku ... mau memberitahumu sesuatu. Tentang Airi. Tapi, apakah kau baik-baik saja?” lanjutnya.

Haruna terdiam. Mulutnya yang mengunyah suapan terakhir marshmallow itu memelan. Haruna menelan marshmallow yang tersisa di mulutnya dan mengangguk. “Ada apa dengan Airi-san, Tsuki-unnie?”

Tsuki menghembuskan napas. Menunduk sejenak sebelum akhirnya mendongak kembali untuk menatap lurus kearah Haruna. “Kuro mengabariku kalau Airi diserang sasaeng. Dia kehilangan kesadaran dan kondisinya belum membaik saat ini.”

Tubuh Haruna membeku. Jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik. Memori-memori mengerikan yang pernah terjadi padanya saat hubungannya dengan Meguro terungkap kembali terputar. Garpu yang semula ada di genggamannya terjatuh.

“Haruna?” Eunbi memanggil nama sang maknae.

Meski Eunbi tidak bisa menangkap semua pembicaraan Tsuki dan Haruna yang menggunakan bahasa ibu mereka, dengan hanya menangkap kata ‘sasaeng’ saja dia paham bahwa ada sesuatu yang terjadi pada teman mereka di Jepang itu.

Kepalanya terasa berputar, isi di perutnya seakan bergejolak. Haruna menutup mulutnya. Berlari menuju kamar mandi untuk mengeluarkan isi perut yang mendadak ingin keluar. Perutnya mual. Dibenamkan wajahnya ke dalam mangkuk toilet. Tsuki dan Eunbi dengan panik menyusul sang adik.

Eunbi langsung berjongkok dan mengusap-usap punggung Haruna. Berusaha membuat perasaan perempuan itu menjadi lebih baik. Tsuki menggigit bibir bagian dalamnya. Seharusnya dia tidak memberitahu Haruna kalau kondisinya menjadi seperti ini.

Haruna bersandar pada dinding kamar mandi setelah selesai mengeluarkan seluruh isi perutnya. Perasaan deja vu nan tak nyaman itu masih tersisa meski tidak sebanyak tadi. Matanya menatap sayu nan sedih kearah Tsuki.

Unnie, Airi-san... dia akan baik-baik saja, ‘kan? Dia tidak akan pergi, ‘kan?”

Tsuki tidak menjawab. Dia hanya menyunggingkan senyum setipis mungkin.


Memang terlalu awal untuk bersyukur bahwa semuanya baik-baik saja. Shota menatap kedalam ruangan VIP itu, ruangan khusus yang hanya diperuntukkan orang penting termasuk agensi yang menginginkan talentnya di rawat dengan keamanan yang ketat. Tangan Shota mengepal. Dia mendesis pelan. Tatapannya saat ini pun terlihat cukup seram.

Sosok perempuan yang terbaring di atas ranjang di dalam ruangan itu sedang diperiksa dokter dan perawat. Tidak butuh waktu lama hingga sang dokter keluar dari ruangan dan menyapa sang manajer, Kuro, yang bertanggung jawab mengurus talentnya.

“Minamoto-san mengalami asfiksia akibat pencekikan yang dialaminya. Cidera di kepalanya tidak terlalu berat. Kami bersyukur karena Kurotsuchi-san memberikan CPR untuk pertolongan pertama padanya.” Sang dokter langsung memberikan diagnosanya mengenai kondisi Airi.

“Lalu, mengapa sampai sekarang Airi belum bangun, sensei?” tanya Shota dengan cemas. Banyak hal yang membuatnya takut saat ini. Tapi, yang paling dia takutkan adalah kehilangan Airi. Sang dokter mengulum bibirnya, menggenggam kedua tangannya dan memalingkan pandangan sejenak.

Sang dokter menghela napas pelan. “Meski sudah dilakukan CPR sebagai pertolongan pertama, belum ada respon yang baik dari otak Minamoto-san karena kurangnya pasokan oksigen yang masuk ke dalam otaknya,” Shota mengerjap. Koji langsung merangkul anggota satu grup sekaligus pacar sahabatnya ini. “bisa dikatakan bahwa Minamoto-san mengalami semi koma saat ini.”

Genggaman tangan Shota semakin kencang hingga buku-buku jarinya memutih dan kuku-kukunya menancap di kulit telapak tangannya. Rasa sakitnya tidak setara dengan apa yang hatinya rasakan saat ini. Dia seharusnya ada di samping Airi, melindungi wanita itu. Seharusnya dia menolak keputusan agensi untuk memisahkan mereka. Persetan break. Harusnya dia tidak perlu peduli tentang hal itu.


“Hei, Tsuki,” Koji menggeser pintu ruangan khusus untuk menerima telepon itu dan masuk ke dalam. Ditutupnya kembali pintu tersebut dan disandarkannya punggung lelaki itu di tembok. Ada keheningan panjang, baik padanya maupun pada Tsuki. Keduanya sama-sama sedang termenung. “Airi semi koma...” lanjutnya.

“Begitu ya...” balas Tsuki di seberang sana. Di seberang sana, Tsuki yang tadinya belum tidur dan hendak mengambil minum, menerima telepon dari Koji dan dia merasa harus menerima telepon itu.

Tsuki duduk di atas sofa di tengah kegelapan dormnya. Kondisi Haruna sudah lebih baik sejak dia trigger yang dialaminya tadi. Kedua kakinya diangkat untuk mendekat kearah dadanya.

“Pelakunya... sudah ditangkap kan?” tanya Tsuki lamat-lamat. Dia benar-benar murka pada siapapun yang beraninya membuat Airi mengalami hal traumatis seperti ini. Koji mengangguk, tangannya meremas ponsel yang digenggamnya.

“Ya. Tanaka Naoto. Dia tergila-gila dan rela melakukan apa saja untuk salah seorang Nabe-tan, fans fanatik Shoppi. Crushnya ini tidak terima Shoppi berpacaran dengan Airi dan memanfaatkan kegilaan orang itu padanya untuk mencelakai Airi.” Balas Koji.

Tsuki meremas botol mineral yang sudah setengah dia habiskan isinya. “Brengsek...” Geramnya.

“Polisi mengatakan bahwa Tanaka akan dituntut dengan pasal pembunuhan berencana.” Kata Koji lagi. Tsuki tertawa pelan mendengarnya. “Lalu, si sasaeng asshole yang menyuruh si brengsek itu bagaimana? Kalau dia tidak bisa ditangkap, aku akan senang hati membunuhnya langsung.” Cibir Tsuki. Ini agaknya bukan seorang Tsuki. Koji sampai terdiam selama beberapa saat.

Sonna koto yori...” Suara Koji kembali terdengar di keheningan malam itu. “Airi... akan baik-baik saja, ‘kan? Dia.. tidak akan semudah itu meninggal, kan...” lanjut Koji pelan. Kedua matanya sudah dipenuhi air mata yang bisa kapan saja jatuh.

“Jaga ucapanmu, Koji,” Tsuki mendelik. “Kita tahu dia adalah seorang bitch yang tangguh.” Tukasnya.

Koji tertawa. Sebuah tawa yang masam. Sebulir air mata lolos dari sebelah matanya. “Kau benar.” Balasnya.

Kau akan baik-baik saja, Airi. Tsuki menyeka ujung matanya.