Cruel Summer part 5

H/C, Slight Fluff (?), ShoppiAiri, fast plot, Typo Tidak sempat dicek lagi bcs aku ngantuk sekali ueueueueueue


Baik Shota dan Tama—Tamamori Yuta merapatkan jaket yang merekan kenakan. Mereka berjalan di sekitar halaman yang masih menjadi satu dengan wilayah rumah sakit. Shota menyodorkan sekaleng kopi hangat dari vending machine kearah Tama. Lelaki jangkung itu menerima uluran kopi tersebut dan tersenyum.

Mereka memilih untuk mengobrol di luar kamar inap Airi karena tidak ingin mengganggu ketenangan. Apalagi ada Meguro dan Raul yang sedang tertidur juga disana. Keduanya duduk bersebelahan.

“Jadi, Tamamori-san kakak sepupu jauhnya Airi?” tanya Shota. Tama mengangguk selepas dia menenggak kopinya. “Sebenarnya kami sudah lama tidak bertukar kabar. Dia terlalu sibuk dan tidak suka memberitahu publik tentang hubungan saudara kami.” Jawab Tama.

“Begitu...”

Hening. Sebenarnya Shota belum terpikirkan pertanyaan atau bahan pembicaraan apapun dengan Tama. Terlebih dia baru saja tahu fakta bahwa Tamamori Yuta adalah kakak sepupu jauh Airi. Airi sendiri tidak pernah cerita soal ini. “Kondisinya tidak begitu baik ya.” gumam Tama. Shota mengangguk. “Harusnya aku tidak menyetujui keinginannya untuk jauh dariku sementara waktu.” Kata Shota.

“Yah, meski itu tidak merubah bahwa aku punya fans sekejam itu...” lanjut Shota. Tama mendongak melihat kearah langit malam. “tapi, setidaknya kau ada disana saat dia diserang. Kau bisa melindunginya,” kata Tama. “itu, ‘kan, yang kau pikirkan?” Shota menatap lamat-lamat sosok lelaki yang merupakan seniornya di Johnnys itu. Kepala mengangguk.

“Airi ya,” Tama menghela napas. “hidupnya sudah cukup tidak sempurna dengan kehilangan kedua orang tuanya dan dia hanya memiliki tantenya dan aku.” Kata Tama. “Itu juga dia jarang sekali menghubungiku,” lanjutnya. “aku cemas kalau terjadi sesuatu padanya atau dia tidak bisa menahan rasa kesepiannya lebih lama. Tapi, kemudian, dia mengirimiku pesan, bahwa dia berpacaran denganmu.”

Shota melebarkan matanya. Terkejut dengan fakta lainnya yang baru dia ketahui. “Benarkah?” Tama mengangguk. “Aku merasa tenang kalau itu dirimu, Watanabe-kun.” Ujarnya. Shota sedikit menunduk. Tidak. Dia bukannya tidak senang. Dia hanya merasa gagal karena tidak bisa menjaga Airi dengan baik.

“Shota,” Lelaki bermarga Watanabe itu terkejut kala Tama menepuk pundak dan tersenyum kearahnya. Tatapannya terlihat penuh arti dan rasa percaya pada Shota. “yang sudah terjadi, biarkan saja. Saat ini, tolong fokus pada Airi dan karirmu saja. Airi itu kuat. Dia pasti akan kembali.” Lanjutnya.

Ya. Airi akan kembali.


Tsuki mendelik kearah manajernya. Yamaguchi balik mendelik kearahnya.”Dengar, ya, Tsuki-san, meski sahabatmu sedang dirawat dan kau sangat ingin menjenguknya saat ini, tapi tolong fokus dulu pada konser grup kali ini,” katanya. Bukan tanpa alasan dia berkata seperti itu. Tsuki termasuk member yang barbar dan rebel. “Jaejin sudah berpesan padaku untuk memasang mata elang padamu.” Yamaguchi lanjut melotot kearah Tsuki.

Tsuki berdecak. “Aku tidak akan langsung menjenguknya, dasar.” Gerutu Tsuki. Meski itu adalah keinginannya. Terlalu sibuk dengan konser kali ini, membuat dia tidak ada waktu melihat kondisi sahabatnya itu. Jadi, dia hanya mendapat kabar dari Koji atau Ryohei saja. Dia masuk ke dalam mobil van yang sudah menunggu untuk membawa mereka dari bandara ke hotel tempat mereka menginap untuk World Tour kali itu. Setelah konser di Manila, mereka menyambangi tempat kelahiran Haruna, Yurina dan juga Tsuki.

“Haruna kapan mau menjenguk Airi?” Begitu Tsuki melempar pertanyaan itu, dia disikut cukup kencang oleh Joohyun, dibarengi dengan tatapan mata yang tajam. Kebetulan sekali Joohyun, Haruna, Eunbi dan Tsuki satu van kali ini. Tsuki meringis.

Haruna terdiam selama beberapa saat. Matanya sedikt menerawang jauh sebelum dia menyungginkan sebuah senyum. “Mungkin sehari setelah selesai konser, unnie. Aku pergi bersama Ren-kun.” Jawabnya. Perempuan itu menggenggam erat tangannya satu sama lain, mencegah gemetar sekilas yang tiba-tiba muncul begitu Tsuki membahas Airi.

Semoga saja kondisi Airi-san baik-baik saja, begitu pikir Haruna.


Shota tidak bisa sering pulang pergi hari itu juga untuk menemani Airi. Beberapa pekerjaannya mengharuskan dirinya untuk menginap di luar kota. Jujur saja, Shota tidak tenang. Dia tidak bisa jauh-jauh dari Airi. Bagaimana kalau terjadi perubahan mendadak pada kondisi Airi saat dia tidak ada? Shota tidak mau mengulangi kesalahan yang sama.

Seperti kali ini, Shota harus syuting drama SP di Okinawa dan dia tidak bisa kembali dalam waktu sebulan. Bahkan manajernya hanya mengizinkan untuk bolak-balik konser saja. Untung kemarin tur dome Snow Man terakhir di Nagoya sudah selesai. Sebenarnya tidak ada yang berubah, dia tetap tidak bisa pulang pergi Okinawa-Tokyo. Manajernya bersikeras bahwa itu akan membuat kesehatannya menurun. Berat badan Shota yang berkurang sudah cukup menjadi warning untuk sang manajer.

Tapi, kali itu, Ryohei yang bilang bahwa dia yang akan coba untuk menjaga Airi. Tidak. Lebih tepatnya menjenguk perempuan itu. Kebetulan, Tsuki sedang berada di Jepang. Meguro juga bilang hal yang sama padanya. Jadi, Shota berpikir bahwa pacar dua orang itu sedang berada di Jepang.

Hari itu hari ke 20 Shota berada di Okinawa. Shota merasakan hembusan angin musim panas malam hari di akhir bulan Juli itu terasa menyegarkan meski tidak cukup untuk membuat hatinya tenang. Semua yang dijalaninya terlalu biasa saja. Biasanya saat-saat bebas seperti ini akan dia gunakan untuk menghubungi Airi atau bertukar pesan, atau paling tidak saling mengirim stiker LINE. Tapi, sekarang, seberapa seringpun dia mengirimi perempuan itu stiker LINE tidak ada yang tahu kapan pesan itu akan dibaca.

“Watanabe-san,” Shota menoleh begitu namanya dipanggil. “otsukaresama desu.” Suara perempuan bernama Rika Adachi itu menyapa dengan seulas senyum di wajahnya. Sosok perempuan berambut semi curly yang dikuncir satu keatas itu berdiri di sebelahnya dan ikut bersandar pada pagar guest house yang disewa pihak TBS itu.

Shota hanya merunduk sopan dan tidak membalas sapaan sang perempuan. “Cuacanya cerah ya.” ucap Rika berbasa-basi. Shota mengangguk sekilas, masih fokus dengan suara ombak yang terdengar sesekali serta hembusan angin laut. Pemandangan di depannya lebih menarik.

Rika mengulum bibir, sedikit merasa diabaikan oleh sosok lelaki yang merupakan member Snow Man ini. Lawan mainnya di drama SP romantis kali ini. “Ano sa, Watanabe-san,” Rika memanggil Shota lagi. Kali ini dia mendapat perhatian penuh dari sang lelaki. “selama kamera off, Watanabe-san terlihat tidak bersemangat. Sedang sakit, kah?” tanyanya.

Shota terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum. Dia menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Adachi-san. Terima kasih atas perhatiannya.”

Rika mengerjap. “Benarkah? Karena kita partner untuk sementara waktu, Watanabe-san boleh cerita padaku, kalau tidak keberatan.” Katanya. Shota sedikit mengernyit. Dia seperti merasakan sesuatu yang tidak biasa. Apakah Rika sedang mencoba mendekatinya atau hanya bermaksud baik sebagai seorang teman?

Shota menarik napas. Dia melihat kearah Rika dan tersenyum sendu. “Kau pasti sudah tahu beritanya, Adachi-san, kekasihku, pacarku, saat ini sedang tidak sadarkan diri karena kesehatannya yang menurun. Aku sedih karena tidak bisa berada di sampingnya untuk menemaninya.” Jawab Shota. Dia bukannya terlalu percaya diri kalau Rika berusaha mendekatinya tapi dari setiap gerak-gerik perempuan itu yang seperti berusaha mendekatinya membuat Shota curiga dan sedikit jengah.

Watanabe Shota sampai kapanpun milik Minamoto Airi. Begitu pikir Shota.

Rika terdiam sebentar. Ah, sudah punya pacar rupanya...

“Ah, maaf aku sudah lupa,” lirih Rika. “beritanya sudah cukup lama dan aku tidak begitu mengikuti berita gosip artis.” Katanya. Perempuan itu langsung berubah terlihat canggung. Tak lama, Rika pamit untuk masuk ke dalam. Shota menghela napas, bersyukur dia tidak perlu terlalu lama bersama Rika. Bukannya tidak mau, dia hanya tidak ingin memberikan sikap yang akan disalahartikan oleh perempuan itu.

Perempuan itu sangat rumit.

Ponsel di saku celana Shota berdering. Lelaki itu segera mengambil ponselnya dan bingung mendapati kontak Ryohei yang menghubunginya. Ada apa ini? Tiba-tiba saja jantungnya jadi berdetak sangat cepat. Tanpa berpikir panjang, Shota langsung menjawab telepon itu.

“Shoppi! Syukurlah kau tidak slow respon,” sapa Ryohei. “Minamoto...”

Jantung Shoppi langsung berhenti sepersekian detik saat mendengar kabar yang diberikan oleh Ryohei barusan.


Haruna menarik napas. Langkahnya yang semula sejajar dengan Meguro, kekasihnya, kali ini tertinggal beberapa langkah di belakang. Perempuan itu menunduk sebentar menatap ujung flat shoes yang dipakainya. Tsuki dan Ryohei yang kebetulan sampai bersamaan dengan Meguro dan Haruna juga ikut berhenti dan menoleh.

Meguro segera menghampiri sang kekasih dan merangkulnya. “Haruna, daijobu?” bisiknya lembut. Haruna menghembuskan napas dan menatap Meguro sekilas. Kepalanya mengangguk. “Airi-san baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya. Meguro sedikit mendongak untuk melihat kearah Tsuki dan Ryohei yang masih memperhatikan. Kedua orang itu memalingkan wajah bersamaan.

Meguro mengulum bibir dan tersenyum. Dia membawa Haruna untuk kembali berjalan, tidak menjawab pertanyaan sang kekasih. Keduanya berjalan beriringan. Meguro menggandeng tangan Haruna dan perempuan bermarga Shirokawa itu mengeratkan genggamannya. Dia dan Tsuki baru saja selesai konser dan karena itu mereka baru bisa menyempatkan waktu untuk mengunjungi Airi.

Keempatnya sampai di depan pintu, sementara Tsuki berdiri menghalangi jendela di pintu tersebut, Meguro sedikit menundukkan pandangan untuk mensejajarkan pandangan pada Haruna. “Haruna,” panggil Meguro, tangannya mengusap-usap kedua bahu perempuannya untuk memberikan kesan yang menenangkan. Pandangannya bahkan begitu lembut. “Kamu yakin mau ketemu Minamoto?” tanyanya.

Haruna mengerjap bingung. Dia melihat kearah Tsuki yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada sembari bersandar pada pintu kamar inap Airi. Perempuan bermarga Matsumoto itu balas menatapnya. “Iya, memangnya ada apa, sih? Tidak ada yang buruk, ‘kan?” Meguro bertukar pandang dengan Ryohei dan Tsuki.

Mau tidak mau Tsuki mengangguk dan menyingkir dari pintu tersebut, dia masuk ke dalam. Ini juga pertama kalinya dia menjenguk Airi. Pintu ruang inap itu terbuka sempurna. Tsuki saja sampai tidak bisa berbicara apa-apa kala melihat kondisi sahabatnya. Monitor yang menyatakan detak jantung Airi masih berada di samping ranjang perempuan itu, begitupula dengan masker oksigen yang masih terpasang sempurna di antar hidung dan mulutnya. Termasuk kepalanya yang kata Kuro terluka serta lehernya yang masih diplester oleh perban. Lalu, selang infus beserta cairan IV yang masih tergantung di tiang di dekat sana.

Yang membuat Tsuki sedikit lega adalah napas Airi masih stabil menandakan perempuan itu masih disana. Tidak pergi kemanapun. Padahal ini sudah empat bulan sejak Airi dirawat, tapi seperti tidak ada perubahan berarti pada perempuan itu. Airi seperti jatuh tertidur untuk waktu yang lama.

“Shirokawa?!” Suara Ryohei yang terkejut membuat lamunan Tsuki terpecah. Dia segera berbalik dan menemukan Haruna yang sedang bersandar pada Meguro. Perempuan itu masih berdiri diambang pintu, mencengkram mantel tipis yang dikenakan Meguro. Bisa dilihat tubuh perempuan itu bergetar. Tatapannya shock bercampur rasa takut. Matanya tidak lepas menatap kearah Airi, lalu bergerak kesana kemari. Meguro bisa merasakan tangan yang dia genggam ini dipenuhi oleh keringat dingin.

“Ai-Airi-san bu-bukannya baik-baik saja...? Ke-Kenapa ... Kenapa dia...” Suara Haruna tercekat. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya. Tsuki menggigit bibir bagian dalamnya dan memejamkan sejenak. Memang pilihan kurang tepat mengajak Haruna. Apalagi kondisi Airi yang sebenarnya sama sekali tidak diketahui oleh Haruna. Haruna hanya tahu bahwa Airi diserang sasaeng dan perlu dirawat lebih lama di rumah sakit. Itu saja.

Tsuki menggerakkan kepalanya, menyuruh Meguro untuk membawa Haruna ke pergi dari sana untuk sementara waktu, menenangkan perempuan itu. Tsuki memijit pangkal hidungnya. Dia kembali berbalik dan menghadap Airi. Dilihatnya lamat-lamat sahabatnya.

“Duduk, Tsuki. Kau akan lelah kalau berdiri terus.” Suara Ryohei terdengar disertai suara kursi yang digeser kearah Tsuki. Perempuan bermarga Matsumoto itu tersenyum tipis. “Dia pasti lebih lelah terbaring terlalu lama seperti itu, Ryohei...” balas Tsuki.

Ryohei tidak menjawab. Dia berdiri di belakang Tsuki, mengulurkan tangan untuk mengusap-usap pundak sang perempuan. Dibanding duduk, Tsuki malah bersimpuh, duduk dengan dengkulnya dan meraih tangan Airi yang tidak terhalang apa-apa. Tangannya masih hangat. Digenggamnya erat tangan itu.

“Aku akan menarikmu kembali dari akhirat kalau kau sampai meninggal, bitch.” Bisik Tsuki. Ryohei bisa mendengar suara kekasihnya yang sedikit bergetar.

Sementara itu, Meguro masih berusaha menenangkan Haruna yang mulai panik. Dia melihat kesana-kemari, menanyakan tentang sasaeng yang sempat menyerangnya dulu. Gemetar di sekujur tubuhnya masih terasa serta air mata sudah memenuhi wajahnya. Meguro menangkup wajah Haruna dan memaksa perempuan itu untuk melihat kearahnya.

“Haruna, sayang, Haruna! Lihat aku, sayang, lihat aku, ya...” Suara Meguro melembut saat Haruna mulai memfokuskan pandangan pada Meguro. Sosok bernama kecil Ren itu tersenyum lembut. Dia mengusap-usap kedua pipi sang kekasih dengan ibu jarinya. “Mereka sudah tidak ada. Mereka tidak ada disini. Mereka sudah mendapat apa yang seharusnya mereka dapatkan. Kamu aman disini.” Katanya.

“Ta-Tapi, Airi-san.. dia... dia...” Suara Haruna bergetar serta terbata-bata. “Ssshhh, orang yang menyerangnya juga sudah tertangkap. Minamoto akan baik-baik saja, sayang.” Meguro menarik Haruna ke dalam sebuah pelukan, mengusap-usap kepala sang perempuan dan menenangkannya.

Rupanya Haruna masih belum benar-benar sembuh dari traumanya, melihatnya yang kambuh seperti ini benar-benar membuat Meguro begitu useless. Seperti memutar kenangan buruk. Tapi, demi Haruna, dia tidak boleh terbawa masa lalu. Lagipula itu semua sudah lewat yang harus dia fokuskan saat ini adalah menjaga dan melindungi Haruna.

Perhatian Meguro dan Haruna terdistrak kala mendengar suara langkah kaki yang cepat dari arah ujung lorong. Seorang pria dengan jas putih bersama seorang perawat terlihat masuk ke dalam ruangan dimana Airi dirawat. Meguro mengernyit. Dia menoleh kearah Haruna untuk memastikan bahwa perempuan itu sudah lebih tenang.

“Kamu tetap mau melihat Minamoto?” Haruna terdiam beberapa saat dan mengangguk. Meguro membantunya berdiri dan berjalan menuju ruangan Airi. Diambang pintu, mereka bisa melihat dokter dan perawat sibuk memeriksa kondisi Airi sementara Tsuki dan Ryohei menyingkir sedikit kearah sofa yang terletak di dekat sana.

Sebelum dokter dan perawat datang berkat Ryohei yang memanggil mereka lewat tombol emergency, Tsuki yang menggenggam tangan Airi merasakan pergerakan sekilas dari tangan yang digenggamnya. Perempuan itu jelas langsung melihat kearah Airi. Dia melihat sahabatnya itu sudah membuka matanya perlahan meski tatapannya masih kosong dan belum bisa melihat kearah Tsuki.

“U-Unnie...” panggil Haruna. Meguro langsung mengantar Haruna untuk mendekati sang ‘kakak’nya. Tsuki menyambut Haruna dan merangkulnya sementara Meguro bergabung dengan Ryohei. Kedua lelaki itu pamit untuk keluar dari ruangan. Lebih sedikit orang di dalam, dokter dan perawat akan lebih leluasa memeriksa kondisi Airi.

Ryohei langsung mengabari Shota yang saat ini sedang berada di Okinawa untuk urusan pekerjaan. Butuh deringan ketiga untuk telepon itu tersambung. “Shoppi! Syukurlah kau tidak slow respon,” sapa Ryohei. “Minamoto... Dia sudah bangun!”


Shota tidak bisa langsung meluncur kembali ke Tokyo begitu mendapat kabar mengembirakan itu. Tapi, setidaknya kualitas aktingnya kembali berkat kabar baik tersebut. Rika setelah tahu kabar itupun bersyukur dan menitipkan salam untuk Airi lewat Shota.

Selepas sampai di lobby halaman belakang gedung rumah sakit itu, Shota langsung melompat turun tanpa menunggu mobil yang membawanya berhenti sempurna. Lelaki bermarga Watanabe itu segera berlari menyusuri lorong rumah sakit yang panjang itu. Beruntung lorong rumah sakit bagian itu tidak ramai dilalui banyak orang.

Haruna dan Tsuki sudah kembali ke jadwal tur dunia mereka. Mereka tidak bisa terlalu berlama di Jepang karena masih terikat dengan jadwal tur. Well, setidaknya Tsuki sudah tenang karena sahabatnya sudah kembali sadar.

Pintu rawat inap Airi terbuka lebar, Shota yang berhenti diambang pintu terdiam melihat Airi yang sedang mendengarkan penjelasan dokter sementara Kuro berada di sampingnya. Shota tidak lagi melihat alat-alat medis di sekitar Airi yang tersisa hanyalah selang oksigen nasal cannula yang masih berada di hidung perempuan itu. Pandangan Airi teralihkan kearah luar begitu dia menyadari tidak hanya ada mereka disana.

Baik Shota maupun Airi saling bersitatap. Perempuan bermarga Minamoto itu tersenyum, senyumnya masih terlihat lemah sementara Shota berusaha menahan air mata yang sedari tadi sudah memaksa untuk keluar. Airi berusaha menurunkan kedua kakinya yang masih sedikit kaku, perawat yang ada disana melepaskan selang IV yang tersambung ke infus airi. Meski dia sudah menjalani fisioterapi selama beberapa hari untuk melemaskan kembali otot-ototnya yang kaku akibat tertidur cukup lama, itu tidak cukup membuatnya langsung bisa berjalan seperti dulu.

Langkah Airi masih terlihat tertatih. Selang oksigen yang tadinya dia pakai, sudah disingkirkan. Begitu keseimbangannya sedikit hilang dan hendak tersungkur, Shota langsung menangkap tubuh Airi. Perempuan itu refleks melingkarkan kedua tangannya di sekitar bahu Shota. Sudah berapa lama dia tidak merasakan kehangatan tubuh lelaki ini? Sudah berapa lama Shota tidak memeluk tubuh mungil Airi?

“Ya Tuhan, Airi... Sayangku...” Lirih Shota. Lelaki itu memeluk Airi erat-erat, memastikan bahwa dia tidak bermimpi. Bahwa dia masih diberi kesempatan untuk menjaga Airi sekali lagi. Airi tersenyum dan membalas pelukan Shota. “Hai, Shota..” balas Airi. Suara perempuan itu sudah cukup jelas meski sedikit serak.

Shota melonggarkan pelukan mereka dan menatap lamat-lamat wajah Airi. Sebelah tangannya menyusuri garis wajah Airi, kali ini ada mata yang menatapnya. Bukan lagi kelopak mata yang tertutup rapat seperti waktu itu. Diusapnya pipi Airi yang tirus itu dengan buku-buku jarinya. Airi tersenyum lembut. Dia meraih tangan Shota yang mengusap wajahnya. Digenggamnya erat meski tidak seerat Shota karena kondisinya yang masih lemah pasca pulih dari semi koma.

“Aku tidak mau melepaskan genggaman tangan ini lagi...” katanya. Shota tersenyum. Kepalanya mengangguk. “Aku juga tidak mau membiarkanmu melepaskan genggaman tangan ini.”

Shota menyatukan kening mereka berdua. Mengusap-usap pipi Airi, mengabaikan dokter, perawat dan juga manajer Airi yang sedari tadi hanya memperhatikan dengan senyum tipis.

“Maklum ya, sensei,” kata Kuro. “Tidak, tidak.” Sang dokter tertawa.

Sementara itu, Koji yang tadinya hendak menjenguk Airi seperti biasa, harus mengurungkan niat begitu melihat Shota sudah lebih dulu sampai disana. Sosok lelaki berdarah campuran itu tersenyum lebar, dia buru-buru membuka ponselnya. Sayang sekali dia tidak membawa kemarenya saat ini, padahal saat-saat seperti ini adalah peristiwa penting melihat Shota dan Airi yang terlihat sedang melepas rindu. Akan dia kirimkan foto ini di grup.


Malam itu, Shota tidak bisa tidur, dia sibuk memandangi wajah Airi yang sedang terlelap di sebelahnya. Dia menyelipkan helaian rambut Airi dibelakang telinga perempuan itu. Sudah lewat sebulan lebih sejak Airi bisa keluar dari rumah sakit dengan keadaan yang sehat.

Suasana media sosial tentang hubungan mereka pun sudah mereda. Banyak fans yang malah menunggu comeback mereka untuk bermain di satu project lagi. Well, itu sesuatu yang patut disyukuri, meski masih ada beberapa yang tidak setuju dengan hubungan keduanya.

“Kau sedang melihat apa?” Suara serak Airi yang terbangun itu membuat Shota berhenti dari lamunannya. Lelaki bermarga Watanabe itu menggeleng dan tersenyum, dia mengusap-usap pipi Airi lembut. “Melihatmu. Memastikan bahwa kau tidak tidur lama seperti waktu itu.” katanya.

Airi sedikit terdiam. Tanpa kata, dia melingkarkan tangannya di pinggang Shota dan menarik diri untuk lebih dekat dnegan lelaki bermarga Watanabe itu. “Kalau begitu kau hanya perlu menciumku untuk membangunkanku.” Katanya. Shota tertawa.

“Benar, ya! Aku akan menciummu besok pagi!” tekad Shota. Airi menggeleng. “Aku akan bangun lebih dulu darimu!” balas Airi tidak mau kalah. “Kalau begitu, kau yang menciumku?”

“Dih, kepedean.” Cibir Airi. Shota tertawa. Dia menarik selimut lebih tinggi dan memeluk Airi lagi. “Yang terpenting kamu tidak lagi pergi dari sisiku. Itu saja sudah cukup...”

“Aku tidak akan kemana-kemana lagi, Shota...”

Ada keheningan lama diantara mereka. Shota menarik diri sedikit dari Airi dan menatap sang kesayangan. “Berarti kita bisa jalan-jalan malam seperti waktu itu tanpa penyamaran?”