Dalam Penyembuhan : 3. Break Up

ooc, typo, remake, cireng

Aku tahu saat itu aku masih shock, kaget dan takut untuk menerima kenyataan itu. Aku berusaha seharian untuk menjauhi Ren-kun, tapi aku selalu gagal melakukannya. Sisi emosionalku yang lebih menguasai dan aku takut jika aku harus kehilangan Ren-kun saat itu juga. Saat itu juga, aku menampar Ren-kun, benar-benar melayangkan kelima jariku ke pipi Ren-kun, kemudian memeluknya erat seakan jika ku lepaskan Ren-kun akan menghilang. Dan aku sadar kalau aku mencintainya.


“Pagi, semua!” “Ini sudah siang, baka! ” Koji memukul pelan kepala Fukka dengan kertas-kertasnya. Mereka berenam, Koji, Masakado, Hikaru, Fukazawa dan Abe juga Ren sedang berkumpul di atap sekolah yang sepi. Mereka tengah berbincang-bincang membicarakan kelulusan Fukazawa tahun ini. “Bagaimana nilai-nilaimu, Abe?“tanya Masakado penasaran. Karena yang dia tahu Abe selalu terlihat bersemangat setiap kegiatan belajar mengajar di mulai. “Biasa saja.“sahut Abe singkat. Nampak sekali enggan membahas mengenai nilai uji cobanya.

Fukka menepuk keras punggung Abe membuat cowok itu mendelik sebal kearahnya. “Jangan suka merendah seperti itu! Aku tahu kalau nilai-nilaimu itu sebenarnya semua yang terbaik.” “Terserah kau saja, Fukka.” Mereka tertawa melihat keduanya yang nampak akrab. Kemudian Fukazawa melihat kearah Ren yang sedang menikmati melonpannya.

“Meme, tumben sekali hari ini tidak makan siang sama Shirokawa-kun.“kata Fukazawa heran. Ren mendongak untuk melihat kearah kakak kelasnya itu. Kemudian tersenyum. “Haruna sedang sibuk sekali dan tidak sempat membuat bento.“sahut Ren.

Fukazawa menghela napasnya. “Kenapa kau tidak jujur saja soal itu, Ren?“Suara Masakado terdengar sedih. Dia tahu bagaimana perasaan Haruna jika gadis itu mendengar hal ini. Ren menunduk. Menyembunyikan wajahnya. “Dia... Tidak perlu tahu.“sahutnya. Masakado berdecak. “Lalu kau anggap apa perhatian Haruna selama ini?”

Ren tersenyum kearah Hikaru. Dia menggigit potongan terakhir melon pan nya. “Aku akan mengakhirinya.” Keempatnya terkesiap dan mendadak panik. “Kau gila ya?!” “Hei! Pikirkan perasaan Haruru! Dia pasti akan sangat kecewa!” Abe berseru sebal. Ren tertawa melihat respon teman-temannya. “Aku cuma bercanda.” Sedetik kemudian, Ren merasa tangannya di tarik seseorang untuk berdiri. Kepalanya berputar untuk melihat siapa yang berani menariknya sekencang itu hingga bisa membuatnya berdiri.

“Haruna-chan?” “Haruna?” “Shirokawa-kun?” “Haruru?” “Huh?”

Kelimanya terkejut mendapati gadis berambut sebahu lebih kecoklatan itu sudah berada di dekat mereka dengan wajah memerah dan mata berkaca.

“Haruna? Ada apa?” “Kita perlu bicara.” Kemudian gadis itu menarik tangan Ren untuk mengikutinya. Ren menoleh sekilas kearah teman-temannya dan melihat mereka membisikan sesuatu. “Hati-hati...”


Mereka sampai di lapangan basket yang sepi. Hembusan angin penghujung musim semi melambaikan seragam dan rambut mereka. Haruna membungkuk untuk mengatur napasnya, begitu pula dengan Ren. Cowok itu merogoh kantung blazernya dan mengeluarkan sebotol obat. Menenggak kapsul berwarna putih itu. Haruna membalikan tubuhnya menghadap Ren. Cowok itu menatapnya heran. Mata keduanya bertemu. “Haruna? Ada apa?” Sebuah tamparan mengenai pipi kanan Ren. Cowok itu membelalakan matanya sejenak, merasakan sengatan di wajahnya. Kemudian kepalanya menoleh kearah Haruna. Di lihatnya gadis itu menatapnya dengan mata basah dan bahu yang bergetar. Seperti menahan isakan yang keras. “Kamu serius keluar dari klub itu...” Ren tahu itu bukan pertanyaan.

“Ini bukan kamu, Ren. Aku tahu kamu bukan tipe orang yang menyia-nyiakan kepercayaan orang lain padamu.” Ren tahu suara itu berusaha menahan tangisannya. “Kenapa kamu gak pernah cerita?”

Ren tahu itu suara penuh kekecewaan dan Ren menebak kalau gadis itu sudah tahu semuanya. “Haruna...”

“Bahkan Ren berniat untuk putus dariku..?” suaranya melirih. “Ren-kun anggap apa aku selama ini kalau bisa dengan bicara putus seenaknya begitu?”Suarnya terdengar mencabik hati Ren saat mendengarnya. Haruna menundukan kepalanya, menatap sebelah tangannya yang di buat untuk menampar Ren barusan. Ada rasa bersalah di tatapan itu.

“Haruna, maaf.“Ren berhasil mengucapkan beberapa kata. Meskipun tadinya dia nampak tidak bisa mengeluarkan suaranya. Haruna tahu kalau dia tidak bisa mendengar suara itu tanpa menatap kearahnya. Tapi, dia akan semakin tidak kuat jika harus menatap cowok di depannya ini.

“Kenapa, Ren? Kenapa kamu suka sekali menyembunyikan semuanya....” Haruna berusaha menanyakan segala kegelisahannya tentang apa yang di dengarnya lusa kemarin. Dengan mempertahankan agar suaranya tidak terdengar terisak. Haruna berjongkok untuk menyembunyikan wajahnya sejenak.

Ren menghembuskan napasnya pelan. Dia tersenyum melihat Haruna yang berusaha menahan isakannya. “Aku tidak ingin semuanya cemas dan khawatir. Aku keluar dari klub agar mereka bisa dengan cepat menemukan penggantiku sebelum tiba waktunya pertandingan final, karena aku yakin saat itu tiba aku tidak akan bisa hadir di sana dengan maksimal.“Ren menjelaskan panjang lebar. Cowok itu berjongkok di depan Haruna. “Dan alasan kenapa aku tidak menceritakannya padamu adalah karena aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Membuat Haruna cemas dan khawatir.“ujar Ren lembut. Tangannya terulur untuk mengusap kepala gadis di depannya ini. Gadis di depannya ini bergeming. Nampak berusaha mencerna apa yang di katakan cowok itu. Ren menarik napasnya. Mencoba untuk mengatakan apa yang juga ingin di katakannya.

“Ayo kita putus, Haruna.”

Haruna mengangkat kepalanya. Melihat kearah Ren dengan terkejut. Pikirannya blank dan terasa berawan. Ada sesuatu yang seakan menahan oksigen untuk masuk ke paru-parunya. Dadanya sesak dan air matanya mengalir perlahan.

“Kau serius?“Suaranya bergetar. Ren tersenyum lembut. “Aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Sudah cukup Haruna selalu membuatkanku bento dan membantuku membersihkan apartemen setiap akhir minggu. Sudah cukup ya.“Ren beranjak dari sana. Meninggalkan Haruna yang terpaku di tempatnya. Sebelum sosok Ren benar-benar meninggalkan lapangan itu. Haruna berusaha mengumpulkan tenaganya dan berlari kearah cowok itu. Menubruk punggungnya keras dan melingkarkan kedua tangannya yang mungil di pinggang cowok itu. Mendekapnya erat.

“Ja-jangan be-berkata seperti itu! A-aku tidak suka!“gerutu Haruna dengan suara terisak. Air matanya masih mengalir. Kali ini sangat deras dan Ren merasakan tubuh Haruna terguncang hebat. “Haruna... Sudah cukup... Aku tidak mau menyakitimu lagi.“kata Ren. Berusaha melepaskan dekapan Haruna. Tapi, dekapan gadis itu semakin erat memeluk Ren.

“Ju-justru kau me-menyakitiku dengan bi-bilang kalau k-kau me-merasa me-merepotkanku. Kau tahu apa soal perasaanku?!“Suara Haruna yang tegas seakan menampar Ren sekali lagi. Cowok itu terdiam. Dia memang memutuskan hal ini secara sepihak tanpa menanyakan bagaimana perasaan Haruna padanya. “Haruna...”

“Diam! Jangan katakan apapun!”

Semilir angin berhembus. Menerpa wajah keduanya yang sama-sama menunjukan ekspresi sedih. “Aku serius menyukaimu, Ren...” Ren mematung mendengar bisikan parau dari Haruna.

Aku juga serius menyukaimu, tapi maaf, ya, Haruna...


Keadaan Ren memburuk. Cowok itu sering di larikan ke UKS di tengah pelajaran karena sesak napas yang di deritanya sering kambuh dan membuat kesadarannya hilang. Haruna yang mendengar hal itu dari Masakado semakin tidak tenang. Perasaan tidak enak dan takut datang silih berganti menghampirinya. Pagi itu, Haruna memasuki gerbang sekolah dengan perasaan berat. Kedua tangannya mendekap erat buku-buku seputar kesehatan. Dia masih harus belajar untuk persiapan nanti saat lulus untuk masuk ke sekolah kesehatan. “Haruru!” Haruna menoleh merasa namanya di panggil, hanya orang-orang manga klub yang memanggilnya dengan nama itu, well, Masakado juga kadang memanggilnya seperti itu dan Haruna kenal dengan suara yang memanggilnya. Tapi, terkhusus Sakuma, dia masuk ke manga klub hanya untuk bisa baca manga secara gratis. “Sakuma?”

Cowok bernama kecil Daisuke itu menepuk pundaknya dengan napas terengah dan itu mengingatkannya pada Ren. “Ada apa?“tanya Haruna memalingkan pikirannya.

“Semalam Meme pulang ke rumah orang tuanya di Yokohama.“ucapan Sakuma membuat Haruna mengernyit tak paham. “Lalu?”

“Dia di larikan ke rumah sakit karena penyakitnya semakin parah.” Haruna membulatkan matanya tak percaya. Dia mencengkram pundak Sakuma dan menatapnya tajam. “Aku tidak suka candaan, Sakkun.” Sakuma menghembuskan napasnya dan memutar kedua bola matanya sebal. “Kalau aku ingin bercanda, tidak perlu menggunakan alasan penyakit untuk hal-hal lucu!”

Haruna berdecak. Dia berlari meninggalkan Sakuma yang mengerjap, terkejut melihat Haruna yang tiba-tiba saja berlari meninggalkannya, keluar dari kawasan SMA Hanamigawa itu. “Haruru! Mau kemana?“Sakuma berseru cepat sebelum sosok itu menghilang. Haruna menoleh kearahnya sebelum berbelok ke kanan. “Ke Yokohama! Tolong absenku di tulis izin ya, Sakkun! Arigatou!“kemudian, gadis itu berbelok kearah stasiun dan menghilang. “Haruna—ck...” Sakuma berdecak melihat tingkah Haruna. Padahal minggu ini minggu terakhir mereka sekolah sebelum liburan musim panas dan gadis itu malah bolos? “Sakuma? Kenapa kau diam begitu?” Suara Abe terdengar di dekatnya. Cowok itu menatap kearah Sakuma dengan bingung.

Sakuma mendengkus. Dia berjalan kembali ke dalam gedung sekolah di ikuti Abe. “Haruru izin ke Yokohama hari ini.“katanya. “Eehhh? Yang benar?” “Iya. Dia sangat kaget saat mendengar kalau Meme harus masuk rumah sakit lagi.” Abe berdecak. “Kenapa kau memberitahunya?” Sakuma menoleh kearah Abe dan mendelik. Matanya menatap tajam kearah cowok itu. “Kau tidak lihat sih saat dia berjalan tanpa semangat hidup masuk ke kawasan sekolah. Membuat mataku tidak tahan saja melihatnya seperti itu.”

Abe menghela napasnya. Kalau sudah begini dia tidak akan bisa protes lagi. Bagaimana pun juga Haruna adalah gadis baik yang selalu berusaha perhatian pada orang lain. Dia gadis yang berbakat di bidang tarik suara, terlebih gadis itu sangat cocok untuk Ren. Bel masuk berbunyi. “Gawat! Ayo cepat kita masuk!” Abe mengajak Sakuma untuk berlari masuk ke dalam gedung sekolah mereka.

Diam-diam dari belakang mereka ada seorang siswa mencuri dengar. Kepalanya menoleh kearah gerbang sekolah yang belum di tutup meskipun bel sudah berbunyi. Siswa itu melanjutkan langkahnya menuju kelasnya, namun beberapa langkah kemudian dia berbalik dan berjalan cepat kearah gerbang. Keluar melewati pintu besar itu menuju stasiun.


Haruna sampai di tujuannya. Dia berdiri di depan kamar rawat inap di rumah sakit dimana Ren dirawat itu. Tiba-tiba hatinya sedikit bimbang. Ada perasaan khawatir dan cemas juga takut saat dia memegang gagang pintu geser itu. Benda yang dingin itu seakan membuatnya terpaku selama beberapa saat. “Punten...” Gadis itu menoleh dan reflek melepaskan genggamannya pada gagang itu. Di lihatnya wanita paruh baya yang berdiri tak jauh darinya memperhatikannya dengan bingung. Haruna membungkuk kearah sosok wanita yang sangat mirip dengan Ren itu. Wanita itu berjalan menghampirinya dan tersenyum.

“Kamu pasti Shirokawa Haruna ya?” “Eh?“balas Haruna bingung. Wanita itu tertawa kecil. “Ren cerita banyak tentangmu. Ayo masuk.” Wanita yang merupakan ibu Ren itu menggeser pintu itu dan mengajaknya masuk ke dalam rawat inap itu. Aroma disenfektan yang sempat di rasakan Haruna saat masuk ke rumah sakit tadi sedikit berkurang karena dia mencium aroma musim panas yang samar dari arah jendela yang terbuka. Haruna meletakan buku-bukunya di atas nakas di sebelah ranjang Ren. Di lihatnya Ren yang tertidur di atas ranjangnya dengan dibantu masker alat bernapas yang terpasang di antara mulut dan hidungnya. Cowok itu mengenakan setelan piyama biru dan rambut hitamnya agak berantakan.

Haruna berjalan mendekati ranjang itu. Dia menunduk untuk melihat wajah Ren dengan lebih jelas. Diulurkannya jemarinya untuk menyingkirkan beberapa helai rambut kecokelatannya yang menutupi sedikit wajahnya.

Ren bergerak sedikit merasakan sentuhan lembut di keningnya. Matanya perlahan terbuka menampilkan manik hitam kecokelatannya yang terlihat sayu. “Haruna...?” Haruna tersenyum lembut melihatnya. Dia mengusap lembut kening Ren membuat cowok itu memejamkan matanya sejenak, merasakan kehangatan yang tiba-tiba membuatnya sangat nyaman.

Haruna menahan agar air matanya tidak keluar. Melihat Ren dalam kondisi yang tidak sehat seperti ini seakan menguji kekuatannya untuk tidak terlihat lemah. “Ke-Kenapa kamu di sini? Bukankah kamu harus sekolah?“tanya Ren pelan.

Ibu Ren menyentuh pundak Haruna dan gadis itu menoleh sebentar. Wanita itu izin untuk keluar sebentar dan menitipkan Ren padanya. “Aku langsung kemari setelah mendengar kalau kamu masuk rumah sakit.“sahut Haruna. Tangannya meraih tangan Ren yang di beri jarum infus. “Pulanglah.” Haruna terkejut mendengarnya. Matanya membulat tak percaya. Gadis itu mengusap-usap tangan Ren yang di tanami jarum infus itu.

“Kenapa? Aku masih ingin di sini.” Pandangan Ren teralih kearah nakas di sebelahnya saat menyadari ada beberapa buku tebal di atasnya. Pandangan Haruna ikut teralih kearah pandangan Ren berlabuh. “Pulanglah. Jangan buang waktumu untuk orang sepertiku.“kata Ren. Dia sudah bisa mengeluarkan suaranya dengan normal. Haruna menggeleng. “No! Aku masih ingin di sini! Menemani Ren-kun!”

“Kubilang, pulanglah!” Ren menepis tangan Haruna yang menggenggam tangannya. Kemudian matanya menatap tajam kearah Haruna. Sesuatu yang tidak pernah di lihat oleh gadis itu dari Ren. “Apa karena aku membawa buku-buku ini?“lirih Haruna sedih.

“Kau sudah seharusnya belajar untuk persiapan beasiswamu ke sekolah kesehatan bergengsi itu tahun depan. Bukannya malah bolos dan pergi ke Yokohama untuk orang sepertiku.“ujar Ren sarkas. Haruna menatap tak percaya kearah cowok di depannya ini. “Kau ini bicara apa, Ren-kun?” Haruna memegang pundak cowok itu. Namun, Ren mendorong keras Haruna hingga terjatuh. “Haruna!” Ren mendongak untuk melihat siapa yang kali ini datang menengoknya. Seorang cowok yang sangat di kenalnya. Masakado Yoshinori.

Cowok itu membantu Haruna untuk berdiri. Matanya menatap kearah Ren. Kedua maniknya itu menyipit kearah Ren. “Aku tidak kenal Meguro Ren yang kasar seperti ini terhadap wanita.“Ren terdiam mendengar ucapan Masakado yang terlihat kecewa itu. “Ini bukan kamu, Meme.“ujar Masakado sembari menggeleng. Ren berdecak. Dia memalingkan wajahnya kearah lain, enggan untuk menatap kearah keduanya. “Bawa dia pulang, Masakado. Jangan biarkan dia untuk menghabiskan waktunya untuk orang sepertiku.”

“Me—”

Haruna menepuk punggung Masakado, isyarat agar cowok itu berhenti. Cowok bermarga Masakado itu menatapnya bingung. Haruna mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakannya di atas nakas di sebelah ranjang Ren setelah mengambil buku-bukunya. “Tadi aku sengaja buatin bento seperti biasanya. Dimakan ya, Meguro-kun.” Ren sedikit terkejut saat mendengar Haruna memanggilnya bukan dengan Ren atau Ren-kun lagi. Cowok itu melirik kearah gadis itu. Keduanya sudah berada di luar rawat inap. Mereka berpamitan dengan ibunya.

Ren mendongak untuk melihat kearah nakas di sebelah ranjangnya. Dia memposisikan dirinya untuk duduk dan melepaskan masker oksigen itu. Di raihnya tas bento itu dan di bukanya tempat itu. Ada secarik kertas dengan karakter gambar khas Haruna.

Mungkin aku ini bukan yang terbaik untuk Ren. Tapi, aku ingin jadi perempuan yang kuat dan tetap mendukungmu apapun yang terjadi. Aku mencintaimu. Haruna


Masakado menoleh kearah belakangnya untuk memastikan kalau Haruna masih ada dibelakangnya mengikutinya. Dia tersenyum melihat Haruna yang terlihat melamun sembari terus berjalan mengikutinya. Hingga nyaris menabrak Masakado, gadis itu masih asyik dalam pikirannya. “Kenapa ya, Masakado...?”

Masakado menaikan sebelah alisnya saat mendengar Haruna yang memanggilnya tanpa embel-embel suffix seperti biasanya. Gadis itu juga terlihat sangat sedih dan frustasi. Mereka berdiri di belakang garis kuning peron kereta sembari menunggu kereta terakhir yang akan membawa keduanya kembali ke Tokyo.

Penolakan yang dilakukan Ren tadi masih terbayang-bayang di pikiran Haruna. Hatinya seakan tercubit saat teringat penolakan yang membuat dadanya itu sesak. Ada sesuatu yang seakan tidak ingin di terimanya. “Padahal aku tidak pernah mengasihaninya, tapi kenapa Ren-kun bilang tidak perlu menghabiskan waktu untuk seseorang sepertinya? Dia ‘kan bukan beban bagiku...“gumam Haruna sembari menatap lurus kearah peron di seberang mereka. Ada sesuatu di mata Haruna yang membuat Masakado tidak tega melihat gadis itu. “Rasanya sakit hanya mendengarnya menyuruhku untuk pulang.“Tangannya terangkat dan mencengkram blazer sebelah kirinya.

Gadis itu menunduk, membuat helaian rambut panjangnya itu terjatuh menutup wajahnya. Masakado memiringkan kepalanya untuk melihat Haruna lebih jelas. Kacamata yang di pakai gadis itu basah. Masakado mengerjap panik. Dia segera mendekap Haruna erat agar gadis itu berhenti menangis.

“Sakit...“bisik Haruna parau masih mencengkram dadanya di balik dekapan Masakado. “Ssst... Jangan nangis. Meme hanya sedang stress. Dia tidak bermaksud untuk bicara seperti itu.“Masakado mengusap-usap punggung gadis itu, membuatnya agar lebih tenang. “Haruna... Jangan nangis lagi. Hei..”

Gadis itu masih terus terisak. Tangisannya teredam oleh dekapan Masakado yang semakin mengerat. Ada sesuatu yang Haruna rasakan ketika Masakado memeluknya. Seperti ada yang hendak di katakan cowok ini padanya lewat gesturenya. “Hiks... Aku mencintainya, Masakado. Aku harus bagaimana?”

Masakado terdiam mendengar ucapan Haruna. Ada bagian di dalam tubuhnya seakan menolak ucapan gadis itu namun Masakado tidak membalasnya, hanya diam dan berusaha menenangkan gadis di dekapannya ini.


Seharusnya aku tahu sejak dulu...