Dalam Penyembuhan : 4. Hentikan Malam Ini

ooc, typo, remake, cireng, angst

Aku tidak peduli.... Kau mau bicara apapun, aku tidak peduli... Kau tidak tahu apa yang kurasakan saat itu. Saat pertama kalinya kamu bicara begitu dingin padaku dan menyuruhku pulang. Itu terasa menyakitkan.

Tapi, aku memutuskan untuk tetap datang selama liburan musim panas. Kamu selalu menolak. Tapi, malam itu, untuk pertama kalinya aku meminta pada Tuhan untuk menghentikan malam ini. Membiarkan diriku untuk pertama kalinya melakukan hal ini.


“Ternyata benar... Meme belum cerita padamu ya.“gumam Fukazawa yang dapat di dengar oleh Haruna. Mendadak perasaannya sesak dan tidak enak. Dia menatap penuh penasaran pada cowok di depannya ini.

“Cerita apa? Maksudnya?”

“Dia punya kondisi bernama Tetralogy of Fallot. Kondisi dimana adanya kelainan pada dinding jantung, katup jantung dan pembuluh darah di dekat jantung.” Haruna menatap cowok di depannya ini datar. Matanya menatap kosong. Seakan orang di depannya ini sedang membicarakan sebuah omong kosong. “Jangan bercanda, Fukazawa- senpai...“Haruna mendesis tajam.

Fukazawa menghembuskan napasnya. “Apa aku terlihat sedang bercanda?” Haruna menatap langsung di mata Fukazawa, berusaha mencari kebohongan di baliknya namun yang di temukannya adalah keseriusan. “Haruna ingat, kan, saat Meme cerita soal operasi yang dilakukannya saat masih kecil?”

Haruna mengangguk mengingatnya. Memorinya sedikit berlarian kesana kemari ke kabar saat dia mendengar cerita Ren di operasi karena pingsan di tengah-tengah acara karyawisata ke Kyoto sewaktu dia TK. “Ternyata sejak bayi, Meme sudah punya kondisi ini. Operasi yang dilakukannya waktu itu tidak menjamin tidak akan terjadi komplikasi.” Haruna masih terus mendengarkan meskipun dia merasakan dadanya sesak dan matanya perih. “Dokter bilang operasi lagi pun tidak akan membuatnya lebih baik.”

“Jadi, mereka menyerah untuk menyembuhkan Ren-kun...?”

Fukazawa enggan menanggapi. Haruna menarik napasnya. “Teganya...”


Ini minggu kedua liburan musim panas. Sudah kesekian kalinya Haruna datang mengununjungi bahkan menginap di Yokohama bersama keluarga Ren. Ren yang saat ini masih di rumah sakit berulang kali mengabaikan Haruna yang terlihat sangat nyaman di sofa yang ada di rawat inapnya. Gadis itu tengah membaca buku Biologi dan ujian masuk universitas.

“Kenapa kamu tidak berhenti saja untuk menjagaku?“Ren kali ini berani bersuara setelah selama beberapa hari enggan membuka percakapan dengan Haruna. Gadis itu, tanpa mengalihkan pandangannya, menjawab. “Ini bagian dari latihan, kau tahu.”

Ren menyipitkan matanya menatap kearah Haruna. “Huh? Kau menganggapku kelinci percobaan?” Haruna mengalihkan pandangannya kearah Ren dan menunjukan sebuah halaman yang menujukan sebuah topik bahasan mengenai penyembuhan.“Ren-kun harus selalu berpikiran positif dan tersenyum seperti biasanya. Itu kunci untuk menyembuhkan berbagai penyakit.” kata Haruna serius.

Ren mendengkus.“Jangan bicarakan hal itu. Tahu apa kau soal hidup?” Haruna menghela napasnya dan tersenyum lembut. “Dokter boleh bilang kalau menyembuhkan Ren-kun akan sia-sia saja. Tapi yang menentukannya adalah Tuhan. Selama kita terus berusaha, Tuhan tidak akan berhenti untuk melihat kearah kita.”

Ren terdiam menatap kearah Haruna yang tetap tersenyum lembut kearahnya. Salah satu yang sangat di rindukan Ren dari gadis di depannya ini. Haruna menutup bukunya dan berjalan kearah ranjang dimana Ren terbaring di atasnya. Cowok itu tengah memposisikan dirinya untuk duduk dengan bagian kepala tempat tidurnya yang di naikan.

Haruna mencium pipi Ren sekilas sebelum beranjak dari sana untuk menghampiri Masakado dan Fukazawa yang ternyata sudah ada di luar kamar inap Ren. Sedangkan cowok yang barusan di cium pipinya oleh Haruna, nampak terpaku beberapa saat sampai akhirnya dia merasakan wajahnya memanas. Kepalanya menoleh kearah pintu rawat inap itu dan menemukan ketiga temannya tengan berbincang-bincang sebelum mereka masuk ke dalam kamar Ren.


Memburuk. Kondisinya semakin memburuk. Ren terbatuk-batuk. Napasnya tidak beraturan.

“Ngh... eghh...!” dia mencengkeram dadanya. Haruna berusaha menahan tangan Ren yang terus-terusan memukul dadanya. Mulut cowok itu terbuka dan berusaha mencari udara untuk menghilangkan sesak di dadanya.

Haruna nyaris menangis sembari memencet tombol emergency di atas tempat tidur Ren. Tubuhnya berbalik-balik, selimut di tubuhnya sudah lama terjatuh dan dia sama sekali tidak sadar. Haruna menggigit bibir. Tangannya mencengkeram tangan Ren dengan erat.

Tangan hangat Ren menjadi sangat dingin. Haruna sudah tidak bisa menahan tangisan, mengusap tangan Ren berkali-kali, berusaha untuk menghangatkan lelaki itu.

Oh ya Tuhan...

Orangtua Ren sedang bekerja. Sedangkan adik Ren, ada acara klub musim panas di sekolahnya. Haruna bingung bagaimana harus menangani kesakitan yang di derita cowok ini.

Ya Tuhan....

Kumohon...

Setelah Ren yang memberontak terus menerus karena sesak dan sakit yang menyiksa tubuhnya, tubuh cowok itu terkulai lemas dengan mata sayu nyaris terpejam. “Na-Naa-Haruna-” Ucapannya terputus ketika napasnya menghilang. Mata Haruna terbelalak. Kemana dokter-dokter dan perawat itu?!

Dia nyaris menekan bel emergency lagi yang ada di sisi ranjang Ren, namun tangan lelaki itu menangkapnya. Haruna menoleh dan melihat Ren yang menatapnya sayu.“T-tenang. Tenang.” Bibirnya bergetar ketika dia mencoba untuk tersenyum seperti biasa. “Jangan bangunkan Kimura-sensei. Dia kan baru saja menangani operasi yang sulit.”

“Tapi-”

“Ini hanya serangan ringan biasa.” Napas Ren mulai teratur. Dia menarik napas dalam-dalam selama semenit. “Tuh. Aku sudah tidak apa-apa.” senyuman lebarnya mulai muncul.

Haruna terdiam. Dia tidak buta. Tubuh Ren masih bergetar. Sesak di paru-parulelaki itu menyiksa tubuhnya. “Ren-kun...” Ren menoleh saat nama kecilnya di panggil. Dia terkejut saat merasakan pipinya basah oleh sesuatu. Di lihatnya Haruna yang menunduk di dekatnya dengan wajah penuh air mata. “Tetaplah hidup...“suaranya parau dan bergetar. Ren terkejut mendengarnya. Dia tersenyum, di ulurkannya tangannya yang besar itu dan di usapnya wajah Haruna. Cowok itu tidak berkata apapun lagi dan hanya mengusap wajah Haruna untuk membuat gadis itu tenang.

“Haruna, maafkan aku ya...” lirih Ren, sebelum memejamkan matanya dan tertidur. Haruna mengatupkan bibirnya kuat-kuat dan mengangguk. Malam itu, Haruna memutuskan untuk menemani Ren.

Oh Tuhan... Kumohon... Beri Ren-kun kekuatan...


Haruna baru saja kembali dari rumah Ren. Gadis itu membawakan sekotak bento berisi makanan kesukaan Ren. Langkahnya terhenti saat melihat orangtua Ren yang duduk di luar ruangan di temani oleh Kimura-sensei.

Gadis itu menghampiri ketiganya dan menyapa ramah. Sebelum dia pamit akan menemui Ren, ibu Ren menyuruhnya untuk duduk di tengah-tengah mereka. Haruna menatap orang-orang dewasa di sekitarnya. Tatapan mereka terlihat sedih dan kosong.

“Tante ada apa?“Haruna menoleh ke kanannya dan bertanya pada ibu Ren yang nampak menunduk menyembunyikan air matanya. Haruna tahu dia tidak akan dapat jawaban dari beliau, gadis itu menoleh kearah Kimura-sensei, seakan meminta jawaban alasan dia di tahan di sini. “Kami memutuskan untuk mengoperasi Meguro-san lagi.” Kimura-sensei bersuara untuk menjawab pertanyaan gadis itu.

Wajah Haruna berseri-seri mendengarnya. “Serius? Bukankah itu bagus?” Kimura- sensei tersenyum, beliau mengangguk. “Tapi operasi yang akan di jalani Ren-san nanti resikonya tinggi dan belum menjamin sepenuhnya kesembuhannya nanti.”

Haruna merasa dirinya melambung tinggi namun beberapa detik kemudian di jatuhkan kembali ke jurang yang dalam. Rasa sesak menyeruak di dadanya. “A-Apa Ren-kun tahu tentang ini? Apa dia masih mau menjalani operasinya penyembuhannya?”

“Demimu. Dia mau ambil resiko.“Suara ibu Ren menjawab. Haruna menoleh kearah wanita paruh baya yang masih terlihat segar itu. Haruna meremas tas berisi kotak bento yang dibuatnya untuk Ren. Ada perasaan tidak rela dan senang di hatinya yang tiba-tiba menyeruak.

Ya Tuhan... Kenapa kau memberi harapan yang berakhir menjadi sebuah kekecewaan?


Angin malam berhembus pelan. Suara-suara gemercik air di selokan menuju stasiun Yokohama itu terdengar merdu. Waktu sudah menujukan pukul setengah delapan malam. Haruna melihat kearah cowok bermantel tebal yang berjalan di sebelahnya. Dia menatap lama-lama sosok di sebelahnya ini. Sosok yang mampu membuatnya enggan untuk beranjak jauh darinya.

Ren menoleh kearah Haruna. Merasa di perhatikan oleh gadis itu. Haruna memalingkan wajahnya kearah lain. Ren tersenyum geli melihatnya. “Haaahh... Rasanya segar sekali ya. Sudah lama aku tidak jalan-jalan keluar begini.“kata Ren memecah keheningan. Ren meminta izin Kimura-sensei untuk mengantar Haruna ke stasiun, karena liburan musim panas akan berakhir dan gadis itu harus segera mempersiapkan untuk masuk sekolah lagi.

“Hm.“balas Haruna pelan. Mereka berjalan memasuki stasiun Yokohama. Keduanya kini berada di tengah-tengah peron stasiun. Haruna mengambil tasnya dari tangan Ren dan merunduk.

“Arigatou.“gumamnya. Ren mengangguk. Kemudian hening. “Ren-kun...” “Hm?” “Kamu... Mengambil keputusan itu?“tanya Haruna. Dia berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar. Ren menaikan sebelah alisnya. Nampak bingung sesaat kemudian dia tersenyum dan mengangguk.

“Kenapa? Kamu tahu kan resikonya?“ujar Haruna cemas. Dia menatap langsung ke manik Ren, berusaha untuk mencari keraguan di sana, namun yang di temukannya adalah kesungguhan. “Kita nggak bakalan tahu hasilnya kalau belum mencoba, Haruna-chan.“sahut Ren.

Haruna menggeleng. Air matanya mengalir membasahi wajahnya yang manis. Ren mendadak tidak tega melihat gadis yang di sayanginya ini menangis. “Bagaimana kalau ternyata gagal? Aku gak mau kehilangan orang yang kusayangi untuk kedua kalinya.“Haruna terisak. Gadis itu merutuki dirinya kenapa mudah sekali menangis di saat seperti ini. “Gak mau, Ren-kun...”

Setelahnya, Haruna merasakan tubuhnya di dekap erat oleh tubuh tinggi seseorang. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di balik dada Ren, membiarkan tangisannya semakin keras agar Ren tahu bawa dia tidak ingin kehilangan cowok itu. Ren tahu kalau gadis ini sudah kehilangan kakak lelakinya. Seseorang kakak yang sangat di sayanginya itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

“Ssst... Haruna.. Jangan nangis, dong. Malu, udah besar juga.“Kata Ren menggoda gadis di dekapannya ini. Di usapnya punggung gadis berambut sebahu lebih ini. “Ne, kamu percaya kan? Tuhan pasti punya rencana hebat di balik semua ini.“ucap Ren pelan. Matanya menerawang, seakan berusaha menjangkau sesuatu yang jauh.

Tangisannya semakin keras, Haruna semakin membenamkan wajahnya di dada Ren. Selama beberapa saat mereka terus berpelukan seperti itu. Beruntungnya tidak begitu banyak penumpang di stasiun itu. Tentu saja. Haruna akan naik kereta terakhir ke Tokyo. Ren menghembuskan napasnya dan tersenyum lembut. “Aku mencintaimu.” Tangisan Haruna berhenti saat itu juga, saat dimana Ren berbisik lembut di dekat telinganya.

Haruna tersenyum di balik isakannya. “Aku tidak perlu mengatakannya lagi, Ren-kun. Sudah jelas aku mencintaimu!“gerutu Haruna pelan. Ren tertawa. Di lepaskannya pelukannya saat mendengar pemberitahuan mengenai kereta terakhir yang akan Haruna naiki akan segera tiba.

Ren mengusap wajah Haruna yang basah. Cowok itu terlihat menahan tawanya melihat wajah lucu Haruna. Haruna mengerucutkan bibirnya dan memukul bahu Ren kesal. “Bercanda. Jangan marah begitu.”

“Ren-kun...” “Ya?” “Kalau sudah selesai dengan operasi ini, kembalilah ke Tokyo dan sekolah lagi.” Ren tertawa mendengarnya. Di acak-acakannya rambut Haruna gemas. “Iya, dong. Kan aku masih harus lulus SMA.”

Sekali lagi, Haruna memandangi cukup lama wajah cowok di depannya ini. Tanpa sadar, dia mendekatkan tubuhnya kearah Ren dam berjinjit sedikit untuk mendekatkan wajahnya ke wajah Ren, sedetik kemudian bibir keduanya bertemu. Haruna memejamkan matanya dan mengalungkan kedua tangannya di leher Ren.

Cowok itu membelalakan matanya dengan terkejut saat merasakan kelembutan dan kehangatan di bibirnya. Namun, Haruna yang terlihat enggan untuk melepaskannya membuat Ren membalas ciuman itu. Dia memeluk erat pinggang Haruna.

Haruna terisak pelan di dalam ciuman itu. Entah mengapa ciuman pertama mereka terasa pahit dan sangat menyakitkan.

Tuhan... Bisakah Engkau hentikan malam ini...