Dibalik Silent Treatment

Aku menghela napas. Sedikit beranya-tanya kenapa aku malah sibuk memandangi layar ponselku, sementara aku mengabaikan makan siang yang sudah susah payah kubuat ini. Bahkan sampai harus mengorbankan waktu tidurku yang berharga.

Kepalaku menggeleng, kumatikan ponselku dan kembali fokus dengan makanan yang ada dihadapanku. Tidak baik mengabaikan makanan. Begitu pikirku.

“Ah, sial.” Tanpa sadar, aku menggerutu. Andai saja selama seminggu ini dia tidak mengabaikanku mungkin aku tidak perlu uring-uringan seperti ini.

Selain itu, aku juga bingung penyebab dari silent treatment yang dia berikan padaku selama seminggu ini. Dia tidak biasanya mengabaikan semua chatku, bahkan saat bertemu pun hanya saling bersitatap tanpa bertukar kabar. Dia kira aku ini cenayang kah?

Ah, dia yang kumaksud ini Daigo Nishihata. Kami sudah berpacaran kurang lebih tiga tahun dengan pertemuan pertama kali di toko kue. Saat itu aku sedang diminta Shachou untuk mencari wagashi atau paling tidak kue tart untuk agenda meeting hari itu.

Kami tidak sengaja sama-sama menunjuk kearah kue yang kami incar. Meski aku hanya melihatnya dari layar, aku tahu bahwa itu dirinya hanya lewat sepasang matanya. Dia, Nishihata Daigo.

“Ah, silahkan. Kamu duluan saja.” katanya. Aku sempat terdiam saat itu. Terlalu takjub hingga tidak yakin apakah aku sedang bermimpi atau tidak bertemu dengannya saat ini.

“Tidak apa-apa?” Sosok yang secara diam-diam akrab kusapa 'pata' itu mengangguk. Kedua matanya menyipit membentuk garis, menandakan bibir di balik masker itu sedang membentuk bulan sabit.

Aku merunduk sopan dan melanjutkan pesananku. Anehnya, setelah itu aku lebih sering berpapasan dengannya. Entah skenario Tuhan macam apa yang sedang kujalani tapi aku tidak protes sedikitpun.

Lamunanku buyar saat seorang kolega memanggil namaku. “Hato! Ada tamu yang mencarimu.” Aku mengernyit, segera menyelesaikan makan siangku dan beranjak ke lobby. Tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada kolega yang sudah memberitahuku.

Langkahku terhenti. Dia disini! Aku mengembungkan sedikit pipiku, mengatur napas dan juga ekspresiku. Setidaknya aku harus berusaha bersikap bahwa tidak ada yang terjadi, meski hari itu aku benar-benar ingin mengakhiri silent treatment ini.

“Kau disini.” kataku padanya. “Ada apa?” lanjutku.

“Hato pulang jam berapa?” Dadaku berdesir. Aku sempat termenung dalam diamku begitu mendengar suaranya setelah sekian lama. padahal baru seminggu!

“Seperti biasa. Lagian, kenapa kamu gak ngechat aja sih? Repot-repot kemari.” Aku menjawab dengan senormal mungkin.

Sosok Nishihata Daigo dengan penyamarannya itu mengedikkan bahu. “Tidak tahu. Aku hanya mau melihatmu.” kata pata dengan santai.

Aku menggigit bibir bagian dalamku dan menggerutu dalam hati. “Baiklah.”

“Ya sudah. Nanti aku jemput lagi di jam biasanya, ya.” katanya sebelum beranjak. Sebelum benar-benar pergi, tangannya yang terasa sangat pas di genggamanku itu meraih tanganku dan meremasnya lembut.

Saat itu juga aku bisa berubah menjadi jeli.


Sudah lima belas menit lewat kami berdiam dalam posisi masing-masing. Duduk bersebelahan diatas sofa sambil menonton televisi. Oh, silent treatmentnya masih berlangsung rupanya. Aku menghembuskan napas pelan.

Mataku melihat kearah semangkuk permen Hi-Chew. Sayang sekali, permen itu di luar jangkauanku.

“Pata, tolong ambilin satu permennya.” Bukannya mengambilkan, lelaki bermarga Nishihata itu malah mendekatkan wajahnya padaku. Aku refleks mundur dari jangkauannya. Terkejut.

“Nih.” Mataku melihat tepat kearah bibirnya, tempat dimana dia mengapit perman diantara bibir atas dan bawahnya.

Wajahku memanas. Aku berdecak. “Aku tidak mau yang itu.” kataku kemudian mendorongnya sedikit untuk menyingkir dan mengambil permen itu dari tempatnya.

“Kalau Shintaro yang melakukannya Hato mau?”

“Hah?”

Aku mengerjap. Bilang apa dia barusan? Aku menatap lamat-lamat lelaki bernama Daigo ini, melihat ekspresi cemberutnya yang seperti anak kecil. Menggemaskan.

“Kenapa bawa-bawa Morimoto-kun?” tanyaku heran.

“Kau bertemu dengannya seminggu yang lalu. Di tempat kita pertama kali bertemu. Kalian sangat akrab...” Suara pata memelan di akhir. Aku menahan senyuman yang hendak merekah di wajahku.

“Kau cemburu, pata?” tanyaku, mendekat kearahnya. Pata langsung memalingkan wajahnya dariku. Kali ini aku tidak bisa menghentikan senyum geliku.

“Padahal kamu tahu sendiri, aku tidak bisa berpaling darimu,” kataku. Aku sedikit kesal mengingat bagaimana dia memperlakukanku saat sedang cemburu dan itu benar-benar bukan sesuatu yang bagus. “padahal kamu tinggal bilang padaku kalau cemburu. Tidak perlu melakukan silent treatment seperti kemarin.” lanjutku.

pata langsung menoleh kearahku dengan terkejut. Sepasang matanya yang bulat mengerjap. Kepalanya sedikit menunduk, sebelum akhirnya mengucapkan, “Maafkan aku. Aku... Aku hanya takut tiba-tiba bersikap kasar padamu hari itu. Jadi, aku coba untuk menenangkan diri... Tapi, ternyata malah membuatmu salah paham...”

Aku tersenyum. Kuraih tangan pata dan kugenggam. “Aku tidak masalah pata mau menenangkan diri beberapa saat tapi tolong bilang padaku agar kita tidak saling menduga-duga. Aku juga sebisa mungkin menjaga jarak dengan lawan jenis di sekitarku.”

Pata tersenyum. “Rasanya aku semakin menyayangimu...” Tangannya terulur untuk mendekap tubuhku. Aku tersenyum tipis.

Aku juga semakin menyayangimu, Daigo Nishihata.

Kupenjamkan mata sejenak, menyesap dalam-dalam aromanya yang menenangkan. Berdoa semoga saat kubuka mata ini bukan sekedar mimpi dalam tidur yang panjang.