Dibawah Langit Berwarna Sakura Bagian 3: Perhatian
ShoppiAiri, Fluff, School AU, Typo
Airi mengernyit begitu dia menemukan sekotak karton ukuran 350ml berisi susu rasa cokelat. Dari mana Airi tahu rasanya? Karena begitu yang tertulis di sampul kotak tersebut. Perempuan bermarga Minamoto itu mengembungkan pipinya. Begitu dia mengganti sepatunya dengan uwabaki miliknya dan menutup pintu loker sepatunya, dia nyaris merasakan jantungnya lompat pindah ke bagian lain. Airi melihat Watanabe Shota sudah bersandar pada pintu loker yang lain dan menoleh padanya, tersenyum.
“Kau suka susunya?” tanya Shota yang mengundang, alis Airi sebelah naik dan perempuan itu ikut menyandarkan tubuh dengan menghadap kearah lelaki itu. “Dicoba saja belum.” Katanya dengan sinis. Shota tertawa. “Sama seperti hubungan dan perasaan kita,” Shota meraih tangan Airi membuat Airi sedikit terkejut. “belum dicoba tapi kau sudah menolakku.” Lanjutnya.
Airi mengerjap. Dia berdecak dan menepis tangan Shota yang menggenggam tangannya. “Kau ini sangat pemaksa.” Gerutu Airi kesal seraya berlalu sementara Shota mengikuti langkahnya.
“Ini bukan pemaksaan, Airi, ini namanya usaha.” Airi berdecak begitu dia mendengar Shota memanggilnya dengan nama kecilnya. “Aku belum mengizinkanmu untuk memanggilku dengan nama kecilku, ya, Watanabe.” Kata Airi.
“Tapi, aku sudah mengizinkanmu memanggilku “Shota.” panggil aku “sayang” pun aku tidak keberatan.” Beberapa siswa yang melewati mereka sempat berbisik-bisik dengan senyuman tertahan begitu mendengar kalimat yang dilontarkan Shota. Airi menggeram pelan. Dia menarik siku Shota untuk memojok di ujung perbatasan tangga lantai dua dengan tiga.
“Astaga, Airi, kalau kau ingin bermesraan, setidaknya jangan di tangga seko—aduh!” Shota langsung menangkup mulutnya begitu merasakan Airi memukul pelan bibirnya yang sedari tadi berisik.
“Dengar ya, Watanabe, aku tidak peduli kau mau berbuat apa, dengan siapa, asal jangan kau ganggu aku.” Kata Airi dengan mengintimidasi. Shota terdiam sejenak memandangi wajah perempuan di depannya ini, dia tersenyum tipis.
“Tidak mau. Aku tidak mau berhenti memberikan perhatian pada Airi.” Katanya. Airi memejamkan matanya, menarik napas dan menghembuskannya pelan untuk meredakan sedikit emosi yang naik ke permukaan. Orang seperti Watanabe Shota akan sulit untuk diperingatkan dengan kata-kata.
“Baiklah. Lakukan sesukamu. Aku tidak peduli.” Tukas Airi sebelum akhirnya dia menaiki tangga menuju kelasnya dengan langkah cepat, meninggalkan Shota yang masih merasakan jantungnya berdetak cepat kerena dipojokkan oleh Airi.
Cinta benar-benar membuatnya lemas.
“Jadi, kau menolak Shoppi?” Airi langsung melirik tajam nan galak kearah Koji yang sedang menikmati udonnya. “Bisa gak usah ngomongin dia gak?” ujarnya kesal. Koji dan Tsuki tertawa melihat Airi yang langsung kesal begitu nama Shota disebut.
“Habisnya lucu sekali. Tiba-tiba dia menyatakan perasaan padamu begitu, apa tidak kaget?” kata Koji. “Padahal sudah kusarankan untuk mendekatimu dulu. Ini langsung main tembak.” Airi semakin menatap galak kearah Koji.
“Jadi, ini ulahmu, Mukai?” tanya Airi. Koji tahu bahwa nada bicara Airi yang rendah nan mengintimidasi itu adalah tanda-tanda bahaya. Dia langsung pindah duduk di samping Tsuki yang duduk di depan Airi dan menggeser udonnya, menyelamatkan makanannya dari amukan Airi.
“Tidak juga...” katanya dengan suara pelan. Airi sudah akan menerkam Koji kalau saja dia seekor Singa saat itu. Airi menghembuskan napas kesal, mengembungkan pipinya.
“Tapi, kalau kak Yuto yang begitu padaku, aku akan langsung terima saja.” Kata Tsuki yang tiba-tiba merubah subjek meski topiknya masih sama. Koji dan Airi langsung menatap Tsuki dengan prihatin. Airi tersenyum penuh simpatik sementara Koji seraya menyeruput udonnya menautkan alisnya dengan ekspresi sedih.
Tsuki langsung mengerutkan kening dengan sebal. “Apa-apaan wajah kalian itu?”
Watanabe Shota benar-benar melakukan apapun yang dia suka. Yaitu, memberi perhatian lebih pada Airi. Beberapa kali Airi yang sedang malas mengantri di kantin untuk membeli minum, malah diberikan sebotol air perasa lemon yang kondisinya seperti baru keluar dari mesin pendingin. Atau sesekali Shota membantunya membawa buku-buku kembali ke perpustakaan. Terkadang kalau kelas mereka punya jadwal bentrok di suatu ruangan khusus, Shota akan jadi yang pertama membantunya menyelesaikan tugasnya. Oh, perlu diingat di tahun terakhir mereka bersekolah sebagai siswa SMA itu, Shota, Koji, Tsuki, dan Airi sekelas. Airi tidak paham kutukan macam apa yang sedang mengikutinya ini.
Airi sedang sendirian di kelasnya saat jam makan siang itu. Dia tidak ikut dengan Koji dan Tsuki yang sudah ngacir ke kantin untuk membeli makan siang. Hari itu, dia dibawakan bekal oleh tantenya. Airi tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia jarang sekali dibuatkan bekal oleh tantenya, selain karena tantenya sibuk. Airi terlalu malas untuk masak sendiri.
Saat dia sedang menikmati makan siangnya tanpa menunggu kedatangan Koji dan Tsuki seperti biasa, Shota datang dan menggeser kursi di depan Airi. Lelaki itu meletakan sebotol minuman perisa lemon dan roti krim keju di atas meja Airi yang sisinya masih kosong. “Apa ini?” tanya Airi ketus.
Shota tersenyum kearahnya. “Buatmu, aku kelebihan belinya.” Airi merotasi bola matanya. Shota selalu saja beralasan seperti itu untuk memberinya sesuatu. Lelaki ini terlalu banyak uang atau bagaimana? Tsuki yang pada dasarnya adalah anak keluarga Matsumoto saja sangat menjaga uangnya. Dia bilang, suatu saat dia akan membeli saham agensi idol yang menaungi ayahnya bekerja di dunia hiburan saat ini. Ada-ada saja perempuan satu itu.
“Shoppi!” Suara seseorang memanggil nama lelaki yang duduk di depan Airi saat ini. Kedua manusia itu menoleh kearah pintu ruang kelas dan menemukan Kyomoto Taiga berdiri di depan kelas seraya melambaikan tangan. “Latihan!” katanya. Shota terlihat menepuk keningnya. Seakan-akan dia lupa akan sesuatu.
“Dimakan dan diminum ya!” kata Shota sembari menepuk kepala Airi, menimbulkan percikan-percikan aneh yang baru pertama kali Airi rasakan setelah sekian lamanya. Sebelum beranjak Airi memanggil Shota. “Lomba lagi?” tanya Airi membuat gerakan Shota yang hendak beranjak dari duduknya jadi tertunda. Lelaki itu hanya tersenyum. Dia kali ini benar-benar berdiri dan menepuk-nepuk kepala Airi.
“Makan yang banyak! Aku pergi dulu yaa~!” katanya. Lelaki itu segera menghampiri Taiga yang sudah menunggu tak sabaran di depan pintu. Airi cukup lama memandangi kepergian Shota, begitu dia sadar, pandangannya sudah menatap begitu lama pada roti krim keju dan juga minuman dingin perisa lemon favoritnya.
Airi meraih botol berukuran 500ml itu dan memandanginya sejenak. Tak lama, Koji dan Tsuki datang dengan napas terengah. Sepertinya pertarungan di kantin semakin sengit. Keduanya nampak membawa bungkusan berisi jajanan mereka hari itu.
Koji dan Tsuki yang sudah menarik meja dan kursi mereka untuk menyatu dengan meja Airi mengernyit memandangi sang sahabat yang sedang memandangi botol minum itu. Sebelum Koji ataupun Tsuki bersuara, “Koji, kau memberitahunya minuman atau buah favoritku?” tanya Airi.
Koji mengerjap. Awalnya dia bingung siapa ‘nya’ yang dimaksud oleh Airi. Tapi, begitu dia melihat sebuah roti krim keju di atas meja Airi, dia tahu siapa yang dimaksud oleh sahabatnya itu. “Tidak. Mungkin dia cari tahu sendiri.” Jawab Koji.
Airi mengangguk pelan. Kali ini, pandangannya sudah terfokus pada kedua sahabatnya yang sekarang sedang tersenyum penuh rasa curiga pada sang sahabat bermarga Minamoto ini, membuat Airi bergidik ngeri. “Kenapa kalian ini?”
“Minamoto-senpai, kami duluan yaa!” Dua orang anggota panahan di ruangan itu pamit pada Airi yang masih merapikan peralatan praktek mereka hari itu. Airi mengangguk seraya melambaikan tangan dan tersenyum. Dia yang bertugas piket hari itu, jadi dia harus tinggal selama beberapa saat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai anggota klub panahan meski dia sudah kelas tiga. Tahun terakhir.
Meski warna langit sudah berubah jingga, Airi tidak menghentikan kegiatannya. Dia duduk sebentar di tengah ruangan latihan itu, memandangi setiap sudut ruangan terbuka itu. Seulas senyum terukir di wajahnya. Sudah dua tahun setengah dia masuk klub ini dan juga tidak jarang juga dia menyumbang medali untuk sekolahnya.
Sebelum kelulusan nanti bahkan, dia sudah diminta oleh pelatihnya untuk menjadi orang yang melakukan atraksi sebagai bentuk partisipasi klub mereka di acara kelulusan. Tapi, Airi masih perlu memikirkan hal itu. Lagipula masih ada adik kelas yang lebih jago dan akan bagus untuk mereka unjuk kebolehan di acara sekolah itu. Lamunan Airi terpecah kala mendengar suara ribut dari luar ruangan. Dengan sigap, Airi mengambil panahan terdekat yang belum dia sempat rapihkan dan juga sebilah anak panah dan siap diarahkan ke pintu masuk ruangan latihan.
“Siapa disana?” Tidak ada jawaban. Airi mengernyit. Dia mendekat perlahan. “Kalau tidak jawab, aku tembak dengan anak panah!”
“Ini aku, aku!”
Airi terkejut mendengar suara yang sangat dia hapal itu, sosok lelaki yang jas sekolahmya sudah dilepas itu mengintip dari balik pintu ruangan dan tersenyum canggung. Airi menghembuskan napasnya dan langsung menurunkan panahannya. Dia mengembalikan perlengkapan itu ke tempatnya semula dan menghampiri Watanabe Shota yang sekarang sudah berdiri di ruangan latihan terbuka klub panahan itu.
“Kenapa kau masih disini?” tanya Airi. Perempuan itu sedikit mendongak untuk melihat kearah Shota yang tinggi menjulang darinya. Shota tersenyum. “Aku menunggumu.” Katanya.
Kening Airi jelas bertaut bingung. Apa pula lelaki ini menungguinya? “Aku bisa pulang sendiri, Watanabe.” Kata Airi. Shota menggeleng membuat poni yang menutupi keningnya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Lelaki itu mengembungkan pipinya.
“Perempuan tidak boleh pulang sendirian.” Airi merotasi bola matanya. Padahal dia sudah terbiasa untuk pulang semalam apapun. Tantenya tidak mempermasalahkan hal itu karena percaya Airi adalah anak yang baik-baik.
“Kau lupa, kepala sekolah tadi siang mengumumkan untuk jangan pulang larut malam karena sedang ramai penculikan dan pembunuhan anak muda.” Kata Shota. Airi mengerjap. Ah, dia lupa akan itu. Airi juga tidak terlalu mendengar pengumumannya karena sedang fokus mengerjakan tugas rumahnya yang terlambat dia kerjakan tadi.
“Jadi, hari ini aku akan mengantarkanmu pulang.” Kata Shota dengan senyuman di wajahnya. Lelaki ini pasti senang sekali bisa mengantarkan pulang kesayangannya. Airi menghela napas. Tidak ada pilihan lain. Pasti kakak sepupunya juga sedang sibuk dan tidak bisa Airi asal minta tolong di jemput. Dia sudah delapan belas tahun.
“Baiklah.” Kata Airi. Shota terlihat melompat kecil dengan senang. Senyumannya melebar berbarengan dengan senyum di wajah Airi yang berkembang tipis.
Keduanya berjalan bersebelahan keluar dari pekarangan sekolah selepas Airi menyerahkan kunci ruangan pada satpam yang berjaga di sekolah. Sementara Shota sibuk bersiul dan juga bersenandung dengan riang untuk memecah keheningan yang entah kenapa malam itu sangat sepi dari biasanya. padahal jalanan menuju rumah Airi tidak pernah sesepi ini.
Airi baru ingat, tadi Koji dan Tsuki juga menawarinya untuk menemani Airi beberes karena akan memakan waktu lama untuk melakukan piket hariannya tapi Airi menolak karena dia tidak mau merepotkan Koji dan Tsuki, lalu membuat keduanya jadi terlambat pulang.
Airi menoleh kearah Shota yang sedang berjalan di sebelahnya. “Kau tidak apa-apa pulang terlambat?” tanya Airi. Shota menatap kearah Airi yang langsung Airi buang pandangannya kearah lain. “Itu pertanyaan yang harus kutanyakan padamu, Airi.” Kata Shota.
Airi terkekeh pelan. “Aku sudah biasa pulang malam. Kadang-kadang aku harus mampir ke perpustakaan untuk meminjam buku bacaan atau DVD film.” Katanya. Shota mengangguk pelan. “Begitu. Lain kali ajak aku saja kalau kau merasa kesepian ya.” kata Shota dengan senyuman di wajahnya.
Kesepian ya... Airi menggumam pelan dalam hati. Dia tersenyum tipis yang terkesan masam. Dia tidak lagi membuka percakapan dengan Shota. Perjalanan mereka entah mengapa terasa begitu lambat dan Airi tidak suka suasana yang semakin mencekam meskipun dia tidak sendirian saat itu.
“Airi, awas!” Shota menarik Airi menyingkir begitu lelaki itu mendapati seseorang dengan sepeda yang dikendarainya mendekat dan mengeluarkan sebuah pisau lipat. Shota meringis merasakan pisau itu menggores punggung tangannya. Airi sempat terdiam beberapa saat karena sedikit shock. Dia menoleh ke depan dimana sang pesepeda itu sudah menghilang dari pandangan mereka.
Emosi Airi langsung berubah menjadi panik begitu dia melihat luka yang disebabkan sayatan benda tajam itu mengeluarkan darah cukup banyak. “Airi, kau tidak apa-apa?” tanya Shota. Lelaki itu memeriksa kondisi Airi dengan memegangi kedua bahunya dan menelisik kondisi orang yang disukainya ini. Airi berdecak.
“Kau pikirkan dirimu sendiri, Watanabe!” Airi mengeluarkan sapu tangan dari saku jas seragamnya dan mencoba menahan aliran darah yang terus keluar. Saat itu juga, Airi merasakan dadanya sesak dan potongan ingatan yang menyakitkan itu menyerangnya.
“Kita harus cari klinik terdekat. Pesepeda sialan.” Gerutu Airi. Dia menarik Shota untuk berjalan cepat, meskipun Shota sudah bilang berulang kali bahwa dia baik-baik saja. Lukanya tidak begitu sakit.
Beruntungnya tidak jauh dari sana ada klinik dan Shota bisa langsung diobati lukanya. Sang dokter yang ternyata sudah cukup sepuh memperingatkan mereka untuk lebih menjaga diri karena sedang ramai sekali kejadian seperti ini.
Baik Shota maupun Airi sekarang sedang duduk di ruang tunggu. Airi akhirnya mengirimi pesan balasan pada kakak sepupunya, begitu dia dikirimi pesan oleh sang kakak. “Maafkan aku.” Kata Airi pelan. Shota menatap Airi sejenak dengan alis bertaut. Sementara Airi masih memandangi luka sayatan yang sekarang sudah diperban itu. Shota ikut melihat kearah lukanya dan tertawa pelan untuk menenangkan Airi.
“Aku baik-baik saja, Airi. Tenang.” Katanya. Airi tidak lagi menjawab. Keheningan panjang diantara keduanya. “Kau sendiri, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Shota seraya meraih tangan Airi yang dia lihat sedikit gemetar.
Airi menatap Shota. Keduanya bersitatap sejenak. Airi menatap sendu. Dia menggeleng pelan. “Aku juga baik.” Katanya. Shota tertawa kecil. Dia menyentuh lembut hidung Airi dan mendekatkan wajahnya, mensejajarkan pandangan mereka. “Kau bukan pembohong yang jago, Airi.”
Airi meringis. “Aku tidak apa-apa. Kita tidak apa-apa.” Kata Shota terus menenangi Airi. Airi merasakan tangan Shota yang menggenggamnya mengerat.
Tidak. Bukan itu lagi yang mengganggunya. Tapi, kenangan masa lalu yang masih terekam jelas diingatannya membuat Airi tidak bisa tidak gemetar saat itu. Tapi, jelas dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Shota. Shota baginya masih orang asing.
“Airi!” Perempuan bermarga Minamoto itu mendongak begitu dia mendengar suara seseorang memanggil namanya dan suara lonceng dari klinik kecil itu berbunyi. Shota melihat sosok lelaki jangkung dengan kulit pucat dan juga wajah cukup tampan itu menghampiri Airi dengan cemas.
“Kak Tama...” panggil Airi pelan. Sosok yang dipanggil kakak oleh Airi itu, langsung duduk di samping kanan Airi dan merangkulnya. Shota sedikit menatap miring kearah lelaki jangkung yang main asal rangkul kesayangannya ini. Sosok itu akhirnya menyadari keberadaannya. “Hai, aku kakak sepupunya Airi, Tamamori Yuta.” Katanya. Ekspresi Shota kembali melunak. Dia tersenyum seraya merunduk sopan.
“Ah, doumo. Watanabe Shota, kak.” Kata Shota memperkenalkan dirinya. Tama tersenyum kearah Shota dan juga berterima kasih padanya karena sudah mau menemani Airi pulang. Lelaki itu juga yang membayar biaya perawatan Shota. Dia juga meminta maaf karena sudah membuat lelaki itu mengalami kejadian tidak mengenakkan ini.
Shota jelas mengatakan tidak masalah. Dia dengan senang hati pulang pergi sekolah bersama Airi jika diperlukan. Tama hanya terkekeh sebelum akhirnya pamit bersama Airi untuk pulang setelah memastikan bahwa Shota baik-baik saja untuk pulang sendiri.
Shota sedikit penasaran begitu melihat Airi yang terdiam selama Tama berbicara padanya. Perempuan itu seperti tidak ada disana. Tapi, dia berpikir mungkin Airi masih shock karena penyerangan itu. setidaknya Airi baik-baik saja meski dia yang harus terluka.
Sepulang dari dijemput oleh Tama, Airi langsung masuk ke kamarnya, membersihkan dirinya di kamar mandi sementara Tama yang mengurus kejelasan pada ibunya soal adik sepupunya itu. Airi tidak langsung tidur begitu dia selesai dengan bebersih diri.
Ada pesan masuk dari kontak LINE Shota, menanyakan kondisinya. Airi hanya menatap kosong pada layar ponselnya itu. Dia malah menarik laci meja belajarnya, sedikit mengacak-acak isi di dalam laci itu sebelum menemukan sebuah botol kapsul yang expired datenya masih dua tahun lagi. Botol itu masih banyak isinya karena Airi tidak pernah meminumnya lagi.
Jadi, aku harus meminum ini lagi?
Sementara bayangan-bayangan tentang kejadian masa kecil yang pernah menimpanya terus berdatangan bagai rekaman rusak, mengganggu pandangan Airi hingga perempuan itu jatuh terduduk dan meringkuk disana, terisak pelan. Tama juga memintanya untuk meminum obat itu jika Airi mengalami masa-masa seperti ini lagi.
Pintu kamarnya terbuka dan terlihat Tama yang sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana panjangnya, masuk dan memeluk Airi erat, menenangkan perempuan itu. Tama tahu bahwa Airi akan kembali masuk ke fase ini begitu ada seseorang yang mencoba melindunginya dan berakhir dengan kejadian berdarah.
“Sudah, Airi, itu bukan salahmu. Kejadiannya sudah lama lewat.”
Ya. Kejadian yang merupakan kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya.