Dibawah Langit Berwarna Sakura Bagian 4: How i Fallin in Love With You.

ShoppiAiri, Typo


Watanabe Shota tidak asal saja melabuhkan perasaannya pada seorang wanita. Dia bukan tipe pria yang akan mudah jatuh cinta pada setiap perempuan yang ditemuinya. Baginya, prinsipnya, sekali seumur hidup jika memang berjodoh. Selama 18 tahun hidup, Shota belum pernah jatuh cinta yang sampai membuatnya begitu senang bukan kepalang saat melihat sosoknya itu. Rela berdesak-desakkan di kantin yang ramai saat jam makan siang demi membelikan minuman kesukaan perempuannya. Itu sangat bukan Shota. Tapi, disinilah kita.

Melihat Watanabe Shota yang begitu bucin pada Minamoto Airi meski perempuan itu sudah menolaknya. Dia sama sekali tidak gentar untuk mendekati perempuan itu. Lagian salahnya juga karena main menyatakan perasaan tanpa memberikan kesempatan untuk Airi mengenalnya lebih dulu. Perasaan Shota terlalu menggebu-gebu pada perempuan itu.

Lalu, bagaimana pertemuan yang membuat Watanabe Shota jatuh cinta pada Minamoto Airi?

Kelas satu SMA. Waktu itu Shota masih menjadi murid yang rajin mengunjungi perpustakaan. Kalau tidak untuk tidur, dia akan iseng membaca buku yang ada disana. Saat itu perpustakaan sedang cukup sepi. Shota sedang menelusuri rak demi rak mencari bacaan yang judul dan sampul yang menarik perhatiannya. Awalnya dia tidak sadar gerakannya seirama dengan sosok perempuan berambut panjang yang gaya rambutnya diikat model half up bun dengan kunciran scarf scrunchie berwarna biru dongker. Jemari keduanya bahkan mengikuti alur buku yang tertata disana seraya memperhatikan dengan serius setiap judul di sisi buku-buku itu.

Hingga keduanya sama-sama berhenti. Seakan-akan berdiri berhadapan, Shota dan perempuan itu mengambil buku di jalur yang sama meski berbeda rak. Keduanya terdiam selama beberapa saat. Bersamaan Shota dan Airi saling bertukar pandang. Shota tidak langsung menyapa Airi, tapi perempuan itu tersenyum kearahnya dan merunduk sopan. Setelahnya, Airi tetap di posisinya dan meneliti buku yang diambilnya.

Berbeda dengan Shota yang malah memperhatikan Airi lebih lama, menelusuri setiap garis wajah perempuan itu bersamaan dengan detakan jantungnya yang menjadi abnormal dan sensasi geli di perutnya serta wajahnya yang sedikit terasa panas. Lamunan Shota langsung terbuyarkan begitu Airi pergi dari hadapannya dan menuju meja pustakawan. Shota benar-benar mengikuti gerak-gerik Airi saat itu.

Perempuan bernama lengkap Minamoto Airi setelah Shota tadi melirik kearah nametag yang tersemat di jasnya, itu berhenti berjalan keluar begitu sampai di depan pintu perpustakaan. Shota terkejut kala Airi menoleh kearahnya lagi. Shota buru-buru membalikkan tubuh dan memeluk buku yang dia ambil tadi erat-erat.

Seulas senyum terukir di wajahnya. Sepertinya Shota jatuh cinta pada perempuan itu.


Airi terkejut begitu pagi harinya dia dihampiri Shota yang terlihat baik-baik saja setelah penyerangan tadi malam. Tangan lelaki itu masih diperban jika dilihat dari jas yang dikenakannya di bagian punggung tangan sedikit mengembung.

“Ohayou, Airi.” Sapa Shota, meletakan sekotak susu perisa lemon yang jarang sekali Airi temukan. Airi menatap sekotak susu itu sejenak, kemudian menatap Shota sejenak. “Bagaimana dengan tanganmu?” tanya Airi tanpa sadar. Shota mengerjap selama beberapa saat, dia menyentuh punggung tangannya dan tersenyum. “Sudah tidak apa-apa. Orangtuaku juga tidak memarahiku. Memang sedang musim rawan.” Kata Shota, bermaksud untuk membuat Airi tenang.

Tapi, kenyataannya tidak seperti itu. Airi masih merasa bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri atas luka yang didapatkan oleh Shota. perempuan itu tanpa sadar mengulurkan tangannya pada punggung tangan Shota dan mengusapnya pelan. “Tidak sakit?” tanyanya. Shota menggeleng dengan wajah kebingungan. Airi tersenyum tipis. Dia menarik tangannya kembali dan mengambil sekotak susu karton berukuran 350 ml yang diberikan Shota pagi itu.

“Terima kasih susunya. Aku jarang sekali menemukan rasa ini.” kata Airi. Perempuan itu menggoyangkan kotak itu dan menyimpannya pada laci mejanya. Shota sempat terdiam selama beberapa saat sebelum senyumannya semakin melebar. Dia langsung bersimpuh dengan bertopang dagu di atas meja Airi, membuat perempuan itu agak terkejut dengan tingkah Shota yang tiba-tiba itu. “Apakah ini artinya kau mulai menerimaku?” tanya Shota dengan semangat. Airi mengerjap. Wajahnya sedikit terasa panas dan jantungnya berdetak kencang.

Airi berdehem-dehem. Dia hanya menggerakkan lehernya dengan kaku dan menghindari tatapan Shota, tidak menjawab pertanyaan sang lelaki. Sementara Shota tidak hentinya tersenyum lebar padanya. Lelaki itu kembali berdiri dan melompat dengan senang. Shota mendekat kearah jendela kelas yang terbuka. “Aku semakin menyukai Airi!!”

Airi mengepalkan tangannya di udara, gemas dengan tingkah Shota yang tiba-tiba berteriak seperti orang gila di pagi hari itu. “Berisik, Watanabe!!” Seru Airi kesal. Shota hanya terkekeh dan berjalan keluar kelas dengan langkahnya yang melompat-lompat kecil. Bel masuk memang belum berbunyi jadi beberapa siswa masih ada yang di lorong kelas.

Airi menghembuskan napasnya. Dia terkejut begitu merasakan colekan di pundaknya. Dia terkejut mendapati Tsuki yang sudah menatapnya dengan kedua alis yang digerakan naik turun. Airi merotasi bola matanya. Dia berhutang cerita pada perempuan itu. “Kau sudah resmi jadian dengan Watanabe itu?” Tanya Tsuki. Beruntungnya Airi hari itu sepertinya Koji kesiangan dan akan datang terlambat.

“Mana ada!” Serunya tidak terima mengundang tawa geli dari Tsuki. Perempuan bermarga Minamoto akhirnya menceritakan kejadian yang menimpanya dan Shota semalam, Tsuki jadi memasang ekspresi seriusnya dan menanyakan kondisinya. Airi jelas mengatakan dia baik-baik saja dan Cuma Shota yang harus mengalami luka gores.

Tapi, Tsuki menggeleng. “Traumamu. Aku menanyakan itu.” Airi terdiam. Dia menunduk sedikit dan tersenyum masam. “Aku baik-baik saja. Obatnya semalam dan tadi pagi sudah kuminum.” Katanya.

Tsuki menghembuskan napasnya. “Bilang padaku kalau kau merasakan rasa tak nyaman ya.”katanya. Tsuki memang selalu paham kondisinya sejak mereka berkenalan di bangku SD. Meski kelakuan perempuan itu suka di luar nalar setidaknya diantara dirinya dan Koji, Tsuki yang bisa dikatakan bisa mengatur emosi, terlihat baik-baik saja dan selalu ada untuk mereka berdua.

“Terima kasih, Tsuki.” “Anytime, bestie.”