Dibawah Langit Berwarna Sakura Bagian 5: Please Dont Love Me

ShoppiAiri, Typo


Sepertinya Airi mulai terbiasa dengan keberadaan Shota di dekatnya. Dia tidak lagi menggerutu kala Shota selalu membelikannya minuman perisa lemon kesukaannya. Sesekali bahkan lelaki itu membawakannya kotak bekal berisi lemon roll cheese cake yang katanya dia beli tidak sadar begitu melewati toko bakery di dekat rumahnya.

“Sepertinya karena aku terlalu memikirkanmu.” Ucap Shota saat itu disertai senyuman yang membuat matanya tinggal segaris. Seraya mengunyah roll cake itu, Airi hanya memandangi Shota sejenak dengan wajah memanas. Jantungnya bahkan berdetak begitu kencang. Sementara itu, di belakang Shota dan Airi yang sedang makan siang bersama itu, terlihat Koji dan Tsuki yang memperhatikan keduanya dengan tatapan menilisik.

“Sepertinya Airi mulai menyukai Shoppi.” Ucap Koji. Tsuki mengangguk-angguk dengan mata yang masih berfokus pada kedua sosok yang duduk berhadapan itu. Airi sesekali tersenyum dengan tipis. Tsuki ikut mengulas senyumnya. Sedikit bersyukur bahwa Airi setidaknya baik-baik saja.


Airi benar-benar melihat sosok masa kecilnya hanya bisa duduk dengan boneka jerapah di tangannya, kepala yang berdarah dan bajunya yang dipenuhi noda darah juga tatapan kosong kearah sebuah mobil yang terbalik itu.

Sosok masa kecilnya itu berhasil merangkak keluar dari jendela mobil itu yang pecah sementara kedua orang tuanya yang duduk di bangku depan nampak tak sadarkan diri dengan posisi mobil yang terbalik. Kecelakaan tunggal itu benar-benar merebut masa-masa emasnya sebagai seorang anak kecil. Airi kecil berusaha bangkit saat melihat ibunya tersadar sejenak dan melihat kearah putri semata wayangnya itu. Senyuman serta tatapan sayu itu masih begitu Airi kecil ingat meski Airi masih berusia lima tahun.

Airi kecil menyadari ada yang salah dengan pergelangan kakinya. Ya. sepertinya kakinya cidera. Tapi, dia berusaha merangkak mendekati sang ibu sementara sang ayah masih tidak sadarkan diri.

“Airi, pergi. Menjauh dari sini.” Ucap ibunya lirih yang membuat langkah Airi kecil yang terseok terhenti. Tepat begitu sang ibu berucap seperti itu, tubuh Airi terlempar sedikit akibat ledakan dari mobil yang sempat dia naiki bersama kedua orang tuanya.

“Airi! Bangun!” Airi sontak membuka mata begitu dia merasakan seseorang berteriak kencang padanya. Kedua matanya menangkap dengan samar bayangan sosok Tama yang menatapnya cemas. Tama membantu Airi merubah posisinya menjadi duduk dan mengusapkan sebuah handuk dingin di kening dan sekitar lehernya.

“Kak? Kenapa?” tanya Airi bingung. Rasanya dia Cuma mimpi buruk. Tama menatap sejenak adik sepupu yang sudah dia anggap sebagai adik kandungnya ini. Sudah tiga belas tahun tinggal bersamanya. Tama dan Airi pun hanya terpaut dua tahun.

“Kamu demam, Ai.” Kata Tama. Lelaki itu meraih sebuah fever patch yang tergeletak di meja belajar Airi dan menempelkannya pada perempuan itu. Sementara Airi hanya terdiam seperti tidak punya energi untuk membalas ucapan kakaknya.

“Mimpi itu lagi?” tanya Tama yang disahut dengan anggukan pelan dari Airi. “Coba saja hari itu aku tidak mengajak Ayah dan Ibu ke taman bermain.” Lirih Airi. Tidak menyadari bahwa dia sudah meneteskan air matanya dan tatapan kosongnya kembali.

Tama tidak tahan melihat ‘adik’nya kembali depresi seperti ini. Tama memberikan sebuah botol kapsul pada Airi. Perempuan itu menatap sinis pada botol itu sejenak. “Aku bosan minum ini terus.” Katanya. Tama mengangguk dengan bibir yang dia gigit untuk menahan emosi sedihnya. “Dokter bilang Cuma saat kamu merasa tidak baik-baik saja,” kata Tama. “dan sekarang kamu sedang tidak baik-baik saja, Airi.” Katanya.

Dengan rasa terpaksa, Airi meminum obat itu lagi. Sudah sebulan dia harus meminum obat itu tiap hari agar perasaannya lebih tenang dan tidak terlalu mudah panik. Tama merangkul Airi dan mengusap-usap pundak sang adik. “Kau menyukai Watanabe-kun?”

Airi mengernyit. Dia menjauhkan diri sedikit dari Tama dan menatapnya dengan alis yang berkerut. “Tidak.” Katanya setelah hening cukup lama. Tama terkekeh. “Kau tidak pandai berbohong, Ai. Wajahmu memerah.” Katanya.

“Ini karena aku demam.” Katanya berkilah. Tama menggeleng dengan senyum yang dia tahan. “Kalau memang suka tidak apa-apa, Ai. Aku dan mama gak pernah ngelarang Airi buat jalin hubungan sama orang lain.” Kata Tama. Airi cukup terdiam dan dia menggeleng.

“Tidak mau,” katanya yang mengundang kerutan di dahi Tama. “aku tidak mau membuat orang itu tidak aman dengan berada di sampingku.” Kata Airi. Tama mengembungkan pipinya sejenak. Dia mencoba mengarahkan Airi untuk menghadap kearahnya. Lelaki itu menangkup kedua wajah Airi dan menelusuri garis wajah sang adik sepupunya.

“Aku dan Mama sudah tiga belas tahun hidup bersamamu dan kami baik-baik saja, Ai.” Ucap Tama. Airi merasakan perasaannya menghangat. Dia meraih tangan Tama yang masih menangkup sebelah wajahnya dan menggenggamnya.

“Untuk sekarang. Tapi, bagaimana kalau di masa depan nanti? Bisa saja aku ternyata magnet pembawa si—“ Tama langsung membungkam mulut Airi dan mendesis kesal. Dia benar-benar tidak suka kala Airi harus membawa-bawa kata seperti itu. Tidak seharusnya perempuan bermarga Minamoto itu mencap dirinya sebagai ‘pembawa sial’ atau ‘bom waktu kehidupan’. Airi sering sekali berkata seperti itu di depan Tama ataupun mamanya alias tantenya Airi.

“Kami senang mempunyaimu sebagai keluarga kami, Ai. Tidak ada yang namanya pembawa sial atau bom waktu kehidupan. Kamu manusia dan kami menyayangimu.” Tegas Tama. Dia memang harus cukup sabar menghadapi Airi yang mulai masuk masa-masa seperti ini. Ungkapan Tama itu berhasil membuat Airi diserang rasa bersalah karena meragukan dirinya sendiri maupun kasih sayang yang dia dapat dari tante dan juga kakak sepupunya. Airi berhambur ke pelukan Tama dan menangis pelan di pelukan sang kakak.

Tantenya yang merupakan ibu dari Tama ini, sedari tadi memperhatikan dari balik pintu kamar, bersandar padanya dan menatap langit-langit rumahnya. “Kalian tidak seharusnya pergi saat usianya masih sekecil itu, Rena, Kaito.”

Tapi, takdir sekecil apapun siapa yang bisa mengatur selain Tuhan?


Airi membuka loker sepatunya dan lagi-lagi menemukan susu yang kali ini rasa stoberi terselip disana. Untuk sesaat dia menatap kotak susu itu, ditariknya napasnya sejenak sebelum akhirnya dia mengabaikan eksistensi benda itu dan segera mengganti sepatu sekolahnya dengan uwabaki yang sudah disediakan sekolah itu.

Menaiki tangga menuju kelasnya, Airi dikejutkan oleh Koji yang melompat dan merangkulnya dari belakang. “Sudah mendingan?” tanya Koji tanpa berbasa-basi. Awalnya Airi terkejut dan sempat jantungnya berdetak kencang, mengira bahwa orang yang merangkulnya adalah Shota.

Airi tersenyum tipis. “Ya. Aku sudah sehat.” Jawabnya. Koji mengangguk dengan senyuman khas di wajahnya. Mereka berjalan bersama menuju kelas dan tanpa diduga Shota sudah ada di kelas lebih dulu bersama dengan Fukka—Fukazawa Tatsuya sedang mengobrol bersama. Shota terlihat tersenyum lebar kearahnya. Airi bertatapan sejenak sebelum akhirnya membuang pandangan kearah lain dan segera duduk di kursinya.

Senyuman di wajah Shota memudar. Lelaki bermarga Watanabe itu langsung menghampiri Airi dan duduk di kursi yang masih kosong di depan perempuan itu, sementara Koji yang duduk di belakang Airi hanya memperhatikan keduanya. Perlu diingat, barisan tempat duduk Airi dekat dengan jendela kelas. Shota langsung bertopang dagu menatap Airi yang masih sibuk dengan kegiatannya sendiri, tidak memperdulikan Shota meskipun lelaki itu sudah menyapanya dengan seceria mungkin.

“Susu yang kuselipkan di loker gimana? Kau menyukainya?” Shota berpikir bahwa Airi sudah menghabiskan susu itu dalam perjalanan dari pintu masuk ke kelas tadi. Tapi, Airi hanya meliriknya sebentar dan tidak menjawab pertanyaan Shota.

Airi semakin enggan menatap kearah Shota dan memalingkan wajah kearah luar jendela. Shota sempat bertatapan sejenak dengan Koji yang sedari tadi hanya memperhatikan. Suara bel masuk berbunyi dan Shota mau tak mau kembali ke kursinya sendiri yang berada di barisan dekat pintu kelas tersebut. Sepanjang pelajaran, Shota selalu memperhatikan Airi yang berbeda hari ini, apalagi sejak tiga hari Airi absen karena sakit.

Apakah Airi tidak suka susu stoberi? Shota jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, atau mungkin Airi sedang memasuki bulan merahnya. Seingatnya, perempuan kalau sedang masuk bulan merah pasti mengeluarkan aura tidak ingin diganggu.

Entahlah.


Ternyata tidak hari itu juga. Shota kali ini yakin bahwa Airi menjauhinya, perempuan itu selalu menghindarinya. Karton susu yang biasa dia selipkan di loker sepatu Airi jadi menumpuk, begitu sudah mengganggu mobilitas keluar masuk sepatu dan uwabakinya, Airi memberikan empat kotak susu itu ke salah satu siswa kelas dua yang lewat. Shota melihatnya setidaknya dia bersyukur karena Airi tidak membuang begitu saja susu itu.

Shota masih berusaha mendekati Airi dan seperti biasa memberikannya makanan atau minuman kesukaan Airi. Airi sangat suka lemon. Tapi, perempuan itu hanya menatapnya sejenak sebelum akhirnya memberikannya pada Koji dan Airi pergi dari hadapannya. Perempuan itu juga terlihat muak dengannya. Jujur saja itu membuat Shota sedih melihatnya. Rasanya dia kemarin sudah berhasil menarik hati Airi.

Sementara di lain sisi, Airi dan Tsuki yang sedang duduk menikmati makan siang mereka di taman belakang sekolah di bawah pohon sakura. Tsuki menyadari ada yang aneh pada perempuan ini. apalagi tingkah awalnya begitu Shota menggebu-gebu mendekatinya dengan sekarang jauh berbeda. Tsuki tahu, Airi sudah menyukai Shota namun perempuan itu enggan jujur.

“Jadi, ada apa?” tanya Tsuki. Airi yang sedang menyuap tamagoyakinya menaikkan sebelah alisnya. “Apa?” “Kenapa kau terkesan menjauhi Watanabe?” “Aku tidak menjauhinya. Dari dulu aku memang tidak suka padanya.” Tsuki berdecak dan merotasi bola matanya. “Padahal kau sudah jatuh cinta padanya begitu masih saja mengelak.”

Airi terdiam. Dia menarik napas dan menghembuskannya. “Kenapa dia bisa suka padaku?” Tsuki mengedikkan bahunya. “Kau tanya padanya, jangan padaku, bodoh.” Airi tertawa.


Shota ikutan muak. Dia tidak bisa diabaikan terus menerus oleh Airi seperti ini, apalagi setelah kemajuan yang pernah dia lihat pada hubungannya dengan Airi. Kenapa pula harus mundur seperti ini? Shota harus menanyakannya langsung pada Airi.

Tepat sebelum Airi pulang bersama Tsuki dan Koji, Shota langsung menahan tangan Airi. Jujur, Airi terkejut merasakan kehangatan yang sama yang pernah dia rasakan saat itu. Jantungnya berdetak cepat lagi. Sial.

“Airi, aku perlu bicara denganmu.” Kata Shota dengan wajah penuh keseriusan. Itu pertama kalinya setelah sekian lama Shota bisa bersitatap dengan Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu menoleh kearah Tsuki dan Koji yang menunggu sebentar tadi. “Kalian pulang duluan saja. Aku tidak akan lama.” Katanya.

Koji dan Tsuki mengangguk. “Langsung ke tempat biasa saja ya.” kata Koji sebelum menarik Tsuki yang sudah menyipitkan mata kearah Shota, seakan-akan berkata, ‘awas saja kau apa-apakan sahabatku’.

Ruang kelas itu perlahan-lahan menjadi sepi dan menyisakan mereka berdua saja. Airi duduk kembali di kursinya sementara Shota duduk di kursi di depan meja Airi. Keduanya duduk menyamping, menghadap kearah jendela kelas yang tirainya belum ditutup itu. ada keheningan lama di antara keduanya.

“Kau menghindariku.” Kata Shota membuka percakapan diantara keduanya. Airi terkekeh. “Wajar aku menghindarimu karena aku tidak suka padamu, Watanabe.” Balas Airi. Shota berdecih. Dia menoleh kearah Airi sementara Airi masih enggan untuk melihat kearah lelaki bermarga Watanabe itu.

“Kau tidak pandai berbohong, Airi. Jelas-jelas kau sudah jatuh cinta juga padaku.” Ucapan itu mengundang tawa kencang dari Airi. Perempuan itu akhirnya menatap balik kearah Shota dan menatapnya dingin. “Kau terlalu percaya diri, Watanabe.” Kata Airi.

“Aku tidak hanya percaya diri, tapi aku yakin seratus persen bahwa setidaknya kau sudah menyukaiku lewat semua kesan positif setiap aku berada di dekatmu.” Kata Shota. Airi menggeleng dengan senyuman mengejek di wajahnya.

“Kau terlalu naif,” kata Airi. “itu hanya formalitas karena kita teman sekelas. Tidak lebih.” Tukasnya kemudian beranjak tapi Shota mengejar dan menahannya lagi.

Airi langsung menepis tangan Shota dengan kasar dan menatapnya dengan kedua mata yang sekarang berkaca-kaca sementara tangannya sedikit gemetar. “Kenapa kau menyukaiku?! Kenapa harus aku?!” seru Airi di tengah suasana kelas yang sudah sepi itu. Hembusan angin masuk ke dalam membelai tubuh keduanya yang masih dibalut seragam sekolah.

Sejenak ditatapnya Airi, sementara sang perempuan sudah memalingkan wajah kearah lain. “Mengapa kau memilihku sebagai orang yang kau sayangi?” bisiknya.

“Aku menyukaimu bukan karena keharusan, Ai,” Airi sedikit tersentak kala Shota memanggilnya dengan nama kecil yang sering digunakan oleh Tama maupun kedua orang tuanya. “kalau orang bilang, cinta tidak bisa memilih kemana dia berlabuh, aku akan mengatakan sebaliknya.”

“Aku memilih untuk menyukaimu karena kau kuat, setiap aku melihat senyumanmu aku menjadi hangat. Keberadaanmu saja sudah cukup membuatku merasa hidup.” Jawab Shota. Airi meliriknya mencari kebohongan yang bisa saja dia temukan disana tapi Shota seperti yakin dengan apa yang dikatakannya.

“Aku tidak sekuat itu... Please don’t love me, Watanabe.” lirihnya. Airi mengepalkan tangannya. Dia menatap Shota sekali lagi dan tersenyum masam. “Mulai sekarang, tolong jangan dekati aku lagi. Kumohon, demi kebaikanmu juga.” Katanya sebelum berjalan dengan cepat meninggalkan Shota yang terdiam.

Lelaki itu merasakan dadanya sesak dan air matanya siap keluar kapanpun dia berkedip, berharap dengan berkedip itu Airi masih ada di hadapannya namun yang dia dapatkan adalah air mata yang jatuh setetes demi setetes.