Dreaming
ShoppiAiri, Fluff, Typo, Cringe
Seingat Airi—Minamoto Airi, sesampainya dia di apartemennya dan membuka sepatu yang dipakainya hari itu untuk bekerja seharian, dia tertidur di dekat genkan. Seharusnya saat ini dia masih berada di sana. Namun, yang dia rasakan saat ini adalah kehangatan dari kain selimut dan rasa nyaman pada seluruh tubuhnya, seakan-akan dia tidur di atas kasurnya.
Memang sudah tiga hari itu Airi merasakan fisiknya sedang tidak sehat. Mulai dari bersin-bersin, hingga tenggorokan gatal. Awalnya Airi mengira bahwa dia hanya alergi serbuk bunga mengingat sudah mulai masuk musim semi. Tapi, seingatnya, dia tidak pernah alergi. Dia hanya alergi pada paprika dan terong. Kondisinya yang demam menguatkan dugaan kalo Airi tidak alergi pada serbuk bunga.
Airi mengerang. Kepalanya terasa seperti dihantam ribuan bola. Pening, menyakitkan dan membuat Airi ingin tidur sepanjang hari. Hidungnya juga sangat tersumbat dan Airi kesulitan bernapas, dia sampai harus merubah posisinya berulang kali untuk mencari posisi yang melegakan napasnya. Dengan mata yang masih terpejam, Airi merasakan seseorang mengangkat kepalanya sedikit dan meletakan sesuatu di bawah bantalnya. Tubuh Airi langsung menggigil. Dia refleks meraba-raba sekitarnya untuk mencari selimut tebalnya.
“Selimut... Mana selimutnya...” Suara Airi serak. Tidak lama perempuan bermarga Minamoto itu terbatuk lama dengan cukup keras hingga membuat dadanya ketarik. Tidak lama dia merasakan seseorang mengusap-usap dada atasnya dengan lembut. Airi mencoba membuka matanya meski terasa sangat berat. Dia menemukan siluet sosok lelaki yang dia kenal sedang menatapnya cemas, Airi kenal dia sebagai kekasihnya, Watanabe Shota. Shota mengambil termometer yang terkatup di antara ketiak Airi. Raut wajah lelaki itu semakin cemas dan Airi merasakan tangan Shota menempel di pipinya. Sejuk. Airi menempelkan lebih dekat wajahnya kearah tangan Shota. “Dingin...” Baru Airi mengeluarkan suara, dia kembali batuk hingga membuatnya ingin pingsan saat itu juga.
“Ssh, jangan bicara. Nanti batukmu makin parah.” Itu benar-benar suara Shota. Airi ingin bersuara lagi, tapi dia sudah tidak ada tenaga lagi. Airi kembali tidak sadarkan diri.
Lalu, pagi itu, matahari bersinar terik menyusup dari balik tirai yang terbuka sebagian. Airi mengerjapkan matanya. Merasakan tubuhnya lebih ringan dari sebelumnya, tapi dia masih merasakan benda lembut dan basah di leher dan keningnya. Airi menyentuh area tersebut dan menemukan ice pack di lehernya dan fever patch di keningnya. Matanya mengerjap sekali lagi, membiasakan diri dengan berkas cahaya yang menyusup masuk.
Kalau tidak salah dia melihat Shota. Apakah itu hanya mimpi?
Airi mencoba bangkit dari posisinya. Kaki-kakinya yang telanjang menyentuh lantai apartemen yang dingin membuat Airi harus memeluk dirinya sendiri. Rupanya dia masih sedikit demam. Dengan langkah terhuyung, Airi melangkah keluar. Pintu itu dia buka dan Airi melihat sekeliling, dia mendengar suara dari arah dapur dan mencoba mendekati sumber suara.
Tubuhnya mematung menemukan sosok lelaki bernama Watanabe Shota itu sedang sibuk memasak sesuatu di dapurnya, mengenakan apron berwarna biru dongker yang biasa dia pakai. Shota menoleh kearahnya, pandangan mereka bertemu dan Airi tersentak. Dia mengerjap sedikit.
Lelaki itu langsung meletakan sendok sayurnya di atas piring dan menghampiri Airi dengan langkah cepat. “Kenapa kau disini?” Katanya begitu berada di dekat Airi. Tangannya menyentuh pipi Airi dan menyunggingkan seulas senyum lega. “Aku yang tanya begitu padamu,” Airi memegangi dadanya begitu dia terbatuk-batuk, merasakan tenggorokannya sangat gatal. Sial. “biasanya manajermu melarang untuk ketemu denganku yang sedang sakit.” Lanjut Airi dengan susah payah.
Shota berdecak. Tangannya sekarang merangkul Airi dan mengusap-usap punggungnya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. “Aku melarikan diri darinya.” Balas Shota. Lelaki itu menarik Airi untuk duduk di atas sofa. Shota mengambil selimut yang tergantung di armrest sofa yang mereka duduki, menyelimuti Airi dengan kain berbahan lembut nan hangat itu.
“Tumben sekali.” Cibir Airi. Ya. Alasan kenapa Airi berujar seperti itu adalah manajer Shota selalu membuat dirinya jauh setiap dia sakit dari Shota karena takut idol yang dia ampu ikut sakit dan tidak bisa bekerja. Memang dasar otak mesin uang. Airi ingin protes saat pertama kali mendengar ucapan itu tapi dia terlalu malu untuk membantah ucapan sang manajer di depan Shota.
“Gapapa, dong? Aku kan pacarmu,” balas Shota. “lagipula aku tidak mau mendengar kondisimu dari Datesama lagi.” lanjut Shota dengan suara pelan. Airi mengerutkan keningnya. Dia menoleh kearah Shota yang duduk di sebelahnya, lelaki itu sekarang memalingkan wajahnya kearah lain dengan bibir yang sedikit mengerucut. “Dia kan sahabatmu. Tidak apa apa, dong.” Kata Airi.
Shota menggeleng. Tangannya memeluk Airi dari samping. “Karena dia suka padamu, jadi, tidak boleh. Bagaimana kalau terjadi sesuatu diantara kalian saat aku tidak ada?” Gerutu Shota. Airi tertawa pelan. Dia mengernyit sendiri mendengar suara tawanya yang sangat berbeda akibat suaranya yang serak.
“Jadi, kau cemburu?” Airi bertanya disetai batuk membuat Shota berdecak. “Airi, berhenti bicara.” Airi menghela napas setelah batuk beberapa saat. Dia bersandar kearah kekasihnya. “Aku dan Ryota tidak ada hubungan spesial lagi setelah mengakhiri hubungan FWB kami. Kau tidak perlu khawatir, Shota.” katanya pelan.
Shota terdiam. Memang selama ini Airi selalu bertingkah akan pergi pada Date, tapi tidak pernah benar-benar dia lakukan. Semua itu sebatas sebuah godaan saja. Shota tahu habit Airi seperti itu tapi tidak pernah terbiasa apalagi kalau menyangkut sahabatnya di Snow Man itu. Terlebih otaknya selalu memutar bagaimana dengan seriusnya Date berucap padanya waktu itu.
“Aku menyukai Airi. Perasaan yang sama yang kau rasakan padanya, Shoppi. Jadi, kalau kau macam-macam dengannya, aku tidak segan untuk merebutnya darimu.”
Shota takut dia akan kehilangan Airi. Ucapan Date seperti suatu keseriusan yang membuatnya takut. “Kenapa kau melamun? Aku tidak menularkan sakitku padamu, ‘kan?” Suara Airi menyadarkannya. Dia melihat kearah Airi dan tersenyum. Kepalanya menggeleng. “Tentu saja tidak. Airi mau makan?” Shota membalas pertanyaan Airi dengan pertanyaan. Airi termenung beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng.
“Nanti saja. Aku mau memelukmu dulu.” Lirih Airi. Tangannya menyelinap di pinggang Shota dan memeluk lelaki bermarga Watanabe itu. Shota menahan senyum riangnya. Dia membalas pelukan Airi. Memang Airi sudah seminggu tidak bertemu Shota karena lelaki itu sangat sibuk terlepas dari larangan manajernya untuk bertemu dengannya saat sedang sakit. Airi jadi sedikit... merindukannya.
Lagipula jarang-jarang dia manja seperti ini pada Shota. “Kamu kalau sakit, manjanya lucu ya. Aku suka. Tapi, aku tidak suka bagian sakitnya.” Kata Shota. Airi terkekeh. Dia mengeratkan pelukannya.
“Aku juga tidak suka sakit, Shota. Aku jadi tidak bisa bertemu denganmu.”
Bertemu dengan Shota saat dia sakit seperti sebuah mimpi saat demam. Terlalu nyata untuk jadi sebuah mimpi. Tapi juga seperti halusinasi untuk jadi sebuah kenyataan.