Hate x Go Away x Love
Minamoto Airi x Watanabe Shota Angst, Typo, Cringe
“Tadaima...” Sapa Shota pelan begitu dia membuka pintu unit apartemennya bersama Airi, dengan kunci yang selalu dibawanya. Aneh. Suasana apartemen mereka cukup sepi dan seperti tidak ada kegiatan sedikitpun di dalam sana, meski lampunya masih menyala dengan terang. Kaki Shota melangkah dengan perlahan masuk ke dalam, dia nyaris terlonjak saat menemukan Airi yang sedan duduk sembari melipat kakinya kesamping di atas sofa. Tatapan wanita itu mengarah kearah televisi yang tidak sedang menyala.
Shota memiringkan kepalanya. Dia mendekat kearah sang istri yang sedang mengusap perutnya yang semakin membuncit itu. Pria bermarga Watanabe itu berdiri di belakang Airi dan menepuk pundak Airi pelan sembari menyapa. “Tadaima, Airi...” Sapanya.
Airi tidak terkejut, pandangan matanya yang awal kosong dan hampa kembali berubah ke semula, hanya saja lebih dingin dari biasanya. kepalanya menoleh kesamping kanannya dan menemukan Shota yang menyunggingkan senyum lembut kearahnya.
“Ah, okaeri...” balas Airi pelan. Tapi, wanita itu tidak menyambut Shota dengan pelukannya, wanita itu langsung beranjak menuju dapur tanpa berkata apapun. Shota mengikutinya sembari melepas jaketnya, keningnya mengkerut dalam dan kebingungan. Ada apa dengan Airi? Tidak biasanya sekali dia hari ini.
Shota mengalihkan pandangannya kearah meja pantry yang terdapat lumayan banyak makanan. “Ini kamu yang masak semuanya?” Tanya Shota takjub. Airi menyunggingkan senyum tipisnya. “Sayang sekali, bukan.” Sahutnya singkat, sembari membawa beberapa piring berisi makanan itu untuk dihangatkan kembali.
Shota mengernyit. “Dari siapa?” tanyanya bingung. Hening. Cukup lama Shota tidak mendengar jawaban dari Airi, membuatnya sedikit cemas. Di dekatinya sang istri yang ternyata sedang menunduk dengan kedua mata yang berkaca-kaca, nyaris menangis membuat Shota panik karena terkejut.
Didekatinya Airi untuk dia tenangkan, tapi yang didapati Shota adalah lemparan piring kearah pria itu selama beberapa kali. Untungnya, Shota bisa menghindari setiap lemparan piring istrinya. Entah sudah berapa piring yang Airi pecahkan hari itu agar bisa mengenai Shota. Napas wanita itu memburu, wajahnya memerah dan matanya berkilat tajam dengan berkaca-kaca, menatap Shota kecewa. Airi menghembuskan napasnya, dia bersandar ke pinggir pantry sembari memegangi perutnya, untuk beberapa saat terdiam, tak ingin menatap Shota sedikitpun.
Shota menatap Airi yang tiba-tiba mengamuk padanya ini. Apakah dia telah melakukan sebuah kesalahan? Tapi, apa...? “Aya datang tadi. Dia yang bawa makanan ini.” Ujar Airi pelan namun bisa Shota dengar dengan jelas.
Shota terdiam. Kenapa tiba-tiba Airi bawa-bawa nama Aya? Ada apa? Matanya melebar. Apakah jangan-jangan Airi tahu soal rahasia itu? Rahasia dimana... Shota dan Aya... Airi menyunggingkan senyum sinisnya. “Kenapa? Kau sadar sesuatu?” cibir Airi.
Shota menggeleng. Dia menarik napas dan mendekat kearah Airi. Hendak memeluk wanita itu, tapi Airi malah sudah menarik Shota, menciumnya dengan brutal dan sempat menggigit bibir Shota, hingga mungkin bisa Shota rasakan bahwa bibirnya luka, Airi menjilatnya dan menghisap bibir suaminya itu.
Shota mengambil banyak-banyak oksigen yang sempat di rampas Airi selama beberapa saat tadi. Di lihatnya kedua mata wanitanya menyorotkan kesan dingin dan tajam yang membuat Shota tidak bisa berkata-kata. Airi berbisik pelan. “Akan ku ambil lagi apa yang sudah di ambil Aya darimu. Sekarang juga...”
Shota terkejut saat Airi menariknya, membawa mereka untuk masuk ke dalam kamar keduanya. Shota paham sekarang. Apa yang sudah dirahasiakannya selama beberapa bulan ini, berhasil terkuak. Tapi, lebih dari itu, untuk pertama kalinya Shota melihat sosok Airi yang sangat egois dan seperti menyatakan bahwa Shota hanya miliknya.
Airi menarik tinggi-tinggi selimutnya hingga menutupi tubuh polosnya sampai ke leher. Di punggunginya Shota yang berbaring di sebelahnya. Masing-masing kedua mata mereka belum bisa terpejam meski jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Meski tubuh keduanya sudah cukup lelah setelah salah satu di antara mereka, sebut saja Airi, memaksa Shota terus bercinta dengannya hingga beberapa babak. Mungkin, tidak akan berhenti kalau Shota tidak mengingatkan Airi tentang buah hati mereka yang sedang tumbuh di dalam perut Airi.
Pria itu melirik ke sebelahnya dan menemukan punggung polos Airi menyapa pandangannya. Shota mendekat kearah Airi, menyentuh pundak wanita itu. Untung saja, Airi tidak menepis tangannya ataupun membuat gerakan penolakan. Shota menyelinapkan tangannya di dalam selimut, mengusap perut polos Airi yang mulai membuncit. Shota memejamkan matanya begitu dia mendengar isakkan pelan Airi. Isakkan tertahan yang di coba wanita itu untuk ditahannya agar tidak terdengar.
Shota menenggelamkan wajahnya dibalik rambut Airi, menghirup dalam-dalam aroma khas dari wanitanya ini. “Kenapa, Shota... Kenapa kamu melakukan itu dengannya?” Lirih Airi pelan.
Shota terdiam, dia terus mengusap perut Airi, dimana ada buah hati mereka disana. “Kalau aku bilang itu khilaf, kamu gak akan terima, Airi...” Balas Shota.
Di tariknya napasnya dan di hembuskannya perlahan-lahan. “Jadi, aku akan bilang kalau itu memang kemauanku. Menahan gairah selama empat bulan itu tidak mudah meski kamu sudah melakukan sesuatu di bawah pancuran air,” Shota mulai menjelaskan. “itu salahku. Aku yang menginginkannya. Aya tidak salah...” lanjutnya.
Airi mendengkus. “Intinya kegiatan itu atas dasar sama-sama mau.” Tukasnya dingin.
Shota mengulum bibirnya dan tersenyum sendu. “Lalu, kamu mau apa?” tanyanya. Airi terkejut. Dia langsung membalikkan badannya kearah Shota dengan susah pAirih. Di lihatnya wajah suaminya itu. “Kenapa kau jadi terkesan memojokanku? Memberikan keputusan akhir seakan-akan aku salah dalam merespon hal ini?” protes Airi kesal.
Shota tersenyum. Diulurkannya tangannya untuk menyingkirkan helaian rambut Airi yang menutupi wajah wanita itu. “Kalau kamu minta pisah, aku gak mau.” Ucap Shota.
Airi mengerjap. Dia tidak pernah berpikir kalau Shota akan membahas soal perpisahan meski akhirannya adalah pria itu tidak mau berpisah dengannya.
Ditatapnya kedua mata Airi dengan lembut. “Pernikahan itu sekali seumur hidup. Yang hanya boleh memisahkannya adalah maut. Manusia tidak di perkenankan memutuskan ikatan sehidup semati itu. Jadi, apapun keinginanmu, aku gak mau pisah darimu.” Ucap Shota. Pria itu menghembuskan napasnya. “Tapi, aku juga minta maaf karena sudah melakukan hal itu di belakangmu. Maafkan aku.” Kepala Shota menunduk dalam-dalam.
Airi terdiam menatap pria di depannya ini. Untuk beberapa saat terdiam, tak lama, Airi memukul dada polos Shota. Di tenggelamkannya wajahnya di balik dada pria itu. “Kau selalu membuatku berpikir untuk berhenti mencintaimu, Shota...” Tapi, tidak pernah bisa.
Shota tersenyum lembut dan mengusap kepala Airi pelan. Dikecupnya puncak kepala Airi. “Maafkan aku ya...”
Airi sangat marah sebenarnya. Dia murka dan benci sekali pada Shota dan Aya saat tahu kenyataan itu. Tapi, dia selalu akan teringat dengan buah hati mereka. Buah hatinya dengan Shota yang mereka tunggu-tunggu kehadiranya, kehidupannya di dunia ini. Terlebih, Airi berhasil memantapkan hatinya hanya untuk mencintai Shota. Meski begitu, dia kecewa, hatinya sakit saat sadar bahwa perasaanya dikoyak setengah oleh pria yang memeluknya ini.
Aku membencimu, Shota.... Sangat membencimu hingga rasanya tidak sanggup untuk menghentikan sandiwara ini hanya demi anak ini...