Izin

ShoppiAiri, Typo, Cringe


Airi selesai mengeringkan rambutnya yang sekarang sudah dipotong seleher. Perempuan bermarga Minamoto itu menatap sejenak pantulan dirinya di cermin. Tidak ada yang berubah, mungkin hanya sorot mata yang tidak seceria dulu. Airi sendiri tidak tahu kemana sorot mata itu menghilang. Sejak keluar dari rumah sakit dan kondisinya sudah lebih baik, dia merasa ada yang hilang tapi Airi tidak tahu apa itu. Dia hanya menikmati hidup dengan berharap siapa tahu sesuatu yang hilang itu bisa kembali.

Airi menyimpang hair dryernya kembali ke lemari diatas cermin tersebut dan berjalan keluar dari kamar mandinya. Langkah kakinya menuju ruang tengah yang menyatu dengan ruang makan beserta dapur itu. Airi menemukan Shota yang sedang menonton video koreografer baru lewat Ipadnya sambil menikmati teh yang diseduhnya sendiri.

Sebenarnya hari itu, Airi ingin meminta sesuatu dari Shota—kekasihnya, kalau dibilang mungkin izin? Airi berjalan menghampiri Shota dan duduk di depan lelaki yang masih asyik dengan tontonannya itu. “Shota,” panggil Airi setelah lama dipandanginya sang kekasih.

“Ya, sayang?”

Sial. Airi langsung merasakan jantungnya berdetak dengan cepat dengan respon yang Shota berikan barusan. Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, menetralisir rasa berdebar dan rasa panas yang menjalar di kedua pipinya. Shota jarang sekali memanggilnya dengan panggilan seperti itu, jadi, Airi tidak pernah terbiasa. Dilihatnya Shota langsung menutup Ipadnya dan menyingkirkan barang itu.

Airi baru sadar ada cangkir teh lain yang sudah disediakan Shota di meja makan. Lelaki itu menggeser cangkir itu kearahnya dan tersenyum, sementara Shota mulai memusatkan perhatiannya pada sang kesayangan. Airi menggenggam cangkir itu dengan kedua tangannya dan bergumam terima kasih pada Shota.

“Jadi,” Airi menarik napas lagi. “aku ditawari bermain drama enam belas episode dengan durasi empat puluh lima menit di Korea Selatan. Drama romantis dan lawan mainku Lee Soo Hyuk,” Airi menatap Shota yang bergeming, masih menunggu Airi menyelesaikan ucapannya. “Bagaimana menurutmu...?” tanya Airi dengan nada tidak yakin.

Shota terdiam sejenak, dia mengangkat cangkir teh miliknya dan menyesapnya pelan. “Kau akan baik-baik saja disana?” tanya Shota.

Airi mengangguk, meski dia tidak yakin. “Kurasa iya. TOBE juga yang menyarankanku untuk mengambil tawaran ini, hitung-hitung penyegar suasana.” Kata Airi.

“Siapa yang akan menjagamu disana kalau kamu kambuh sewaktu-waktu?” tanya Shota. Lelaki itu kali ini menatap lurus kearahnya. Airi mengerjap. Terkejut dengan kalimat yang dilontarkan sang kekasih.

“Kambuh? Maksudnya?” tanyanya. Shota tersenyum tipis, matanya kali ini menatap kearah air teh yang bergoyang pelan begitu dia menggerakkan cangkirnya. “Jangan kira aku tidak tahu, sayang,” katanya. Airi terkejut mendengarnya. Dia mengulum bibirnya dan mengalihkan pandangan kearah lain. “a-apa yang tidak kamu tahu?” tanyanya.

Shota terkekeh. Dia menghela napas. “Matsumoto memberitahuku soal kondisi mentalmu,” katanya. “kondisi PTSD yang kamu alami saat ini belum sembuh, ‘kan?” lanjut Shota.

Sial. Padahal Airi sudah sehati-hati mungkin agar Shota tidak tahu soal kondisinya. Dia tidak mau membuat Shota khawatir dan itu akan mengganggu aktifitas kekasihnya itu. Dia tidak mau menjadi beban untuk orang lain. Tapi, toh, kenyataannya seperti itu. Saat dia sedang kambuh.

Airi memejamkan matanya. Rasa sesak dan sedih menjalari perasaannya saat ini. Dia mengela napas. “Sudah berapa lama kamu tahu?” tanya Airi lirih. “enam bulan yang lalu.” Kata Shota. Ya. Sudah setahun lebih sejak kejadian penyerangan yang membuat Airi mengalami semi-koma. Kejadian itu juga mempengaruhi kondisi mentalnya.

Airi menemui psikiater juga tanpa sepengetahuan Shota maupun Koji dan Tsuki, hanya Takki dan Manajernya saja yang tahu. Tapi, pada akhirnya Tsuki tahu dan memberitahu pada Shota. “Begitu. Kenapa kamu diam saja?” tanya Airi.

Shota tersenyum lembut. “Karena kamu tidak mau aku tahu. Jadi, aku berpura-pura tidak tahu.” Ucap Shota dengan jujur. Meski terkadang dia mendapati Airi yang sedang kambuh, menangis keras atau diam-diam di kamar mandi atau di balik kloset. Setiap kali, perempuan itu berpikir bahwa Shota pulang larut malam atau tidak akan pulang hari itu. Itu sangat menyakiti hatinya, Shota ingin menenangkan Airi, ingin mengatakan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sejak Shota tahu bahwa kondisi mental Airi sedang tidak baik-baik saja, sebisa mungkin dia pulang cepat dan tidak menginap meski terkadang ada pekerjaan yang harus dilakukan di luar kota. Shota akan pulang hari itu juga setelah pekerjaannya selesai. Setidaknya dia bisa menemani perempuan itu meski tidak bisa memeluknya secara langsung.

“Aku belum cukup bisa kamu percayai ya, Airi?” tanya Shota. Tangannya meraih tangan Airi yang tidak menggenggam cangkir teh itu. Airi mendongak dan bertemu pandang dengan mata Shota yang menatapnya dengan berkaca-kaca. Dia tahu, dia sudah terlalu sering menyakiti perasaan Shota dengan tidak mengatakan yang sebenarnya.

“Maaf, bukan begitu....” Sebuah respon yang sangat klise. Airi berdecak. Dia menggigit bibirnya. Shota tersenyum. Genggaman tangan pada perempuan itu dia lepas. Lelaki bermarga Watanabe itu beranjak. Airi sudah berpkir bahwa Shota akan meninggalkannya tapi yang terjadi adalah Shota berdiri dengan kedua lututnya di hadapannya. Shota menarik Airi untuk menatap kearahnya.

“Aku sudah pernah bilang padamu, pelan-pelan saja. Perlahan,” katanya. “mulai dari hal-hal kecil. Adakah yang sulit dari itu?” tanya Shota dengan lembut. Tangannya tidak diam saja, Shota mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Airi dengan punggung tangannya.

Tangis Airi pecah. Dia terisak pelan. Menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, tidak sanggup untuk menatap kearah Shota di hadapannya. Dia terlalu merasa bersalah karena masih tidak bisa memberitahu apa yang dia rasakan, apa yang terjadi padanya. Airi sudah terbiasa untuk menyimpan semuanya sendiri.

“Maafkan aku... Maaf.” Ucap Airi. Shota menarik tangan Airi yang menutupi wajah cantiknya itu. Dia mengusap wajah sang kekasih dengan lembut dan tersenyum. “Sssh, tidak apa-apa, sayang. Mulai sekarang, aku hanya ingin kita saling terbuka dengan kondisi masing-masing. Katakan apa yang kita rasakan saat ini, apa yang kita lalui dan kita ingin apa atas rasa itu.” ucap Shota.

Airi mengangguk pelan. Dia membawa dirinya untuk memeluk Shota. “Aku sangat sedih saat ini karena sudah sering menyakiti perasaanmu, Shota,” Itu pertama kalinya Airi menyatakan perasaan sesungguhnya pada lelaki di hadapannya ini. “maafkan aku.” Lanjutnya dengan suaranya yang serak.

Shota mengusap kepala Airi lembut. Dia hanya mengangguk seraya menikmati waktu yang dilewati bersama dalam pelukan itu.

Setelah puas menangis, Airi melepaskan dekapannya dan menatap Shota yang masih bersimpuh di depannya. “Jadi, izinnya bagaimana?” tanyanya seraya mengambil napas. Shota tertawa mendengar pertanyaan Airi. Dia berusaha bangun dengan susah payah karena terlalu lama di posisi itu. Airi membantunya dan mereka kembali duduk berhadapan.

“Siapa yang akan menjagamu disana nanti?” “Manajer. Tsuki akan disana juga kalau dia sedang tidak sibuk.” “Kalau aku ikut saja denganmu bagaimana? Katamu drama romantis, ‘kan? Aku mau langsung mengclaimmu kembali kalau ada adegan ciuman bersama lelaki lain.”

Airi berdecak. Namun, dia tersenyum mendengar ucapan Shota barusan. “Tidak boleh.”