Jalan-Jalan malam
Aku bergidik. Aku merasakan angin malam berhembus, menembus jaket maupun scraf syal yang sudah kukenakan serapat mungkin dengan kulitku. Mataku melirik kearah Taiga yang berjalan disebelah, wajahnya tertutupi setengah dengan masker dan rambutnya yang berwarna hitam kecoklatan itu tertutupi topi. Aku menghembuskan napas dan berdecak. “Mau sampai kapan jalan tanpa arah gini, sih, Kyomo? Aku capek.” Kataku, menggerutu. Taiga terus berjalan di depannya, tidak membalas gerutuanku barusan.
Aku semakin malas mengikuti langkah pria di depanku ini. Selepas kumenemukan 7Eleven, aku memilih masuk ke dalam sana untuk membeli minuman atau makanan hangat, mengabaikan Taiga yang berjalan di depanku, biar saja Taiga jalan sendiri. Aku disambut oleh sapaan khas pegawai konbini, berjalan cepat kearah section minuma hangat dan menyeduh minuman dark chocolate. Saat hendak menyeduh cokelatku, aku terkejut akan suara bariton yang ku kenal, dari dekat. “Astaga naga...” Aku memekik sakit begitu merasakan tangannya terkena air panas. Sial. Aku memang ingin minuman yang menghangatkan tapi ini terlalu panas dan mengenai kulitku langsung.
“Maumu apa sih?!” Omelku tertahan. Dia menoleh kearah sumber suara, menatap tajam kearah Taiga Kyomoto. Tatapan pria dari member SixTones itu malah berfokus pada tanganku memerah. Aku mengibas-ngibaskan tanganku sembari meringis. Taiga menghela napas. Dia menarik tanganku yang terkena air panas itu kearahnya, meniup-niupnya perlahan dan aku terkejut. Merasakan bibir pria bernama kecil Taiga ini menciumi tanganku.
Sial. Wajahku panas. Gerutuku dalam hati. Jantungku rasanya berdebar kencang. Pipiky memanas dan mataku mengerjap kaget. Aku sampai harus melihat ke sekitar, takut jika ada orang lain di sekitar kami. “Sudah mendingan?” tanya Taiga. Aku berdecak dan langsung menarik tanganku. “Memangnya bibirmu itu obat, hah? Dasar bodoh.” Kataku sembari berlalu. Taiga menahanku lagi. “Kalau begitu, kamu mau dicium di bibir saja?”
“KAU!”
Don’t talk to me
“Jangan bicara denganku!” Gerutunya sembari berjalan cepat di depanku. Aku hanya bisa menatap punggungnya tanpa berniat membalas ucapannya. Pria berusia 27 tahun itu menghentakkan kaki beberapa kali dengan kesal. Dasar bocah. Aku jadi bertanya-tanya sebenarnya yang muda disini siapa?
Langkahnya semakin cepat disana dan aku tidak berniat menyusulnya sedikitpun. Lagipula, dia sedang marah begitu yang ada aku akan kena semprot. Kuhela napas sembari membetulkan ikatan scrunchies di rambutku. Nyeri di dengkulku semakin menjadi kala aku harus mengikutinya berjalan menuruni tangga di depanku. Kalau hanya tiga sampai lima anak tangga kurasa tidak masalah, namun, tangga di depanku ini punya anak tangga yang banyak karena jalannya yang cukup curam menurun. Baru setengah jalan, aku sudah tidak sanggup mengikuti atau menyeimbangi langkahnya.
“Taiga!” Aku mencoba memanggilnya namun dia tetap berjalan cepat di depanku. Semakin jauh. Aku berdecak. Memilih berhenti demi kebaikanku dan duduk sejenak di anak tangga ini, sembari memperhatikan punggung pria yang kupanggil Taiga itu semakin menjauh. Kuhela napas beberapa kali. Lelah. Kutepuk-tepuk dan memijit sedikit dengkulku yang masih nyeri dan ngilu.
Awalnya aku tidak menyangka kalau dia, Taiga Kyomoto, akan bereaksi seperti ini saat aku mengobrol begitu akrab dengan Sato Shori. Oh, ayolah. Shori itu tetanggaku. Wajar kami akrab satu sama lain. Shori sudah banyak membantuku, aku tidak bisa mengabaikannya hanya karena Taiga cemburu seperti itu.
Ku menunduk sembari memperhatikan ujung sepatu kets soft pink yang kukenakan. Kali ini, aku sedikit memberi tenaga pada ayunan tanganku yang memukul-mukul pelan dengkulku. Aku juga tidak mau bicara denganmu Kyomoto Taiga!
“Cepat naik.” Aku mendongak begitu mendengar suara yang familiar itu, menemukan Taiga berjongkok di depanku sembari mengulurkan tangan ke belakang. Aku mengulum bibirku, merasakan sesak yang tiba-tiba menyeruak. Kupandangi beberapa saat pria berambut cokelat kehitaman dan berkulit putih pucat ini. “Kau tidak suka menggendongku, Kyomo.” Kataku. Taiga berdecak. Dia menoleh kearahku dan pandangan kami bertemu. “Kamu mau tidak bisa berjalan selamanya? Dokter bilang ‘kan untuk mengurangi aktifitas berat yang menggunakan dengkul!” Ujar Taiga.
Aku menggigit bibirku. Bangkit dengan susah payah dan menghampirinya, melingkarkan tanganku di sekitar leher Taiga. “Pegangan. Kamu berat.” Mataku melotot dan kupukul pundaknya. “Makanya gak usah sok mau gendong!” Seruku sebal. Aku sudah akan turun dari punggungnya namun Taiga langsung mengencangkan gendongannya dan berdiri. “Aku bercanda.” Katanya.
“Kamu kurusan ya....” kata Taiga pelan. Aku menyunggingkan senyum. “Kau tidak marah lagi?” Lirihku. Taiga menggeleng. Kulihat bibirnya membentuk seulas senyum. “Tidak.” “Benarkah?” “Aku tidak bisa lama-lama marah padamu.”