Lemari
Fluff. OOC.
Aku menghembuskan napas sekali lagi. Mengusap-usap mug berisi cokelat panas yang sekarang sudah berubah menjadi dingin. Kupandangi unit apartemen milik pria bernama lengkap Nishihata Daigo ini dengan seksama. Sepi. Hanya terdengar sesekali suara pengharum ruangan yang disemprotkan ke udara. Aroma yang menenangkan tapi tidak bisa menghapus rasa sepi di ruangan ini sedikitpun. Kuletakkan kepalaku diatas meja pantry ini, menatap lurus ke satu titik di dinding berwarna krem lembut. Tidak ada apa-apa di dinding itu. Ponselku berdering selama beberapa detik, menandakan pesan masuk. Tanpa mengangkat kepalaku, kulihat layar ponselku.
Nishipata >Aku dibawah. Mau dibelikan sesuatu gak?
Kusunggingkan seulas senyuman, tapi tidak membalas pesannya. Terlalu malas menggerakkan jari-jariku di atas layar ponsel pintar ini. Tapi, otakku tiba-tiba terpikirkan ide yang lucu. Aku mengangkat kepalaku, bangkit dari posisi dudukku, meletakkan mug itu di wastafel cuci piring dan berlari cepat ke closet. Memposisikan diri untuk bersembunyi disana. Entah ini antara tidak ada kerjaan atau aku hanya ingin menarik perhatiannya dengan mengejutkannya.
Kalau dia sudah dibawah mungkin akan memakan waktu 10 menit untuk sampai ke unit apartemen ini. Aku menemukan topeng yang disimpan di closetnya. Mengenakan ini dan mengagetkannya mungkin akan menyenangkan. Kudengar pintu terbuka dan gumaman pelan seseorang yang menyapa. Aku diam, menahan napas kala kurasakan Daigo mendekat ke arah closet tapi dia malah berbalik ke tempat lain. Aku mengernyit.
Mungkin akan kutunggu selama beberapa saat lagi. Namun, ini sudah lewat satu jam. Apakah dia akan tidur dengan bajunya yang dipakai berkativitas selama seharian? Oh ayolah. Aku tidak akan mau tidur satu ranjang dengannya. Suara langkah kaki mendekat lagi ke closet dimana aku menyembunyikan diri. Tapi, Daigo tidak sedikitpun berniat membuka pintu ini. Astaga.
Waktu terus berdetak dan aku mulai merasa ngantuk. Jam berapa ini... apakah aku harus keluar sekarang? Tapi, sebelum kulakukan itu, rasa kantuk sudah menyerangkan lebih dulu.
Kudengar samar pintu closet terbuka, dan helaan napas seseorang. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena pandanganku masih kabur karena rasa kantuk yang berat. “Kukira kau pergi...” gumam sosok yang sangat ku kenal ini. Kurasakan usapan lembut di puncak kepalaku dan turun ke pipiku. Aku menggumam pelan. Kulihat samar, sosok yang sangat kukenal sebagai Daigo Nishihata ini mengulurkan tangannya, menyelipkannya di bahu dan lututku, mengeluarkanku dari closet baju ini. Aku merapatkan tubuhku padanya. “Pata...?” “Oyasumi. Pasti capek ya nunggu aku buka pintu closet.” Oala. Kurang ajar. Awas kau, pata...
Stasiun
Fluff. OOC. Anak Kuliahan AU.
Kaki beralaskan sepatu kets itu turun dari kereta dan berjalan menuju salah satu bangku di peron stasiun untuk untuk duduk supaya bisa membalas pesan dengan lebih aman. Bibirnya membentuk bulan sabit saat layarnya menemukan chat dari Daigo Nishihata di barisan teratas aplikasi LINE nya. Lelaki yang sudah official menjadi kekasihnya sejak lulus SMA hingga saat ini—baik Hato maupun Daigo sudah menginjak semester 6 saat ini—mengirimkan sebuah stiker dan pesan yang menanyakan keberadaan Hato hari itu.
Meski sudah jalan dua tahun berpacaran, bagi Hato hubungannya dengan Daigo selalu terasa baru dan menyenangkan. Daigo selalu berhasil membuat jantungya berdetak sangat cepat setiap kali dia melihat senyuman manis sang pacar. Sebut saja Hato bulol.
Baru membalas pesan Daigo, layar ponselnya sudah menyala dan bergetar. Daigo menelponnya. “Hai, pata.” Hato menyapa dengan masih mempertahankan senyumannya.
Kakinya bergerak semangat. “Hai, sayang.” Sial. Baru dibilang, jantung Hato sekarang sudah mulai berdetak dengan abnormal. Belum lagi sekarang wajahnya meranum merah. Dia yakin sekali.
Hato menjauhkan sedikit ponselnya dan berdecak tanpa suara. Dihela napasnya perlahan setelah dirasa dia sudah lebih tenang. “Ehem. Bilang-bilang dong kalau mau manggil begitu.” Daigo tertawa membalas ucapan Hato barusan.
“Pasti lagi salah tingkah ya?” IYA! Hato menambahkan dalam hati dengan gemas. “Oh iya, aku lagi di Starbucks sebelah stasiun. Aku susulin ya.” kata Daigo. Hato ingat di pesan sebelumnya Daigo bilang dia ada di dekat stasiun dimana Hato turun hari itu. Dia rencananya mau ketemuan sama Risa tapi perempuan itu meminta untuk mereschedule karena dosennya mendadak memberikan jam tambahan. Hato tidak masalah karena dia sendiri paham seperti apa dosen Risa dari apa yang diceritakan perempuan itu.
Oh iya, bicara soal Risa, Hato tahu bahwa Risa dan Michieda sudah putus.:( Risa sendiri yang bilang. Perempuan itu dengan santai berkata bahwa dia dan Michieda sudah tidak ada hubungan apapun. Penyebabnya sampai saat ini tidak diketahui Hato.
“Gak usah. Aku susulin kamu aja.” Kata Hato sudah bersiap-siap untuk berdiri. Daigo berdecak pelan. “Duduk dulu! Jangan teleponan sambil jalan, Hato.” Kata Daigo dengan nada yang tidak ingin dibantah.
Hato langsung duduk kembali dengan manis dan mengatup rapat-rapat mulutnya. “Yaudah kita ketemuan di depan stasiun ya. Aku kesana sekarang,” kata Daigo. “matiin teleponnya.” Lanjut Daigo. Hato mengangguk. “Oke.” Dia memutus sambungan dan segera beranjak. Suasana stasiun hari itu cukup ramai meski bukan hari libur.
Hato membawa dirinya untuk berdiri di pojok gedung stasiun itu sembari memandangi lalu lalang di depan matanya. Sesekali memfokuskan pandangannya satu titik dan melamun. Hato berjengit begitu merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kanannya. Kepalanya menoleh, menemukan Daigo yang tertawa pelan di dekatnya. Buku-buku jari lelaki itu mengusap pipi Hato yang sedikit basah oleh kaleng minuman dingin yang ditempelkan lelaki itu pada wajahnya.
“Jangan melamun! Nanti ada yang ambil kamu dari aku, gimana?” Sial. Hato mengulum bibirnya dengan wajah memanas. Dia berdecak dan memukul pelan pundak Daigo dan menerima kaleng minuman soda itu.
Daigo ikut bersandar di sebelahnya dan memperhatikan lalu lalang di stasiun yang ramai itu. Sesekali dia melirik kearah Hato yang ternyata juga sedang memandanginya. Perempuan itu jelas terkejut dan pura-pura melihat sesuatu di sebelah Daigo. Hato berdecak dan mengusap wajahnya dengan malu.
“Aku belum terbiasa dengan pata ternyata.” Gumamnya. Daigo mengernyit. “Maksudnya?” Hato menarik napas dan berdiri menghadap Daigo, menyandarkan bahunya pada dinding di sebelahnya. Senyumnya terulum simpul. Tangannya menyentuh dadanya. “Jantungku,” Hato memegang wajahnya. “wajahku, semuanya selalu bereaksi berlebihan setiap kali kamu ada di dekatku. Bagaimana cara menghentikannya?” tanyanya.
Daigo mengerjap mendengar ucapan Hato barusan. Lelaki itu tidak bisa menahan senyum gemasnya. Daigo mengantongi kaleng minumannya dan menangkup wajah Hato, mendekatkan wajahnya kearah perempuan itu dan menggosokan kedua hidung mereka. Hato sudah merasakan bola matanya akan melompat keluar saat Daigo mendekat kearahnya seperti itu.
“Hato kenapa menggemaskan sekali sih?” Hato melotot, lagi-lagi tangannya menepuk pelan pundak Daigo. “Berhenti mendekat dengan tiba-tiba seperti itu!” Hato menyentuh dadanya, merasakan detakannya semakin tidak karuan.
“Kukira kau mau menciumku... Astaga...” Meski dengan suara yang pelan, Daigo bisa mendengar jelas ucapan Hato barusan dari jarak sedekat ini. Tanpa memberikan aba-aba apapun pada perempuan di depannya ini, Daigo mengecup dengan cepat bibir Hato.
Pada saat inilah, jantung Hato berhenti berdetak sepersekian detik.