Lemon Water

ShoppiAiri, Typo, Cringe


“Tamamori-kun.” Member bernama lengkap Tamamori Yuta yang tergabung dalam grup Kis-My-Ft2 itu menoleh kala namanya dipanggil. Dia menemukan Watanabe Shota yang tersenyum kearahnya seraya membungkuk sopan. Lelaki yang akrab disapa Tama ini balas membungkuk kearah Shota.

“Maaf aku mengganggu waktunya,” ucap Shota. Tama menggeleng dan tersenyum. “Tidak. Tidak,” katanya. “ada apa, Watanabe?” tanyanya.

“Aku mau membahas sesuatu soal Airi boleh?” Tama mengerutkan kening. Bingung dan bertanya-tanya ada apa lagi dengan adik sepupunya itu.


Airi sedang berdiri dengan tenang di bawah pancuran air di kamar mandinya. Dia menikmati kucuran air dingin yang menyegarkan itu sambil menggosok-gosok badannya dengan spons yang sudah dipenuhi busa. Sesekali dia bersenandung pelan. Namun, tidak beberapa lama terdengar suara Shota—kekasihnya yang berteriak dari luar kamar mandi, menanyakan dimana mangkuk langganannya. Maksudnya mangkuk yang biasa dia gunakan. Mangkuk kesayangan kalo dibilang.

Airi menjawab dengan teriakan juga supaya Shota bisa mendengar dengan jelas tapi lelaki itu malah bertanya hal yang sama. Baru saja Airi ingin berteriak lebih keras saat pintu kamar mandi terbuka dan mengundang teriakan kaget Airi. Shota berdiri di ujung pintu dan menatapnya yang sedang berdiri di balik pintu transparan bilik shower mereka.

“Dimana mangkukku?” tanyanya, tanpa terdistraksi dengan kondisi Airi yang naked. Airi mengerjap beberapa saat, masih memegangi tubuhnya. Menutupi bagian-bagian privasinya meskipun Shota sudah melihatnya berulang kali.

“Uh,” Airi mengerjap dan berpikir sejenak. Tiba-tiba saja dia lupa jawabannya tadi. “itu, di lemari atas paling pojok.” Lanjutnya. Shota mengangguk dan tanpa membuang waktu langsung pergi dari sana. Tapi, pintu kembali terbuka dan Shota dengan wajah datarnya berujar, “Santai saja. Aku sudah melihat tubuhmu sangat sering, Airi.”

Dan pintu kembali tertutup. Seketika wajah Airi langsung memerah dan dia ingin mengubur dirinya saat itu.


Sudah lebih dari dua bulan sejak Shota melamarnya waktu itu dan Airi tidak memberikan jawaban Yes or No seperti umumnya orang yang dilamar. Dia hanya menangis waktu itu dan Shota seperti sadar bahwa bahasa tubuh Airi mengatakan bahwa dia tidak ingin menjawab lamaran Shota itu. Perlakuan Shota tidak ada yang berubah. Tapi, sejak Shota yang menerobos masuk ke kamar mandi hanya untuk menanyakan letak mangkuk yang dia simpan dan mengatakan dengan datar mengenai Shota yang sudah sering melihat tubuh telanjang Airi mengganggu pikirannya.

Apakah Shota sudah tidak mencintainya lagi? Apakah ini salah Airi hingga perasaan Shota menghilang untuknya?

“Airi!”

Perempuan bermarga Minamoto itu langsung terlempar dari lamunannya. Dia mengerjap dan menemukan Koji dan Tsuki yang duduk di depannya. Saat ini mereka sedang bertemu dan mengobrol seperti biasa di restoran kafe langganan mereka. Bahkan sang owner memberikan ruangan privasi bagi mereka di lantai dua gedung itu. “Kau memikirkan sesuatu?” tanya Tsuki.

Airi tersenyum tipis. Dia mulai menceritakan soal Shota yang melamarnya—Tsuki jelas histeris— dan juga reaksi Shota saat melihat tubuh telanjang Airi yang menurut Airi reaksi itu sangat biasa. Terlampau biasa. Pasalnya, setiap Shota melihatnya yang telanjang, lelaki itu pasti akan menggodanya dan mereka akan berakhir bercinta. Entahlah. Atau memang otak Airi saja yang sedang horny saat itu.

“Menurutku itu hal biasa.” Kata Koji. Lelaki blasteran Thailand-Jepang itu menyesap minuman yang dipesannya dan mengambil kentang goreng wedges dari keranjang beralaskan cooking paper itu. “Shoppi tetap menganggap tubuhmu itu luar biasa, Airi. Mungkin dia hanya sedang tidak ada keinginan menggodamu.” Lanjut Koji.

“Kalau begitu, kenapa kau saja yang tidak menggodanya?” Celutuk Tsuki melirik Airi seraya menggigit kentang wedgesnya, menatap kearah Airi. Airi menggeleng. “Sangat bukan aku.” Gerutunya.

Tsuki merotasi bola matanya. Dia menikmati pesanannya sendiri. Sementara Koji mulai sibuk bercerita mengenai kesehariannya dan Tsuki maupun Airi bagian mendengarkan. Seraya mendengarkan Koji, Airi melihat keluar jendela, memperhatikan orang-orang yang beraktifitas di luar sana. Matanya tidak sengaja menangkap seorang kurir yang sedang mengantarkan paket yang ukurannya sama persis dengan yang pernah dikirimkan ke rumahnya waktu itu. Bayangan mengenai hal-hal menyeramkan yang pernah menyerangnya langsung memenuhi benak dan otaknya.

Airi berdecak, menyadari dia bisa merasakan detakan jantungnya yang begitu cepat serta tangannya yang mendingin. “Koji, Tsuki, aku ke kamar mandi sebentar.” Katanya terburu-buru, membawa tasnya dan pergi dari sana menuju toilet tanpa menunggu Tsuki dan Koji menjawabnya.

Sementara itu, Tsuki hanya bisa memandangi punggung Airi yang menghilang di balik pintu ruangan private tersebut. Koji yang duduk di sebelahnya, menyikut dirinya. “Kau menyadarinya?” tanya Koji.

Tsuki terkekeh. Dia meminum colanya dan mengangguk. “Aku sudah memastikannya sendiri ke dokternya waktu itu.” Ya. Setelah Tsuki menjenguk Airi dengan membawakan kue lemon kesukaannya, Tsuki tidak serta merta pulang. Perempuan itu melipir terlebih dahulu ke ruangan dokter yang menangani Airi yang ternyata adalah kenalan ayahnya juga.

Dia menanyakan kondisi lengkapnya Airi. Awalnya sang dokter enggan untuk memberitahu karena itu termasuk ke dalam privasi pasiennya. Dia tidak bisa asal memberikan informasi seperti itu pada orang asing. Tapi, Tsuki mengatakan bahwa dia sudah lama mengenal Airi dan dia sudah merasa seperti saudara dengan Airi.

Sang dokter mengarahkannya pada seorang psikiater yang ternyata kenal dekat dengan ayahnya juga. Benar-benar social butterfly sekali ayahnya ini. Tsuki tidak kaget begitu dia mengetahui bahwa Airi mengalami PTSD. Pengalaman traumatis yang dialami oleh perempuan bermarga Minamoto itu bukan sesuatu hal yang biasa. Psikiater mengatakan pula bahwa Airi lebih takut saat melihat kotak paket dengan ukuran tertentu serta kurir.

“Shoppi... Juga sudah sadar dengan kondisinya.” Kata Koji. Tsuki menatap kearah sang sahabat dengan alis bertaut. “Setiap ada pemberitahuan dari resepsionis ada kurir yang mengantarkan barang, Airi selalu meminta untuk ditaro saja di kotak surat atau dititip ke resepsionis. Biasanya tidak seperti itu.” lanjutnya.

“Bisa jadi...” Tsuki menatap lamat gelas berisi Lemon Tea pesanan Airi.

Airi kembali tidak lama kemudian dengan raut wajah yang lebih rileks. Tsuki menyambutnya dengan senyuman. Koji dan Tsuki berhenti membicarakan soal kondisi Airi. Mereka kembali mengobrol dengan santai hingga Koji harus pamit karena sudah dijemput oleh manajernya.


“Jadi, kau berencana melamar adik sepupuku?” tanya Tama seraya duduk di ruang istirahat yang biasa digunakan talent Johnnys untuk bersantai atau sesekali merekam konten mereka untuk YouTube.

Shota yang duduk di hadapannya mengangguk. “Menurutmu bagaimana?” tanya Shota. Tama terlihat terdiam cukup lama. Pandangannya menatap lurus kebawah seperti berpikir begitu panjang. Lelaki bernama lengkap Tamamori Yuta itu tersenyum. “Aku merestui kalian, kok,” katanya.”tapi, maaf kalau aku membuat kepercayaan dirimu menurun, untuk saat ini Airi sepertinya tidak akan bisa menjawab lamaranmu dengan langsung.” Katanya.

Shota mengernyit. “Kenapa?” Tama tersenyum. Dia teringat dengan pertemuannya dengan sang adik sepupu yang sangat dia sayangi itu setelah sekian lama. Airi menginap di apartemennya hari itu dan untungnya Tama sedang mengambil jatah liburnya jadi dia bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersam sang adik. Mereka mengobrol banyak, menceritakan banyak hal yang sudah lama tidak Airi ceritakan pada sang ‘kakak’. Termasuk kondisinya saat ini.

Airi bahkan mengutarakan ketakutannya akan merepotkan Shota dengan kondisi mentalnya yang menjadi tidak stabil sejak saat itu. Tapi, menurut Tama, Shota sangat tulus padanya. Dia tidak akan peduli dengan kondisi Airi. Selama Airi sehat dan baik-baik saja, Shota akan menjaga dan menyayangi perempuan itu tanpa syarat apapun.

“Beri Airi waktu untuk menjawabnya kalau kamu jadi melamarnya ya.” kata Tama. Shota mengangguk pelan meski dia masih meraba apa yang terjadi pada Airi yang tidak dia ketahui.


Shota memencet tombol lantai dasar menuju Lobby kantor Johnnys itu setelah menyelesaikan latihannya bersama Snow Man. Dengan jaket kulit cokelat dan beannie hat hitam serta kacamata andalannya, Shota bersandar pada dinding lift. Lelaki itu terlihat melamunkan sesuatu. Lebih tepatnya memikirkan tentang kekasihnya saat ini. Pembicaraannya dengan Tama mengenai Airi pun tidak memberikannya hint tentang apa yang terjadi pada Airi. Shota jadi merasa dia seperti kehilangan interest pada Airi di rumah meskipun kenyataannya tidak seperti itu.

Pintu lift berhenti di salah satu lantai sebelum mencapai lantai tujuannya. Dia terkejut mendapati Tsuki yang masuk ke dalam lift tersebut, dengan Matsumoto Jun yang mengantar sang putri ke depan lift. Shota langsung membungkuk sopan dan menyapa sang senior dengan ramah yang dibalas sama ramahnya dan Jun melambaikan tangan pada Tsuki dan menyuruh perempuan itu untuk pulang ke rumah dulu sebelum pintu lift tertutup.

Ada keheningan di lift itu. Tsuki berjalan mundur dan bersandar di sebelah Shota. “Bagaimana kabar Airi?” Tsuki tiba-tiba bertanya padanya membuat Shota sedikit terkejut.

“Dia baik-baik saja...” balas Shota lamat-lamat. Tsuki berdecak diikuti suara mendengkus. “Kau tinggal dengannya dan bertemu dengannya lebih sering tapi tidak peka dengan perubahannya. Sungguh useless sekali.” Cibirnya membuat Shota langsung mengerutkan kening dalam-dalam. Lelaki itu langsung berdiri menghadap Tsuki dan menatapnya. “Apa maksudmu?” tanyanya. Shota sebenarnya menyadari ada yang salah pada Airi mengenai kiriman-kiriman yang diantar oleh kurir selalu dititipkan di resepsionis sampai Shota sendiri yang mengambilnya meskipun ada Airi di apartemen mereka.

Tsuki berdiri menghadapi Shota dan tersenyum miring. “Airi sakit dan kau tidak tahu?” cibir Tsuki. Sakit? Airi sakit? Sakit apa?

“Kau tanya lengkapnya pada calon istrimu itu, Watanabe. Atau cari tahu sendiri pada dokter yang dulu merawatnya.” Kata Tsuki tepat begitu lift yang mereka tumpangi sampai di lantai tujuan. Perempuan bermarga Matsumoto itu langsung berjalan keluar dan hanya menyisakan suara dentuman hak sepatu Tsuki yang berjalan menjauh.

Di lift itu, Shota menyadari Tsuki menjatuhkan sesuatu. Sebuah kartu nama.


Airi selesai mengeringkan rambutnya yang sekarang sudah dipotong seleher. Perempuan bermarga Minamoto itu menatap sejenak pantulan dirinya di cermin. Tidak ada yang berubah, mungkin hanya sorot mata yang tidak seceria dulu. Airi sendiri tidak tahu kemana sorot mata itu menghilang. Sejak keluar dari rumah sakit dan kondisinya sudah lebih baik, dia merasa ada yang hilang tapi Airi tidak tahu apa itu. Dia hanya menikmati hidup dengan berharap siapa tahu sesuatu yang hilang itu bisa kembali.

Airi menyimpang hair dryernya kembali ke lemari diatas cermin tersebut dan berjalan keluar dari kamar mandinya. Langkah kakinya menuju ruang tengah yang menyatu dengan ruang makan beserta dapur itu. Airi menemukan Shota yang sedang menonton video koreografer baru lewat Ipadnya sambil menikmati teh yang diseduhnya sendiri.

Sebenarnya hari itu, Airi ingin meminta sesuatu dari Shota—kekasihnya, kalau dibilang mungkin izin? Airi berjalan menghampiri Shota dan duduk di depan lelaki yang masih asyik dengan tontonannya itu. “Shota,” panggil Airi setelah lama dipandanginya sang kekasih.

“Ya, sayang?”

Sial. Airi langsung merasakan jantungnya berdetak dengan cepat dengan respon yang Shota berikan barusan. Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, menetralisir rasa berdebar dan rasa panas yang menjalar di kedua pipinya. Shota jarang sekali memanggilnya dengan panggilan seperti itu, jadi, Airi tidak pernah terbiasa. Dilihatnya Shota langsung menutup Ipadnya dan menyingkirkan barang itu.

Airi baru sadar ada cangkir teh lain yang sudah disediakan Shota di meja makan. Lelaki itu menggeser cangkir itu kearahnya dan tersenyum, sementara Shota mulai memusatkan perhatiannya pada sang kesayangan. Airi menggenggam cangkir itu dengan kedua tangannya dan bergumam terima kasih pada Shota.

“Jadi,” Airi menarik napas lagi. “aku ditawari bermain drama enam belas episode dengan durasi empat puluh lima menit di Korea Selatan. Drama romantis dan lawan mainku Lee Soo Hyuk,” Airi menatap Shota yang bergeming, masih menunggu Airi menyelesaikan ucapannya. “Bagaimana menurutmu...?” tanya Airi dengan nada tidak yakin.

Shota terdiam sejenak, dia mengangkat cangkir teh miliknya dan menyesapnya pelan. “Kau akan baik-baik saja disana?” tanya Shota.

Airi mengangguk, meski dia tidak yakin. “Kurasa iya. TOBE juga yang menyarankanku untuk mengambil tawaran ini, hitung-hitung penyegar suasana.” Kata Airi.

“Siapa yang akan menjagamu disana kalau kamu kambuh sewaktu-waktu?” tanya Shota. Lelaki itu kali ini menatap lurus kearahnya. Airi mengerjap. Terkejut dengan kalimat yang dilontarkan sang kekasih.

“Kambuh? Maksudnya?” tanyanya. Shota tersenyum tipis, matanya kali ini menatap kearah air teh yang bergoyang pelan begitu dia menggerakkan cangkirnya. “Jangan kira aku tidak tahu, sayang,” katanya. Airi terkejut mendengarnya. Dia mengulum bibirnya dan mengalihkan pandangan kearah lain. “a-apa yang tidak kamu tahu?” tanyanya.

Shota terkekeh. Dia menghela napas. “Matsumoto memberitahuku soal kondisi mentalmu,” katanya. “kondisi PTSD yang kamu alami saat ini belum sembuh, ‘kan?” lanjut Shota.

Sial. Padahal Airi sudah sehati-hati mungkin agar Shota tidak tahu soal kondisinya. Dia tidak mau membuat Shota khawatir dan itu akan mengganggu aktifitas kekasihnya itu. Dia tidak mau menjadi beban untuk orang lain. Tapi, toh, kenyataannya seperti itu. Saat dia sedang kambuh.

Airi memejamkan matanya. Rasa sesak dan sedih menjalari perasaannya saat ini. Dia mengela napas. “Sudah berapa lama kamu tahu?” tanya Airi lirih. “enam bulan yang lalu.” Kata Shota. Ya. Sudah setahun lebih sejak kejadian penyerangan yang membuat Airi mengalami semi-koma. Kejadian itu juga mempengaruhi kondisi mentalnya.

Airi menemui psikiater juga tanpa sepengetahuan Shota maupun Koji dan Tsuki, hanya Takki dan Manajernya saja yang tahu. Tapi, pada akhirnya Tsuki tahu dan memberitahu pada Shota. “Begitu. Kenapa kamu diam saja?” tanya Airi.

Shota tersenyum lembut. “Karena kamu tidak mau aku tahu. Jadi, aku berpura-pura tidak tahu.” Ucap Shota dengan jujur. Meski terkadang dia mendapati Airi yang sedang kambuh, menangis keras atau diam-diam di kamar mandi atau di balik kloset. Setiap kali, perempuan itu berpikir bahwa Shota pulang larut malam atau tidak akan pulang hari itu. Itu sangat menyakiti hatinya, Shota ingin menenangkan Airi, ingin mengatakan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sejak Shota tahu bahwa kondisi mental Airi sedang tidak baik-baik saja, sebisa mungkin dia pulang cepat dan tidak menginap meski terkadang ada pekerjaan yang harus dilakukan di luar kota. Shota akan pulang hari itu juga setelah pekerjaannya selesai. Setidaknya dia bisa menemani perempuan itu meski tidak bisa memeluknya secara langsung.

“Aku belum cukup bisa kamu percayai ya, Airi?” tanya Shota. Tangannya meraih tangan Airi yang tidak menggenggam cangkir teh itu. Airi mendongak dan bertemu pandang dengan mata Shota yang menatapnya dengan berkaca-kaca. Dia tahu, dia sudah terlalu sering menyakiti perasaan Shota dengan tidak mengatakan yang sebenarnya.

“Maaf, bukan begitu....” Sebuah respon yang sangat klise. Airi berdecak. Dia menggigit bibirnya. Shota tersenyum. Genggaman tangan pada perempuan itu dia lepas. Lelaki bermarga Watanabe itu beranjak. Airi sudah berpkir bahwa Shota akan meninggalkannya tapi yang terjadi adalah Shota berdiri dengan kedua lututnya di hadapannya. Shota menarik Airi untuk menatap kearahnya.

“Aku sudah pernah bilang padamu, pelan-pelan saja. Perlahan,” katanya. “mulai dari hal-hal kecil. Adakah yang sulit dari itu?” tanya Shota dengan lembut. Tangannya tidak diam saja, Shota mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Airi dengan punggung tangannya.

Tangis Airi pecah. Dia terisak pelan. Menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, tidak sanggup untuk menatap kearah Shota di hadapannya. Dia terlalu merasa bersalah karena masih tidak bisa memberitahu apa yang dia rasakan, apa yang terjadi padanya. Airi sudah terbiasa untuk menyimpan semuanya sendiri.

“Maafkan aku... Maaf.” Ucap Airi. Shota menarik tangan Airi yang menutupi wajah cantiknya itu. Dia mengusap wajah sang kekasih dengan lembut dan tersenyum. “Sssh, tidak apa-apa, sayang. Mulai sekarang, aku hanya ingin kita saling terbuka dengan kondisi masing-masing. Katakan apa yang kita rasakan saat ini, apa yang kita lalui dan kita ingin apa atas rasa itu.” ucap Shota.

Airi mengangguk pelan. Dia membawa dirinya untuk memeluk Shota. “Aku sangat sedih saat ini karena sudah sering menyakiti perasaanmu, Shota,” Itu pertama kalinya Airi menyatakan perasaan sesungguhnya pada lelaki di hadapannya ini. “maafkan aku.” Lanjutnya dengan suaranya yang serak.

Shota mengusap kepala Airi lembut. Dia hanya mengangguk seraya menikmati waktu yang dilewati bersama dalam pelukan itu.

Setelah puas menangis, Airi melepaskan dekapannya dan menatap Shota yang masih bersimpuh di depannya. “Jadi, izinnya bagaimana?” tanyanya seraya mengambil napas. Shota tertawa mendengar pertanyaan Airi. Dia berusaha bangun dengan susah payah karena terlalu lama di posisi itu. Airi membantunya dan mereka kembali duduk berhadapan.

“Siapa yang akan menjagamu disana nanti?” “Manajer. Tsuki akan disana juga kalau dia sedang tidak sibuk.” “Kalau aku ikut saja denganmu bagaimana? Katamu drama romantis, ‘kan? Aku mau langsung mengclaimmu kembali kalau ada adegan ciuman bersama lelaki lain.”

Airi berdecak. Namun, dia tersenyum mendengar ucapan Shota barusan. “Tidak boleh.”


Shota terbangun di tengah malam. Dia meninggalkan sebentar Airi yang sudah terlelap di ranjangnya sementara dia butuh sesuatu yang bisa membuatnya kembali mengantuk. Shota keluar kamar dengan perlahan. Dia menemukan Mocca yang sedang terlelap diatas meja makan. Kucing itu tidur dengan suara dengkuran yang samar.

Shota tersenyum tipis melihatnya. Dia berjalan kearah kulkas dan menemukan sesuatu. Sebuah infused lemon water milik Airi.

Shota menoleh kearah kamarnya dan Airi. Dia menghela napas dan mengambil botol berisi air tersebut dan mengambil gelasnya. Dituangkannya sedikit air tersebut dan meminumnya. Rasa asam sekaligus menyegarkan langsung menyerang lidah dan kerongkongannya. Dia masih bertanya-tanya kenapa Airi sangat menyukai Lemon.

Padahal buah ini sangatlah asam dan tidak semanis jeruk atau buah lainnya.