Midnight Walking

ShoppiAiri, Fluff, Typo, Cringe Lilas Ikuta – Midnight Talk


Airi memencet tombol lift dimana apartemennya berada. Dia bersandar sembari membuka blog Johnnys seperti biasa. Beberapa talent terlihat masih ada yang update meski sudah pukul sebelas malam. Terlihat Snow Nichijou hari itu dipenuhi update dari Meguro, Sakuma, Koji dan juga Shota. Tumben sekali ramai. Biasanya hanya Sakuma dan Koji. Meguro juga termasuk yang jarang update sih. Mungkin karena sedang musim Takibuki. Ah, Airi baru ingat dia belum sempat nonton Takibuki walau Shota sudah menyisakan satu tiket VIP padanya di setiap pertunjukkan.

“Datang kapanpun kamu senggang, tiketnya akan selalu kutitip pada manajer ya.”

Airi menghela napas. Dia selalu tidak ada waktu karena memang mulai masuk masa-masa sibuk seperti dulu. Mungkin, dia akan coba hadir bersama Tsuki atau Haruna, kalau dua orang itu tidak bisa mungkin dia akan menonton bersama Mina atau Kuro saja.

Airi membuka blog milik Shota Watanabe, sosok member penyuka skincare dan memiliki color representative Biru itu rupanya update jam empat sore tadi. Lelaki itu nyaris lupa mengupdate blognya dan bertanya apa yang harusnya ditulis di dalam blog setiap hari? Akan bagus kalo tidak kehabisan cerita. Dia juga menuliskan bahwa dango yang diberikan padanya sangat lezat.

Dibawahnya disertakan pula sebuah foto selfienya. Sosok lelaki bermarga Watanabe itu mengenakan sweater rajut putih dengan In Ear Monitors yang tergantung di lehernya sementara wajahnya mengerut dengan menggemaskan hingga matanya membentuk garis sembari mengacungkan peace sign. Gaya andalan seluruh umat. Rambutnya hari itu dibuat berponi dan membuat Airi gemas pada lelaki itu. Airi sampai harus mengatup mulutnya dengan sebelah tangan, menyembunyikan senyum meski itu tidak terlalu berhasil.

image

Airi segera turun dari lift dan melangkah menuju unitnya. Mengeluarkan kuncinya dan membuka pintu tersebut, rupanya Shota sudah pulang lebih dulu. Airi melepaskan bootsnya dan mengucapkan salam andalannya. Andalan seluruh warga jepang, sih.

Airi kembali berjalan menyusuri lorong pendek di unitnya itu dan sampai di ruang tengah, terlihat Shota sedang menonton televisi dengan Mocca yang duduk tenang di pangkuannya, menikmati belaian Shota pada kepalanya. Lelaki itu terlihat sudah mengenakan celana panjang pasangan dari piyamanya namun atasannya hanya mengenakan kaos tipis berwarna gelap. “Oh, Okaeri, Airi.”

Airi mengulum senyum tipis, membalas sapaan Shota dengan gumaman pelan sebelum beralih ke kulkas untuk mengambil minum. “Sudah makan belum?” Suara Shota terdengar lagi. Sementara Airi masih berusaha menghilangkan rasa geli di perutnya akibat foto Shota yang dia lihat di Jweb tadi. Perempuan itu berbalik dan menghadap Shota yang sekarang menoleh kearahnya. Kepalanya menggeleng seraya bibirnya mengapit ujung botol minum miliknya.

Shota mengangguk. “Mau makan sesuatu?” Airi menutup botol minumnya setelah selesai dan menggulirkan matanya. “Ramen instan mungkin?”

Shota terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya bangkit setelah meletakan Mocca—kucing peliharaan Airi di sebelahnya. Lelaki itu mendekati Airi, mengusap sekilas pipi perempuan itu—yang jelas-jelas membuat Airi semakin sekuat tenaga menahan rasa saling tingkahnya, dan membuka laci kabinet di atas kompor mereka. “Sepertinya tidak ada.” Gumam Shota. Lelaki itu berbalik, menatap Airi yang sekarang sudah berdiri menghadapnya.

“Airi ngantuk gak?”

“Enggak, sih. Malah rasanya gak bisa tidur kalau belum makan.”

Jawaban Airi mengundang tawa renyah Shota. Lelaki itu memegang wajah Airi dengan kedua tangannya dan mengusapnya gemas. “Ya sudah. Kita jalan, yuk, ke konbini depan,” Ajak Shota. “ah, aku ambil jaket dulu. Airi perlu syal?”

Hari ini Shota benar-benar banyak bicara, tidak seperti biasanya atau tidak seperti di video sunotube yang beberapa kali sempat Airi tonton. Keduanya saat ini sedang berjalan menyusuri pendestrian yang sepi. Bahkan langkah mereka hanya ditemani oleh sorot lampu jalan serta beberapa lampu luar dari rumah yang ada di sekitar apartemen mereka. Suara langkah keduanya pun hanya ditemani angin yang sesekali berhembus. Konbini terdekat jaraknya lumayan jauh dari apartemen mereka, perlu jalan kaki sepuluh menit untuk sampai. Tapi, kadang baik Shota ataupun Airi bersyukur karena di waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki, keduanya bisa merasakan waktu berdua yang jarang mereka lakukan.

Airi menoleh kearah lelaki yang berjalan di sebelahnya, sosok yang sudah menjadi kekasihnya selama tiga tahun itu terlihat bersenandung pelan. Sebuah lagu yang Airi kenal milik Lilas Ikuta. Untung saja setahu Airi judul yang disenandungkan Shota bukan sebuah lagu ballad yang sarat akan kisah menyedihkan. Justru nadanya seperti cocok dengan suasana di sekitar mereka saat ini.

Airi ikut menyenandungkan nadanya dengan pelan, membuat Shota menoleh kearah kesayangannya ini. Dia mengulum sebuah senyum dan meraih tangan Airi yang bebas terayun-ayun. Perempuan itu menoleh kearahnya dengan terkejut. “Biar gak hilang.” “Siapa yang mau culik kalau tidak ada satu orang pun disini selain kita?” cibir Airi. “Justru suasana seperti ini cocok untuk menculik orang. Apalagi Airi perempuan. Cantik pula.” Airi berdecak. Belajar ngalus dari mana lelaki ini?

“Shota, berisik...” balas Airi. Dia sudah tidak punya bahan untuk membalas ucapan Shota dengan kalimat lain. Keduanya sampai di konbini yang masih buka dua puluh empat jam itu. Tanpa melepaskan tautan tangannya pada Airi, Shota mengajak perempuan itu ke rak berisi mi instan. Lelaki itu bertanya padanya, apakah mereka perlu sekalian menyetok lagi atau nanti saja saat belanja di supermarket yang lebih besar. Airi menjawab dia hanya perlu beberapa bungkus saja sebelum jadwal belanja bulanan mereka.

“Airi mau es krim tidak?” tanya Shota yang sudah melepaskan genggaman tangannya, membuat Airi menggerutu pelan tidak terdengar lelaki itu. “Kau ini memang manusia salju ya, Shota.” kata Airi seraya menggelengkan kepalanya. Perempuan itu sudah membawa keranjang berisi belanjaan mereka ke meja kasir, meninggalkan Shota yang sedang merenggut. Meski begitu, Shota tetap mengambil beberapa eskrim sebagai stok.

Keduanya kembali berjalan beriringan menuju apartemen mereka. “Jarang-jarang ya kita jalan begini.” “Mau gimana lagi, kita sama-sama sibuk.” Balas Airi tanpa melihat kearah Shota. Lelaki bermarga Watanabe itu mengambil kantung belanjaan dari tangan Airi dan menarik tangan perempuan itu untuk dia genggam. “Airi sudah sangat lapar ya sampai merenggut gitu.” Katanya.

Airi mengerutkan kening. “Aku tidak merenggut?” katanya dengan tidak yakin. Shota menyipitkan mata kearahnya. Jelas Shota bisa mendengar gerutuan Airi begitu dia melepaskan genggaman tangannya di konbini tadi. “Kamu kesal aku lepas genggaman tanganku padamu kan?” Airi mengerjap. Dia berdecak.

“Mana ada.” Balasnya. Shota tertawa melihat wajah Airi yang meranum merah. “Tenang, Airi. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan genggaman tanganku padamu.” Katanya.

Airi melirik kearah Shota. “Jangan berjanji seperti itu, Shota. Bagaimana kalau nanti kau mengingkarinya?” kata Airi. Shota berdecak, mengeratkan genggaman tangannya pada Airi. “Makanya jangan lepaskan genggaman tanganku. Kau juga jangan berdoa seperti itu, dong.” Katanya.

Airi mengulum senyum tipis. Dia membalas genggaman tangan Shota, sebelum akhirnya melepaskan sebentar genggaman tangan lelaki itu untuk dia apit lengannya dan bersandar pada bahu Shota sambil berjalan. Shota jelas terkejut dengan gerakan Airi yang tiba-tiba itu. Sesuatu yang tidak biasa untuk dia dapatkan dari Airi.


Setelah menyantap ramen instan malam itu, Shota dan Airi duduk di atas sofa dengan Mocca yang duduk di pangkuan Airi. Mereka menonton siaran tengah malam sembari mengobrol tipis-tipis tentang kegiatan mereka hari itu. Apa saja yang dilakukan Shota maupun Airi. “Tidur duluan juga gapapa, ri.” Kata Shota. Airi menggeleng, tangannya masih asyik mengusap tubuh Mocca yang sekarang sudah terlelap di pangkuannya. “Aku masih belum ngantuk.”

Shota menoleh kearah kesayangannya, menemukan kedua mata Airi yang sudah mulai terpejam beberapa kali. Seulas senyum terukir di wajah Shota. Mereka kembali mengobrol santai, menunggu kantuk menyerang. Ucapan Shota terhenti begitu dia merasakan berat di bahunya. Kepala Airi sudah terkulai di bahunya, rambut perempuan itu sedikit menghalangi wajahnya. Jemari Shota menyingkirkan sedikit helaian rambutnya, menyelipkan di balik telinga Airi.

Diusapnya perlahan pipi Airi yang sedikit merona pink. Ditelitinya wajah kesayangannya, merekam setiap inchi dan garis yang terukir disana. Bulu mata yang lentik, bibirnya merah serta kelopak mata yang tertutup itu mengundang Shota untuk mencium kelopak Airi.

Suara Mocca menghentikan gerakannya yang hendak mencium bibir Airi. Kucing itu mendongak dan menatapnya dengan kedua mata yang terbuka lebar, menatap Shota seakan-akan bertanya, “Apa yang mau kau lakukan pada babuku, babu?” Shota tersenyum geli. Meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.

Mocca turun dari pangkuan Airi dan berpindah tidur di tempatnya sendiri. Syukurlah Shota tidak perlu repot untuk memindahkan Mocca, kucing itu sudah secara mandiri pindah ke kasurnya sendiri.

Airi menggeliat. Shota merasakan tangan Airi memeluk pinggangya dan perempuan itu semakin mendekat kearahnya, hingga Shota bisa merasakan hembusan napas Airi yang teratur pada lehernya. Jantung Shota berdetak sangat cepat bahkan kedua pipinya saat ini sudah memanas. Lelaki itu berdehem beberapa saat sebelum akhirnya membangunkan sedikit Airi agar bisa dia pindahkan ke kamar mereka. Tidak baik sering tidur di sofa.

Shota menggendong Airi, lagi-lagi Airi mengendus leher Shota dan diam disana selama beberapa saat, kembali tidur. Shota sampai harus menahan napasnya. Dia meletakan perlahan Airi di kasur mereka, membentangkan selimut dan berjongkok sebentar di sampingnya.

Shota tidak akan pernah bosan memandangi wajah Airi. Sampai kapanpun.