New Year Eve
ShoppiAiri, Fluff, Typo
Malam tahun baru benar-benar waktu yang sibuk untuk Snow Man. Tidak hanya untuk Snow Man, tapi juga Airi dan RED*ONE yang tahun ini berhasil menembus masuk Kouhaku Uta Gassen.
Ini pertama kalinya sejak Airi debut. Dia sangat terharu karena bisa satu panggung dengan artis ternama dan legenda. Selepas Kouhaku yang dimana ditutup dengan kemenangan tim Merah tahun itu, Airi memutuskan untuk menghabiskan waktunya di klub bernuansa cozy dan menenangkana langganannya. Di Kouhaku tadi dia sempat mengobrol dengan Raul dan juga Haruna beserta Tsuki. Tidak lupa mengambil potret. Bahkan Tsuki menyuruh Watanabe Shota untuk berfoto berdua dengan Airi yang hari itu mengenakan dress indah yang membuat penampilannya stunning.
Malam sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi, sementara bar tempat dia ‘merayakan’ New Year Eve setelah Kouhaku terlihat masih ramai meskipun suasananya begitu sunyi dan menenangkan. Dia baru ingat kalau bar ini memperpanjang jam operasionalnya di malam tahun baru.
“Tambah minumannya lagi, Minamoto?” Sang bartender membuyarkan lamunannya. Airi mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Tequila sunrise.” kata Airi. Sang bartender mengangguk, menyiapkan pesanan Airi.
Airi mengeluarkan ponselnya dan meletakan benda persegi itu diatas mejanya. Jemari lentiknya menekan dua kali layar itu menampilkan lockscreen dengan foto bayangan seseorang. Airi memandanginya sembari bertopang dagu.
“Bayangan siapa itu? Sampai membuatmu tersenyum lebar seperti itu.” Sang bartender meletakan pesanannya di sebelah ponsel Airi. Airi sudah sering kemari membuat sang bartender tidak segan untuk menggodanya.
Airi menggeleng, menikmati minumannya. “Hanya seseorang.” jawab Airi. Sang bartender mengangguk. “Yang mengajakmu FWB?” Aish, orang ini terlalu tahu banyak tentangnya. Memang, tempat ini adalah pertama kali Airi dan Watanabe Shota bertemu kembali dan titik balik kesehariannya bersama seorang lelaki. Tidak. Airi hanya main dengan dua lelaki. Watanabe Shota dan Miyadate Ryota. Biar begini, dia juga pemilah jika ingin bermain-main.
Airi melempar tisu di sampingnya kearah sang bartender. “Kalau ada berita datingku yang muncul, aku akan menuduhmu pertama kali.” cibir Airi. Sang bartender tertawa. “Tidak hanya aku yang berada disini, Minamoto.” balas sang bartender sembari tangannya sibuk dengan gelas cocktail di tangannya.
Airi mendengkus. Dia menengguk minumannya lagi, menikmati keramaian yang sunyi di malam tahun baru itu.
Watanabe Shota memutar kemudinya, sembari pandangannya melihat kearah kaca spion sesekali, memastikan bahwa tidak ada kendaraan yang lewat ataupun polisi yang berjaga di sekitar.
Biasanya di malam tahun baru, dia selalu diantar manajernya pulang. Tapi, karena hari itu dia mau membawa kendaraannya sendiri, jadi malam itu dia terpaksa harus menyetir. Untung saja, dia tidak minum malam itu meskipun ada after party setelah Johnnys Countdown.
Sayangnya, dia tidak bisa langsung pulang ke apartemennya. Ponselnya tadi menerima telepon dari temannya yang seorang bartender di sebuah bar terkenal, mengabarinya soal Airi. Tanpa berpikir dua kali, lelaki itu langsung putar balik dan menuju lokasi.
Shota dikabari bahwa Airi terpleset di kamar mandi. Kalau dari yang dikabari oleh temannya, Airi tidak mabuk sama sekali. Perempuan itu hanya tidak lihat jalan saat masuk ke dalam kamar mandi dan sekarang perempuan itu tidak bisa berjalan dengan sempurna.
Shota memarkirkan mobilnya di pinggir jalan yang ditandai boleh parkir. Langkahnya cepat menyusuri pendestrian yang masih sedikit ramai oleh orang yang lalu lalang dari kegiatan mereka di malam tahun baru. Sedangkan Shota baru selesai bekerja saat jam menunjuk pukul setengah tiga pagi. Lelaki bermarga Watanabe itu menarik turun topinya saat berpapasan dengan orang-orang. Butuh melewati lima gedung pertokoan untuk sampai di bar tempat dimana Airi berada.
Selepas berhasil masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat Airi yang duduk di sofa tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Tengah bersandar dengan punggung tangannya menutupi wajahnya, sementara temannya yang merupakan bartender yang menghubunginya tadi sedang mengompres kaki Airi.
“Airi!”
Airi langsung bangkit, terkejut mendengar suara Shota ada disana. Refleksnya membuat keseimbangannya hilang karena menyadari kakinya masih terkilir. Shota langsung menangkap tubuh Airi yang hendak jatuh. Airi meremas jaket yang dikenakan Shota. Semakin terkejut dengan apa yang dilakukan lelaki itu.
“Kenapa kau disini?” Tanya Airi bingung. Shota mendudukan perempuan itu kembali di atas sofa. “Dia menghubungiku.” Shota menunjuk kearah bartender yang tadi sedang mengompres kaki Airi. Airi mengerjap, kemudian dia mendelik tajam, sementara sang bartender hanya tersenyum manis.
“Kakimu kenapa?” tanya Shota sembari berjongkok, menyentuh lembut kaki Airi. Perempuan itu langsung memukul pundak Shota saat Shota tidak sengaja meremas bagian yang terkilir. “Jangan ditekan bodoh!” Omel Airi.
Shota mendengkus. “Ya sudah. Ayo pulang, kau perlu istirahat, Airi.” katanya. Shota melepaskan topinya dan memakaikan pada Airi. Sementara dia berjongkok memunggungi perempuan itu.
“Naik.” kata Shota. Airi menggeleng. “Aku bisa jalan sendiri.” tolak Airi. Dia tidak mau merasakan sensasi jantungnya yang berdebar kencang serta wajahnya yang memerah lagi. Terlebih dia lebih malu kalau sampai Shota bisa mendengar debarannya. Mau ditaruh dimana wajahnya?
Shota berdecak. Dia menoleh sedikit kearah Airi dan mendelik. “Dengan kondisi kakimu yang seperti itu? Kita bisa sampai mobilku saat matahari terbit, Minamoto.” cibir Shota.
“Ya sudah! Kau pulangs aja sana! Aku bisa menginap disini atau menelpon Date atau Manajerku.” Gerutu Airi, bersidekap. Shota mengembungkan pipinya, menghela napas. “Jangan repotkan mereka, Airi.”
“Repot? Kau repot menjemputku kemari?”
Perdebatan ini tidak akan ada habisnya.
Pada akhirnya, Shota berhasil membujuk Airi untuk naik ke punggungnya dan membawa perempuan itu menuju mobilnya. Perjalanan menuju mobil Shota diisi oleh keheningan. Airi menyandarkan dagunya pada bahu Shota sementara Shota masih tenang menggendongnya sembari terus melangkah. Rambut sepunggung Airi sempat diikat oleh Shota sebelum lelaki itu memakaikan topi miliknya pada Airi.
Airi terus mengucapkan doa dalam hati, berharap kalau Shota tidak mendengar debaran jantungnya yang menggila saat ini. Padahal Airi sudah sering menolak Shota secara tidak langsung tapi lelaki itu seperti tidak pernah jengah memberikan perhatian padanya, bahkan rela pulang terlambat hanya untuk menjemputnya di bar. Sebenarnya, Airi sudah pernah bilang pada Shota untuk menunggunya sampai tahun depan, mungkin. Tapi, Airi tidak tahu apakah sampai saat ini Shota masih menyukainya atau tidak.
Airi mengeratkan pelukannya pada leher Shota, menghirup dalam-dalam aroma Shota. Apakah dia akan menanyakan ini atau tidak…
“Shota…” Airi memanggil nama kecilnya, membuat langkah Shota refleks terhenti. Dia terkejut. Tidak biasanya mendengar Airi memanggilnya seperti itu. Perempuan bermarga Minamoto ini selalu memanggilnya dengan nama marganya. kecuali saat mereka bercinta. Sesekali perempuan itu akan meneriakan namanya saat keduanya akan mencapai titik tertinggi bersama.
“Ya…?” balas Shota, kembali berjalan. Airi mengulum bibirnya yang mendadak kering. “Apakah… perasaanmu masih sama seperti pertama kali kau mengatakannya padaku? Jika aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya—” Shota ingin langsung memotong perkataan Airi dengan mengatakan ‘ya! perasaanku masih sama seperti waktu itu, Airi!’, tapi dia memilih menunggu Airi menyelesaikan ucapannya. “apakah ada kemungkinan bahwa perasaanku jadi sepihak?”
Shota tertawa kecil. Dia menarik napas dan berusaha mati-matian menahan senyuman lebarnya sementara jantungnya mulai berdetak keras tidak seperti biasanya. “Kau tahu bahwa perasaanmu tidak pernah sepihak padaku, Ai.” balas Shota.
Airi membulatkan matanya. Tidak menyangka akan jawaban Shota yang tanpa keraguan sedikitpun. “Benarkah?” lirihnya pelan. Shota mengangguk. Mereka sampai dimana mobil Shota terparkir, lelaki itu menurunkan Airi dengan pelan dan membukakan pintu mobilnya untuk perempuan itu. Namun, Airi tidak kunjung masuk, perempuan bermarga Minamoto itu berdiri memunggunginya.
Mungkin… Sudah waktunya dia membuka hatinya dan memberi kesempatan pada cinta yang baru untuk mewarnai hidupnya sekali lagi. Bukan hanya untuk kesenangan seksual semata. Lagipula, hari itu sudah berganti tahun, sesuai dengan janji Airi pada dirinya sendiri.
“Airi?” Shota memanggil Airi, menatap bingung kearah perempuan itu. Sebelum dia hendak menyentuh pundaknya, Airi sudah berbalik, bertumpu pada pundaknya dan berjinjit, mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirnya.
“Ciuman itu tanda bahwa kau sudah jadi milikku!” Tanpa memberikan lanjutan penjelasan, Airi langsung masuk ke dalam mobil dengan susah payah, dia langsung menarik pintu mobil Shota yang masih terbuka untuk tertutup. Sementara, lelaki bermarga Watanabe itu masih mematung. Ciuman yang dia rasakan barusan rasanya berbeda. Ada sesuatu yang seakan menunggu untuk meledak-ledak di dalam hatinya.
Rasa sesak yang menyenangkan bahkan menguap membentuk senyuman lebar pada wajahnya serta warna merah meranum yang kontras dengan kulitnya yang putih.
Shota menggeleng. Dia berjongkok sedikit dan mengetuk-ngetuk jendela dimana Airi duduk. Airi mengernyit, dia membuka jendela itu. “Apa?” tanya Airi. Shota bisa melihat wajah perempuan itu sama meranumnya dengan miliknya.
“Jadi, maksudmu… kita berpacaran?” tanya Shota dengan suara yang tertahan. Shota bisa melihat wajah Airi semakin memerah. Perempuan bermarga Minamoto itu berdehem. Kepalanya mengangguk samar.
Katakan padanya bahwa ini bukanlah mimpi! Shota mengerjap. “Benarkah? Kau serius? Aku marah kalau kau bercanda padaku, Airi.” Gerutu Shota. Airi berdecak. Dia membuka ponselnya, sibuk dengan benda itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menunjukkan layarnya yang menampilkan kontak milik Shota. Perempuan itu sudah mengganti namanya menjadi Shota dengan emoticon love biru di depannya.
“Cuma Shota?” tanyanya. Shota mengernyit. “Memang sebelumnya Airi menamaiku apa?”
“Watanabe.” balas Airi. Shota mengangguk dengan mulut yang membentuk lingkaran. Airi mengerang. “Mau sampai kapan kita disini? Kau tidak kedinginan terus di luar begitu?” Cibir Airi. Shota tertawa. Dia segera beranjak dan masuk ke mobilnya, duduk di kursi pengemudi.
“Aku kan mau ciuman lagi.” gumam Airi pelan, memalingkan wajahnya kearah jendela di sampingnya selepas Shota masuk ke dalam mobilnya. Shota menyeringai. Dia mendekatkan wajahnya kearah Airi. “Sekarang saja kalau begitu.” bisik Shota.
Airi menoleh dan dia terkejut melihat wajah Shota sudah sangat dekat dengannya. Kepalanya menggeleng. “Tidak mau.” balas Airi. Shota mengerucutkan bibirnya.
“Airi tidak asyik.”
Airi mengembungkan pipinya sembari menghela napas pelan, menetralisir rasa berdebar yang masih tersisa.
Shota mulai menyalakan mobilnya, menaikkan jendela Airi agar tertutup dan menjalankan mobilnya menuju apartemennya. Selagi Shota menyetir, tangan lelaki itu yang bebas meraih tangan Airi dan menggenggamnya. Airi masih tidak terbiasa sehingga dia beberapa kali terkejut sendiri.
“Oh iya, Shota…”
“Ah… Aku suka sekali mendengar nama kecilku disebut olehmu..”
Airi berdecak. Diam dulu, Watanabe Shota!
“Tolong jangan beritahu teman-temanmu di Snow Man maupun Haruna, Tsuki, dan Mina soal hubungan baru kita,” kata Airi semakin melirih. Shota menoleh sedikit kearah Airi sembari tetap fokus pada jalanan di depannya. “a-aku… Aku takut hubungan ini tidak akan berjalan lancar seperti yang kujalani beberapa tahun yang lalu…”
Ah. Shota tersenyum lembut. Dia menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah merah. Shota menoleh kearah Airi dan mengusap wajahnya dengan buku-buku jarinya. Kepalanya mengangguk. “Ya,” katanya. “tapi, Airi juga harus percaya bahwa kali ini semuanya akan baik-baik saja.”
Airi mengangguk. Dia membalas senyuman lembut Shota dengan senyum simpulnya. Matanya sedikit berair membuat Airi harus memalingkan wajahnya kearah lain. Ya Tuhan… Semoga aku tidak salah lagi kali ini…