Rehat

ShoppiAiri, H/C, Typo, Cringe

Airi menghembuskan napas selepas dia keluar dari kamar mandi. Hari itu energinya benar-benar terkuras habis. Jadwalnya dari satu agenda ke agenda lain juga sangat padat dan cepat tanpa membiarkan Airi bisa bernapas terlebih dahulu. Belum lagi dia bertemu orang-orang yang tidak disangka akan sangat menyebalkan, membuat energinya semakin cepat habis. Mungkin sekarang sudah mencapai minus sekian persen kalau ada presentasenya.

Perempuan bermarga Minamoto itu membuka pintu kamarnya perlahan tanpa suara sebisa mungkin, matanya langsung menemukan sosok lelaki yang sudah terlelap di balik selimutnya. Tidak heran, sekarang sudah jam satu malam. Padahal, Airi berharap dia bisa berbagi cerita dahulu dengan lelaki itu—Kekasihnya, Watanabe Shota. Tapi, Airi tidak boleh egois. Pekerjaan kalian sama-sama menguras tenaga. Kalian harus bisa saling mehami meski sering kali berselisih dan berbeda pendapat.

Airi tidak langsung naik keatas kasur, dia bersandar sejenak pada daun pintu berwarna cokelat itu. Melamun dan memutar apa saja yang ada di otaknya saat ini. Menyadari ingatannya semakin kusut, Airi memilih untuk tidur di sofa saja malam itu. Dia tidak mau mengganggu Shota hari itu.

Begitu Airi berbalik, dia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Mendekapnya erat dan kepala sosok tersebut bersandar di bahunya. “Mau tidur di sofa lagi?”

Airi memejamkan matanya. Shota selalu tahu kebiasaannya saat sedang kalut atau lelah luar biasa. Kepala Airi mengangguk sekilas. Dirasakannya Shota mengeratkan dekapannya. “Tidak boleh. Tiddak kuizinkan. Malam ini tidur di kamar bersamaku. Kamu charge energi di kamar saja.” titah Shota enggan untuk dibantah.

Airi menggigit bibir dalamnya. Tiba-tiba merasakan air matanya menggumpal di pelupuknya. Airi melepaskan pelukan Shota dan langsung berbalik, memeluk lelaki itu dengan erat dan membenamkan wajahnya di dada bidang Shota.

Shota tidak terkejut lagi dengan gerakan Airi yang tiba-tiba itu. Dia refleks langsung mengusap kepala dan punggung Airi dengan lembut, melantunkan lullaby yang menenangkan. Lelaki itu berjalan mundur dengan perlahan menuju kasur mereka. Dia menjatuhkan diri dengan perlahan ke atas kasur dengan posisi Airi berada di atasnya.

Perempuan itu masih menangis dalam diam. Seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri dan Shota hanya bisa menenangkannya perlahan sembari menunggu Airi membuka suara.

“Shota,”

“Ya, sayang?”

“Bagaimana kalau kita putus?”