Stasiun
Typo, OOC
Kaki jenjang Aline turun dari kereta dan berjalan menuju salah satu bangku di peron stasiun untuk untuk duduk supaya bisa membalas pesan dengan lebih aman. Bibirnya membentuk bulan sabit saat layarnya menemukan chat dari Matsumura Hokuto di barisan teratas aplikasi LINE nya. Lelaki yang sudah official menjadi kekasihnya sejak lulus SMA hingga saat ini—baik Aline maupun Hokuto sudah menginjak semester 4 saat ini—mengirimkan sebuah stiker dan pesan yang menanyakan keberadaan Aline hari itu.
Meski sudah jalan dua tahun berpacaran, bagi Aline hubungannya dengan Hokuto selalu terasa baru dan menyenangkan. Hokuto selalu berhasil membuat jantungya berdetak sangat cepat setiap kali dia melihat senyuman manis sang pacar. Sebut saja Aline bulol.
Baru membalas pesan Hokuto, layar ponselnya sudah menyala dan bergetar. Hokuto menelponnya. “Hai, Hokuto.” Aline menyapa dengan masih mempertahankan senyumannya. Kakinya bergerak semangat. “Hai, sayang.” Sial. Baru dibilang, jantung Aline sekarang sudah mulai berdetak dengan abnormal. Belum lagi sekarang wajahnya meranum merah. Dia yakin sekali.
Aline menjauhkan sedikit ponselnya dan berteriak kecil tanpa suara. Dihela napasnya perlahan setelah dirasa dia sudah lebih tenang. “Ehem. Bilang-bilang dong kalau mau manggil begitu.” Tawa Hokuto membalas ucapan Aline barusan.
“Pasti lagi salah tingkah ya?” IYA! Aline menambahkan dalam hati dengan gemas. “Oh iya, aku lagi di Starbucks sebelah stasiun. Aku susulin ya.” kata Hokuto. Aline ingat di pesan sebelumnya Hokuto bilang dia ada di dekat stasiun dimana Aline turun hari itu. Dia rencananya mau ketemuan sama Bina tapi perempuan itu meminta untuk mereschedule karena dosennya mendadak memberikan jam tambahan. Aline tidak masalah karena dia sendiri paham seperti apa dosen Bina dari apa yang diceritakan perempuan itu.
Oh iya, bicara soal Bina, Aline tahu bahwa Bina dan Jesse sudah putus.:( Bina sendiri yang bilang. Perempuan itu dengan santai berkata bahwa dia dan Jesse sudah tidak ada hubungan apapun. Penyebabnya sampai saat ini tidak diketahui Aline.
“Gak usah. Aku susulin Hokuto aja.” Kata Aline sudah bersiap-siap untuk berdiri. Hokuto berdecak pelan. “Duduk dulu! Jangan teleponan sambil jalan, Aline.” Kata Hokuto dengan nada yang tidak ingin dibantah.
Aline langsung duduk kembali dengan manis dan mengatup rapat-rapat mulutnya. “Yaudah kita ketemuan di depan stasiun ya. Aku kesana sekarang,” kata Hokuto. “matiin teleponnya.” Lanjut Hokuto. Aline mengangguk. “Baik.” Dia memutus sambungan dan segera beranjak. Suasana stasiun hari itu cukup ramai meski bukan hari libur.
Aline membawa dirinya untuk berdiri di pojok gedung stasiun itu sembari memandangi lalu lalang di depan matanya. Sesekali memfokuskan pandangannya satu titik dan melamun. Aline berjengit begitu merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kanannya. Kepalanya menoleh, menemukan Hokuto yang tertawa pelan di dekatnya. Buku-buku jari lelaki itu mengusap pipi Aline yang sedikit basah oleh kaleng minuman dingin yang ditempelkan lelaki itu pada wajahnya.
“Jangan melamun! Nanti ada yang ambil kamu dari aku, gimana?” Sial. Aline mengulum bibirnya dengan wajah memanas. Dia berdecak dan memukul pelan pundak Hokuto dan menerima kaleng minuman soda itu.
Hokuto ikut bersandar di sebelahnya dan memperhatikan lalu lalang di stasiun yang ramai itu. Sesekali dia melirik kearah Aline yang ternyata juga sedang memandanginya. Perempuan itu jelas terkejut dan pura-pura melihat sesuatu di sebelah Hokuto. Aline berdecak dan mengusap wajahnya dengan malu.
“Aku belum terbiasa dengan Hokuto ternyata.” Gumamnya. Hokuto mengernyit. “Maksudnya?” Aline menarik napas dan berdiri menghadap Hokuto, menyandarkan bahunya pada dinding di sebelahnya. Senyumnya terulum simpul. Tangannya menyentuh dadanya. “Jantungku,” Aline memegang wajahnya. “wajahku, semuanya selalu bereaksi berlebihan setiap kali Hokuto ada di dekatku. Bagaimana cara menghentikannya?” tanyanya.
Hokuto mengerjap mendengar ucapan Aline barusan. Lelaki itu tidak bisa menahan senyum gemasnya. Hokuto mengantongi kaleng minumannya dan menangkup wajah Aline, mendekatkan wajahnya kearah perempuan itu dan menggosokan kedua hidung mereka. Aline sudah merasakan bola matanya akan melompat keluar saat Hokuto mendekat kearahnya seperti itu.
“Aline kenapa menggemaskan sekali sih?” Aline melotot, lagi-lagi tangannya menepuk pelan pundak Hokuto. “Berhenti mendekat dengan tiba-tiba seperti itu!” Aline menyentuh dadanya, merasakan detakannya semakin tidak karuan.
“Kukira kau mau menciumku... Astaga...” Meski dengan suara yang pelan, Hokuto bisa mendengar jelas ucapan Aline barusan dari jarak sedekat ini. Tanpa memberikan aba-aba apapun pada perempuan di depannya ini, Hokuto mengecup dengan cepat bibir Aline.
Pada saat inilah, jantung Aline berhenti berdetak sepersekian detik.