Suara Yang Pahit

Angst

Gemetar... Kedua tangan itu di penuhi oleh cairan merah yang pekat dan berbau anyir... Wajahnya pucat ... Suasana ribut di sekitarnya terasa tak bersuara...

Tapi, suara parau dan gemetarnya memanggil nama seseorang yang terbaring di dekatnya. Tak bergerak. Juga tidak merespon setiap panggilannya. Dadanya sesak. Kedua matanya terasa buram oleh cairan bening yang kapan saja bisa turun membasahi wajahnya. Suara selanjutnya yang di keluarkannya terdengar begitu kencang dan memecah keramaian yang hampa.

“DAICHAN!”

Sebelum akhirnya, kesadarannya direnggut oleh sesuatu yang hitam dan pekat. Sesak dan menyakitkan.


Semuanya terasa seperti mimpi saat Ryusei Onishi membuka matanya pertama kali. Dia pikir semuanya mimpi. Sebuah mimpi buruk yang tidak dia inginkan untuk terjadi sedikitpun. Pada siapapun. Pada orang yang tidak dia sukai sekalipun.

Tapi, rasa sakit jadi sebuah bukti bahwa semuanya bukanlah mimpi. Saat suaranya keluar untuk bertanya dimana Daigo Nishihata, kelima pasang mata yang sedari tadi menatapnya penuh rasa syukur dan lega langsung memalingkan pandangan. Seakan-akan Ryusei tidak diizinkan untuk mengetahui apa yang ada di dalam mata mereka. Emosi seperti apa yang sebenarnya terpendam.

“Jo...” Panggilnya dengan suara yang serak. Kepada seorang pria yang berdiri tak jauh darinya, tangan Ryusei yang masih tertusuk jarum infusan itu mencoba untuk menyentuh ujung kemeja yang di pakai pria itu.

Jo menoleh dan menatap Ryusei sendu. “Daichan mana? Dia baik-baik saja, ‘kan?”

Jo menarik napas dan menghembuskan napasnya. Dia berlutut di dekat ranjang Ryusei dan tersenyum. Sebuah senyum yang dimaksudkan untuk menenangkan Ryusei. “Ryuche mau lihat Daigo?” Ryusei mengangguk dan itu sudah lebih dari cukup sebagai jawaban.

Ketika, Jo hendak berdiri, Michieda menarik Jo menjauh dari Ryusei, menimbulkan sebuah kilatan bingung di tatapan Ryusei yang memperhatikan keduanya. Ryusei tidak bisa mendengar jelas apa yang di ucapkan keduanya tapi itu jadi sebuah dugaan kalau Jo nampak marah pada Michieda. Entah karena hal apa.

“Kento,” panggil Ryusei pelan pada sosok paling fashionable di Naniwa Danshi yang sedari tadi menatapnya. Dengan tatapan yang sama-sama sendu dengan kelima lainnya. “Nani?” sahutnya pelan. Tidak ada emosi semangat disana. Terlalu sedih. Hingga rasanya Ryusei semakin menaruh curiga.

“Daichan.... dia baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya. Nagao Kento menarik napasnya dan tersenyum. Di gigitnya bibir bawahnya.

“Kento?” panggilnya sekali lagi membuyarkan lamunan sekejap Kento. “A-Aku sendiri tak yakin bisa di bilang baik-baik saja atau tidak.” Sahut Kento pelan.

Ryusei mengernyitkan dahi. Dia menatap kelima pria disana, yang sama-sama menatapnya sedih. Kazuya beranjak mendekati Ryusei yang speechless.

Kebingungan dengan apa yang terjadi. Dia hendak bersuara tapi Kazuya sudah mendekapnya dengan erat. Mengusap pundaknya dengan lembut dan pelan.

“Ryuche... mau lihat Daigo kan?” Ryusei mengangguk. Dia ingin tahu keadaan orang yang sudah dia anggap keluarganya sendiri. Orang yang paling dia sayangi. “tapi, janji, jangan terkejut saat menengoknya ya.” Ryusei semakin penasaran.

Dia mencurigai sesuatu yang tidak ingin dia pikirkan tapi semua tatapan sendu ini semakin membuatnya tidak bisa menjernihkan pikiran dan terus berpikir bahwa ada hal buruk yang menantinya.


Ryusei tahu dia tidak bisa janji.

Ryusei terkejut. Saking terkejutnya dia tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Dengan wajah datar, menatap pada sosok yang terbaring disana dengan lemah, dengan bantuan alat bernapas dan pendeteksi detak jantung serta alat-alat lainnya yang Ryusei tidak tahu apa fungsinya.

Mungkin, Ryusei akan berpikir kalau sosok di depannya ini sudah tidak bernapas kalau layar yang memonitor detak jantung itu tidak menyala. Otak Ryusei kembali menyatukan kepingan dengan kepingan kejadian waktu itu, bagaimana Daigo Nishihata bisa ada disana. Terbaring tidak bergerak sedikitpun.

Entah apa yang merasuki Ryusei waktu itu, tapi dia tidak bisa berpikir jernih, Ryusei masih shock saat itu. Ryusei kecewa pada dirinya sendiri.

Seluruh matanya sudah di penuhi kabut sendu yang kuat hingga rasanya Ryusei ingin menjauh sejauh-jauhnya dari tempatnya berada saat ini. Tapi, saat itu juga, ada sosok itu disana.

Sosok yang selalu jadi orang pertama yang ingin dia beri kabar tentang apa saja. Sosok kakak yang sangat dia sayangi. Bukan—Bahkan hubungan mereka bisa dikatakan lebih dari sekedar keluarga. Namun, saat itu kakinya melangkah tanpa memperdulikan sekitarnya. Tanpa menyadari bahwa lampu pejalan kaki di perempatan Shibuya itu sudah kembali memerah, tapi Ryusei tetap menyebrang. Bertaruh nyawa dengan banyaknya mobil yang berkeliaran disana.

Semuanya terjadi begitu cepat. Ryusei mendengar teriakan Daigo, tatapan paniknya. Suara langkah kakinya yang cepat dan dekapan hangat yang didapatkannya sesaat sebelum Ryusei merasakan kehangatan itu terlepas.

Kedua tangan Ryusei terangkat. Kedua matanya melebar dengan shock saat merasakan sensasi yang sama pada saat itu. Sensasi hangatnya cairan merah yang pekat dengan bau anyir. Kedua tangannya bergetar lagi. Kepalanya menggeleng dan dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan sesak yang tiba-tiba menjalari dadanya.

“Dokter bilang kondisi Daigo buruk. Kepalanya terbentur cukup keras dengan aspal jalan. Ada kemungkinan dia tidak akan bangun lagi akibat trauma otak yang dideritanya. Satu-satunya jalan hanya menunggu.” Tubuh Ryusei bergetar. Isakkan pelan menyelinap dari bibirnya.

“Tapi, kalaupun dia sadar, mungkin akan ada yang hilang darinya.” Ryusei berusaha mendekat. Dia mencengkram pelan tangan Daigo yang tidak merespon apa-apa.

“Daichan... Bangun....” bisik Ryusei dengan suara paraunya. Air matanya mengalir. “Ka-kalau Daichan bangun, aku janji bakal lebih sering cerita ke kamu! A-Aku gak akan ngejauhin Daichan lagi! Ku-kumohon bangun!”

Ryusei berseru dengan parau. Masih dengan isakkannya. Seharusnya Ryusei tidak ada disana waktu itu, seharusnya Daigo tidak bertemu dengan Ryusei malam itu. Seharusnya... ini semua tidak terjadi. Tapi, jika ingin pergi, tidak begini caranya... setidaknya tidak pergi selamanya.

Karena tingkahnya yang seperti kakak baginya, Ryusei jadi merasa bahwa keberadaan Daigo itu harus ada disana, bersamanya. Perhatian Daigo yang terkadang memang menyebalkan baginya akan sangat dia rindukan jika tidak ada.

Ryusei masih belum bisa terima jika Daigo harus pergi sekarang. Kento dan Kazuya terkejut saat mereka dihadapkan oleh Ryusei yang berteriak histeris, memanggil Daigo dan menyuruh pria itu untuk segera bangun. Kazuya mendekati Ryusei yang terus mengguncang tubuh Daigo. Di dekapnya erat tubuh Ryusei, menenangkannya dengan lembut.

“Ini salahku... Ini salahku...” Lirih Ryusei pelan.

Kazuya menggeleng. Meski hatinya perih saat melihat Daigo terbaring disana, bukan berarti dia menyalahkan Ryusei atas semua ini. Keempat member lainnya menahan tangisannya saat melihat dua orang yang dia sayangi terjebak dalam keadaan menyakitkan seperti ini.

“Daichan... Daichan... Dia akan bangun kan?” Gumam Ryusei. kedua matanya sudah tidak mengalirkan air mata lagi tapi tatapannya berubah kosong.

Kazuya mengeratkan dekapannya tidak mau memberikan harapan lebih dari apa yang dikatakan oleh dokter. Semua nya terasa pahit. Terasa menyakitkan. Menyedihkan dan Ryusei... tidak bisa terbiasa dengan semua ini. Hatinya selalu enggan untuk membiasakan diri. Sangat tak ingin...

Tapi, suara panjang yang monoton itu membuat bulu kuduk mereka meremang.