Teman Les: Bagian 1

Abtsk, Fluff, Typo

Tsuki paling tidak suka belajar. Kalau diberi pilihan antara belajar seharian atau melukis di 10 kanvas, dia akan memilih pilihan kedua. Belajar itu memuakkan. Bukan passion seorang Matsumoto Tsuki. Namun, kali ini ayahnya sudah tidak bisa dibujuk olehnya begitu dipanggil ke sekolah oleh wali kelasnya.

“Tsuki-san sering sekali tidak memperhatikan pelajaran dan hanya sibuk melukis. Hal ini sangat mempengaruhi nilainya, Matsumoto-san,” Tsuki masih ingat betul kalimat aduan wali kelasnya itu pada ayahnya. “kalau begini terus, Tsuki-san bisa tinggal kelas.”

Tsuki langsung mematahkan pensil yang dipegangnya tanpa sengaja begitu mendengar kalimat kesimpulan dari sang wali kelas. Ayahnya—Matsumoto Jun—sempat melirik kearahnya dengan tajam. Tsuki berdehem dan pamit keluar kelas yang sudah sepi itu.

Ayahnya tidak mengomel padanya, melainkan langsung mengirimnya ke lembaga les terbaik di Tokyo. Secara tidak langsung memaksa Tsuki untuk belajar di luar jam sekolah dengan ancaman ayahnya akan mengunci pintu studionya, kalau bisa memakunya dengan kayu hingga Tsuki tidak bisa menerobos masuk. Tsuki jelas tidak terima, apakah semuanya hanya dipandang melalui angka? Melalui akademik saja?

“Kalau kau mau melakukan apa yang kau suka, lewati dulu ini.” *“Anggap saja ini sebagai ganti waktu kamu tidak memperhatikan pelajaran di sekolah. Kalau kamu memperhatikan pelajaran di kelas saat jam sekolah, ayah tidak akan memaksamu pergi les. Begitupula sebaliknya.” *

Tsuki tidak suka belajar dua kali. Kalau bisa sekali kenapa harus dua kali? Tsuki menghela napas sembari memainkan pensilnya. Dia menatap kertas yang diberikan tutor lesnya tadi, kertas itu sekarang sudah dipenuhi oleh sketsa gambarnya.

“Hee... Matsumoto-san jago menggambar ya.” Bahu Tsuki berjengit kalau mendengar pujian dari kursi di sebelahnya. Sosok lelaki seusianya, yang Tsuki kenal bernama Abe Ryohei itu tersenyum sembari mencodongkan tubuh kearahnya.

“Terima kasih.” Balas Tsuki singkat. Dia kembali melipat tangannya diatas meja dan sibuk mencoret-coret kertasnya. Pelajaran hari itu adalah Matematika. Mata pelajaran yang tidak disukai Tsuki. Karena dia tidak suka, jadi dia merubah kertas berisi angka ini jadi wadah menuangkan kreatifitasnya. Pelajaran hari itu cukup panjang, kelas Tsuki baru selesai sekitar pukul 8 malam.

Tsuki sudah berniat untuk mampir ke kedai odeng setelah selesai berkutat dengan jam tambahan ini, sayangnya sosok ayahnya sudah menunggu di lobby gedung lembaga les ini. Dengan langkah malas, Tsuki menghampiri sang ayah. Matsumoto Jun menaikkan sebelah alisnya. “Kau kenapa?” Tsuki melirik kearah ayahnya dengan sinis.

Dikasih isyarat tidak mau mengerti. “Aku mau odeng.”

“Ah, Matsumoto-san, selamat malam.” “Oh, Abe-kun!” Kali ini, Tsuki yang gantian menaikkan sebelah alisnya. Dia melihat Abe yang nampak menyapa akrab ayahnya. Wah, ternyata Abe ini berjiwa bapak-bapak ya.

“Kau juga bimbel disini?” Jun bertanya basa-basi, khas seorang bapak-bapak. Abe mengangguk dengan senyum ramahnya. “Benar, Matsumoto-san. Aku juga beberapa kali satu kelas dengan Tsuki-san.” Tsuki melotot begitu mendengar Abe memanggilnya dengan nama kecilnya.

“Siapa yang mengizinkanmu memanggilku begitu?” cibir Tsuki. Abe menoleh dan mengerjap matanya. “Tidak boleh? Apakah aku harus memanggil Matsumoto 1 dan Matsumoto 2?” balas Abe.

Jun tertawa mendengar balasan yang diberikan sang lelaki pada pertanyaan putrinya. “Jangan sungkan, Abe-kun. Karena kalian teman sekelas, memang lebih baik memanggil nama kecil satu sama lain, ‘kan?”

Tsuki merotasi bola matanya, bersidekap sembari berdecak sebal. “Kami Cuma beberapa kali sekelas. Bukan teman sekelas.” Katanya, mengoreksi ucapan sang ayah.

Jun merangkul Abe dan mengerutkan kening. “Kalo begitu, teman bimbel?” Tsuki merotasi bola matanya sembari berjalan keluar, mengabaikan pertanyaan sang ayah.

“Karena kalian pernah sekelas di bimbel, bagaimana kalau sesekali Abe-kun bantu Tsuki mengerjakan PR nya di rumah?” Langkah Tsuki langsung terhenti. Kepalanya menoleh dengan cepat kebelakang, mengerutkan kening dalam-dalam.

“Hm, hm? Apa itu barusan? Anak ini mengajariku?” Tsuki berjalan kembali ke ayahnya dan juga Abe yang masih berdiri bersebelahan. Abe menatapnya dengan senyuman. “Aku tidak keberatan, Matsumoto-san.” Balasnya. Tsuki langsung mengangkat tangannya sembari memejamkan mata dengan erat. “Sebentar, ayah belum menanyai persetujuanku!” potes Tsuki.

Jun mengerutkan kening sembari pura-pura berpikir. “Jaa, Tsuki setuju, kan?”

“Asalkan—“ “Yak, sudah diputuskan ya! Abe-kun, yoroshiku ne!” “AYAH!” Tsuki mengerang. Padahal dia belum menawarkan sebuah penawaran yang bisa menguntungkannya. Ayahnya ini memang licik.