Who’s Fault?

Koji x OC, Angst, Typo, Cringe


Koji terbangun dengan suara telepon yang berdering nyaring. Matanya mengerjap untuk membiasakan diri dengan bias cahaya terang yang memasuki lewat celah-celah tirai jendela yang tidak dia tutup rapat. Lelaki berdarah Thailand-Jepang itu meraba lantai di dekat kasurnya. Dia sengaja membuat dipan kasurnya lebih rendah karena tidak suka ada space di bawah kasurnya. Akan lebih malas untuknya membereskan bagian itu.

Telepon masuk dari Tsuki.

“Ya?” balas Koji begitu dia menjawab panggilan yang mengganggu tidurnya itu. “’ya’ katamu? Mau sampai kapan kau membuat kami menunggumu, badak Thailand?” Suara Tsuki yang mengomel di seberang sana membuat Koji semakin ingin mengurung diri di kamarnya. Di latar belakang suara Tsuki, ada suara Airi yang mengoreksi ucapan Tsuki barusan. Bukan badak melainkan gajah. Dia jadi tertawa dengan pelan.

“Kau baru bangun, kan? Sebaiknya kau sudah sampai disini dalam waktu lima belas menit—ah tidak, sepuluh menit—tidak, tidak, lima menit.” Titah Tsuki.

Koji tidak membalas ucapan Tsuki lagi karena perempuan itu memutus panggilannya secara sepihak, dengan malas Koji menjatuhkan ponselnya di lantai kamar yang berlapiskan karpet itu. Dia menatap langit-langit apartemennya. Dia langsung terbangun dengan sepenuhnya kala telinganya mendengar sosok suara yang sangat dia kenal menyapa dengan ceria dan penuh hangat.

Koji segera bangun dari posisinya dan keluar kamar. Entah kenapa dia bisa melihat sosok kekasihnya sedang sibuk di dapurnya yang jadi satu dengan ruang makan itu. Sang kekasih berbalik dan tersenyum hangat padanya, menyapa dengan senyuman lebarnya. Namun begitu Koji berkedip semua bayangan itu menghilang. Tidak ada sosok kekasihnya disana. Tidak ada Sei disana. Hanya ada dapur dan ruang makan yang terasa dingin.

Koji kembali dilempar ke dalam kenyataan pahit bahwa dia seorang diri disana.


“Hai semuanya! Artis papan atas pada udah dateng nih!”

Tsuki berdecak dan Airi merotasi bola matanya. Koji tertawa dan duduk di samping Tsuki. Lelaki itu datang setengah jam kemudian membuat Airi dan Tsuki sudah cukup banyak memesan camilan, demi menunggu sahabat lelaki mereka yang sangat terlambat ini.

“Kau lama.” Gerutu Tsuki kesal. Dia benar-benar badmood karena Koji terlambat dari waktu yang dijanjikan. Dia jadi tidak bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan sahabatnya secara full. Sehabis ini dia sudah harus kembali ke kantor SM cabang Jepang untuk latihan mempersiapkan performs di Msute.

“Sorry, Sorry. Semalem tidur jam tiga soalnya.” Balas Koji. Sementara Airi tidak banyak protes dan hanya menikmati lemon teanya dengan tenang. Perempuan pecinta Lemon itu bahkan juga sambil menyemilkan biskuit sweet lemonnya.

Mereka mulai mengobrol satu sama lain. Koji dan Tsuki sesekali bertengkar ringan dan Airi sesekali juga melerai maupun tertawa melihatnya. Di balik ruangan private di kafe sekaligus restoran yang jadi langganan mereka itu terdengar keributan samar yang memecah fokus Koji.

Sebuah pertengkaran yang memancing kembali ingatannya tentang mantan kekasihnya. Sosok perempuan yang pernah menghiasi hidupnya. Mereka bertemu pertama kali saat Koji sedang melakukan riset untuk skripsinya. Ya. Dia kuliah sekaligus menyambi jadi Johnnys Jr. Cabang Kansai lebih tepatnya. Sei adalah perempuan yang penuh ambisi. Ada sisi nyamannya yang membuat Koji jatuh cinta dan senang berada di sampingnya. Namun, dia baru bisa meminta Sei menjadi kekasihnya setahun setelah Snow Man debut.

Sei bukan tipe orang yang suka backstreet. Sei cukup mudah cemburu. Sementara Koji yang terkenal menganggap fansnya sebagai ‘kekasih’nya ini jelas tidak bisa mengungkap hubungan mereka ke publik. Itu akan membahayakannya apalagi membahayakan Snow Man. Dia tidak mau itu terjadi. Koji selalu bisa mengatasi Sei yang protes soal hubungan diam-diam mereka. Bahkan Sei mengungkit kenapa dia tidak sedikitpun dikenalkan pada Airi dan Tsuki. Paling tidak pada sahabat lelaki itu.

Koji beralasan bahwa itu belum waktunya. Dia mengikuti kata hatinya. Sei akhirnya sampai pada ucapan yang cukup menyinggung profesi Koji, “Aku seperti selingkuhanmu, Koji-kun.”

Koji terdiam saat itu. Dia tersenyum tipis. Sebuah senyum sinis yang jarang dia tunjukkan pada siapapun karena kepribadiannya yang ceria. “Kau berharap apa dari lelaki yang bekerja sebagai seorang idol?”

Jawaban Koji itu benar-benar sebuah kesalahan besar. Sei ikut tersinggung dan malam itu mereka saling mendiamkan. Keesokannya Sei menuliskan pesan yang ditempel pada sticky note di kulkasnya, mengatakan bahwa dia akan menginap di tempat temannya selama beberapa hari.

Koji hanya mengabaikan pesan itu dan menyibukkan diri dengan pekerjaannya, semakin rajin mengupdate blognya, mengabari fans yang dia anggap sebagai ‘kekasih’nya itu bagaimana kesehariannya hari itu. Koji bahkan jarang pulang ke rumah hingga dia sadar bahwa begitu dia kembali ke rumah itu, kondisinya sudah lebih lengang. Koji menyusuri rumahnya, membuka kamarnya, kamar mandinya, ruangan cuci bajunya dan dapurnya. Hanya tersisa satu mug disana.

Sei sudah pergi. Tanpa pamit padanya. Koji memejamkan matanya. Ada rasa sedih nan sesak yang menggerogotinya. Dia merasakan matanya memanas dan dipenuhi cairan bening. Lelaki bernama lengkap Mukai Koji itu duduk di sofanya dengan perlahan. Belum sempat dia meneteskan air matanya terdengar suara pintu terbuka dan ucapan “Tadaima” yang begitu familiar baginya.

Koji langsung beranjak dari duduknya. Bertemu pandang dengan Sei yang berdiri di genkan dengan senyum sendunya. Koji mendekatinya perlahan. Tanpa sadar, dia membalas sapaan Sei. “Okaeri.” Sayangnya itu keliru. Sei hanya tersenyum dan mengulurkan sebuah kunci padanya.

“Koji-kun,” suara Sei memanggil namanya. “ima made arigatou ne.” katanya.

Tanpa ada kata-kata perpisahan atau suatu kata yang menyatakan dengan gamblang bahwa mereka putus, Sei hanya mengucapkan kalimat itu padanya. Perempuan itu merunduk kearahnya dan berbalik, keluar dari sana dan menghilang dari hadapan Koji di balik pintu apartemennya.

Sei dan Koji sudah tidak seirama. Bagaimanapun kesalahpahaman mereka diuraikan akan muncul masalah lainnya. Sekalipun Koji masih ada rasa pada Sei, dia tidak bisa bohong kalau dia dan Sei tidak bisa lagi bersama.

Koji berjalan keluar, hendak mengejar sang mantan kekasih. Namun, yang dia temukan malah sosok sahabatnya. Airi, berdiri di depannya dengan sebuah tas kertas dengan nama sebuah toko roti di dekat sana. Airi tersenyum. “Maaf, sepertinya waktuku tidak pas. Tapi, hari ini aku mau mengobrol dengan Koji.” Katanya.

Hanya dengan kalimat itu, Koji meledak dalam sebuah tangisan dalam diam. Kedua kakinya terasa lemas dan telapak tangannya yang menggenggam kunci dengan gantungan daun mapple itu menangkup mulutnya yang bisa saja mengeluarkan suara tangisan yang lebih keras.

Airi jelas panik. Dia segera menarik Koji masuk ke dalam dan menutup pintu apartemennya, memeluk sang sahabat seraya mengusap-usap punggungnya lembut. Membiarkan tangisan Koji tersembunyi di balik pintu itu.

“Hei, Koji!” Tsuki sudah menjentikkan jarinya di depan wajah Koji saat lelaki marga Mukai itu tiba-tiba terdiam dengan pandangan sendu.

“Apa? Kau bilang apa?” tanya Koji dengan senyuman lebarnya sementara Airi dan Tsuki menatapnya aneh. Airi menyodorkan selembar tisu padanya. “Kau menangis.” Kata Airi.

Koji mengerjap. Dia memegang wajahnya dan sadar bahwa pipinya sudah basah. Dia menyadari bahwa sedari tadi dia menangis dalam diam teringat dengan bagaimana perpisahannya dengan Sei. Koji tertawa canggung dan mengambil selembar tisu yang diberikan Airi. Dia berdehem.

“Pasangan yang berantem tadi di luar,” katanya mengubah topik pembicaraan. “semoga mereka baik-baik saja ya.” katanya. Airi tersenyum dan mengangguk. Sementara Tsuki mengernyit bingung.

“Apa maksudnya? Koji, kenapa kau menangis?” tanya Tsuki. Koji tertawa melihat Tsuki yang kebingungan. Jarang-jarang melihat kekasih Abe Ryohei ini kebingungan. “Kau belum aku ceritakan ya? Aku punya pacar dulu. Namanya Sei. Dia dan aku sudah berpacaran dua tahun.”

“Airi kau tahu ini?” tanya Tsuki dengan mata memicing curiga pada sang perempuan bermarga Minamoto. Sementara Airi menahan tawanya. “Aku baru tahu dua bulan yang lalu, kok.”

“KOJI! APA-APAAN INI?! KENAPA KAU TIDAK CERITA?!”

Airi dan Koji tertawa melihat Tsuki yang terlihat tidak terima. Koji menghela napas setelah puas tertawa. Dia tersenyum sejenak pada langit yang dia lihat dari balik jendela kafe tersebut. Begitu cerah dan indah.

Dia selalu bertanya perpisahan ini salahnya siapa. Sayangnya, jawaban atas itu semua tidak bisa selalu pasti. Hanya mereka saja yang sudah tidak sejalan.