soymilkao29

Picha bergidik. Dia merasakan angin malam berhembus, menembus jaket maupun scraf syal yang sudah dikenakannya serapat mungkin dengan kulitnya. Matanya melirik kearah Ueda yang berjalan disebelahnya, wajahnya tertutupi setengah dengan masker dan rambutnya yang khas jabrik itu tertutupi topi. Picha menghembuskan napas dan berdecak. “Mau sampai kapan jalan tanpa arah gini, sih, da? Gue capek.” Kata Picha, menggerutu. Ueda terus berjalan di depannya, tidak membalas gerutuan Picha barusan.

Picha semakin malas mengikuti langkah pria di depannya ini. Selepas dia menemukan 7Eleven, Picha memilih masuk ke dalam sana untuk membeli minuman atau makanan hangat, mengabaikan Ueda yang berjalan di depannya, biar saja Ueda jalan sendiri. Picha disambut oleh sapaan khas pegawai konbini, berjalan cepat kearah section minuma hangat dan menyeduh minuman dark chocolate. Saat hendak menyeduh cokelatnya, dia terkejut akan suara bariton yang Picha kenal, dari dekat. “Astaga naga...” Dia memekik sakit begitu merasakan tangannya terkena air panas. Sial. Picha memang ingin minuman yang menghangatkan tapi ini terlalu panas dan mengenai kulitnya langsung.

“Maumu apa sih?!” Omel Picha tertahan. Dia menoleh kearah sumber suara, menatap tajam kearah Ueda Tatsuya. Tatapan pria dari member KAT-TUN itu malah berfokus pada tangan Picha memerah. Picha mengibas-ngibaskan tangannya sembari meringis. Ueda menghela napas. Dia menarik tangan Picha yang terkena air panas itu kearahnya, meniup-niupnya perlahan dan Picha terkejut. Merasakan bibir pria itu menciumi tangannya.

Sial. Wajahku panas. Gerutu Picha dalam hati. Jantungnya berdebar kencang. Pipinya memanas dan matanya mengerjap kaget. Picha sampai harus melihat ke sekitar, takut jika ada orang lain di sekitar mereka. “Sudah mendingan?” tanya Ueda. Picha berdecak dan langsung menarik tangannya. “Memangnya bibirmu itu obat, hah? Dasar bodoh.” Kata Picha sembari berlalu. Ueda menahannya lagi. “Kalau begitu, kau mau dicium di bibir saja?”

“KAU!”


Don’t talk to me

“Jangan bicara denganku!” Gerutunya sembari berjalan cepat di depanku. Aku hanya bisa menatap punggungnya tanpa berniat membalas ucapannya. Pria berusia 27 tahun itu menghentakkan kaki beberapa kali dengan kesal. Dasar bocah. Aku jadi bertanya-tanya sebenarnya yang muda disini siapa?

Langkahnya semakin cepat disana dan aku tidak berniat menyusulnya sedikitpun. Lagipula, dia sedang marah begitu yang ada aku akan kena semprot. Kuhela napas sembari membetulkan ikatan scrunchies di rambutku. Nyeri di dengkulku semakin menjadi kala aku harus mengikutinya berjalan menuruni tangga di depanku. Kalau hanya tiga sampai lima anak tangga kurasa tidak masalah, namun, tangga di depanku ini punya anak tangga yang banyak karena jalannya yang cukup curam menurun. Baru setengah jalan, aku sudah tidak sanggup mengikuti atau menyeimbangi langkahnya.

“Taiga!” Aku mencoba memanggilnya namun dia tetap berjalan cepat di depanku. Semakin jauh. Aku berdecak. Memilih berhenti demi kebaikanku dan duduk sejenak di anak tangga ini, sembari memperhatikan punggung pria yang kupanggil Taiga itu semakin menjauh. Kuhela napas beberapa kali. Lelah. Kutepuk-tepuk dan memijit sedikit dengkulku yang masih nyeri dan ngilu.

Awalnya aku tidak menyangka kalau dia, Taiga Kyomoto, akan bereaksi seperti ini saat aku mengobrol begitu akrab dengan Sato Shori. Oh, ayolah. Shori itu tetanggaku. Wajar kami akrab satu sama lain. Shori sudah banyak membantuku, aku tidak bisa mengabaikannya hanya karena Taiga cemburu seperti itu.

Ku menunduk sembari memperhatikan ujung sepatu kets soft pink yang kukenakan. Kali ini, aku sedikit memberi tenaga pada ayunan tanganku yang memukul-mukul pelan dengkulku. Aku juga tidak mau bicara denganmu Kyomoto Taiga!

“Cepat naik.” Aku mendongak begitu mendengar suara yang familiar itu, menemukan Taiga berjongkok di depanku sembari mengulurkan tangan ke belakang. Aku mengulum bibirku, merasakan sesak yang tiba-tiba menyeruak. Kupandangi beberapa saat pria berambut cokelat kehitaman dan berkulit putih pucat ini. “Kau tidak suka menggendongku, Kyomo.” Kataku. Taiga berdecak. Dia menoleh kearahku dan pandangan kami bertemu. “Kamu mau tidak bisa berjalan selamanya? Dokter bilang ‘kan untuk mengurangi aktifitas berat yang menggunakan dengkul!” Ujar Taiga.

Aku menggigit bibirku. Bangkit dengan susah payah dan menghampirinya, melingkarkan tanganku di sekitar leher Taiga. “Pegangan. Kamu berat.” Mataku melotot dan kupukul pundaknya. “Makanya gak usah sok mau gendong!” Seruku sebal. Aku sudah akan turun dari punggungnya namun Taiga langsung mengencangkan gendongannya dan berdiri. “Aku bercanda.” Katanya.

“Kamu kurusan ya....” kata Taiga pelan. Aku menyunggingkan senyum. “Kau tidak marah lagi?” Lirihku. Taiga menggeleng. Kulihat bibirnya membentuk seulas senyum. “Tidak.” “Benarkah?” “Aku tidak bisa lama-lama marah padamu.”

Typo, AU LOKAL @paperpenclip

Untungnya sebelum Keina sempat keluar dari ruangan, dia sudah menyadari keberadaan sosok lelaki berambut pirang kecoklatan yang berdiri dekat pintu. Dia beneran nyamperin gue, batinnya. Keina mengulum bibir sembari mengusap-usap lehernya. Jujur, dia tidak suka berduaan dengan sosok lelaki bernama lengkap Taiga Kurniawan Koesnadi itu, bukannya dia juga ingin kumpul bersama orang lain saat sedang bersama Taiga, tapi jantungnya tidak pernah bisa berdiam diri untuk berdetak normal saat dekat dengan lelaki itu.

Keina harus memutar otak untuk keluar dari ruangan itu tanpa diketahui oleh Taiga. Namun, seiring dengan pikirannya yang masih memutar, ruangan itu semakin kosong dan semakin meninggalkannya sendiri disana. Sial. Keina melihat kearah pintu. Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Dia berjingkat untuk berjalan perlahan kearah pintu, bersembunyi dibaliknya dan menunggu sampai Taiga menyadari bahwa ruangan itu kosong.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, Keina menahan napas. Dia mengikuti suara langkah kaki itu dan kemudian melihat punggung Taiga yang masuk ke dalam ruangan sembari bergumam pelan yang tidak bisa ditangkap jelas oleh Keina. Perempuan itu langsung mengeluarkan dirinya dari balik pintu dan menutupnya perlahan dengan Taiga yang masih ada di dalam sana. Saat Keina bertemu pandang dengan Taiga yang menoleh kearahnya, dia segera membanting pintu itu untuk tertutup dan lari sekencang mungkin menuju lift.

Keina berdecak begitu menyadari lift lantai itu sedang penuh. Keina semakin merasakan ancaman mendekat. Dia segera berputar haluan menuju tangga. Menyiapkan diri untuk turun dari lantai 6 gedung khusus untuk perkuliahan matkul umum ini. “Kei!” Langkah-langkah kaki Kei yang beralaskan loafers hitam itu terus melangkahi anak tangga, beradu dengan sepatu kets yang digunakan oleh Taiga.

“Keina!” Langkah Kei langsung terhenti begitu tangannya ditarik Taiga untuk berhenti. Beruntungnya mereka tidak perlu berhenti mendadak saat masih di anak tangga. Napas keduanya memburu. “Mau kabur lagi ya? Deadline desain 3 hari lagi!”

Persetan dengan deadline!


Taiga bertopang dagu sembari memperhatikan Keina yang sedang sibuk dengan macbooknya, membuat beberapa desain untuk poster ospek fakultas dan universitas. Tanpa sadar menyunggingkan senyum tipisnya saat melihat wajah Keina yang mengkerut karena kesulitan. “Daripada sibuk ngeliatin gue, mending bantuin. Gantian nih, kak!” Gerutu Keina, menyodorkan macbooknya pada Taiga dengan kasar.

Taiga terkejut mendapatkan sodoran macbook dari Keina. Dia berdecak sembari mengambil posisi senyaman mungkin dengan macbooknya. Dia sempat melirik kearah Keina yang sekarang sedang menenggak air mineral dari botol minumnya. Mereka bahkan sempat bertukar lirikan.

“Apa?” Taiga terkekeh. Dia menggeleng. “Dasar galak. Nanti jodoh menjauh loh.” Kata Taiga, mulai sibuk dengan setengah desain yang telah dibuat oleh Keina. Keina menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi semen itu. “Kalau jodohnya kak Taiga, aku gak masalah sih dia menjauh.” Balas Keina tanpa berpikir panjang tentang jawabannya.

Gerakan jemari Taiga diatas keyboard itu terhenti. Dia tertawa kecil. “Berarti kamu berharap berjodoh denganku dong.” Keina melotot. Dia memukul berulang kali kursinya. Bergumam amit-amit dan memeluk dirinya sendiri. “Najong. Jauh-jauh sana lo, kak!” serunya sebal. Setelahnya, Taiga memilih untuk fokus meneruskan beberapa desainnya. Butuh waktu satu setengah jam sampai desain itu selesai. Taiga merenggangkan otot-ototnya, menoleh kearah sosok di sebelahnya dan menemukan Keina yang ternyata setengah terlelap, kepalanya terantuk-antuk kebawah.

“Kei?” panggilnya. Dia menyimpan semua desainnya, mematikan macbooknya dan meletakannya disebelahnya. Taiga menggeser tubuhnya pelan-pelan sedikit kearah perempuan berambut ash grey blonde itu. “Ah, dia tidur...” gumamnya pelan. Pelan-pelan dibawanya kepala Kei ke pundaknya, bersandar pada Taiga dengan posisi ternyaman menurutnya.

Hembusan angin sesekali menyentuh kulit keduanya. Matahari sudah mulai beranjak menuju ufuk barat. Sinarnya yang sekarang berwarna jingga itu menyinari siluet keduanya.

Cukup lama Taiga memandangi wajah tidur Kei. Dia penasaran apakah dia akan jatuh cinta lagi pada perempuan yang lebih muda darinya ini. Membayangkannya saja cukup membangkitkan kecemasan dalam hati Taiga. Dia takut pengalamannya yang dulu dengan mantannya terulang dan dia tak mau menyakiti siapapun. Meski dia merasa dirinya sudah lebih dewasa dan emosinya stabil tapi dia tahu tidak dengan Kei yang baru saja kemarin masuk jadi seorang mahasiswi. Dia bahkan bisa merasakan rasa tidak suka Kei padanya sangat besar. Entah karena apa, Taiga juga sebenarnya bertanya-tanya. Taiga tidak mau jatuh cinta pada perempuan yang bahkan membencinya. Itu terlalu menyakitkan.

Pelan-pelan, dia mengeluarkan ponselnya dan membuka salah satu kontak di ponselnya, mengetik cepat sebuah pesan dan menunggunya dibalas. Tak butuh waktu lama, dia sudah membuat janji temu hari itu dengan seseorang. Untuk berkonsultasi.

Airi duduk dengan perlahan di atas kursi di teras belakang Snow Man Share House yang menghadap langsung kearah kolam renang. Hembusan angin musim semi menerpa wajah Airi. di letakannya cokelat hangat di atas meja yang ada di sebelahnya beserta semangkuk mashmallow. Sama seperti perasaannya saat ini, terlalu mashmallow.

Helaan napas keluar lagi dari mulutnya. Mashmallow dan cokelat hangat yang di bawa ke teras ini tidak langsung di santapnya. Dia memilih untuk menyandarkan punggungnya di sandaran kursi itu. Kedua tangannya tertangkup dan menyelip di antara kedua pahanya yang hanya memakai sweetpants. Lagipula, sedang tidak ada siapapun di rumah itu. Jadi, Airi bebas memakai baju seperti apa.

Aneh. Tidak biasanya. Airi selalu menggunakan celana panjang dan juga kaos oblong. Pengecualian hari ini. Di raihnya ponselnya yang terselip di kantong sweater tipisnya. Membuka aplikasi LINE dan menemukan kontak chatnya dengan seseorang yang di sukainya masih belum mendapat balasan.

Airi menghembuskan napas sekali lagi. Aneh. Dia tidak pernah merasa semellow ini. Perasaannya sangat galau dan dia merindukan seseorang yang sudah nyaris seminggu ini tidak pulang ke Snow Man Share House. Sebenarnya bukan hanya orang itu saja. Tapi juga beberapa member Snow Man lainnya. Setidaknya Sakuma masih suka pulang, tapi barangkali alasannya karena tidak mau meninggalkan Airi sendirian di rumah lebih dari dua puluh empat jam.

Tangan Airi gatal untuk membuka galeri di ponselnya. Menemukan beberapa potretnya bersama member Snow Man, diantara foto itu dia menemukan fotonya berdua dengan sosok yang dia sayangi dan rindukan saat ini. Senyuman yang manis itu membuat sesak di dada Airi semakin menjadi. Di tariknya napasnya perlahan. Otaknya tiba-tiba saja memutar sebuah rekaman suara. Suara berkhas yang lembut. Airi terkekeh.

Dia meletakan ponselnya di sebelah mug berisi cokelat panas yang di buatnya itu. Mengambil mug itu dan menyesap aroma cokelat yang pahit namun juga manis, menenggaknya setelah puas dengan aromanya.

Airi menggenggam mug itu dengan kedua tangannya. Demi menghangatkannya dari hembusan angin malam musim semi. Padahal terkadang dia suka mendapatkan pelukan hangat dari seseorang. Untuk hari ini, sejak hari itu dia jadi lebih suka menggenggam mug berisi air hangat.

Airi menunduk saat dia sempat mendongak untuk melihat langit malam yang di penuhi bintang. Dengan tarikan napas, Airi tersedak oleh isakkannya yang perlahan terdengar samar. Berulang kali tangannya mencoba untuk menghapus air matanya yang tidak kunjung berhenti tapi tetap tak bisa.

“Bodoh... dasar bodoh... Tidak peka...”

“Kenapa selalu sibuk? Jangan buat aku menyesal untuk jatuh cinta padamu...” Airi tak hentinya bergumam tak jelas. Entah bicara pada siapa, dia hanya terlihat seperti ada sosok yang dia rindukan berada di depannya. Ya bicara seakan-akan Watanabe Shota ada di depannya. Airi menunduk semakin dalam. Dia benci sekali perasaan seperti ini. Perasaan aneh yang tidak dia sukai. Saat hatinya sudah memantapkan pada satu orang. Menyebalkan... Tapi, yang Airi dapatkan justru malah perasaan tak nyaman seperti ini.

Isakkan Airi terhenti saat dia merasakan tepukan pelan di puncak kepalanya. Perlahan gadis itu mendongak, dia terkejut mendapati sosok yang selama ini mengacak-acak hatinya malah berdiri di sebelahnya dengan senyum tak berdosanya. Saat itu Airi ingin sekali Tsuki ada disana untuk memukul Shota, mewakilinya, sebab Airi tidak akan sanggup melampiaskan kekesalannya lewat tindakan seperti itu meskipun dia ingin.

“Baru ingat pulang, ya?” tanya Airi sarkas. Watanabe Shotata meringis. Dia tersenyum canggung. “Maaf, ya... Jadwalku pa—Eh?” Ucapan Shota terhenti begitu dia merasakan Airi memeluk erat. Menenggelamkan wajahnya di dada pria itu dan terisak.

“Jangan begitu lagi, Shota...” Shota membalas pelukan Airi sembari mengusap kepala dan punggungnya. “Jangan buat aku merasa kalau senpai hanya berniat membuatku jatuh cinta tanpa berniat membalasnya...”

Shota terkekeh. Dia melepaskan pelukan Airi, menangkup wajah gadis itu dan mengusapnya, menghapus sisa-sisa air matanya. Mengecup keningnya penuh sayang. “Maaf ya...”

Maafkan segala typo yang muncul


Setelah tiga tahun kembali ke korea, akhirnya Haruna bisa kembali promosi album baru RED*ONE di Jepang. Dia menarik napasnya panjang-panjang begitu selesai berurusan dengan bagian imigrasi. Betapa rindunya dia dengan negara tempatnya lahir ini. padahal baru tiga tahun dia tinggalkan sejak dia kembali waktu itu untuk hiatus sebentar. Persiapan comeback Jepang RED*ONE kali ini juga sangat lama. Mereka sampai harus melakukan tiga kali comeback Korea. Padahal biasanya setelah comeback Korea, selanjutnya mereka melakukan comeback Jepang. Diselang-seling.

Well, agaknya comeback kali ini lebih spesial. Haruna berjengit sedikit kala tangannya diapit seseorang. Dia melihat Tsuki dan Wendy yang mengapit tangan kanan dan kirinya. “Sudahi menikmati udaranya, Haruna. Kita di Jepang dua bulan, oke. Kau bisa lebih puas menghirupnya.” Cibir Tsuki.

Haruna mendengkus dan dia menyikut sedikit pinggang perempuan bermarga Matsumoto itu. Mereka berjalan keluar dari bandara sembari menarik koper masing-masing. Haruna melepaskan rangkulan tangan Wendy dan Tsuki. Dia sempat melihat kearah langit cerah hari itu sebelum masuk ke van. Tangannya tanpa sadar mengusap kalung yang masih melingkar di lehernya. Kuharap kali ini pertemuan kita baik-baik saja ya...


Studio untuk Music Station hari itu lumayan ramai karena episode kali ini adalah spesial. Dalam perjalanan ke gakuya yang disediakan oleh pihak stasiun TV Asahi, Ren bisa melihat papan nama di sebelah masing-masing ruangan. Ada ITZY, Nogizaka46, EXO, AKB48, Generation From Exile Tribe, NiziU, SixTones, Naniwa Danshi bahkan RED * ONE. Ren bahkan sampai nyaris tersandung kakinya sendiri saat melihat papan nama itu. Apakah Haruna ikut tampil hari ini?

Dia menarik Abe yang berjalan di depannya, membuat langkah lelaki itu mundur kearah Ren. “Kau tidak bilang RED * ONE hari ini tampil juga disini!” geram Ren. Abe mengerutkan kening. Dia mengedikkan bahu. “Kau tidak bertanya lagi dan itu sudah lama disiarkan, Meme.” Kata Abe. Dia menepis tangan Ren yang menahannya dan masuk ke gakuya mereka.

Ren berdecak. Dia tidak menyangka akan bertemu Haruna—kali ini bersama teman-teman segrupnya—lagi hanya dalam kurun waktu tiga tahun setelah mereka berpisah. Waktu berjalan cepat sekali.

Rekaman untuk Msute SP 2Hour hari itu dimulai. Snow Man ikut berpartisipasi sekaligus untuk mempromosikan album baru mereka. Dari posisi duduknya saat ini, Ren berusaha mencari-cari keberadaan Haruna diantara bintang tamu yang tampil malam itu. Sampai akhirnya sampai pada giliran REDONE tampil. Interview singkat REDONE dengan Tamori-san dan Marina-san tidak jauh dari persiapan dan konsep comeback RED*ONE kali ini.

Saat itu juga, Ren bisa menemukan keberadaan Haruna. Sosok perempuan bermarga Shirokawa itu terlihat sangat mempesona dengan rambut panjang dark black yang di ombre lavender ash. Rambutnya juga di style side bubble braid. Tanpa sadar Ren menyunggingkan senyum melihat Haruna yang sangat fresh hari itu. Syukurlah perempuan itu baik-baik saja.

Ren kembali dari lamunannya saat tiba-tiba Koji menyikut dan berbisik di dekatnya. “Jangan diliatin terus. Nanti disamperin dong.” Godanya. Ren melotot, dia menepis tangan Koji yang terus-terusan menyikutnya.

“Berisik!” Geramnya dengan telinga yang memerah. Dia kembali memperhatikan panggung di depannya. Terlihat member RED*ONE sudah stand by disana. Oh, ternyata kali ini Haruna yang jadi centernya. Penampilan itu cukup memukau. Seperti biasanya, idol Korea memang suka melakukan beberapa gerakan dance yang sulit. Ren tidak bisa menahan senyumnya kala Haruna melakukan killing part di comeback kali itu membuat jantungnya tiba-tiba saja berdebar dan wajahnya memanas. Ah, dia sangat merindukan perempuan itu.

Yang tidak Ren duga adalah saat pandangannya dengan Haruna bertemu, perempuan itu semakin melebarkan senyumnya dan mengedipkan mata. Tepat kearahnya. Ren bahkan sampai menahan napas. Oh, sudah pasti setelah ini dia akan digoda oleh member-member Snow Man.


Haruna melihat Meguro Ren disana. Di studio TV Asahi untuk acara Music Station, pandangan mereka bertemu dan Haruna tidak tahan untuk tidak memberikan satu senyuman dan kedipan matanya. Sial. Sekarang wajahnya memanas setiap mengingat apa yang dia lakukan waktu itu.

Sore itu, mereka sudah berada di salah satu vila pinggir pantai. Mereka sampai harus menyewa vila demi syuting CM sekaligus MV untuk comeback Korea di musim panas nanti. Astaga, padahal sekarang masih musim semi. Suhu udara juga masih sejuk, tidak terlalu panas. Bunga sakura bahkan masih bermekaran.

Hari semakin sore, sinar jingga juga semakin terang warnanya. Haruna sedang bertopang dagu diatas sofa, memandangi kolam renang dari posisinya saat ini. Hembusan angin sesekali masuk lewat pintu beranda yang terbuka.

“Haruna,” Tsuki memanggilnya, sembari melemparkan bucket hat kearah Haruna. Perempuan itu berjengit dan langsung menolehkan kepala kearah Tsuki. Dia mengernyit saat melihat penampilan perempuan bermarga Matsumoto itu dengan tanktop dipadukan dengan oversized knit cardigan berwarna hijau gelap dan celana palazzo hitam senada dengan tanktopnya. Tentu saja tidak lupa bucket hat favorit perempuan itu. “mau ikut gak? Aku mau jalan-jalan di pantai.” Tapi, penampilanmu tidak seperti orang yang mau jalan-jalan di pantai, Haruna bergumam dalam hati.

Haruna berdehem dan menyunggingkan senyum. Dia bangkit dan mengenakan bucket hatnya. “Boleh.” Toh, dia juga bosan di vila terus. Sosok yang sering dia panggil Tsuki-eonnie itu mengapit tangannya dan menarik Haruna keluar dengan semangat.

Mereka harus berjalan selama beberapa menit untuk sampai di pantai, keduanya berjalan dengan riang sembari membuka percakapan. “Haruna sudah ketemu Meguro lagi?” tanya Tsuki. Haruna menggeleng. “Belum. Jadwal kita terlalu padat sampai aku tidak ada waktu bahkan untuk bertemu ibuku sendiri.” Cibir Haruna sembari melirik kearah eonnienya ini. Tsuki tersenyum manis.

“Tapi, kita sekarang di Tokyo,” Haruna merotasi matanya. “—Yokohama.” Ralat perempuan bermarga Shirokawa itu dengan malas. Tsuki tertawa. “Iya, iya. Tapi, tetap saja dekat, kan?”

Haruna menghela napas. bukannya dia tidak mau bertemu Ren, tapi waktu sepertinya belum mengizinkannya. Jadi, Haruna tidak mau memaksakan diri. “Ah.”

Langkah keduanya terhenti, Tsuki lebih tepatnya menghentikan langkahnya. Dia menunduk melihat sepatu bertali yang digunakannya. Haruna menghembuskan napas. “Siapa sih orang yang kalo jalan-jalan di pantai pakainya sepatu kets?” Protes Haruna. Tsuki tertawa. Dia menepuk-nepuk punggung Haruna. “Kamu duluan sana.” Kata Tsuki.

Haruna mengangguk. Dia kembali melangkahkan kakinya sembari mengusap-usap tangannya yang terbalutkan sweater cerah berlengan puffy yang dikenakannya. Dia mengernyitkan keningnya saat merasakan sesuatu yang aneh.

Haruna menoleh ke belakangnya. Kedua matanya mengerjap saat menyadari bahwa Tsuki tidak mengikutinya. Astaga, kemana ‘kakak’nya yang satu itu? Dia yang mengajak, kenapa jadi Haruna yang ditinggal sendiri? Haruna mengembungkan pipinya sebal. Disapunya pipi bagian dalamnya sembari berkacak pinggang, berpikir apakah dia akan tetap ke pantai atau tidak. Tapi, Haruna sudah akan sampai jadi agak sia-sia kalau dia malah berbalik. “Sudahlah. Anggap saja aku sedang me time.” Perempuan bermarga Shirokawa itu bergumam pada dirinya sendiri.

Kaki-kakinya yang beralaskan sandals berwarna hitam itu melangkah dengan santai hingga akhirnya alasnya menginjak pasir pantai. Haruna menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Menikmati suasana pantai yang cukup sepi disana. Kepalanya menoleh ke sekitarnya, dan berhenti bergerak begitu kepalanya menoleh kearah kanannya.

Sepasang matanya menangkap sosok lelaki tinggi yang berdiri tak jauh darinya sedang balas menatapnya dan kemudian seulas senyum lembut terukir di wajahnya. Sebuah senyum yang Haruna rindukan untuk dia lihat secara langsung, bukan hanya lewat layar saja.

“Haruna...?” “Ren-kun...?”

Sebab senyum itu selalu spesial baginya. Oh, bukan. Senyum itu selalu spesial bagi mereka berdua, satu sama lain.

Haruna tidak bisa menggerakkan kakinya, untuk mendekat kearah Ren Meguro yang sekarang berjalan menghampirinya. Langkah kaki lelaki itu perlahan-lahan melambat begitu sampai di dekatnya. Haruna menahan senyum, memalingkan wajah dari sosok pria bermarga Meguro ini. Lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Waktu semakin berjalan dan matahari juga semakin bergerak kearah barat. Sinar jingganya menyinari keduanya membentuk sebuah bayangan yang seakan-akan saling menyatu.

“Mau main kembang api? Aku tadi melihat toko yang menjual kembang api.” Oh, ayolah, Meguro. Kau bukan anak kecil lagi, begitupula Haruna. Haruna mengerutkan kening sambil masih menahan senyum di wajahnya. Kepalanya mengangguk. “Boleh...” balasnya lamat-lamat. Ren mengangguk dan menggerakkan tangannya mengisyaratkan Haruna untuk diam di posisinya. “Aku beli dulu, kamu tunggu disini ya.” Haruna mengangguk.

Baiklah. Dua orang ini kembali menjadi remaja yang dimabuk cinta. Haruna menunduk dan melepaskan senyum yang sedari tadi ditahannya. Kakinya bergerak-gerak dengan senangnya sembari sesekali kekehan keluar dari mulutnya. Dasar. Astaga... dia masih sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya, gumam Haruna dalam hati sembari menatap dikejauhan. Haruna berdehem dan memasang wajah biasanya kembali begitu mendengar langkah kaki yang mendekat.

Dia melihat Ren yang datang membawa bungkusan plastik dan seember berisi air. “Aku tadi minjam ember pada paman nelayan dekat sini.” Katanya. Dia membuka plastik yang dibawanya, mengeluarkan kembang api bunga dari kardusnya dan menyodorkan salah satunya kepada Haruna.

Ren menyunggingkan senyum kearah Haruna. “Pegang dan jangan kaget ya.” ucap Ren, mengulurkan korek api listrik kearah sumbu kembang api yang dipegang Haruna. Perempuan bermarga Shirokawa itu memekik pelan saat sumbunya sudah menyala.

Haruna tertawa, menertawakan keterkejutannya sendiri. Dia mundur sedikit dari Ren dan menikmati kembang apinya. Sedangkan Ren sedang sibuk menancapkan sebuah kembang api pinwheels ke tanah berpasir itu dan menyalakannya. Keduanya menikmati waktu sembari bermain-main dengan api berbunga itu. Waktu yang sudah lama mereka ingin habiskan bersama.

Langit semakin menggelap dan matahari yang tadi memancarkan sinar jingga diganti dengan sinar bulan dan lampu-lampu dari rumah penduduk di belakang mereka. Suara ombak beberapa kali memecah keheningan. Haruna yang sedang berjongkok sembari memandangi kembang api terakhir di tangannya.

Sedangkan Ren memilih memandangi sosok perempuan yang sudah lama tidak dia jumpai ini. Rasa rindunya juga menyeruak ingin disalurkan namun Ren menahan diri dan memilih untuk menikmati waktu dengan memandangi sosok perempuan yang dia sayangi.

“Ah.” Lamunan Ren buyar saat mendengar gumaman pelan dari Haruna, perempuan itu membuang kembang api yang sudah habis ke dalam ember dan menepuk-nepuk tangannya. Dia baru sadar sedari tadi dipandangi oleh Ren. Haruna tersenyum, dia bertopang dagu. Mereka saling memandang selama beberapa saat. “Lama tidak berjumpa ya, Meguro.” Sapa Haruna.

Ren mengerutkan kening. “Iya ya. Lama tidak berjumpa, Shirokawa.” Balasnya sinis, mengundang tawa Haruna yang dia rindukan. “Aku bercanda, Ren-kun.”

Ren menghela napas. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya. “Ayo.” Haruna mengerjap. “Kemana?” Tanpa menjawab pertanyaan Haruna, Ren langsung menarik Haruna bangkit. Dia sempat terkejut begitu sadar dia terlalu kuat menarik Haruna dan membuat posisi berdiri mereka sangat dekat. “Boleh aku peluk?” bisik Ren setelah mereka diserang keheningan, tenggelam dalam pikiran masing-masing sembari menatap mata satu sama lain. Haruna tersenyum. “Aku tidak melarang.”

Ren menarik Haruna dan mendekapnya, mengeratkan pelukannya pada Haruna. Dia menyesap dalam-dalam aroma yang sudah lama dia rindukan ini. Haruna membalas pelukan Ren. “Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. ” Guman Haruna. Ren tersenyum. “Jangan meninggalkanku lagi.”


Abe menyunggingkan senyumnya begitu melihat sahabatnya di Snow Man bisa kembali bertemu dengan perempuan yang disayanginya. Rasanya tiga tahun memang cepat, tapi tetap saja terasa lama bagi Ren. Dia tahu bagaimana rasanya jauh dari kesayangan. Abe meringis saat merasakan belakang kepalanya ditepak seseorang. Dia menoleh dan menemukan Tsuki yang menatapnya tajam.

“Kau! Aku nyaris menghajarmu sampai babak belur!” Geram Tsuki. Saat sedang mengikat tali sepatunya, dia terkejut mendapati seseorang yang asing namun terasa familiar berdiri di depannya dengan kacamata yang membingkai wajahnya, menariknya berdiri dan menyeretnya dari sana untuk menjauh dari pintu masuk pantai. Sekarang mereka sedang duduk di atas pembatas pantai yang terbuat dari semen itu sembari menikmati sinar mentari berwarna jingga yang semakin terang.

“Jangan marah-marah terus, dong. Kalau tidak begitu, Shirokawa-san dan Meme tidak bisa bertemu.” Kata Abe. Tsuki berdecak. Dia melipat kedua tangannya dan memilih memalingkan wajahnya kearah lain, lebih tepatnya kearah laut di hadapan mereka sekarang. “Tsuki.” Yang dipanggil memilih diam dan menikmati hembusan angin. Dia masih marah pada lelaki di sebelahnya ini. “Matsumoto.” Tsuki berdehem. Menghiraukan panggilan itu.

“Ya sudah.” Kata Abe. Tsuki mengira kalau pacarnya itu sudah menyerah untuk menarik perhatiaannya namun yang tidak dia duga adalah sebuah kecupan di bibirnya. Lembut dan penuh kasih sayang. Tidak ada tuntutan.

Abe segera menjauhkan wajahnya dan berdehem. Tsuki meliriknya dan melihat wajah Abe yang meranum merah. “Dasar aneh.” Cibirnya. “Tapi, kamu suka.” Balas Abe. Tsuki berdecak. Seulas senyum yang terlihat sedikit malu-malu itu terpartri di wajahnya. Well, dia bersyukur baik Haruna dan Meguro, semuanya berjalan lancar kali ini.


Thank you~

Maafkan segala typo dan kecirengannya.


Mina menopangkan dagunya sembari menghembuskan napas perlahan. Matanya menatap kearah layar laptop yang sebelumnya menampilkan siaran Tokyo Girls Collection 2022 lewat LINE LIVE. Kini, dia menonton ulang siaran bagian dimana pacarnya, Murakami Maito Raul muncul sebagai model dengan balutan setelan berwarna merah muda berbahan satin tanpa inner. Miyahara Mina menggeleng. Dia berdehem dan mematikan laptopnya. Sebelum itu, dia mengecek jam dan menemukan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat.

Dibukanya kunciran rambutnya yang longgar dan membiarkan rambut sepunggung dengan peek-a-boo berwarna ungu tua itu jatuh dengan perlahan. Dia bertopang dagu dengan tangan yang memegang bahu kirinya. Entah tenggelam dalam lamunan seperti apa, tapi itu cukup membuat wajah Mina meranum. Suara bel berbunyi membangunkan Mina dari lamunannya. Dia menggeleng dan segera pergi ke genkan untuk membukakan pintu, sembari dengan berusaha mengikat rambutnya kembali. Dengan satu tangan dan karet yang tergigit di mulutnya, dia membuka pintu dan menemukan sosok jangkung dengan long coat hitam dan topi hitam beserta kacamata beningnya.

Sosok di depannya ini mengerjap, Mina pun juga melakukan hal yang sama. Mina langsung buru-buru menguncir rambutnya dan berdehem keras. Dia menyingkir sedikit untuk membiarkan lelaki itu masuk. Mina menutup pintu apartemennya dan berjalan cepat mendahului Raul. “Kok kamu kesini?” tanya Mina. Raul mengedikkan bahunya, dia melepas long coat hitam yang dikenakannya, menggantung ke tempat yang sudah dia hapal dengan baik.

“Aku mau bertemu pacarku. Tidak boleh?” tanyanya. Mina tersenyum tipis. Dia merotasi bola matanya dan beranjak ke dapur untuk membuat minuman hangat. Ini sudah malam dan bisa-bisanya Raul datang jam segini. “Semua jadwalmu sudah selesai?” Raul mengangguk sembari mendudukkan dirinya diatas sofa. “Sudah. Aku tadi pamit duluan.” Mina membalas dengan gumaman, jawaban dari Raul.

Dia menyusul Raul yang sedang duduk di sofa sembari membawa minuman. Namun, saat Mina mendongak dia terkejut melihat penampilan Raul, sampai minuman yang dia bawa tumpah dan mengenai tangannya. Mina meringis, kaget merasakan rasa panas dari minuman yang asapnya masih mengepul itu. “Ah sial.” Lirihnya pelan. Mina buru-buru meletakan gelas itu ke atas meja dan berlari kecil ke wastafel dapur, mengaliri tangannya dengan air untuk menetralisir rasa perih dan mencegah adanya luka bakar. Dia mengutuk Raul yang ternyata menyembunyikan outfit yang dia pakai dibalik long coatnya tadi.

“Astaga, kak Mina hati-hati dong.” Mina berjengit saat mendengar suara Raul di dekatnya. Dia berdecak, menjauh dari Raul setelah mematikan keran air itu. dikibas-kibaskannya tangannya untuk menghilangkan air yang tersisa, meski dia tidak suka nantinya lantai apartemennya jadi basah. Tapi, yang satu ini harus dihindari. “Kamu ngapain kesini pake outfit TGC?!” Omel Mina. Raul di depannya ini persis seperti Raul yang dia lihat di TGC tadi sore. Mina seperti melihat Raul keluar dari layar kaca.

“Sini, tangannya. Aku mau lihat, takut kenapa-kenapa.” Raul mengulurkan tangan untuk meraih tangan Mina namun perempuan itu berjalan mundur menghindarinya. Raul berdecak. “Kenapa mundur-mundur sih, kak Mina!” gerutu Raul sebal. Mina menggeleng. Lebih baik dia menjaga jarak dari raul. Social Distancing itu penting, kawan.

Raul berdecak. setiap Mina mundur selangkah dia akan maju dua langkah, begitu seterusnya sampai akhirnya Raul jengah dan mengambil langkah cepat untuk meraih Mina dan membawanya duduk di sofa. Yang tidak diprediksi Mina adalah posisi mereka, dimana saat ini Mina duduk dipangkuan Raul. Mina menolak untuk melingkarkan tangannya di sekitar bahu Raul. Lelaki itu menyunggingkan senyum. Astaga, Mina tidak tahan melihat senyum itu. dia memalingkan wajah sembari mencoba berdiri namun Raul memegang pinggangnya, menahan posisinya. Mina melotot.

“Raul! Kamu masih underage!” Tegur Mina. Dia terus mencoba melepaskan tangan Raul dari pinggangnya. Namun, lelaki itu menolak melepaskannya. Dia mengeratkan pelukannya. Mina semakin terkejut kala Raul tiba-tiba mengecup pelan kelopak matanya dan dengan cepat leher bagian belakangnya. Titik sensitifnya. Mina mengedikkan bahu dengan kaget. Mendadak pikirannya kosong untuk beberapa saat. Raul tersenyum lebar. “Aku merindukanmu...” Bisiknya, mendekatkan wajahnya kearah Mina dan menyatukan kedua kening mereka.

Mina terdiam selama beberapa saat, menikmati aroma menenangkan yang menguar dari Raul. Dia ikut memejamkan matanya, menikmati Raul yang sekarang mengusap lembut pipinya. Perlahan-lahan tangannya melingkar di sekitar leher Raul, jemarinya memaikan scarf yang mengikat rambut Raul. Rambutnya yang terikat, ditarik Raul dengan mudah karena Mina memang tidak mengikatnya kencang-kencang, membuat helaiannya kini membingkai wajah perempuan bermarga Miyahara itu. Raul memandangi wajah sosok di depannya ini. Tangannya terangkat. Mina langsung melebarkan matanya begitu merasakan Raul mengencangkan ikatan di pergelangan tangannya dengan scarf yang sebelumnya ada di rambut Raul.

Raul tersenyum. “Can i take you?” Bisiknya. Belum sempat Mina membalas, Raul sudah mencium bibirnya. Mina ingin menghindar namun Raul menahan kepalanya. Ciuman yang sebelumnya lembut itu semakin terasa menuntut dan berubah menjadi lumatan yang menyesakkan Mina.

Gerakannya terbatas karena Raul mengikat tangannya yang melingkar di leher lelaki itu. Padahal Mina sedari tadi hanya memainkan scarf dan rambut Raul yang terikat tapi kenapa gerakan lelaki itu sangat cepat darinya? Well, seharusnya kamu gak heran, Mina.

Mina merasakan perutnya geli dan napasnya memburu setelah Raul melepaskan ciuman mereka. Sial. Itu ciuman pertama mereka dan rasanya sangat memabukkan. “Raul...” panggilnya sayu. Sial. Raul tersenyum lembut sembari tangannya melepas blazer merah mudanya, langsung memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang polos. Wajah Mina meranum. Dia memalingkan wajahnya kearah lain. Raul merubah posisi mereka dengan Mina yang berbaring diatas sofa dan Raul yang berada diatasnya. Tangan Mina yang terikat masih melingkar di leher lelaki jangkung ini. Kini, bibirnya Raul menciumi lehernya, sesekali menghisapnya kuat dan memberi tanda kemerahan disana. Mina berusaha menahan suara aneh yang tiba-tiba ingin dikeluarkannya. Tangan Raul yang lainnya meremas pelan dada Mina.

“Ughh...” Desahan itu lolos begitu saja dari mulut Mina membuat Raul tertawa kecil. Dia mengangkat kepalanya dan menatap lurus kedalam sepasang mata perempuan yang sudah lama disukainya ini. “Panggil namaku...” katanya. Diusapnya lembut pipi Mina dengan punggung tangannya sebelum akhirnya dia mencium kembali bibir ranumnya. Sedangkan sebelah tangannya kini semakin turun dan menyelinap ke dalam celana pendek yang dikenakan Mina.

“Mina-chan! Kenapa pintunya tidak dikunci?!”

Mina dan Raul tersentak. Astaga, siapa itu?! Terdengar suara gaduh di depan, begitupla beberapa suara yang sangat dikenal keduanya. Dengan panik Mina buru-buru menarik tangannya dari leher Raul, namun lupa bahwa scarf yang dipakai Raul sebelumnya masih mengikatnya, membuat kening keduanya terbentur. Aduh, lagipula siapa yang datang lagi?!

Raul mendesis sembari menunduk dan mengeluarkan kepalanya dari tangan Mina. Melepaskan ikatan scarfnya dengan sekali tarik. Mina berdecak. Raul dengan cepat langsung mengenakan kembali blazer berwarna merah muda satinnya. Dia berdehem.

Tak lama muncul sosok dua perempuan dan beberapa lelaki yang sangat Raul kenal. “Hee, ternyata Raul kesini toh.” Kata Koji. Dia segera duduk di atas sofa dan melebarkan tangannya. “Raul, duduk dong! Sadar badan dikit!” protes Koji. Tsuki menepuk kepala Koji. Dia mengarahkan kepalanya kearah dapur milik Mina, melihat Date yang sedang sibuk mengeluarkan bahan-bahan masakan. “Bantu Miyadate sana!” titahnya. Koji mendengkus. Lelaki bermarga Mukai itu bangkit dan menghampiri Miyadate dan Sakuma yang sedang asyik. Sedangkan Meguro dan Hikaru duduk di lantai berkarpet di ruangan itu.

“Mina-chan kemana, Raul-kun?” Tanya Haruna begitu melihat hanya Raul yang ada di ruangan itu. Raul melirik Mina yang sekarang sedang membuka pintu balkon unitnya dan keluar. Berpura-pura sedang menikmati udara segar. Well, mereka berdua memang membutuhkan udara segar.

“Kak Mina!” Panggil Raul. Untuk beberapa saat Mina tidak merespon panggilan Raul, terlihat Mina menarik napas sesaat sebelum akhirnya berbalik dan tersenyum, masuk ke dalam. Mina baru ingat kalau dia sudah janji untuk makan-makan late night di unitnya yang cukup besar ini bersama kakak yang baru dikenalnya. “Halo, Matsumoto-san, Shirokawa-san.” Sapa Mina. Raul melotot saat menyadari bahwa ada tanda merah yang sangat terlihat di pangkal leher Mina dan di beberapa titik di leher itu. Sial...

“Kak Mina abis kena catokan ya?” tanya Raul tiba-tiba. Mina mengerutkan kening. Dia menatap aneh kearah Raul yang melebarkan mata kearahnya sambil berulang kali mengarahkan pandangannya kearah leher Mina. Mina langsung menyentuh lehernya. Sialan kamu, Raul...

Dia tersenyum dan mengangguk kaku. “Uh-Uhm, iya. Tadi aku abis pakai catokan, kena beberapa kali ke leher.” Jawabnya. Dia melirik kearah Raul dengan tajam. Tsuki menyipitkan mata kearah Mina dan Raul bergantian. Menyadari apa yang terjadi sebelum mereka sampai disana.

Dia harus mengintrogasi Raul setelah ini.

Maafkan segala typo dan kecirengannya.


Mina menopangkan dagunya sembari menghembuskan napas perlahan. Matanya menatap kearah layar laptop yang sebelumnya menampilkan siaran Tokyo Girls Collection 2022 lewat LINE LIVE. Kini, dia menonton ulang siaran bagian dimana pacarnya, Murakami Maito Raul muncul sebagai model dengan balutan setelan berwarna merah muda berbahan satin tanpa inner. Miyahara Mina menggeleng. Dia berdehem dan mematikan laptopnya. Sebelum itu, dia mengecek jam dan menemukan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat.

Dibukanya kunciran rambutnya yang longgar dan membiarkan rambut sepunggung dengan peek-a-boo berwarna ungu tua itu jatuh dengan perlahan. Dia bertopang dagu dengan tangan yang memegang bahu kirinya. Entah tenggelam dalam lamunan seperti apa, tapi itu cukup membuat wajah Mina meranum. Suara bel berbunyi membangunkan Mina dari lamunannya. Dia menggeleng dan segera pergi ke genkan untuk membukakan pintu, sembari dengan berusaha mengikat rambutnya kembali. Dengan satu tangan dan karet yang tergigit di mulutnya, dia membuka pintu dan menemukan sosok jangkung dengan long coat hitam dan topi hitam beserta kacamata beningnya.

Sosok di depannya ini mengerjap, Mina pun juga melakukan hal yang sama. Mina langsung buru-buru menguncir rambutnya dan berdehem keras. Dia menyingkir sedikit untuk membiarkan lelaki itu masuk. Mina menutup pintu apartemennya dan berjalan cepat mendahului Raul. “Kok kamu kesini?” tanya Mina. Raul mengedikkan bahunya, dia melepas long coat hitam yang dikenakannya, menggantung ke tempat yang sudah dia hapal dengan baik.

“Aku mau bertemu pacarku. Tidak boleh?” tanyanya. Mina tersenyum tipis. Dia merotasi bola matanya dan beranjak ke dapur untuk membuat minuman hangat. Ini sudah malam dan bisa-bisanya Raul datang jam segini. “Semua jadwalmu sudah selesai?” Raul mengangguk sembari mendudukkan dirinya diatas sofa. “Sudah. Aku tadi pamit duluan.” Mina membalas dengan gumaman, jawaban dari Raul.

Dia menyusul Raul yang sedang duduk di sofa sembari membawa minuman. Namun, saat Mina mendongak dia terkejut melihat penampilan Raul, sampai minuman yang dia bawa tumpah dan mengenai tangannya. Mina meringis, kaget merasakan rasa panas dari minuman yang asapnya masih mengepul itu. “Ah sial.” Lirihnya pelan. Mina buru-buru meletakan gelas itu ke atas meja dan berlari kecil ke wastafel dapur, mengaliri tangannya dengan air untuk menetralisir rasa perih dan mencegah adanya luka bakar. Dia mengutuk Raul yang ternyata menyembunyikan outfit yang dia pakai dibalik long coatnya tadi.

“Astaga, kak Mina hati-hati dong.” Mina berjengit saat mendengar suara Raul di dekatnya. Dia berdecak, menjauh dari Raul setelah mematikan keran air itu. dikibas-kibaskannya tangannya untuk menghilangkan air yang tersisa, meski dia tidak suka nantinya lantai apartemennya jadi basah. Tapi, yang satu ini harus dihindari. “Kamu ngapain kesini pake outfit TGC?!” Omel Mina. Raul di depannya ini persis seperti Raul yang dia lihat di TGC tadi sore. Mina seperti melihat Raul keluar dari layar kaca.

“Sini, tangannya. Aku mau lihat, takut kenapa-kenapa.” Raul mengulurkan tangan untuk meraih tangan Mina namun perempuan itu berjalan mundur menghindarinya. Raul berdecak. “Kenapa mundur-mundur sih, kak Mina!” gerutu Raul sebal. Mina menggeleng. Lebih baik dia menjaga jarak dari raul. Social Distancing itu penting, kawan.

Raul berdecak. setiap Mina mundur selangkah dia akan maju dua langkah, begitu seterusnya sampai akhirnya Raul jengah dan mengambil langkah cepat untuk meraih Mina dan membawanya duduk di sofa. Yang tidak diprediksi Mina adalah posisi mereka, dimana saat ini Mina duduk dipangkuan Raul. Mina menolak untuk melingkarkan tangannya di sekitar bahu Raul. Lelaki itu menyunggingkan senyum. Astaga, Mina tidak tahan melihat senyum itu. dia memalingkan wajah sembari mencoba berdiri namun Raul memegang pinggangnya, menahan posisinya. Mina melotot.

“Raul! Kamu masih underage!” Tegur Mina. Dia terus mencoba melepaskan tangan Raul dari pinggangnya. Namun, lelaki itu menolak melepaskannya. Dia mengeratkan pelukannya. Mina semakin terkejut kala Raul tiba-tiba mengecup pelan kelopak matanya dan dengan cepat leher bagian belakangnya. Titik sensitifnya. Mina mengedikkan bahu dengan kaget. Mendadak pikirannya kosong untuk beberapa saat. Raul tersenyum lebar. “Aku merindukanmu...” Bisiknya, mendekatkan wajahnya kearah Mina dan menyatukan kedua kening mereka.

Mina terdiam selama beberapa saat, menikmati aroma menenangkan yang menguar dari Raul. Dia ikut memejamkan matanya, menikmati Raul yang sekarang mengusap lembut pipinya. Perlahan-lahan tangannya melingkar di sekitar leher Raul, jemarinya memaikan scraf yang mengikat rambut Raul. Rambutnya yang terikat, ditarik Raul dengan mudah karena Mina memang tidak mengikatnya kencang-kencang, membuat helaiannya kini membingkai wajah perempuan bermarga Miyahara itu. Raul memandangi wajah sosok di depannya ini. Tangannya terangkat. Mina langsung melebarkan matanya begitu merasakan Raul mengencangkan ikatan di pergelangan tangannya dengan scraf yang sebelumnya ada di rambut Raul.

Raul tersenyum. “Can i take you?” Bisiknya. Belum sempat Mina membalas, Raul sudah mencium bibirnya. Mina ingin menghindar namun Raul menahan kepalanya. Ciuman yang sebelumnya lembut itu semakin terasa menuntut dan berubah menjadi lumatan yang menyesakkan Mina.

Gerakannya terbatas karena Raul mengikat tangannya yang melingkar di leher lelaki itu. Padahal Mina sedari tadi hanya memainkan scraf dan rambut Raul yang terikat tapi kenapa gerakan lelaki itu sangat cepat darinya? Well, seharusnya kamu gak heran, Mina.

Mina merasakan perutnya geli dan napasnya memburu setelah Raul melepaskan ciuman mereka. Sial. Itu ciuman pertama mereka dan rasanya sangat memabukkan. “Raul...” panggilnya sayu. Sial. Raul tersenyum lembut sembari tangannya melepas blazer merah mudanya, langsung memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang polos. Wajah Mina meranum. Dia memalingkan wajahnya kearah lain. Raul merubah posisi mereka dengan Mina yang berbaring diatas sofa dan Raul yang berada diatasnya. Tangan Mina yang terikat masih melingkar di leher lelaki jangkung ini. Kini, bibirnya Raul menciumi lehernya, sesekali menghisapnya kuat dan memberi tanda kemerahan disana. Mina berusaha menahan suara aneh yang tiba-tiba ingin dikeluarkannya. Tangan Raul yang lainnya meremas pelan dada Mina.

“Ughh...” Desahan itu lolos begitu saja dari mulut Mina membuat Raul tertawa kecil. Dia mengangkat kepalanya dan menatap lurus kedalam sepasang mata perempuan yang sudah lama disukainya ini. “Panggil namaku...” katanya. Diusapnya lembut pipi Mina dengan punggung tangannya sebelum akhirnya dia mencium kembali bibir ranumnya. Sedangkan sebelah tangannya kini semakin turun dan menyelinap ke dalam celana pendek yang dikenakan Mina.

“Mina-chan! Kenapa pintunya tidak dikunci?!”

Mina dan Raul tersentak. Astaga, siapa itu?! Terdengar suara gaduh di depan, begitupla beberapa suara yang sangat dikenal keduanya. Dengan panik Mina buru-buru menarik tangannya dari leher Raul, namun lupa bahwa scraf yang dipakai Raul sebelumnya masih mengikatnya, membuat kening keduanya terbentur. Aduh, lagipula siapa yang datang lagi?!

Raul mendesis sembari menunduk dan mengeluarkan kepalanya dari tangan Mina. Melepaskan ikatan scrafnya dengan sekali tarik. Mina berdecak. Raul dengan cepat langsung mengenakan kembali blazer berwarna merah muda satinnya. Dia berdehem.

Tak lama muncul sosok dua perempuan dan beberapa lelaki yang sangat Raul kenal. “Hee, ternyata Raul kesini toh.” Kata Koji. Dia segera duduk di atas sofa dan melebarkan tangannya. “Raul, duduk dong! Sadar badan dikit!” protes Koji. Tsuki menepuk kepala Koji. Dia mengarahkan kepalanya kearah dapur milik Mina, melihat Date yang sedang sibuk mengeluarkan bahan-bahan masakan. “Bantu Miyadate sana!” titahnya. Koji mendengkus. Lelaki bermarga Mukai itu bangkit dan menghampiri Miyadate dan Sakuma yang sedang asyik. Sedangkan Meguro dan Hikaru duduk di lantai berkarpet di ruangan itu.

“Mina-chan kemana, Raul-kun?” Tanya Haruna begitu melihat hanya Raul yang ada di ruangan itu. Raul melirik Mina yang sekarang sedang membuka pintu balkon unitnya dan keluar. Berpura-pura sedang menikmati udara segar. Well, mereka berdua memang membutuhkan udara segar.

“Kak Mina!” Panggil Raul. Untuk beberapa saat Mina tidak merespon panggilan Raul, terlihat Mina menarik napas sesaat sebelum akhirnya berbalik dan tersenyum, masuk ke dalam. Mina baru ingat kalau dia sudah janji untuk makan-makan late night di unitnya yang cukup besar ini bersama kakak yang baru dikenalnya. “Halo, Matsumoto-san, Shirokawa-san.” Sapa Mina. Raul melotot saat menyadari bahwa ada tanda merah yang sangat terlihat di pangkal leher Mina dan di beberapa titik di leher itu. Sial...

“Kak Mina abis kena catokan ya?” tanya Raul tiba-tiba. Mina mengerutkan kening. Dia menatap aneh kearah Raul yang melebarkan mata kearahnya sambil berulang kali mengarahkan pandangannya kearah leher Mina. Mina langsung menyentuh lehernya. Sialan kamu, Raul...

Dia tersenyum dan mengangguk kaku. “Uh-Uhm, iya. Tadi aku abis pakai catokan, kena beberapa kali ke leher.” Jawabnya. Dia melirik kearah Raul dengan tajam. Tsuki menyipitkan mata kearah Mina dan Raul bergantian. Menyadari apa yang terjadi sebelum mereka sampai disana.

Dia harus mengintrogasi Raul setelah ini.


Awalnya tidak pernah di pikirkan oleh Koji sedikitpun. Bahwa dia akan jatuh cinta. Pada seseorang yang berhasil menariknya keluar dari gelapnya kegagalan move on pada lawan mainnya di suatu drama, seseorang yang selama kurang lebih enam tahun bersama-samanya—tidak, seseorang yang secara tidak langsung masuk sirkel pertemanannya. Seseorang yang tiba-tiba saja menarik seluruh perhatiannya kearahnya. Hanya kearahnya.

Tapi, Koji tidak mau merusak hubungan perempuan itu dengan pacarnya—yang merupakan sahabatnya juga. Dia memilih memendam perasaan sendirian. Lagi. Kali ini. Kesekian kalinya. Menyimpannya sendiri tanpa berniat membuat perasaannya terdengar oleh orang yang di sayanginya adalah jalan pilihannya.

Tapi, ini adalah pertama kalinya, Koji berpikir, dia ingin agar perasaannya tersampaikan dengan baik pada sosok yang telah menariknya itu.

Dia tidak pernah mengharapkan apapun, meminta apapun apalagi menginginkan sesuatu. Saat Koji merasakan keanehan dalam hubungannya dengan orang itu, dia berpikir bahwa ini adalah akhir dari persaannya. Saat pertama kali dia dengar kabar yang di beritakan langsung oleh orang yang di sayanginya ini.

“Aku akan menikah.” Katanya dengan riang saat itu. Koji bahkan bisa melihat wajah bahagia dari sosok teman yang di sayanginya itu. Tapi, dia tidak bisa bohong kalau hatinya sakit. Dadanya sesak dan senyuman yang berusaha dia keluarkan dengan tulus malah terkesan terpaksakan.

“Benarkah? Syukurlah... Dengan Shoppi?” Hanya itu yang bisa di keluarkan mulutnya di tengah usahanya sekuat tenaga untuk menghilangkan sesak dan rasa menyakitkan di hatinya.

Sejak berita itu turun, Koji menjauh. Ehm... Tidak... Koji tidak merasa seperti itu sedikitpun. Padahal dulu mereka cukup dekat. Tapi, kali ini keduanya sangat berjauhan. Saat berita itu turun ke media dan beberapa fans tak setuju, Koji tak berusaha mendekat untuk menenangkan sahabatnya apalagi pacarnya yang dia sayangi itu. Dia memilih untuk menyibukkan drinya di balik persiapan konser Snow Man.

Akhirnya, malam itu, kakinya melangkah sendiri. Tanpa dia sadari dengan sepenuhnya kakinya melangkah menuju apartemen orang itu dan disinilah dia sekarang. Berdiri di depan unit apartemen dengan nama yang tertera di sebelahnya adalah Minamoto. Dengan ragu, di pencetnya bel apartemen itu hingga terdengar sapaan pelan dari dalam sana.

Koji sadar dia berada disana setelah pintu unit itu terbuka. Dia ingin pergi, tapi terlalu terlambat karena kedua manik karamel itu sudah menatapnya setelah pintu di depannya terbuka. “Koji-kun?”

Lidah Koji kelu. Dia ingin membalas ucapan sosok di depannya ini tapi tidak ada yang keluar sedikitpun. Sosok itu tertawa pelan. Di tariknya tangan Koji untuk masuk ke unitnya. “Sepertinya udara musim gugur membuatmu jadi membeku ya? padahal ini belum musim dingin, loh.” Ejek sosok yang berjalan di depannya ini.

Kedua mata Koji yang terbingkai kacamata frame itu menatap sendu punggung sosok di depannya. Kepalanya menunduk sejenak, sebelum akhirnya kakinya mencoba melangkah lebih cepat untuk meraih sosok itu.

“Koji...?!” Sosok bernama Minamoto Airi itu terkejut kala merasakan tubuhnya di tarik untuk di dekap sosok yang malam-malam datang ke apartemennya ini.

Hening. Hembusan napas Koji yang hangat menerpa tengkuk Airi dan membawa sensasi geli. Tangan Airi terangkat untuk menyentuh tangan Koji yang melingkari tubuhnya. “Hei, Koji-kun... Ada apa?”

“Diam sebentar,” bisik Koji parau. “izinkan aku memelukmu untuk terakhir kalinya...” lanjutnya membuat Airi jadi terkejut dengan bingung. Kepalanya menoleh sedikit kearah Koji dan menemukan pria itu yang mendekapnya erat-erat dengan kepala yang di tenggelamkannya di balik lekukan leher Airi.

Yang di pikirkan Koji kali ini adalah bagaimana dia bisa merelakan semua ini. Bagaimana dia bisa mengakhiri perasaannya yang berubah menjadi menyakitkan ini... “Aku menyukaimu... Sangat menyukaimu...” Kalimat itu keluar dengan lancar. Begitu lancar hingga Koji merasakan hatinya menghangat. Tapi, Airi malah terdiam.

Kepala perempuan itu menunduk. Di remasnya tangan Koji yang memeluknya ini. Dia tidak mengira kalau Koji akan menyatakan perasaannya pada Airi. Tapi... Kenapa sekarang... Kenapa saat semuanya sudah sangat terlambat... Airi benar-benar menyesalinya.

Koji melepaskan pelukannya perlahan dan menarik napas. Airi menghadap kearah Koji dan menatapnya dalam. Pria bermarga Mukai itu menyunggingkan senyum. Di tangkupnya kedua sisi wajah Airi. “Ini akhirnya. Terima kasih karena sudah menarikku dari kegagalan move on waktu itu,” ucap Koji. “mulai sekarang, rasa sakit ini akan menghilang perlahan.” Lanjutnya sendu yang membuat Airi semakin bersalah. Dadanya sesak dan hatinya sakit saat Koji mengatakannya.

“Ini waktu yang tepat untuk ucapkan selamat tinggal kan?”

Airi ingin menggeleng saat itu tapi dia tidak bisa melakukan apapun pada tubuhnya sendiri. “Berbahagialah, Airi-chan...” Bisik Koji lembut sebelum akhirnya mengecup singkat bibir Airi dan beranjak dari sana tanpa berkata apapun lagi. Airi menatap pintu unit apartemennya yang tertutup perlahan. Dia terdiam dalam posisinya untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghembuskan napas.

Dengan begini, semuanya selesai. Antara Airi dan Koji. Mereka hanya akan jadi teman tanpa ada perasaan apapun. Tapi, kalau di lihat-lihat... Apakah ini cinta? Atau hanya karena salah satu di antara mereka berubah?


ADUH AKU TARO AIRI DI KAPAL KOJI AJA APA YAA GEMES BANGET

Sekali lagi di lihatnya waktu yang terus bergerak lewat jam digital yang ada di dekat ranjang yang sekarang di tidurinya. Helaan napas keluar perlahan sebelum akhirnya sosok perempuan manis ini beranjak dari posisinya dan berjalan keluar kamar, menyadari bahwa unit apartemen itu masih gelap. Di nyalakannya lagi lampu tengah ruangan itu membuat suasana lebih terang dan tidak membuat mata sakit sedikitpun.

Kedua matanya masih mendapati jatah makan malam tiga jam yang lalu masih ada disana, terbungkus dengan plastic wrap. Kakinya melangkah mendekati meja makan itu dan menarik kursinya untuk dia duduki. Di tatapnya dengan kosong kursi yang ada di seberangnya. Kosong. Ya. Kosong. Entah sudah berapa kali wanita ini mendapati pemandangan yang sama setiap malamnya. Selama seminggu ini, dia tidak bisa melihat dengan jelas tanda kehadiran sosok yang sudah sangat di rindukannya ini.

Semakin membuatnya yakin, bahwa malam ini sosok itu tidak datang. Lagi. Atau paling tidak pulang. Kalau dia boleh jujur, hatinya benar-benar merasa tidak tenang, apalagi setelah menyadari bahwa ada rumor dating baru yang mencuat ke media. Tentang sosok bernama Watanabe Shota diduga punya hubungan khusus yang terulang lagi dengan Tsubasa Honda. Lihat? Wanita bernama Minamoto Airi ini tidak bisa tenang dengan pikiran positifnya terus-menerus.

Ponselnya yang dia tinggal di atas pantry dekat meja makan ini berdering singkat. Airi sedikit harus mengangkat tubuhnya untuk mengambil ponselnya yang selalu dia tinggal di sana setiap akan pergi tidur. Membawa ponsel ke dalam kamar akan membuat jam tidurnya kacau karena godaan untuk mengecek media sosial terlalu besar.

Yah, meskipun tidak hanya karena hal itu pemicunya bukan? Lagi-lagi Airi merasa dirinya sudah mulai terbiasa dengan pesan yang sama berulang kali.

Shota Maaf ya, Airi! Hari ini aku tidak bisa pulang lagi. Ada kerjaan!

Selalu seperti itu. Bohong kalau Airi tidak kecewa. Padahal ada yang ingin Airi sampaikan pada Shota. Tapi, pria itu selalu tidak ada waktu untuknya. Bohong kalau Airi tidak merasa kesal, hampa dan amarah memenuhi hatinya. Tapi, Airi selalu berusaha mengabaikan perasaan menyakitkan seperti itu.

Wanita itu menghembuskan napas. di letakannya kembali ponselnya di atas meja dan mengambil piring yang di plastic wrap itu. Di bukanya plastic itu dan di ambilnya sendok untuk melahapnya. Sayang bukan kalau makan malam yang sudah dia sisakan ini tidak di makan? Lagipula orangnya juga tidak pulang lagi malam ini.

Tapi, kali ini, makan malam hari itu terasa asin dan juga menyakitkan. Airi tidak sadar bahwa dia sudah melahap makan malam itu sembari menangis dalam diam. Wanita itu ingin marah, ingin meledak saat itu tapi dia tahu kalau dia sendiri dan hanya akan menghabiskan energinya. Jadi... dia memilih untuk menangis diam-diam seperti ini, meski pada akhirnya suara isakan juga keluar perlahan.


Sebelum menarik kopernya menjauh, Airi menyempatkan diri untuk menoleh dan melihat kearah lantai dimana unit apartemen Shota berada. Helaan napas keluar dari mulutnya bersamaan dengan tangannya meraih gagang koper dan menariknya menjauh dari sana. Di naikannya syal yang melingkar di lehernya untuk menutupi sebagian wajahnya.

Tapi, belum sampai di halte bus, langkah Airi terhenti begitu dia merasa seseorang berdiri di depannya. Menghalangi langkahnya. “Permisi.” Ucapnya pelan sembari berjalan menyingkir dari sosok yang berdiri di depannya tapi saat Airi bergerak ke samping kanan sosok itu mengikutinya begitu juga sebaliknya.

Airi berdecak. Dia mendelik dan mendongak. Tapi, terdiam begitu menyadari sosok yang di kenalnya berdiri di depannya dengan senyuman khasnya.

“Mukai-san...?”

One Way Memory

[Bagian 2]

Maafkan segala typo dan kecirengannya.


“Kau berhutang penjelasan padaku, Watanabe!” Sakuma berucap dalam pada Shota yang duduk di depannya, di kursi tunggu di depan kamar inap Airi. Lelaki yang bernama kecil Daisuke itu langsung pergi ke Sapporo begitu diminta orangtua Airi untuk menengok kondisi putri tunggal mereka, yang juga sahabatnya begitu mendapatkan kabar bahwa Airi kecelakaan. Dia terkejut saat melihat kondisi Airi yang melupakan sebagian kenangannya dalam kurung waktu tiga sampai empat tahun ini.

Shota menghembuskan napas. Dia lelah sebenarnya harus menceritakan ini karena rasa bersalahnya selalu muncul. Namun, dia mencoba memaksakan diri untuk menjelaskan sejelas-jelasnya pada orang yang juga protektif pada sahabatnya ini. Sakuma menatapnya tidak percaya. Dari raut wajahnya, jelas Sakuma marah, ingin memakinya tapi lelaki itu masih menahan diri. Sakuma langsung berbalik, untuk melihat Airi. Dia mendapati sahabatnya itu sedang mencoba membaca majalah. Airi langsung mengalihkan pandangannya begitu dia merasa seseorang datang mendekat.

“Sakkun!!” serunya. Dia bahkan nyaris membuat infusnya lepas. Sakuma langsung mendekat dan tersenyum. Dipeluknya Airi, mengusap-usap kepala dan punggungnya. “Kamu udah sehat?” tanyanya. Airi mengangguk. “Ngomong-ngomong, ada yang ingin kutanyakan,” Airi berucap, melonggarkan sedikit pelukan Sakuma. Lelaki berambut gulali itu mengangguk sembari jemarinya menyingkirkan beberapa anak rambut yang menghalangi pandangan Airi. “apakah aku benar-benar pacaran dengan Watanabe-san?” Bersamaan dengan itu pintu rawat inap Airi terbuka, Shota masuk dan memilih berdiri tak jauh dari Sakuma dan Airi. Memperhatikan keduanya.

Sakuma tertawa. Diusapnya kepala sahabatnya ini dengan gemas. “Iya, kok. Kalian sudah jalan dua tahun.” Jawabnya. Airi mengerutkan kening. Masih kebingungan. “Udah, ya. Jangan dipikirin. Nanti tanya-tanya Watanabe aja kalo penasaran.” Sakuma melepaskan pelukannya. Airi mengangguk. Meskipun dia tidak puas dengan jawaban Sakuma.


“Aku langsung pulang ke Tokyo, ya.” kata Sakuma, setelah melihat perawat selesai mencabut jarum infus Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu mengangguk. Akhirnya setelah seminggu lebih Airi dirawat, dia diperbolehkan pulang dengan catatan tidak memaksakan diri untuk langsung mengingat semuanya.

Sakuma mengusap kepala sahabatnya dan beralih kearah Shota yang sedang berdiri bersandar di dinding. Dia menendang pelan tulang kering Shota, membuatnya meringis. “Berdiri yang tegak, bung,” cibir Sakuma. Shota mendengkus. Dia mendekat kearah Shota. “jaga Airi. Orangtuanya besok baru bisa jemput dia.” Lanjutnya.

Shota mengangguk perlahan, tapi sebelum Sakuma pergi, dia menahan lelaki itu. “Biar aku saja yang mengantar Airi pulang ke Tokyo besok.” Katanya. Sakuma menatap temannya ini beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Dia beranjak dari sana. Perawat ikut pamit dari sana dan Shota mengulurkan tangannya. “Ayo pulang.” Airi memandangi tangan Shota yang terulur, seperti ragu.

Ada rasa berat yang tiba-tiba mengganggunya, dia menarik napas dan menerima uluran tangan Shota. mereka berjalan bersampingan keluar dari rumah sakit itu.

Unit itu sangat asing bagi Airi. Dia merasa masuk ke suatu tempat yang bukan miliknya. Namun, Shota berulang kali bilang bahwa itu adalah unitnya. Miliknya. Unitnya tidak begitu besar. Sekarang dia sudah mengenakan kaos dan celana piyama, dari balik tirai transparan yang menggantung di jendela kamarnya, bisa dilihat lampu-lampu kota yang mulai menyala. Langit juga semakin menggelap. Airi mengusap-usap kakinya yang dia tekuk. Disebelahnya ada ponsel miliknya yang sudah tercharger penuh. Layarnya sempat beberapa kali menyala menandakan pesan masuk beberapa kali dari kontak bernama Tsuki tapi Airi memilih mengabaikannya karena jujur saja dia tidak kenal.

Tiba-tiba dia jadi teringat bagaimana Watanabe Shota bersikap padanya. Sangat lembut dan seperti bukan kepada seorang teman. Airi semakin bersalah karena dia tidak bisa mengingat siapa Shota. Airi mencoba membuka galeri di ponselnya, mengabaikan pesan dari kontak Tsuki itu, membiarkannya untuk tidak dibalas sampai Shota selesai dengan urusannya di luar. Airi bisa tanya nanti padanya. Dia membuka semua album di aplikasi galeri itu. mengerutkan kening sembari menggeser-geser gambarnya. Terlalu banyak fotonya bersama Shota. Foto-foto itu pun juga tidak bisa dibilang tidak romantis. Dia melihat di foto itu bagaimana Shota menatap kearahnya.

“Sial...” Airi meringis. Napasnya tercekat. Rasa sakit tiba-tiba menyerang kepalanya, seakan-akan dia baru saja dihantam crane penghancur gedung. Ponsel yang sebelumnya ada digenggamanya langsung merosot jatuh dan Airi meremas kepalanya dengan kedua tangannya. Ya Tuhan...

Tanpa sadar menjatuhkan dirinya ke atas kasur dan menekuk tubuhnya dalam-dalam. Airi menggigit kuat bibirnya, mencegah satupun teriakan agar tidak keluar darinya. Sial... sial...

Ingatannya pun seperti dihantam beberapa ingatan asing dengan cepat, bergantian dan suara-suara ingatan itu dengan seenaknya terputar.

“Airi, ayo makan ma—“ Shota terkejut melihat tubuh Airi yang bergetar. Dia langsung naik keatas kasur dan memeluk Airi, mendekapnya dari belakang dengan erat-erat sembari mengecup puncak kepalanya, memberikan kalimat-kalimat penenang yang dia harapkan bisa membuat Airi lebih baik.

Serangan itu berlangsung sepuluh menit lamanya. Shota baru bisa melepaskan pelukannya perlahan saat mendengar ponselnya di ruang depan berbunyi. Airi akhirnya bisa tertidur setelah menangis sembari meringis kesakitan pada kepalanya.

Sebelum Shota beranjak, dia menyempatkan diri mencium kening kesayangannya dan berjalan dengan kaki telanjang ke depan. Shota duduk di sofa dengan sekali hembusan napas, diraihnya ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada kontak mama Airi disana. Shota mengangkat telepon itu. “Ah, Shota-kun,” Shota mengulum senyum. “Selamat malam, tante.” Katanya perlahan.

Mama Airi menanyakan kondisi anaknya dan memberitahu bahwa dia tidak bisa kesana untuk menjemput Airi karena pekerjaannya juga sedang sangat banyak, begitupun ayahnya. Mama Airi juga bilang kalau dia mendapat kabar dari Sakuma, Shota yang akan mengantarkan Airi pulang.

“Maaf, ya, tante. Aku tidak bisa menjaga Airi dari kecelakaan itu...” lirih Shota. rasa bersalah hari itu menghampirinya lagi. Suara tawa pelan yang menenangkan didengarnya di seberang sambungan. “Kamu sudah berusaha, Shota-kun. Sisanya takdir yang bekerja.” Katanya. Meski mama Airi adalah ibu karir dan jarang mempunyai waktu lebih bersama Airi—Shota tahu dari apa yang diceritakan pacarnya itu, tapi Shota bisa merasakan bahwa beliau sangat menyayangi putri tunggalnya ini.

Shota-kun,” Suara mamanya Airi memanggilnya kembali. Shota menjawab panggilannya dengan jawaban singkat. “dengan kondisi Airi yang seperti ini, apakah kamu masih mau bersamanya? Masih mau membantunya untuk sembuh? Dia bukan Airi yang dulu. Ingatannya mundur bukan ke 3 sampai 4 tahun yang lalu?” Pertanyaan yang sulit. Shota termasuk orang yang ragu. Dia takut kalau dia bilang sebaliknya dia akan menyesal.

“Aku... tidak tahu...”


3 hari setelah menetap beberapa saat di Sapporo untuk mengemasi barang-barang Airi, mereka akhirnya bisa pulang ke Tokyo. Barang-barang Airi juga sudah dikirimkan dengan ekspedisi pindahan sehari sebelumnya. Seharusnya besok sudah sampai.

Sekarang keduanya sedang duduk di jok mobil yang dikendarai oleh teman dekat Shota yang menjemput mereka di bandara. Iwamoto Hikaru. Hikaru bahkan menyapa Airi ramah dengan senyum lebarnya yang khas. Airi hanya balas tersenyum tipis dan merunduk. Dia lebih banyak diam sembari menatap keluar jendela mobil, sedangkan Shota dan Hikaru sibuk membahas sesuatu diluar urusan Airi.

Tidak butuh waktu lama sampai mobil itu sampai di depan kediaman Minamoto. Airi langsung turun dari mobil dan mengikuti Shota dan Hikaru yang mengeluarkan barangnya dari bagasi. “Terima kasih, Iwamoto-san.” Katanya pada Hikaru yang meletakan kopernya digenkan rumahnya. Hikaru menggeleng, dia menepuk puncak kepala Airi. “Panggil saja Hikaru. Biasanya begitu.” Katanya kemudian masuk ke dalam mobil kembali, menyisakan Shota yang membawa koper terakhirnya.

Shota merunduk sopan kearah mama Airi yang menyambut. Dia tidak melihat ayah Airi dimanapun. Mungkin kepala keluarga Minamoto itu sudah berangkat bekerja. Dia berdiri menghadap Airi yang sekarang sedang balas menatapnya. Mereka saling menatap satu sama lain selama beberapa saat.

“Aku pulang dulu ya. Telepon atau chat aja kalo perlu sesuatu. Kontakku yang kamu namain emoticon love biru.” Kata Shota sembari terkekeh. Airi tersenyum dan mengangguk. Shota berjalan melewati Airi, namun Airi malah genggam tangan Shota erat. Seakan tidak menginginkan Shota untuk pergi dari sana. “Maafkan aku karena melupakanmu.” Lirihnya.

Shota terdiam dan dia menggeleng, balas menggenggam tangan Airi. “Aku bantu ingat lagi ya.” Airi mengulum senyumnya. “Terima kasih.”

Lelaki bermarga Watanabe itu langsung masuk ke dalam mobil lagi tanpa menoleh kearah Airi. Dia langsung menghembuskannapasnya. Mencoba mengeluarkan bebannya sedikit. Shota bilang, “Dia benar-benar melupakanku, Hikaru...”


Sudah terhitung 3 bulan sejak Airi lupa ingatan. Dia bahkan sampai harus resign dari kantornya dan fokus pada pengobatannya, itu yang diperintahkan oleh ayahnya. Sekarang, Airi disini, diajak oleh Shota untuk bertemu orang-orang yang dalam waktu dua tahun—kata Shota—mengisi kenangan yang telah dilupakannya.

“Airi-chann!!” Tsuki berseru dengan semangat begitu melihat Airi yang melangkah masuk ke dalam ruangan private di restoran langganan mereka ini. Namun, tindakannya langsung terhenti begitu dia melihat Airi yang mundur sedikit dan menatapnya bingung. Dari pandangannya seakan berkata, siapa orang ini. Tsuki langsung menyipitkan matanya kearah Shota yang memalingkan wajah kearah lain.

Airi duduk di sebelah Sakuma dan Shota. Dia sedikit menunduk untuk menghindari tatapan yang diarahkan kepadanya. Mendadak dia merasa tidak nyaman karena harus bertemu orang-orang ‘asing’ lagi, baginya. “Airi!” Perempuan bermarga Minamoto itu mendongak dan langsung berjengit saat dia merasakan dagunya dicolek oleh Tsuki. Airi langsung berdiri dan mundur, bahkan kursinya sampai terbalik membuat suasana di ruangan itu mendadak hening. Airi melihat sekitar sembari memegangi dagunya. Astaga...

“Maaf...” ucapnya sembari merunduk beberapa kali dan Airi langsung berbalik untuk membetulkan kursinya. Namun, Shota sudah melakukannya lebih dulu. Dia tersenyum kearah Airi. “Gak apa-apa. Duduk lagi sini.” Katanya.

Airi mengangguk dan dia menatap sedikit kearah sosok yang mencolek dagunya tadi, sosok itu sekarang menatapnya tidak percaya. Airi segera memalingkan wajahnya kearah lain. Orang aneh..., pikirnya.

“AIRI BENERAN LUPA?!” Seru Tsuki heboh. Dia bahkan tanpa sadar menggebrak meja. Abe langsung menyuruhnya untuk duduk dan tenang. Airi menatap bingung kearah orang aneh itu. Tsuki langsung menatap Shota tajam. “Kau berhutang penjelasan padaku, Watanabe! Cepat ceritakan apa yang terjadi pada Airi!” seru Airi.

“Bagaimana kalo kita makan dulu? Aku lapar sekali.” Kata Sakuma. Tsuki langsung mendelik. Dia menatap tajam kearah Sakuma. “Atau nanti saja. Aku akan ngemil roti dulu...” Lanjut Sakuma sembari mengambil roti di dalam keranjang yang tak jauh dari sana.

Shota melihat sekitar dan mendapati seluruh orang disana kecuali Abe dan Meguro yang menatapnya penasaran. Shota menghembuskan napas. dia bersiap untuk bercerita, namun Airi sudah berdiri. Shota beralih menatap kearah Airi. “Mau kemana?” tanyanya, tanpa sadar menahan tangan Airi.

“Aku .. aku mau ke toilet sebentar...” kata Airi lirih. Dia menyingkirkan tangan Shota dan langsung pergi tanpa berniat menunggu balasan dari Shota.

“Sekarang, ceritakan.”


Airi menatap pantulan dirinya di cermin. Menatap rambutnya yang panjang dengan highlight pink pastel. Airi tidak pernah mewarnai rambutnya sejak dulu. Dia semakin bingung apa saja yang sudah dia lupakan. Yang dia ingat terakhir kali adalah dia baru saja lulus S1. Selebihnya, semuanya abu-abu baginya. Mau sekuat apapun dia mencoba mengingat, ingatan itu tidak pernah mau keluar, selalu berakhir dengan rasa sakit di kepalanya.

Napas Airi tercekat, tiba-tiba dia mendengar suara, suaranya sendiri dan bayangan samar.

“A-Aku takut...”

Astaga. Apa itu barusan...

Napas Airi tersengal. Kepalanya sedikit dihantam rasa sakit, hingga rasanya dia harus bertumpu pada sesuatu. Ya Tuhan, aku tidak suka melupakan...


“Airi-chan, kemana, ya,” Haruna tiba-tiba bergumam cemas ditengah keheningan setelah Tsuki menciptakan kehebohan karena mendengar kronologis yang diceritakan Shota. “ini sudah dua belas menit...” lanjutnya sembari melirik kearah jam tangannya. Shota langsung menyadari juga bahwa Airi belum juga kembali dari kamar mandi.

“Aku susul dulu deh.” Kata Tsuki, hendak berdiri namun pintu ruangan itu langsung terbuka, memperlihatkan Airi yang melongokkan kepalanya.

“Ano... Kalian sudah selesai berceritanya?” Shota langsung menghela napas lega sembari menangkup wajahnya. Dia sudah berpikiran negatif bahwa terjadi sesuatu pada Airi. Padahal dia tahu kalau kekasihnya itu perempuan yang kuat.

“Astaga, Airi-chan, kau membuat kami cemas.” Kata Haruna. Tsuki langsung berlari kearah Airi dan merangkulnya. “Perlu kucarikan dokter yang bagus, tidak?”

“Maaf, memangnya kita saling kenal ya?” tanya Airi dengan ragu. Tsuki mengerjap dan dia melepaskan rangkulannya dari Airi dengan perlahan. “Tsuki-eonnie! Perkenalkan dirimu lagi dengan benar!” ujar Haruna.

“Ah, aku tidak suka memperkenalkan diriku dua kali.” Gerutu Tsuki sembari mengerucutkan bibirnya. Dia menoleh kearah Airi dan tersenyum. “Tapi, untukmu kali ini, tidak apa-apa. Aku Matsumoto Tsuki. Panggil saja Tsuki, ya, untuk Airi-chan.” Lanjutnya.

Airi merunduk. “Minamoto Airi. Salam kenal...” katanya.


Shota menghela napas melihat keributan Tsuki dan Sakuma di depannya yang sedang memperdebatkan pengucapan croissant dan bagguete. Dia menoleh kearah Airi yang duduk di sebelahnya. Wanita itu nampak menunduk, mengusap pelipisnya dan memejamkan mata kuat-kuat. Seperti menahan sakit. Shota menunduk untuk bisa melihat Airi dengan jelas dan dia mengusap kepala Airi. “Kepalanya sakit lagi? Kita pulang aja ya.” Katanya.

Airi tersenyum dan menggeleng. Dia menyingkirkan tangan Shota dari kepalanya dan melepaskan cengkraman kuat di ujung lengan baju yang dikenakan Shota. “Aku baik-baik saja, Watanabe-san.” Shota masih belum terbiasa dengan Airi yang kembali memanggilnya dengan marganya. Wanita itu selalu memanggil dirinya dengan marga kalau sedang kesal saja, tapi sekarang... Mereka kembali seperti dua orang yang baru saja kenal.

“Baiklah. Bilang ya, kalau kamu gak kuat. Kita pulang saja.” Shota memaksakan senyum. Airi mengangguk. Tiba-tiba dia merasa tidak nyaman melihat senyum terpaksa yang ditampilkan Shota. Anehnya, dia tidak suka senyum itu.

Haruna tidak bisa menahan senyumnya saat melihat perlakuan Shota yang tidak biasanya pada Airi. Yang sering Haruna lihat, lelaki bermarga Watanabe itu selalu enggan menunjukkan affectionnya pada Airi di depan umum. Sekarang, sepertinya Shota secara tidak sengaja menunjukkan affectionnya lebih terbuka dari yang dulu. Well, Haruna senang melihatnya. Dia tahu seberapa gengsinya pasangan yang satu itu. Meski dia tidak bisa dibilang senang sepenuhnya, karena dia tiba-tiba jadi merindukan Airi yang dulu


Thank you~

Rate – R Maafkan segala typo yang muncul. Hehehe


Tsuki mengerjap menatap sosok di depannya dengan mata bingung. “Maksudmu?” Tanyanya sekali lagi. Dia merasa ada yang salah dengan ucapan temannya ini.

Pria di depannya ini memutar bola matanya dan mengangguk. “Iya. Itu loh, mask party. Ikut bersamaku ya dan jadi pasanganku.” Pinta sosok yang Tsuki kenal sebagai Fukazawa Tatsuya.

Kali ini Tsuki yang memutar kedua bola matanya. “Kau ini bodoh banget, sih. Mio mau di kemanain, hah? Ajak Mio lah!” Ujar Tsuki kesal. Dia tak suka kalau Fukka mau bermain di belakang sahabatnya. Apa-apaan itu! Yang ada sebelum pergi ke pesta, Tsuki akan melempar tubuh Fukka dari atas balkon apartemen pria itu.

Fukka menghembuskan napasnya dan menghempaskan tubuhnya di sofa apartemennya itu. “Salahnya sendiri menolak untuk ku ajak ke pesta macam itu. Di kira aku mau ngapa-ngapain kali ya,” Gerutu Fukka sebal. “Lagian juga aku tak ada perasaan padamu! Jangan ge'er begitu!”

Bangke banget!

Tsuki mendengkus. Dia menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap Fukka malas. Bersiap-siap untuk pergi dari sana. “Sana pergi dengan bayanganmu sendiri, Fukazawa Tatsuya!” Tsuki segera pergi dari sana untuk mencegah dirinya sungguhan melempar Fukka dari balkonnya. Fukka segera mengejar Tsuki dan tersenyum manis kearahnya yang malahan membuat Tsuki ingin menampol wajahnya itu. “Apa-apaan senyummu itu, hah!?” Katanya galak. Fukka mendengkus dan melepaskan tangan Tsuki. “Ini senyum lah! Biar kau mau ku ajak ke pesta!”

“Aku bukan Mio, dasar bodoh!”

Fukazawa Tatsuya itu memang manusia lucknut yang pernah Tsuki kenal.

Tapi, Tsuki terdiam sejenak. Ada manusia lainnya yang lucknut, yang berhasil merebut hatinya lalu pergi jauh. Sialan bocah itu!


Tsuki membuka pintu mobil Fukka dengan kasar dan keluar dari sana setelah Fukka memarkirkan mobilnya di pekarangan suatu villa. Fukka menatap Tsuki tajam. “Tolong dong itu mobil saya!” Gerutu Fukka selepas dirinya turun dari mobilnya. Tsuki meliriknya dan memalingkan wajahnya. “Bukan mobil saya!” Balasnya. Tsuki segera melenggang pergi dari hadapan Fukka.

Fukka mengepalkan tangannya dan nampak gemas dengan Tsuki. Untung temannya Mio-chan kao!

Fukka mengejar Tsuki. “Jalannya barengan! Sini gandengan!” Ujar Fukka sembari menekuk tangannya dan menyodorkan kearah Tsuki. Keduanya berhenti berjalan. Tsuki menatap Fukka sebal. Apa-apaan manusia satu ini!?

Tsuki menepis tangan Fukka dan menatapnya tajam. “Jangan modus! Pakai acara gandengan segala! Aku ini apa hah!?” Balas Tsuki kesal. Seriusan deh, ini Tsuki dari tadi ngomel mulu. Bisa darah tinggi kalau begini caranya!

Fukka menarik Tsuki kearahnya dan berbisik. “Lihat sekitarmu! Mereka semua bergandengan! Bersikaplah seperti wanita selama semalam saja!” Bisiknya.

Tsuki menatap Fukka malas. Sialan sangat lah Fukazawa ini! Memangnya dia selama ini apaan!?

Dengan malas, Tsuki menyelipkan tangannya di tekukan tangan Fukka dan menghembuskan napasnya perlahan.

Mereka berjalan berdampingan masuk ke villa tersebut. Menerima topeng yang di berikan di penerimaan tamu. Tanpa keduanya sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan Tsuki dari atas balkon lantai 2 dengan tatapan yang dalam.


Tsuki mengulum bibirnya. Di sebelahnya, Fukka sibuk menenggak wine yang di sediakan disana. Helaan napas keluar dari mulut Tsuki. “Jangan mabuk! Kau nyetir!” Titah Tsuki. Fukka mengangguk sembari memasukkan anggur ke dalam mulutnya. “Enggak, kok!” Tsuki mendengkus mendengarnya, khas-khas orang mau mabuk beneran.

Acara sudah di mulai sejak lima belas menit yang lalu. Tsuki menyadari sesuatu kalau pesta kali ini adalah pesta tahunan yang di adakan dan dikhususkan oleh para kaum elit. Fukka pun termasuk kaum elit di dalamnya. Harusnya Tsuki perlu heran akan hal itu. Asyik memperhatikan keramaian di sekitarnya, Tsuki tak sadar sudah ada seorang pria yang berdiri di sebelahnya. Memakai topeng. Sama seperti dirinya tentu saja.

Tsuki menoleh kearahnya dan merunduk sopan. “Shall we dance?” Ajak sosok pria itu sembari mengulurkan tangannya kearah Tsuki.

Tsuki menoleh kesana kemari dan menunjuk dirinya. Pria itu mengangguk dengan senyum simpulnya. “Ya. Kamu.” Katanya dengan suara jernih membuat Tsuki terdiam. Melihat ke diaman Tsuki, pria itu berinisiatif untuk menarik Tsuki ke tengah ballroom, meninggalkan Fukka yang masih asyik dengan kudapan di pesta itu.

Fukka ke pesta tujuannya untuk apa sih!?


“Aku sedang tak ingin berdansa.” Kata Tsuki dengan wajah malas. Sosok pria ini mengangguk. “Tenang saja. Aku akan buat kamu berdansa denganku. ” Balasnya.

Tsuki mengerjap dari balik topengnya dan tersenyum. “Baiklah.” Ujarnya. Di kalungkan tangannya di sekitar bahu pria di depannya ini.

Tunggu! Ada apa denganku!? Kenapa aku mau saja di ajak pria tak di kenal ini?!

Tsuki terdiam dengan ucapan innernya. Tapi, dia sudah terlanjur bergerak untuk berdansa bersama pria tak di kenal ini dan anehnya dia bisa bergerak dengan mudahnya. Ada apa ini!? Hanya satu orang yang bisa membuatnya mengikuti irama berdansanya dan orang itu....

Tsuki mengerjap begitu merasakan hembusan napas pria di hadapannya ini di balik lehernya, berbisik di telinganya. “Aikawarazu ne, Tsuki. Kamu gak berubah sedikitpun.” Bisiknya.

Mata Tsuki melebar mendengarnya. Sialan Dia kenal betul suara siapa ini! Suara si sialan brengsek itu!

Tsuki segera menjauhkan wajahnya dan menatap pria di depannya ini dengan terkejut. Sialan.. kenapa dia bisa kecolongan!? Tsuki segera menjauh, melepaskan diri dari pria di depannya ini dan hendak pergi dari sana. Namun, gerakan pria itu lebih cepat dari yang di bayangkannya.

Tsuki hendak berontak dari cengkraman pria bernama Ryohei Abe ini. Namun, tenaganya lebih lemah dari Ryohei.

Ryohei menariknya ke salah satu sudut ballroom villa yang tertutupi tirai. Tempat yang jarang orang lewati. Tsuki melebarkan matanya. Sialan! Dia mau apa!?

Saat itu juga, Tsuki merasakan dinding marmer yang dingin menyentuh kulit bahunya yang tak tertutupi apapun. Gaun berwarna biru muda yang di berikan Fukka memang tak cukup menutupi bahu hingga sedikit ke punggungnya.

Tsuki terpojok. Dia di apit oleh tembok dan juga tubuh Ryohei yang berdiri tepat di hadapannya. Tsuki masih berusaha berontak dengan mendorong Ryohei untuk menjauh namun pria itu tak bergerak sedikitpun.

“RYOHEI! Lepasin!” Serunya kesal. Dia panik. Tapi, mampu menyembunyikan kepanikannya. Ryohei menggeleng sembari menatapanya dalam-dalam. “Aku teriak nih!” Ancam Tsuki. Suara Tsuki tercekat begitu dia mendapati wajah Ryohei yang tak jauh darinya. Hanya setengah jengkal, tangan Ryohei terulur di belakang kepala Tsuki dan melepas topengnya.

“Silahkan teriak. Lagipula kamu enggak dengar kalau musiknya sudah berganti?” Kata Ryohei. Tsuki mengernyit. Dia menajamkan indera pendengarannya dan terkejut.

Sialan! Musiknya bukan musik waltz lagi!

“Maaf membuatmu terkejut, tapi ini villaku, Tsuki. Pestaku.” Katanya membuat Tsuki kembali terkejut. Ah, sialan! Kenapa Tsuki tak tanya dulu pada Fukka bangke itu!?

Ryohei menyeringai dan dia mendekatkan wajahnya kearah pangkal leher Tsuki. Mengendus aroma yang menguar dari sana. Tsuki memejamkan matanya erat-erat. Sialaan!

“Hentikan...” Ujarnya tercekat sembari menahan Ryohei begitu di rasakannya bibir Ryohei sudah berbuat sesuatu di lehernya yang jenjang.

Ryohei memundurkan wajahnya dan di lihatnya wajah Tsuki yang samar-samar memerah. “Hisashiburi, Tsuki...” “Sialan kamu, Ryohei.” Geram Tsuki kesal. Lagi-lagi dia jatuh! Ryohei Abe sialan!

Ryohei tersenyum dan kali ini dia menginvasi bibir ranum Tsuki. Menghisapnya lembut dan menggigit bibir Tsuki untuk membuat gadis itu membuka bibirnya dan membuat Ryohei menyelusupkan lidahnya ke dalam mulut Tsuki, bermain-main dengan milik Tsuki hingga Tsuki mengeluarkan lenguhan tertahan. Kedua tangannya mendekap Tsuki dan mengusap punggungnya penuh gairah.

Tanpa disadari Tsuki, gadis itu sudah melingkarkan tangannya di leher Ryohei dan membuat ciuman keduanya lebih panas.

Tangan Tsuki perlahan beranjak untuk melepas topeng milik Ryohei. Tsuki merasakan suhu tubuhnya naik dan terasa sesuatu seperti kupu-kupu di perutnya. Memabukkan.

Ryohei melepas ciuman mereka membuat topengnya langsung jatuh dan menampilkan wajahnya yang di sinari sinar rembulan yang terpantul dari tirai transparan di sudut ballroom yang tertutupi tirai tebal di sisi ballroom yang ramai akan orang-orang yang berpesta. “Ini akhir dari penantian panjangku,” ujar Ryohei. “Kali ini aku tak biarkan kamu pergi, Tsuki...” Bisiknya mendominasi membuat bulu kuduk Tsuki meremang.

Tsuki menyeringai. “Kita lihat kali ini siapa yang pergi, Ryo-hei...” Balas Tsuki berbisik dengan menggoda. Ryohei menyeringai dan kembali mencium Tsuki. Merangkul pinggang rampingnya dan kali ini membawa gadis itu masuk ke dalam ruangan yang ada di sudut ballroom itu.

Tsuki tak peduli lagi kalau malam ini dia jadi milik Ryohei Abe.


Time has come after the long wait I let stand my cowering heart and let it stretch open Ah My gaze in no time has become thicker It has become my time

I tell the morning Oh that today might be good

Fiesta – IZ*ONE


GUE BIKIN APAAN LAGI WOI!?