One Way Memory
[Bagian 2]
Maafkan segala typo dan kecirengannya.
“Kau berhutang penjelasan padaku, Watanabe!” Sakuma berucap dalam pada Shota yang duduk di depannya, di kursi tunggu di depan kamar inap Airi. Lelaki yang bernama kecil Daisuke itu langsung pergi ke Sapporo begitu diminta orangtua Airi untuk menengok kondisi putri tunggal mereka, yang juga sahabatnya begitu mendapatkan kabar bahwa Airi kecelakaan. Dia terkejut saat melihat kondisi Airi yang melupakan sebagian kenangannya dalam kurung waktu tiga sampai empat tahun ini.
Shota menghembuskan napas. Dia lelah sebenarnya harus menceritakan ini karena rasa bersalahnya selalu muncul. Namun, dia mencoba memaksakan diri untuk menjelaskan sejelas-jelasnya pada orang yang juga protektif pada sahabatnya ini. Sakuma menatapnya tidak percaya. Dari raut wajahnya, jelas Sakuma marah, ingin memakinya tapi lelaki itu masih menahan diri. Sakuma langsung berbalik, untuk melihat Airi. Dia mendapati sahabatnya itu sedang mencoba membaca majalah. Airi langsung mengalihkan pandangannya begitu dia merasa seseorang datang mendekat.
“Sakkun!!” serunya. Dia bahkan nyaris membuat infusnya lepas. Sakuma langsung mendekat dan tersenyum. Dipeluknya Airi, mengusap-usap kepala dan punggungnya. “Kamu udah sehat?” tanyanya. Airi mengangguk. “Ngomong-ngomong, ada yang ingin kutanyakan,” Airi berucap, melonggarkan sedikit pelukan Sakuma. Lelaki berambut gulali itu mengangguk sembari jemarinya menyingkirkan beberapa anak rambut yang menghalangi pandangan Airi. “apakah aku benar-benar pacaran dengan Watanabe-san?” Bersamaan dengan itu pintu rawat inap Airi terbuka, Shota masuk dan memilih berdiri tak jauh dari Sakuma dan Airi. Memperhatikan keduanya.
Sakuma tertawa. Diusapnya kepala sahabatnya ini dengan gemas. “Iya, kok. Kalian sudah jalan dua tahun.” Jawabnya. Airi mengerutkan kening. Masih kebingungan. “Udah, ya. Jangan dipikirin. Nanti tanya-tanya Watanabe aja kalo penasaran.” Sakuma melepaskan pelukannya. Airi mengangguk. Meskipun dia tidak puas dengan jawaban Sakuma.
“Aku langsung pulang ke Tokyo, ya.” kata Sakuma, setelah melihat perawat selesai mencabut jarum infus Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu mengangguk. Akhirnya setelah seminggu lebih Airi dirawat, dia diperbolehkan pulang dengan catatan tidak memaksakan diri untuk langsung mengingat semuanya.
Sakuma mengusap kepala sahabatnya dan beralih kearah Shota yang sedang berdiri bersandar di dinding. Dia menendang pelan tulang kering Shota, membuatnya meringis. “Berdiri yang tegak, bung,” cibir Sakuma. Shota mendengkus. Dia mendekat kearah Shota. “jaga Airi. Orangtuanya besok baru bisa jemput dia.” Lanjutnya.
Shota mengangguk perlahan, tapi sebelum Sakuma pergi, dia menahan lelaki itu. “Biar aku saja yang mengantar Airi pulang ke Tokyo besok.” Katanya. Sakuma menatap temannya ini beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Dia beranjak dari sana. Perawat ikut pamit dari sana dan Shota mengulurkan tangannya. “Ayo pulang.” Airi memandangi tangan Shota yang terulur, seperti ragu.
Ada rasa berat yang tiba-tiba mengganggunya, dia menarik napas dan menerima uluran tangan Shota. mereka berjalan bersampingan keluar dari rumah sakit itu.
Unit itu sangat asing bagi Airi. Dia merasa masuk ke suatu tempat yang bukan miliknya. Namun, Shota berulang kali bilang bahwa itu adalah unitnya. Miliknya. Unitnya tidak begitu besar. Sekarang dia sudah mengenakan kaos dan celana piyama, dari balik tirai transparan yang menggantung di jendela kamarnya, bisa dilihat lampu-lampu kota yang mulai menyala. Langit juga semakin menggelap. Airi mengusap-usap kakinya yang dia tekuk. Disebelahnya ada ponsel miliknya yang sudah tercharger penuh. Layarnya sempat beberapa kali menyala menandakan pesan masuk beberapa kali dari kontak bernama Tsuki tapi Airi memilih mengabaikannya karena jujur saja dia tidak kenal.
Tiba-tiba dia jadi teringat bagaimana Watanabe Shota bersikap padanya. Sangat lembut dan seperti bukan kepada seorang teman. Airi semakin bersalah karena dia tidak bisa mengingat siapa Shota. Airi mencoba membuka galeri di ponselnya, mengabaikan pesan dari kontak Tsuki itu, membiarkannya untuk tidak dibalas sampai Shota selesai dengan urusannya di luar. Airi bisa tanya nanti padanya. Dia membuka semua album di aplikasi galeri itu. mengerutkan kening sembari menggeser-geser gambarnya. Terlalu banyak fotonya bersama Shota. Foto-foto itu pun juga tidak bisa dibilang tidak romantis. Dia melihat di foto itu bagaimana Shota menatap kearahnya.
“Sial...” Airi meringis. Napasnya tercekat. Rasa sakit tiba-tiba menyerang kepalanya, seakan-akan dia baru saja dihantam crane penghancur gedung. Ponsel yang sebelumnya ada digenggamanya langsung merosot jatuh dan Airi meremas kepalanya dengan kedua tangannya. Ya Tuhan...
Tanpa sadar menjatuhkan dirinya ke atas kasur dan menekuk tubuhnya dalam-dalam. Airi menggigit kuat bibirnya, mencegah satupun teriakan agar tidak keluar darinya. Sial... sial...
Ingatannya pun seperti dihantam beberapa ingatan asing dengan cepat, bergantian dan suara-suara ingatan itu dengan seenaknya terputar.
“Airi, ayo makan ma—“ Shota terkejut melihat tubuh Airi yang bergetar. Dia langsung naik keatas kasur dan memeluk Airi, mendekapnya dari belakang dengan erat-erat sembari mengecup puncak kepalanya, memberikan kalimat-kalimat penenang yang dia harapkan bisa membuat Airi lebih baik.
Serangan itu berlangsung sepuluh menit lamanya. Shota baru bisa melepaskan pelukannya perlahan saat mendengar ponselnya di ruang depan berbunyi. Airi akhirnya bisa tertidur setelah menangis sembari meringis kesakitan pada kepalanya.
Sebelum Shota beranjak, dia menyempatkan diri mencium kening kesayangannya dan berjalan dengan kaki telanjang ke depan. Shota duduk di sofa dengan sekali hembusan napas, diraihnya ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada kontak mama Airi disana. Shota mengangkat telepon itu. “Ah, Shota-kun,” Shota mengulum senyum. “Selamat malam, tante.” Katanya perlahan.
Mama Airi menanyakan kondisi anaknya dan memberitahu bahwa dia tidak bisa kesana untuk menjemput Airi karena pekerjaannya juga sedang sangat banyak, begitupun ayahnya. Mama Airi juga bilang kalau dia mendapat kabar dari Sakuma, Shota yang akan mengantarkan Airi pulang.
“Maaf, ya, tante. Aku tidak bisa menjaga Airi dari kecelakaan itu...” lirih Shota. rasa bersalah hari itu menghampirinya lagi. Suara tawa pelan yang menenangkan didengarnya di seberang sambungan. “Kamu sudah berusaha, Shota-kun. Sisanya takdir yang bekerja.” Katanya. Meski mama Airi adalah ibu karir dan jarang mempunyai waktu lebih bersama Airi—Shota tahu dari apa yang diceritakan pacarnya itu, tapi Shota bisa merasakan bahwa beliau sangat menyayangi putri tunggalnya ini.
“Shota-kun,” Suara mamanya Airi memanggilnya kembali. Shota menjawab panggilannya dengan jawaban singkat. “dengan kondisi Airi yang seperti ini, apakah kamu masih mau bersamanya? Masih mau membantunya untuk sembuh? Dia bukan Airi yang dulu. Ingatannya mundur bukan ke 3 sampai 4 tahun yang lalu?” Pertanyaan yang sulit. Shota termasuk orang yang ragu. Dia takut kalau dia bilang sebaliknya dia akan menyesal.
“Aku... tidak tahu...”
3 hari setelah menetap beberapa saat di Sapporo untuk mengemasi barang-barang Airi, mereka akhirnya bisa pulang ke Tokyo. Barang-barang Airi juga sudah dikirimkan dengan ekspedisi pindahan sehari sebelumnya. Seharusnya besok sudah sampai.
Sekarang keduanya sedang duduk di jok mobil yang dikendarai oleh teman dekat Shota yang menjemput mereka di bandara. Iwamoto Hikaru. Hikaru bahkan menyapa Airi ramah dengan senyum lebarnya yang khas. Airi hanya balas tersenyum tipis dan merunduk. Dia lebih banyak diam sembari menatap keluar jendela mobil, sedangkan Shota dan Hikaru sibuk membahas sesuatu diluar urusan Airi.
Tidak butuh waktu lama sampai mobil itu sampai di depan kediaman Minamoto. Airi langsung turun dari mobil dan mengikuti Shota dan Hikaru yang mengeluarkan barangnya dari bagasi. “Terima kasih, Iwamoto-san.” Katanya pada Hikaru yang meletakan kopernya digenkan rumahnya. Hikaru menggeleng, dia menepuk puncak kepala Airi. “Panggil saja Hikaru. Biasanya begitu.” Katanya kemudian masuk ke dalam mobil kembali, menyisakan Shota yang membawa koper terakhirnya.
Shota merunduk sopan kearah mama Airi yang menyambut. Dia tidak melihat ayah Airi dimanapun. Mungkin kepala keluarga Minamoto itu sudah berangkat bekerja. Dia berdiri menghadap Airi yang sekarang sedang balas menatapnya. Mereka saling menatap satu sama lain selama beberapa saat.
“Aku pulang dulu ya. Telepon atau chat aja kalo perlu sesuatu. Kontakku yang kamu namain emoticon love biru.” Kata Shota sembari terkekeh. Airi tersenyum dan mengangguk. Shota berjalan melewati Airi, namun Airi malah genggam tangan Shota erat. Seakan tidak menginginkan Shota untuk pergi dari sana. “Maafkan aku karena melupakanmu.” Lirihnya.
Shota terdiam dan dia menggeleng, balas menggenggam tangan Airi. “Aku bantu ingat lagi ya.”
Airi mengulum senyumnya. “Terima kasih.”
Lelaki bermarga Watanabe itu langsung masuk ke dalam mobil lagi tanpa menoleh kearah Airi. Dia langsung menghembuskannapasnya. Mencoba mengeluarkan bebannya sedikit. Shota bilang, “Dia benar-benar melupakanku, Hikaru...”
Sudah terhitung 3 bulan sejak Airi lupa ingatan. Dia bahkan sampai harus resign dari kantornya dan fokus pada pengobatannya, itu yang diperintahkan oleh ayahnya. Sekarang, Airi disini, diajak oleh Shota untuk bertemu orang-orang yang dalam waktu dua tahun—kata Shota—mengisi kenangan yang telah dilupakannya.
“Airi-chann!!” Tsuki berseru dengan semangat begitu melihat Airi yang melangkah masuk ke dalam ruangan private di restoran langganan mereka ini. Namun, tindakannya langsung terhenti begitu dia melihat Airi yang mundur sedikit dan menatapnya bingung. Dari pandangannya seakan berkata, siapa orang ini. Tsuki langsung menyipitkan matanya kearah Shota yang memalingkan wajah kearah lain.
Airi duduk di sebelah Sakuma dan Shota. Dia sedikit menunduk untuk menghindari tatapan yang diarahkan kepadanya. Mendadak dia merasa tidak nyaman karena harus bertemu orang-orang ‘asing’ lagi, baginya. “Airi!” Perempuan bermarga Minamoto itu mendongak dan langsung berjengit saat dia merasakan dagunya dicolek oleh Tsuki. Airi langsung berdiri dan mundur, bahkan kursinya sampai terbalik membuat suasana di ruangan itu mendadak hening. Airi melihat sekitar sembari memegangi dagunya. Astaga...
“Maaf...” ucapnya sembari merunduk beberapa kali dan Airi langsung berbalik untuk membetulkan kursinya. Namun, Shota sudah melakukannya lebih dulu. Dia tersenyum kearah Airi. “Gak apa-apa. Duduk lagi sini.” Katanya.
Airi mengangguk dan dia menatap sedikit kearah sosok yang mencolek dagunya tadi, sosok itu sekarang menatapnya tidak percaya. Airi segera memalingkan wajahnya kearah lain. Orang aneh..., pikirnya.
“AIRI BENERAN LUPA?!” Seru Tsuki heboh. Dia bahkan tanpa sadar menggebrak meja. Abe langsung menyuruhnya untuk duduk dan tenang. Airi menatap bingung kearah orang aneh itu. Tsuki langsung menatap Shota tajam. “Kau berhutang penjelasan padaku, Watanabe! Cepat ceritakan apa yang terjadi pada Airi!” seru Airi.
“Bagaimana kalo kita makan dulu? Aku lapar sekali.” Kata Sakuma. Tsuki langsung mendelik. Dia menatap tajam kearah Sakuma. “Atau nanti saja. Aku akan ngemil roti dulu...” Lanjut Sakuma sembari mengambil roti di dalam keranjang yang tak jauh dari sana.
Shota melihat sekitar dan mendapati seluruh orang disana kecuali Abe dan Meguro yang menatapnya penasaran. Shota menghembuskan napas. dia bersiap untuk bercerita, namun Airi sudah berdiri. Shota beralih menatap kearah Airi. “Mau kemana?” tanyanya, tanpa sadar menahan tangan Airi.
“Aku .. aku mau ke toilet sebentar...” kata Airi lirih. Dia menyingkirkan tangan Shota dan langsung pergi tanpa berniat menunggu balasan dari Shota.
“Sekarang, ceritakan.”
Airi menatap pantulan dirinya di cermin. Menatap rambutnya yang panjang dengan highlight pink pastel. Airi tidak pernah mewarnai rambutnya sejak dulu. Dia semakin bingung apa saja yang sudah dia lupakan. Yang dia ingat terakhir kali adalah dia baru saja lulus S1.
Selebihnya, semuanya abu-abu baginya. Mau sekuat apapun dia mencoba mengingat, ingatan itu tidak pernah mau keluar, selalu berakhir dengan rasa sakit di kepalanya.
Napas Airi tercekat, tiba-tiba dia mendengar suara, suaranya sendiri dan bayangan samar.
“A-Aku takut...”
Astaga. Apa itu barusan...
Napas Airi tersengal. Kepalanya sedikit dihantam rasa sakit, hingga rasanya dia harus bertumpu pada sesuatu. Ya Tuhan, aku tidak suka melupakan...
“Airi-chan, kemana, ya,” Haruna tiba-tiba bergumam cemas ditengah keheningan setelah Tsuki menciptakan kehebohan karena mendengar kronologis yang diceritakan Shota. “ini sudah dua belas menit...” lanjutnya sembari melirik kearah jam tangannya. Shota langsung menyadari juga bahwa Airi belum juga kembali dari kamar mandi.
“Aku susul dulu deh.” Kata Tsuki, hendak berdiri namun pintu ruangan itu langsung terbuka, memperlihatkan Airi yang melongokkan kepalanya.
“Ano... Kalian sudah selesai berceritanya?” Shota langsung menghela napas lega sembari menangkup wajahnya. Dia sudah berpikiran negatif bahwa terjadi sesuatu pada Airi. Padahal dia tahu kalau kekasihnya itu perempuan yang kuat.
“Astaga, Airi-chan, kau membuat kami cemas.” Kata Haruna. Tsuki langsung berlari kearah Airi dan merangkulnya. “Perlu kucarikan dokter yang bagus, tidak?”
“Maaf, memangnya kita saling kenal ya?” tanya Airi dengan ragu. Tsuki mengerjap dan dia melepaskan rangkulannya dari Airi dengan perlahan. “Tsuki-eonnie! Perkenalkan dirimu lagi dengan benar!” ujar Haruna.
“Ah, aku tidak suka memperkenalkan diriku dua kali.” Gerutu Tsuki sembari mengerucutkan bibirnya. Dia menoleh kearah Airi dan tersenyum. “Tapi, untukmu kali ini, tidak apa-apa. Aku Matsumoto Tsuki. Panggil saja Tsuki, ya, untuk Airi-chan.” Lanjutnya.
Airi merunduk. “Minamoto Airi. Salam kenal...” katanya.
Shota menghela napas melihat keributan Tsuki dan Sakuma di depannya yang sedang memperdebatkan pengucapan croissant dan bagguete. Dia menoleh kearah Airi yang duduk di sebelahnya. Wanita itu nampak menunduk, mengusap pelipisnya dan memejamkan mata kuat-kuat. Seperti menahan sakit. Shota menunduk untuk bisa melihat Airi dengan jelas dan dia mengusap kepala Airi. “Kepalanya sakit lagi? Kita pulang aja ya.” Katanya.
Airi tersenyum dan menggeleng. Dia menyingkirkan tangan Shota dari kepalanya dan melepaskan cengkraman kuat di ujung lengan baju yang dikenakan Shota. “Aku baik-baik saja, Watanabe-san.” Shota masih belum terbiasa dengan Airi yang kembali memanggilnya dengan marganya. Wanita itu selalu memanggil dirinya dengan marga kalau sedang kesal saja, tapi sekarang... Mereka kembali seperti dua orang yang baru saja kenal.
“Baiklah. Bilang ya, kalau kamu gak kuat. Kita pulang saja.” Shota memaksakan senyum. Airi mengangguk. Tiba-tiba dia merasa tidak nyaman melihat senyum terpaksa yang ditampilkan Shota. Anehnya, dia tidak suka senyum itu.
Haruna tidak bisa menahan senyumnya saat melihat perlakuan Shota yang tidak biasanya pada Airi. Yang sering Haruna lihat, lelaki bermarga Watanabe itu selalu enggan menunjukkan affectionnya pada Airi di depan umum. Sekarang, sepertinya Shota secara tidak sengaja menunjukkan affectionnya lebih terbuka dari yang dulu. Well, Haruna senang melihatnya. Dia tahu seberapa gengsinya pasangan yang satu itu. Meski dia tidak bisa dibilang senang sepenuhnya, karena dia tiba-tiba jadi merindukan Airi yang dulu
Thank you~