Dalam Penyembuhan : 5. Light Up The Sky
ooc, remake, angst, cireng
Itu adalah ciuman pertama yang terasa menyakitkan. Aku tidak pernah menduga sebelumnya akan merasakan hal indah itu dalam keadaan yang menyakitkan. Dan malam terakhir dimana kita bertemu adalah malam dimana terakhir kita bicara.
Malam terakhir aku melihat tawa dan senyummu, merasakan hangatnya dekapanmu. Seharusnya aku tidak pulang, seharusnya aku terus menerus meminta pada Tuhan untuk hentikan malam itu. Agar aku bisa terus bersamamu.
Tapi nyatanya... Tuhan tidak mau aku benar-benar bahagia...
Ini sudah lewat seminggu dari jadwal operasi yang akan di jalani Ren dan Haruna masih tidak mendapat kabar apapun darinya. Tapi, pagi itu terasa berbeda. Wali kelas mereka datang lebih awal dengan pakaian yang gelap. Ketika Haruna melihatnya, perasaannya seakan tidak enak. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya sesak, membuatnya takut untuk mengetahui sesuatu yang tidak ingin didengarnya.
Setelah memberi salam seperti biasanya, wanita bercepol itu menghembuskan napasnya beberapa saat. “Kalian pasti bingung kenapa sensei mengenakan pakaian gelap hari ini kan?“ujar wanita bernama Mariko Kashimoto itu.
“Kenapa, sensei? Ada sesuatu yang buruk terjadi kah?“tanya sekretaris kelas mereka, Airi, yang duduk di sebelah kanan barisan Haruna.
Wajah Haruna memucat. Tubuhnya bergetar tanpa sebab. Dadanya sesak. Koji yang duduk di belakangnya menyadari perubahan yang di alami gadis di depannya ini. Dia menegakan tubuhnya dan mengulurkan tangan untuk mengusap punggung yang berlapis blazer itu.
Haruna menoleh merasakan usapan lembut itu. Di lihatnya Koji yang tersenyum simpul kearahnya masih dengan mengusap pelan punggungnya untuk menenangkan gadis itu.
“Kalian kenal siswa dari kelas 2 IPS 4, kan, Meguro Ren?” Jantung Haruna seakan berdetak dua kali lebih cepat. Seakan-akan dia baru saja memulai lari marathon jarak jauh.
Airi menoleh kearah sahabatnya yang ekspresinya berubah. Ada sesuatu yang nampak di takutkan gadis itu. Bahkan pelupuk keduanya matanya di penuhi air mata yang menggenang. “Ada apa dengan anggota tim basket kita itu, Mariko- sensei?“tanya Watanabe penasaran. Napas Haruna terdengar memburu. Tubuhnya bergetar lebih hebat kali ini. Airi memberi isyarat ke arah Koji. Cowok itu sadar dan dia hendak menghentikan ucapan Mariko-sensei.
“Sensei dapat kabar dari keluarganya, bahwa Meguro-kun meninggal pagi tadi setelah menjalani operasi beberapa hari yang lalu.” Ucapan Mariko-sensei barusan seperti sebuah hantaman besar bagi Haruna. Kepala gadis itu seakan di hantam oleh bola hitam yang terayun kearahnya. Rasa sesak di dadanya semakin terasa dan sesaat kemudian pandangannya menggelap. “Haruna!” “Shirokawa!”
Koji reflek bangkit dari duduknya dan menahan tubuh Haruna yang tumbang. Mata gadis itu terpejam dan dari balik matanya mengalir air mata yang sejak tadi di tahannya.
“Haruna!”
Haruna menoleh saat mendengar nama panggilannya di panggil oleh suara seseorang yang di rindukannya. Di lihatnya sosok jangkung dengan seragam SMA Hanamigawa berdiri tak jauh darinya. Gadis itu tersenyum lebar dan berlari mendekati sosok itu, namun dia seperti berlari di tempat dan sosok itu semakin menjauh.
“Ren-kun? Tunggu! Meguro Ren!” Sosok itu tersenyum lembut sebelum benar-benar menghilang. “Selamat tinggal, Haruna...”
Kedua mata Haruna terbuka sepenuhnya, maniknya bergulir tak tentu arah. Hidungnya mencium aroma disenfektan yang terakhir di rasakannya di rumah sakit waktu itu. Saat sepenuhnya sadar, Haruna baru tahu kalau dia berada di ruangan UKS. Dan kedua lubang hidungnya di beri masker oksigen yang sama seperti di lihatnya waktu Ren memakai ini di rumah sakit. Di lihatnya kearah Harunannya, ada Airi yang duduk di dekat ranjangnya.
“Minna! Haruna sudah sadar!” Kemudian, suara ribut terdengar di dekatnya. Matanya menangkap beberapa orang siswa yang sangat di kenalnya.
Koji menatapnya cemas. “Jangan meniru Meme deh! Kau ini membuat satu kelas khawatir tau!”
“Jangan terlalu memaksakan dirimu, Haruna.“ujar Airi. Haruna mengabaikan gerutuan Koji itu. Dia menoleh ke sekitarnya. Ada Masakado, Fukazawa dan Masakado yang menatapnya cemas. Haruna tersenyum lega. “Syukurlah, itu hanya mimpi.“gumamnya pelan, namun masih bisa di dengar ke limanya.
Airi sebenarnya enggan memberi tahu hal ini, namun dia lebih tidak tega lagi kalau sampai melihat Haruna yang tenggelam dalam mimpinya. “Kamu masuk UKS gara-gara pingsan di tengah pemberitaan meninggalnya Meguro-san.“kata Airi. Haruna menoleh cepat kearah Airi dengan tajam. “Apa maksudmu? Jangan mengada-ada, Airi!” Airi menggeleng. “Tidak ada untungnya bagiku berbohong padamu, Haruna.”
Di lihatnya kearah keempat teman dekat Ren yang di kenalnya ini. Mereka menampilkan ekspresi yang sama sedihnya dengan Airi. “Kalian pasti sedang mengerjaiku! Tadi Ren-kun mendatangiku kok!” “Mungkin, dia hanya muncul di mimpimu untuk memberikan salam perpisahan, Haruna!“seru Masakado tak sabaran.
Haruna terkejut mendengar seruan cowok yang sekelas dengan Ren itu. Di lihatnya tatapan sedih dari kedua mata Masakado. “Dia sudah pergi, Haruna...“ujar Masakado pelan.
Haruna terdiam, kemudian tertawa keras membuat Airi, Masakado, Fukazawa, Abe dan Hikaru menatapnya prihatin. Gadis itu tertawa, dia melepas alat bantu bernapasnya dan hendak beranjak dari tidurannya. Namun, karena tubuh Haruna masih terlalu lemah, gadis itu malah terjatuh, beruntungnya Airi dan Masakado menahan tubuh gadis itu bersamaan. Gadis yang sekarang melepas kacamatanya dan menggunakan softlens itu menepis dua pasang tangan yang menahannya. Airi tersingkir dan Masakado mengabaikan tepisan Haruna.
“Kalian pasti berbohong! Ini gak mungkin kan?!“Haruna berseru histeris. “Ren-kun janji mau kembali ke Tokyo dan kembali bersekolah seperti biasanya kalau dia sudah selesai operasi! Dia janji...“Haruna terisak.
“Operasinya gagal, Shirokawa-kun.“Suara Fukazawa seakan membuat kepala Haruna menoleh cepat kearah cowok itu. Di lihatnya Fukazawa menatapnya sedih. Sangat sedih. “Meme gagal bertahan.”
Haruna menggeleng. “Enggak! Bohong banget!” Abe seakan teringat sesuatu dan dia segera merogoh kantung blazer navy bluenya. Sebuah amplop berwarna hijau dengan tujuan penerimanya adalah Shirokawa Haruna.
“Sebelum aku pulang ke Tokyo dari Yokohama, Meme menitipkan ini padaku. Saat itu kamu masih di Yokohama. Makanya dia memilih untuk menitipkannya padaku.” kata Abe. Gadis itu menerima amplop yang di sodorkan Abe. Masakado melepas kedua genggamannya di bahu gadis itu dan membuat Haruna terduduk di lantai yang dingin itu. Sebuah kertas putih menyembul di baliknya. Haruna membuka lipatannya dan mulai membaca kata demi kata yang tertulis jelas di kertas putih itu.
Haruna tersayang... Pagi, Haruna... Hmm... Siang! Eh, malam deh.
Yah, aku menulis ketiga-tiganya karena tidak tahu akan kapan Haruna membaca surat ini. Bagaimana kabarmu?
Aku di sini baik-baik saja. Maaf karena tidak bisa menepati janjiku untuk kembali ke Tokyo. Kalau surat ini sampai di Haruna, itu artinya aku sudah tidak ada di dunia ini. Jangan sedih ya. Semua terjadi sangat tiba-tiba dan aku tidak bisa memberitahu tentang apa yang terjadi padaku waktu itu. Maafkan aku. Hari ini... Yang kupikirkan adalah cara bagaimana agar membuat Haruna tidak sedih ketika membaca surat ini. Aku tidak mau melihat air mata itu selalu jatuh di wajahmu.
Kau ini kan sangat cengeng. 😂 Saat aku mendapatkan hasil medical checking itu dan tahu kalau kondisi jantung yang pernah kuderita waktu itu tidaklah hilang meski sudah kulakukan operasi sewaktu TK, pikiranku blank. Aku melamun seharian selama diriku di Yokohama. Aku memikirkan masa depan dan masa ini. Aku tahu kalau hidupku tidak akan lama lagi. Dokter bahkan sudah nyaris menyerah untuk melakukan operasi lagi. Aku memikirkan bagaimana aku menjalani sisa hidupku dengan baik.
Aku memikirkan bagaimana caranya untuk memberitahumu tentang hal ini. Hingga aku memutuskan untuk keluar dari klub basket dan menghentikan hubungan kita. Kupikir itu yang terbaik. Tapi, setelah aku melihatmu menangis keras seperti itu dan terus mengatakan bahwa kau mencintaiku, ku rasa apa yang sudah kulakukan padamu adalah hal yang salah. Mungkin aku adalah orang yang buruk karena terus-terusan menyuruhmu untuk berhenti perhatian padaku dan menghabiskan waktu untuk orang sepertiku. Ingin seberapapun aku menyuruhmu untuk berhenti, maka Haruna-akan terus memberikan perhatiaannya. Kalau bisa di beri pilihan, aku lebih memilih untuk mati dan terlahir kembali dalam tubuh yang lebih kuat. Tidak seperti tubuh Meguro Ren saat ini yang sangat lemah. Tapi, aku percaya, apapun yang telah Tuhan berikan, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya dan hanya bisa berpikir bahwa mungkin Tuhan punya rencana lain padaku. Setelah ini, Haruna tetap harus menjalankan hari-harinya dengan semangat ya. Percayalah hari esok akan lebih baik dari hari ini.
Temukan orang lain yang lebih bisa membuatmu bahagia.
Aku mencintaimu. With love, 目黒連
Haruna mendekap erat surat itu di dadanya. Tangisannya semakin keras itu memancing dokter UKS menghampiri mereka dengan cemas.
“Shirokawa-san! Ada—” Ucapan dokter UKS itu terhenti saat melihat Haruna yang menangis dengan sesegukan. Beberapa siswanya nampak menatap kearah dokter UKS yang menatap mereka penuh tanya.
Hikaru mengajak dokter UKS itu untuk beranjak dari sana dan menjelaskan. “Kenapa... Kenapa... KENAPA HARUS DIA?! KENAPA?!“Tangis Haruna semakin keras dan histeris. Masakado yang melihatnya menjadi sedih dan membawa tubuh Haruna untuk di dekapnya.
Tubuh gadis itu berguncang sangat hebat. Tangisnya semakin sesegukan dan Fukazawa, Airi, Koji hanya bisa terdiam melihat pemandangan memilukan di depan mereka. Masakado tidak memperdulikan pukulan Haruna di bahunya, agar cowok itu melepaskannya tapi Masakado nampak enggan melepaskan sebelum Haruna benar-benar tenang. Gadis itu berhenti memberontak dan menyisakan isakan kecil yang perlahan berubah menjadi sebuah dengkuran halus. Bahkan langit ikut merasakan rasa sedih yang dirasakan oleh Haruna.
Untuk terakhir kalinya, aku menangis kencang dan penuh luka seperti ini...