soymilkao29

ooc, remake, angst, cireng

Itu adalah ciuman pertama yang terasa menyakitkan. Aku tidak pernah menduga sebelumnya akan merasakan hal indah itu dalam keadaan yang menyakitkan. Dan malam terakhir dimana kita bertemu adalah malam dimana terakhir kita bicara.

Malam terakhir aku melihat tawa dan senyummu, merasakan hangatnya dekapanmu. Seharusnya aku tidak pulang, seharusnya aku terus menerus meminta pada Tuhan untuk hentikan malam itu. Agar aku bisa terus bersamamu.

Tapi nyatanya... Tuhan tidak mau aku benar-benar bahagia...


Ini sudah lewat seminggu dari jadwal operasi yang akan di jalani Ren dan Haruna masih tidak mendapat kabar apapun darinya. Tapi, pagi itu terasa berbeda. Wali kelas mereka datang lebih awal dengan pakaian yang gelap. Ketika Haruna melihatnya, perasaannya seakan tidak enak. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya sesak, membuatnya takut untuk mengetahui sesuatu yang tidak ingin didengarnya.

Setelah memberi salam seperti biasanya, wanita bercepol itu menghembuskan napasnya beberapa saat. “Kalian pasti bingung kenapa sensei mengenakan pakaian gelap hari ini kan?“ujar wanita bernama Mariko Kashimoto itu.

“Kenapa, sensei? Ada sesuatu yang buruk terjadi kah?“tanya sekretaris kelas mereka, Airi, yang duduk di sebelah kanan barisan Haruna.

Wajah Haruna memucat. Tubuhnya bergetar tanpa sebab. Dadanya sesak. Koji yang duduk di belakangnya menyadari perubahan yang di alami gadis di depannya ini. Dia menegakan tubuhnya dan mengulurkan tangan untuk mengusap punggung yang berlapis blazer itu.

Haruna menoleh merasakan usapan lembut itu. Di lihatnya Koji yang tersenyum simpul kearahnya masih dengan mengusap pelan punggungnya untuk menenangkan gadis itu.

“Kalian kenal siswa dari kelas 2 IPS 4, kan, Meguro Ren?” Jantung Haruna seakan berdetak dua kali lebih cepat. Seakan-akan dia baru saja memulai lari marathon jarak jauh.

Airi menoleh kearah sahabatnya yang ekspresinya berubah. Ada sesuatu yang nampak di takutkan gadis itu. Bahkan pelupuk keduanya matanya di penuhi air mata yang menggenang. “Ada apa dengan anggota tim basket kita itu, Mariko- sensei?“tanya Watanabe penasaran. Napas Haruna terdengar memburu. Tubuhnya bergetar lebih hebat kali ini. Airi memberi isyarat ke arah Koji. Cowok itu sadar dan dia hendak menghentikan ucapan Mariko-sensei.

“Sensei dapat kabar dari keluarganya, bahwa Meguro-kun meninggal pagi tadi setelah menjalani operasi beberapa hari yang lalu.” Ucapan Mariko-sensei barusan seperti sebuah hantaman besar bagi Haruna. Kepala gadis itu seakan di hantam oleh bola hitam yang terayun kearahnya. Rasa sesak di dadanya semakin terasa dan sesaat kemudian pandangannya menggelap. “Haruna!” “Shirokawa!”

Koji reflek bangkit dari duduknya dan menahan tubuh Haruna yang tumbang. Mata gadis itu terpejam dan dari balik matanya mengalir air mata yang sejak tadi di tahannya.


“Haruna!”

Haruna menoleh saat mendengar nama panggilannya di panggil oleh suara seseorang yang di rindukannya. Di lihatnya sosok jangkung dengan seragam SMA Hanamigawa berdiri tak jauh darinya. Gadis itu tersenyum lebar dan berlari mendekati sosok itu, namun dia seperti berlari di tempat dan sosok itu semakin menjauh.

“Ren-kun? Tunggu! Meguro Ren!” Sosok itu tersenyum lembut sebelum benar-benar menghilang. “Selamat tinggal, Haruna...”

Kedua mata Haruna terbuka sepenuhnya, maniknya bergulir tak tentu arah. Hidungnya mencium aroma disenfektan yang terakhir di rasakannya di rumah sakit waktu itu. Saat sepenuhnya sadar, Haruna baru tahu kalau dia berada di ruangan UKS. Dan kedua lubang hidungnya di beri masker oksigen yang sama seperti di lihatnya waktu Ren memakai ini di rumah sakit. Di lihatnya kearah Harunannya, ada Airi yang duduk di dekat ranjangnya.

“Minna! Haruna sudah sadar!” Kemudian, suara ribut terdengar di dekatnya. Matanya menangkap beberapa orang siswa yang sangat di kenalnya.

Koji menatapnya cemas. “Jangan meniru Meme deh! Kau ini membuat satu kelas khawatir tau!”

“Jangan terlalu memaksakan dirimu, Haruna.“ujar Airi. Haruna mengabaikan gerutuan Koji itu. Dia menoleh ke sekitarnya. Ada Masakado, Fukazawa dan Masakado yang menatapnya cemas. Haruna tersenyum lega. “Syukurlah, itu hanya mimpi.“gumamnya pelan, namun masih bisa di dengar ke limanya.

Airi sebenarnya enggan memberi tahu hal ini, namun dia lebih tidak tega lagi kalau sampai melihat Haruna yang tenggelam dalam mimpinya. “Kamu masuk UKS gara-gara pingsan di tengah pemberitaan meninggalnya Meguro-san.“kata Airi. Haruna menoleh cepat kearah Airi dengan tajam. “Apa maksudmu? Jangan mengada-ada, Airi!” Airi menggeleng. “Tidak ada untungnya bagiku berbohong padamu, Haruna.”

Di lihatnya kearah keempat teman dekat Ren yang di kenalnya ini. Mereka menampilkan ekspresi yang sama sedihnya dengan Airi. “Kalian pasti sedang mengerjaiku! Tadi Ren-kun mendatangiku kok!” “Mungkin, dia hanya muncul di mimpimu untuk memberikan salam perpisahan, Haruna!“seru Masakado tak sabaran.

Haruna terkejut mendengar seruan cowok yang sekelas dengan Ren itu. Di lihatnya tatapan sedih dari kedua mata Masakado. “Dia sudah pergi, Haruna...“ujar Masakado pelan.

Haruna terdiam, kemudian tertawa keras membuat Airi, Masakado, Fukazawa, Abe dan Hikaru menatapnya prihatin. Gadis itu tertawa, dia melepas alat bantu bernapasnya dan hendak beranjak dari tidurannya. Namun, karena tubuh Haruna masih terlalu lemah, gadis itu malah terjatuh, beruntungnya Airi dan Masakado menahan tubuh gadis itu bersamaan. Gadis yang sekarang melepas kacamatanya dan menggunakan softlens itu menepis dua pasang tangan yang menahannya. Airi tersingkir dan Masakado mengabaikan tepisan Haruna.

“Kalian pasti berbohong! Ini gak mungkin kan?!“Haruna berseru histeris. “Ren-kun janji mau kembali ke Tokyo dan kembali bersekolah seperti biasanya kalau dia sudah selesai operasi! Dia janji...“Haruna terisak.

“Operasinya gagal, Shirokawa-kun.“Suara Fukazawa seakan membuat kepala Haruna menoleh cepat kearah cowok itu. Di lihatnya Fukazawa menatapnya sedih. Sangat sedih. “Meme gagal bertahan.”

Haruna menggeleng. “Enggak! Bohong banget!” Abe seakan teringat sesuatu dan dia segera merogoh kantung blazer navy bluenya. Sebuah amplop berwarna hijau dengan tujuan penerimanya adalah Shirokawa Haruna.

“Sebelum aku pulang ke Tokyo dari Yokohama, Meme menitipkan ini padaku. Saat itu kamu masih di Yokohama. Makanya dia memilih untuk menitipkannya padaku.” kata Abe. Gadis itu menerima amplop yang di sodorkan Abe. Masakado melepas kedua genggamannya di bahu gadis itu dan membuat Haruna terduduk di lantai yang dingin itu. Sebuah kertas putih menyembul di baliknya. Haruna membuka lipatannya dan mulai membaca kata demi kata yang tertulis jelas di kertas putih itu.

Haruna tersayang... Pagi, Haruna... Hmm... Siang! Eh, malam deh.

Yah, aku menulis ketiga-tiganya karena tidak tahu akan kapan Haruna membaca surat ini. Bagaimana kabarmu?

Aku di sini baik-baik saja. Maaf karena tidak bisa menepati janjiku untuk kembali ke Tokyo. Kalau surat ini sampai di Haruna, itu artinya aku sudah tidak ada di dunia ini. Jangan sedih ya. Semua terjadi sangat tiba-tiba dan aku tidak bisa memberitahu tentang apa yang terjadi padaku waktu itu. Maafkan aku. Hari ini... Yang kupikirkan adalah cara bagaimana agar membuat Haruna tidak sedih ketika membaca surat ini. Aku tidak mau melihat air mata itu selalu jatuh di wajahmu.

Kau ini kan sangat cengeng. 😂 Saat aku mendapatkan hasil medical checking itu dan tahu kalau kondisi jantung yang pernah kuderita waktu itu tidaklah hilang meski sudah kulakukan operasi sewaktu TK, pikiranku blank. Aku melamun seharian selama diriku di Yokohama. Aku memikirkan masa depan dan masa ini. Aku tahu kalau hidupku tidak akan lama lagi. Dokter bahkan sudah nyaris menyerah untuk melakukan operasi lagi. Aku memikirkan bagaimana aku menjalani sisa hidupku dengan baik.

Aku memikirkan bagaimana caranya untuk memberitahumu tentang hal ini. Hingga aku memutuskan untuk keluar dari klub basket dan menghentikan hubungan kita. Kupikir itu yang terbaik. Tapi, setelah aku melihatmu menangis keras seperti itu dan terus mengatakan bahwa kau mencintaiku, ku rasa apa yang sudah kulakukan padamu adalah hal yang salah. Mungkin aku adalah orang yang buruk karena terus-terusan menyuruhmu untuk berhenti perhatian padaku dan menghabiskan waktu untuk orang sepertiku. Ingin seberapapun aku menyuruhmu untuk berhenti, maka Haruna-akan terus memberikan perhatiaannya. Kalau bisa di beri pilihan, aku lebih memilih untuk mati dan terlahir kembali dalam tubuh yang lebih kuat. Tidak seperti tubuh Meguro Ren saat ini yang sangat lemah. Tapi, aku percaya, apapun yang telah Tuhan berikan, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya dan hanya bisa berpikir bahwa mungkin Tuhan punya rencana lain padaku. Setelah ini, Haruna tetap harus menjalankan hari-harinya dengan semangat ya. Percayalah hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Temukan orang lain yang lebih bisa membuatmu bahagia.

Aku mencintaimu. With love, 目黒連

Haruna mendekap erat surat itu di dadanya. Tangisannya semakin keras itu memancing dokter UKS menghampiri mereka dengan cemas.

“Shirokawa-san! Ada—” Ucapan dokter UKS itu terhenti saat melihat Haruna yang menangis dengan sesegukan. Beberapa siswanya nampak menatap kearah dokter UKS yang menatap mereka penuh tanya.

Hikaru mengajak dokter UKS itu untuk beranjak dari sana dan menjelaskan. “Kenapa... Kenapa... KENAPA HARUS DIA?! KENAPA?!“Tangis Haruna semakin keras dan histeris. Masakado yang melihatnya menjadi sedih dan membawa tubuh Haruna untuk di dekapnya.

Tubuh gadis itu berguncang sangat hebat. Tangisnya semakin sesegukan dan Fukazawa, Airi, Koji hanya bisa terdiam melihat pemandangan memilukan di depan mereka. Masakado tidak memperdulikan pukulan Haruna di bahunya, agar cowok itu melepaskannya tapi Masakado nampak enggan melepaskan sebelum Haruna benar-benar tenang. Gadis itu berhenti memberontak dan menyisakan isakan kecil yang perlahan berubah menjadi sebuah dengkuran halus. Bahkan langit ikut merasakan rasa sedih yang dirasakan oleh Haruna.

Untuk terakhir kalinya, aku menangis kencang dan penuh luka seperti ini...

#Dalam Penyembuhan : 5. Light Up The Sky

Itu adalah ciuman pertama yang terasa menyakitkan. Aku tidak pernah menduga sebelumnya akan merasakan hal indah itu dalam keadaan yang menyakitkan. Dan malam terakhir dimana kita bertemu adalah malam dimana terakhir kita bicara.

Malam terakhir aku melihat tawa dan senyummu, merasakan hangatnya dekapanmu. Seharusnya aku tidak pulang, seharusnya aku terus menerus meminta pada Tuhan untuk hentikan malam itu. Agar aku bisa terus bersamamu.

Tapi nyatanya... Tuhan tidak mau aku benar-benar bahagia...


Ini sudah lewat seminggu dari jadwal operasi yang akan di jalani Ren dan Haruna masih tidak mendapat kabar apapun darinya. Tapi, pagi itu terasa berbeda. Wali kelas mereka datang lebih awal dengan pakaian yang gelap. Ketika Haruna melihatnya, perasaannya seakan tidak enak. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya sesak, membuatnya takut untuk mengetahui sesuatu yang tidak ingin didengarnya.

Setelah memberi salam seperti biasanya, wanita bercepol itu menghembuskan napasnya beberapa saat. “Kalian pasti bingung kenapa sensei mengenakan pakaian gelap hari ini kan?“ujar wanita bernama Mariko Kashimoto itu.

“Kenapa, sensei? Ada sesuatu yang buruk terjadi kah?“tanya sekretaris kelas mereka, Airi, yang duduk di sebelah kanan barisan Haruna.

Wajah Haruna memucat. Tubuhnya bergetar tanpa sebab. Dadanya sesak. Koji yang duduk di belakangnya menyadari perubahan yang di alami gadis di depannya ini. Dia menegakan tubuhnya dan mengulurkan tangan untuk mengusap punggung yang berlapis blazer itu.

Haruna menoleh merasakan usapan lembut itu. Di lihatnya Koji yang tersenyum simpul kearahnya masih dengan mengusap pelan punggungnya untuk menenangkan gadis itu.

“Kalian kenal siswa dari kelas 2 IPS 4, kan, Meguro Ren?” Jantung Haruna seakan berdetak dua kali lebih cepat. Seakan-akan dia baru saja memulai lari marathon jarak jauh.

Airi menoleh kearah sahabatnya yang ekspresinya berubah. Ada sesuatu yang nampak di takutkan gadis itu. Bahkan pelupuk keduanya matanya di penuhi air mata yang menggenang. “Ada apa dengan anggota tim basket kita itu, Mariko- sensei?“tanya Watanabe penasaran. Napas Haruna terdengar memburu. Tubuhnya bergetar lebih hebat kali ini. Airi memberi isyarat ke arah Koji. Cowok itu sadar dan dia hendak menghentikan ucapan Mariko-sensei.

“Sensei dapat kabar dari keluarganya, bahwa Meguro-kun meninggal pagi tadi setelah menjalani operasi beberapa hari yang lalu.” Ucapan Mariko-sensei barusan seperti sebuah hantaman besar bagi Haruna. Kepala gadis itu seakan di hantam oleh bola hitam yang terayun kearahnya. Rasa sesak di dadanya semakin terasa dan sesaat kemudian pandangannya menggelap. “Haruna!” “Shirokawa!”

Koji reflek bangkit dari duduknya dan menahan tubuh Haruna yang tumbang. Mata gadis itu terpejam dan dari balik matanya mengalir air mata yang sejak tadi di tahannya.


“Haruna!”

Haruna menoleh saat mendengar nama panggilannya di panggil oleh suara seseorang yang di rindukannya. Di lihatnya sosok jangkung dengan seragam SMA Hanamigawa berdiri tak jauh darinya. Gadis itu tersenyum lebar dan berlari mendekati sosok itu, namun dia seperti berlari di tempat dan sosok itu semakin menjauh.

“Ren-kun? Tunggu! Meguro Ren!” Sosok itu tersenyum lembut sebelum benar-benar menghilang. “Selamat tinggal, Haruna...”

Kedua mata Haruna terbuka sepenuhnya, maniknya bergulir tak tentu arah. Hidungnya mencium aroma disenfektan yang terakhir di rasakannya di rumah sakit waktu itu. Saat sepenuhnya sadar, Haruna baru tahu kalau dia berada di ruangan UKS. Dan kedua lubang hidungnya di beri masker oksigen yang sama seperti di lihatnya waktu Ren memakai ini di rumah sakit. Di lihatnya kearah Harunannya, ada Airi yang duduk di dekat ranjangnya.

“Minna! Haruna sudah sadar!” Kemudian, suara ribut terdengar di dekatnya. Matanya menangkap beberapa orang siswa yang sangat di kenalnya.

Koji menatapnya cemas. “Jangan meniru Meme deh! Kau ini membuat satu kelas khawatir tau!”

“Jangan terlalu memaksakan dirimu, Haruna.“ujar Airi. Haruna mengabaikan gerutuan Koji itu. Dia menoleh ke sekitarnya. Ada Masakado, Fukazawa dan Masakado yang menatapnya cemas. Haruna tersenyum lega. “Syukurlah, itu hanya mimpi.“gumamnya pelan, namun masih bisa di dengar ke limanya.

Airi sebenarnya enggan memberi tahu hal ini, namun dia lebih tidak tega lagi kalau sampai melihat Haruna yang tenggelam dalam mimpinya. “Kamu masuk UKS gara-gara pingsan di tengah pemberitaan meninggalnya Meguro-san.“kata Airi. Haruna menoleh cepat kearah Airi dengan tajam. “Apa maksudmu? Jangan mengada-ada, Airi!” Airi menggeleng. “Tidak ada untungnya bagiku berbohong padamu, Haruna.”

Di lihatnya kearah keempat teman dekat Ren yang di kenalnya ini. Mereka menampilkan ekspresi yang sama sedihnya dengan Airi. “Kalian pasti sedang mengerjaiku! Tadi Ren-kun mendatangiku kok!” “Mungkin, dia hanya muncul di mimpimu untuk memberikan salam perpisahan, Haruna!“seru Masakado tak sabaran.

Haruna terkejut mendengar seruan cowok yang sekelas dengan Ren itu. Di lihatnya tatapan sedih dari kedua mata Masakado. “Dia sudah pergi, Haruna...“ujar Masakado pelan.

Haruna terdiam, kemudian tertawa keras membuat Airi, Masakado, Fukazawa, Abe dan Hikaru menatapnya prihatin. Gadis itu tertawa, dia melepas alat bantu bernapasnya dan hendak beranjak dari tidurannya. Namun, karena tubuh Haruna masih terlalu lemah, gadis itu malah terjatuh, beruntungnya Airi dan Masakado menahan tubuh gadis itu bersamaan. Gadis yang sekarang melepas kacamatanya dan menggunakan softlens itu menepis dua pasang tangan yang menahannya. Airi tersingkir dan Masakado mengabaikan tepisan Haruna.

“Kalian pasti berbohong! Ini gak mungkin kan?!“Haruna berseru histeris. “Ren-kun janji mau kembali ke Tokyo dan kembali bersekolah seperti biasanya kalau dia sudah selesai operasi! Dia janji...“Haruna terisak.

“Operasinya gagal, Shirokawa-kun.“Suara Fukazawa seakan membuat kepala Haruna menoleh cepat kearah cowok itu. Di lihatnya Fukazawa menatapnya sedih. Sangat sedih. “Meme gagal bertahan.”

Haruna menggeleng. “Enggak! Bohong banget!” Abe seakan teringat sesuatu dan dia segera merogoh kantung blazer navy bluenya. Sebuah amplop berwarna hijau dengan tujuan penerimanya adalah Shirokawa Haruna.

“Sebelum aku pulang ke Tokyo dari Yokohama, Meme menitipkan ini padaku. Saat itu kamu masih di Yokohama. Makanya dia memilih untuk menitipkannya padaku.” kata Abe. Gadis itu menerima amplop yang di sodorkan Abe. Masakado melepas kedua genggamannya di bahu gadis itu dan membuat Haruna terduduk di lantai yang dingin itu. Sebuah kertas putih menyembul di baliknya. Haruna membuka lipatannya dan mulai membaca kata demi kata yang tertulis jelas di kertas putih itu.

Haruna tersayang... Pagi, Haruna... Hmm... Siang! Eh, malam deh.

Yah, aku menulis ketiga-tiganya karena tidak tahu akan kapan Haruna membaca surat ini.

Bagaimana kabarmu?

Aku di sini baik-baik saja. Maaf karena tidak bisa menepati janjiku untuk kembali ke Tokyo. Kalau surat ini sampai di Haruna, itu artinya aku sudah tidak ada di dunia ini. Jangan sedih ya. Semua terjadi sangat tiba-tiba dan aku tidak bisa memberitahu tentang apa yang terjadi padaku waktu itu. Maafkan aku. Hari ini... Yang kupikirkan adalah cara bagaimana agar membuat Haruna tidak sedih ketika membaca surat ini. Aku tidak mau melihat air mata itu selalu jatuh di wajahmu.

Kau ini kan sangat cengeng. 😂 Saat aku mendapatkan hasil medical checking itu dan tahu kalau kondisi jantung yang pernah kuderita waktu itu tidaklah hilang meski sudah kulakukan operasi sewaktu TK, pikiranku blank. Aku melamun seharian selama diriku di Yokohama. Aku memikirkan masa depan dan masa ini. Aku tahu kalau hidupku tidak akan lama lagi. Dokter bahkan sudah nyaris menyerah untuk melakukan operasi lagi. Aku memikirkan bagaimana aku menjalani sisa hidupku dengan baik.

Aku memikirkan bagaimana caranya untuk memberitahumu tentang hal ini. Hingga aku memutuskan untuk keluar dari klub basket dan menghentikan hubungan kita. Kupikir itu yang terbaik. Tapi, setelah aku melihatmu menangis keras seperti itu dan terus mengatakan bahwa kau mencintaiku, ku rasa apa yang sudah kulakukan padamu adalah hal yang salah. Mungkin aku adalah orang yang buruk karena terus-terusan menyuruhmu untuk berhenti perhatian padaku dan menghabiskan waktu untuk orang sepertiku. Ingin seberapapun aku menyuruhmu untuk berhenti, maka Haruna-akan terus memberikan perhatiaannya. Kalau bisa di beri pilihan, aku lebih memilih untuk mati dan terlahir kembali dalam tubuh yang lebih kuat. Tidak seperti tubuh Meguro Ren saat ini yang sangat lemah. Tapi, aku percaya, apapun yang telah Tuhan berikan, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya dan hanya bisa berpikir bahwa mungkin Tuhan punya rencana lain padaku. Setelah ini, Haruna tetap harus menjalankan hari-harinya dengan semangat ya. Percayalah hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Temukan orang lain yang lebih bisa membuatmu bahagia.

Aku mencintaimu.

With love, 目黒連

Haruna mendekap erat surat itu di dadanya. Tangisannya semakin keras itu memancing dokter UKS menghampiri mereka dengan cemas.

“Shirokawa-san! Ada—” Ucapan dokter UKS itu terhenti saat melihat Haruna yang menangis dengan sesegukan. Beberapa siswanya nampak menatap kearah dokter UKS yang menatap mereka penuh tanya.

Hikaru mengajak dokter UKS itu untuk beranjak dari sana dan menjelaskan. “Kenapa... Kenapa... KENAPA HARUS DIA?! KENAPA?!“Tangis Haruna semakin keras dan histeris. Masakado yang melihatnya menjadi sedih dan membawa tubuh Haruna untuk di dekapnya.

Tubuh gadis itu berguncang sangat hebat. Tangisnya semakin sesegukan dan Fukazawa, Airi, Koji hanya bisa terdiam melihat pemandangan memilukan di depan mereka. Masakado tidak memperdulikan pukulan Haruna di bahunya, agar cowok itu melepaskannya tapi Masakado nampak enggan melepaskan sebelum Haruna benar-benar tenang. Gadis itu berhenti memberontak dan menyisakan isakan kecil yang perlahan berubah menjadi sebuah dengkuran halus.

Untuk terakhir kalinya, aku menangis kencang dan penuh luka seperti ini...

ooc, typo, remake, cireng, angst

Aku tidak peduli.... Kau mau bicara apapun, aku tidak peduli... Kau tidak tahu apa yang kurasakan saat itu. Saat pertama kalinya kamu bicara begitu dingin padaku dan menyuruhku pulang. Itu terasa menyakitkan.

Tapi, aku memutuskan untuk tetap datang selama liburan musim panas. Kamu selalu menolak. Tapi, malam itu, untuk pertama kalinya aku meminta pada Tuhan untuk menghentikan malam ini. Membiarkan diriku untuk pertama kalinya melakukan hal ini.


“Ternyata benar... Meme belum cerita padamu ya.“gumam Fukazawa yang dapat di dengar oleh Haruna. Mendadak perasaannya sesak dan tidak enak. Dia menatap penuh penasaran pada cowok di depannya ini.

“Cerita apa? Maksudnya?”

“Dia punya kondisi bernama Tetralogy of Fallot. Kondisi dimana adanya kelainan pada dinding jantung, katup jantung dan pembuluh darah di dekat jantung.” Haruna menatap cowok di depannya ini datar. Matanya menatap kosong. Seakan orang di depannya ini sedang membicarakan sebuah omong kosong. “Jangan bercanda, Fukazawa- senpai...“Haruna mendesis tajam.

Fukazawa menghembuskan napasnya. “Apa aku terlihat sedang bercanda?” Haruna menatap langsung di mata Fukazawa, berusaha mencari kebohongan di baliknya namun yang di temukannya adalah keseriusan. “Haruna ingat, kan, saat Meme cerita soal operasi yang dilakukannya saat masih kecil?”

Haruna mengangguk mengingatnya. Memorinya sedikit berlarian kesana kemari ke kabar saat dia mendengar cerita Ren di operasi karena pingsan di tengah-tengah acara karyawisata ke Kyoto sewaktu dia TK. “Ternyata sejak bayi, Meme sudah punya kondisi ini. Operasi yang dilakukannya waktu itu tidak menjamin tidak akan terjadi komplikasi.” Haruna masih terus mendengarkan meskipun dia merasakan dadanya sesak dan matanya perih. “Dokter bilang operasi lagi pun tidak akan membuatnya lebih baik.”

“Jadi, mereka menyerah untuk menyembuhkan Ren-kun...?”

Fukazawa enggan menanggapi. Haruna menarik napasnya. “Teganya...”


Ini minggu kedua liburan musim panas. Sudah kesekian kalinya Haruna datang mengununjungi bahkan menginap di Yokohama bersama keluarga Ren. Ren yang saat ini masih di rumah sakit berulang kali mengabaikan Haruna yang terlihat sangat nyaman di sofa yang ada di rawat inapnya. Gadis itu tengah membaca buku Biologi dan ujian masuk universitas.

“Kenapa kamu tidak berhenti saja untuk menjagaku?“Ren kali ini berani bersuara setelah selama beberapa hari enggan membuka percakapan dengan Haruna. Gadis itu, tanpa mengalihkan pandangannya, menjawab. “Ini bagian dari latihan, kau tahu.”

Ren menyipitkan matanya menatap kearah Haruna. “Huh? Kau menganggapku kelinci percobaan?” Haruna mengalihkan pandangannya kearah Ren dan menunjukan sebuah halaman yang menujukan sebuah topik bahasan mengenai penyembuhan.“Ren-kun harus selalu berpikiran positif dan tersenyum seperti biasanya. Itu kunci untuk menyembuhkan berbagai penyakit.” kata Haruna serius.

Ren mendengkus.“Jangan bicarakan hal itu. Tahu apa kau soal hidup?” Haruna menghela napasnya dan tersenyum lembut. “Dokter boleh bilang kalau menyembuhkan Ren-kun akan sia-sia saja. Tapi yang menentukannya adalah Tuhan. Selama kita terus berusaha, Tuhan tidak akan berhenti untuk melihat kearah kita.”

Ren terdiam menatap kearah Haruna yang tetap tersenyum lembut kearahnya. Salah satu yang sangat di rindukan Ren dari gadis di depannya ini. Haruna menutup bukunya dan berjalan kearah ranjang dimana Ren terbaring di atasnya. Cowok itu tengah memposisikan dirinya untuk duduk dengan bagian kepala tempat tidurnya yang di naikan.

Haruna mencium pipi Ren sekilas sebelum beranjak dari sana untuk menghampiri Masakado dan Fukazawa yang ternyata sudah ada di luar kamar inap Ren. Sedangkan cowok yang barusan di cium pipinya oleh Haruna, nampak terpaku beberapa saat sampai akhirnya dia merasakan wajahnya memanas. Kepalanya menoleh kearah pintu rawat inap itu dan menemukan ketiga temannya tengan berbincang-bincang sebelum mereka masuk ke dalam kamar Ren.


Memburuk. Kondisinya semakin memburuk. Ren terbatuk-batuk. Napasnya tidak beraturan.

“Ngh... eghh...!” dia mencengkeram dadanya. Haruna berusaha menahan tangan Ren yang terus-terusan memukul dadanya. Mulut cowok itu terbuka dan berusaha mencari udara untuk menghilangkan sesak di dadanya.

Haruna nyaris menangis sembari memencet tombol emergency di atas tempat tidur Ren. Tubuhnya berbalik-balik, selimut di tubuhnya sudah lama terjatuh dan dia sama sekali tidak sadar. Haruna menggigit bibir. Tangannya mencengkeram tangan Ren dengan erat.

Tangan hangat Ren menjadi sangat dingin. Haruna sudah tidak bisa menahan tangisan, mengusap tangan Ren berkali-kali, berusaha untuk menghangatkan lelaki itu.

Oh ya Tuhan...

Orangtua Ren sedang bekerja. Sedangkan adik Ren, ada acara klub musim panas di sekolahnya. Haruna bingung bagaimana harus menangani kesakitan yang di derita cowok ini.

Ya Tuhan....

Kumohon...

Setelah Ren yang memberontak terus menerus karena sesak dan sakit yang menyiksa tubuhnya, tubuh cowok itu terkulai lemas dengan mata sayu nyaris terpejam. “Na-Naa-Haruna-” Ucapannya terputus ketika napasnya menghilang. Mata Haruna terbelalak. Kemana dokter-dokter dan perawat itu?!

Dia nyaris menekan bel emergency lagi yang ada di sisi ranjang Ren, namun tangan lelaki itu menangkapnya. Haruna menoleh dan melihat Ren yang menatapnya sayu.“T-tenang. Tenang.” Bibirnya bergetar ketika dia mencoba untuk tersenyum seperti biasa. “Jangan bangunkan Kimura-sensei. Dia kan baru saja menangani operasi yang sulit.”

“Tapi-”

“Ini hanya serangan ringan biasa.” Napas Ren mulai teratur. Dia menarik napas dalam-dalam selama semenit. “Tuh. Aku sudah tidak apa-apa.” senyuman lebarnya mulai muncul.

Haruna terdiam. Dia tidak buta. Tubuh Ren masih bergetar. Sesak di paru-parulelaki itu menyiksa tubuhnya. “Ren-kun...” Ren menoleh saat nama kecilnya di panggil. Dia terkejut saat merasakan pipinya basah oleh sesuatu. Di lihatnya Haruna yang menunduk di dekatnya dengan wajah penuh air mata. “Tetaplah hidup...“suaranya parau dan bergetar. Ren terkejut mendengarnya. Dia tersenyum, di ulurkannya tangannya yang besar itu dan di usapnya wajah Haruna. Cowok itu tidak berkata apapun lagi dan hanya mengusap wajah Haruna untuk membuat gadis itu tenang.

“Haruna, maafkan aku ya...” lirih Ren, sebelum memejamkan matanya dan tertidur. Haruna mengatupkan bibirnya kuat-kuat dan mengangguk. Malam itu, Haruna memutuskan untuk menemani Ren.

Oh Tuhan... Kumohon... Beri Ren-kun kekuatan...


Haruna baru saja kembali dari rumah Ren. Gadis itu membawakan sekotak bento berisi makanan kesukaan Ren. Langkahnya terhenti saat melihat orangtua Ren yang duduk di luar ruangan di temani oleh Kimura-sensei.

Gadis itu menghampiri ketiganya dan menyapa ramah. Sebelum dia pamit akan menemui Ren, ibu Ren menyuruhnya untuk duduk di tengah-tengah mereka. Haruna menatap orang-orang dewasa di sekitarnya. Tatapan mereka terlihat sedih dan kosong.

“Tante ada apa?“Haruna menoleh ke kanannya dan bertanya pada ibu Ren yang nampak menunduk menyembunyikan air matanya. Haruna tahu dia tidak akan dapat jawaban dari beliau, gadis itu menoleh kearah Kimura-sensei, seakan meminta jawaban alasan dia di tahan di sini. “Kami memutuskan untuk mengoperasi Meguro-san lagi.” Kimura-sensei bersuara untuk menjawab pertanyaan gadis itu.

Wajah Haruna berseri-seri mendengarnya. “Serius? Bukankah itu bagus?” Kimura- sensei tersenyum, beliau mengangguk. “Tapi operasi yang akan di jalani Ren-san nanti resikonya tinggi dan belum menjamin sepenuhnya kesembuhannya nanti.”

Haruna merasa dirinya melambung tinggi namun beberapa detik kemudian di jatuhkan kembali ke jurang yang dalam. Rasa sesak menyeruak di dadanya. “A-Apa Ren-kun tahu tentang ini? Apa dia masih mau menjalani operasinya penyembuhannya?”

“Demimu. Dia mau ambil resiko.“Suara ibu Ren menjawab. Haruna menoleh kearah wanita paruh baya yang masih terlihat segar itu. Haruna meremas tas berisi kotak bento yang dibuatnya untuk Ren. Ada perasaan tidak rela dan senang di hatinya yang tiba-tiba menyeruak.

Ya Tuhan... Kenapa kau memberi harapan yang berakhir menjadi sebuah kekecewaan?


Angin malam berhembus pelan. Suara-suara gemercik air di selokan menuju stasiun Yokohama itu terdengar merdu. Waktu sudah menujukan pukul setengah delapan malam. Haruna melihat kearah cowok bermantel tebal yang berjalan di sebelahnya. Dia menatap lama-lama sosok di sebelahnya ini. Sosok yang mampu membuatnya enggan untuk beranjak jauh darinya.

Ren menoleh kearah Haruna. Merasa di perhatikan oleh gadis itu. Haruna memalingkan wajahnya kearah lain. Ren tersenyum geli melihatnya. “Haaahh... Rasanya segar sekali ya. Sudah lama aku tidak jalan-jalan keluar begini.“kata Ren memecah keheningan. Ren meminta izin Kimura-sensei untuk mengantar Haruna ke stasiun, karena liburan musim panas akan berakhir dan gadis itu harus segera mempersiapkan untuk masuk sekolah lagi.

“Hm.“balas Haruna pelan. Mereka berjalan memasuki stasiun Yokohama. Keduanya kini berada di tengah-tengah peron stasiun. Haruna mengambil tasnya dari tangan Ren dan merunduk.

“Arigatou.“gumamnya. Ren mengangguk. Kemudian hening. “Ren-kun...” “Hm?” “Kamu... Mengambil keputusan itu?“tanya Haruna. Dia berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar. Ren menaikan sebelah alisnya. Nampak bingung sesaat kemudian dia tersenyum dan mengangguk.

“Kenapa? Kamu tahu kan resikonya?“ujar Haruna cemas. Dia menatap langsung ke manik Ren, berusaha untuk mencari keraguan di sana, namun yang di temukannya adalah kesungguhan. “Kita nggak bakalan tahu hasilnya kalau belum mencoba, Haruna-chan.“sahut Ren.

Haruna menggeleng. Air matanya mengalir membasahi wajahnya yang manis. Ren mendadak tidak tega melihat gadis yang di sayanginya ini menangis. “Bagaimana kalau ternyata gagal? Aku gak mau kehilangan orang yang kusayangi untuk kedua kalinya.“Haruna terisak. Gadis itu merutuki dirinya kenapa mudah sekali menangis di saat seperti ini. “Gak mau, Ren-kun...”

Setelahnya, Haruna merasakan tubuhnya di dekap erat oleh tubuh tinggi seseorang. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di balik dada Ren, membiarkan tangisannya semakin keras agar Ren tahu bawa dia tidak ingin kehilangan cowok itu. Ren tahu kalau gadis ini sudah kehilangan kakak lelakinya. Seseorang kakak yang sangat di sayanginya itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

“Ssst... Haruna.. Jangan nangis, dong. Malu, udah besar juga.“Kata Ren menggoda gadis di dekapannya ini. Di usapnya punggung gadis berambut sebahu lebih ini. “Ne, kamu percaya kan? Tuhan pasti punya rencana hebat di balik semua ini.“ucap Ren pelan. Matanya menerawang, seakan berusaha menjangkau sesuatu yang jauh.

Tangisannya semakin keras, Haruna semakin membenamkan wajahnya di dada Ren. Selama beberapa saat mereka terus berpelukan seperti itu. Beruntungnya tidak begitu banyak penumpang di stasiun itu. Tentu saja. Haruna akan naik kereta terakhir ke Tokyo. Ren menghembuskan napasnya dan tersenyum lembut. “Aku mencintaimu.” Tangisan Haruna berhenti saat itu juga, saat dimana Ren berbisik lembut di dekat telinganya.

Haruna tersenyum di balik isakannya. “Aku tidak perlu mengatakannya lagi, Ren-kun. Sudah jelas aku mencintaimu!“gerutu Haruna pelan. Ren tertawa. Di lepaskannya pelukannya saat mendengar pemberitahuan mengenai kereta terakhir yang akan Haruna naiki akan segera tiba.

Ren mengusap wajah Haruna yang basah. Cowok itu terlihat menahan tawanya melihat wajah lucu Haruna. Haruna mengerucutkan bibirnya dan memukul bahu Ren kesal. “Bercanda. Jangan marah begitu.”

“Ren-kun...” “Ya?” “Kalau sudah selesai dengan operasi ini, kembalilah ke Tokyo dan sekolah lagi.” Ren tertawa mendengarnya. Di acak-acakannya rambut Haruna gemas. “Iya, dong. Kan aku masih harus lulus SMA.”

Sekali lagi, Haruna memandangi cukup lama wajah cowok di depannya ini. Tanpa sadar, dia mendekatkan tubuhnya kearah Ren dam berjinjit sedikit untuk mendekatkan wajahnya ke wajah Ren, sedetik kemudian bibir keduanya bertemu. Haruna memejamkan matanya dan mengalungkan kedua tangannya di leher Ren.

Cowok itu membelalakan matanya dengan terkejut saat merasakan kelembutan dan kehangatan di bibirnya. Namun, Haruna yang terlihat enggan untuk melepaskannya membuat Ren membalas ciuman itu. Dia memeluk erat pinggang Haruna.

Haruna terisak pelan di dalam ciuman itu. Entah mengapa ciuman pertama mereka terasa pahit dan sangat menyakitkan.

Tuhan... Bisakah Engkau hentikan malam ini...

ooc, typo, remake, cireng

Aku tahu saat itu aku masih shock, kaget dan takut untuk menerima kenyataan itu. Aku berusaha seharian untuk menjauhi Ren-kun, tapi aku selalu gagal melakukannya. Sisi emosionalku yang lebih menguasai dan aku takut jika aku harus kehilangan Ren-kun saat itu juga. Saat itu juga, aku menampar Ren-kun, benar-benar melayangkan kelima jariku ke pipi Ren-kun, kemudian memeluknya erat seakan jika ku lepaskan Ren-kun akan menghilang. Dan aku sadar kalau aku mencintainya.


“Pagi, semua!” “Ini sudah siang, baka! ” Koji memukul pelan kepala Fukka dengan kertas-kertasnya. Mereka berenam, Koji, Masakado, Hikaru, Fukazawa dan Abe juga Ren sedang berkumpul di atap sekolah yang sepi. Mereka tengah berbincang-bincang membicarakan kelulusan Fukazawa tahun ini. “Bagaimana nilai-nilaimu, Abe?“tanya Masakado penasaran. Karena yang dia tahu Abe selalu terlihat bersemangat setiap kegiatan belajar mengajar di mulai. “Biasa saja.“sahut Abe singkat. Nampak sekali enggan membahas mengenai nilai uji cobanya.

Fukka menepuk keras punggung Abe membuat cowok itu mendelik sebal kearahnya. “Jangan suka merendah seperti itu! Aku tahu kalau nilai-nilaimu itu sebenarnya semua yang terbaik.” “Terserah kau saja, Fukka.” Mereka tertawa melihat keduanya yang nampak akrab. Kemudian Fukazawa melihat kearah Ren yang sedang menikmati melonpannya.

“Meme, tumben sekali hari ini tidak makan siang sama Shirokawa-kun.“kata Fukazawa heran. Ren mendongak untuk melihat kearah kakak kelasnya itu. Kemudian tersenyum. “Haruna sedang sibuk sekali dan tidak sempat membuat bento.“sahut Ren.

Fukazawa menghela napasnya. “Kenapa kau tidak jujur saja soal itu, Ren?“Suara Masakado terdengar sedih. Dia tahu bagaimana perasaan Haruna jika gadis itu mendengar hal ini. Ren menunduk. Menyembunyikan wajahnya. “Dia... Tidak perlu tahu.“sahutnya. Masakado berdecak. “Lalu kau anggap apa perhatian Haruna selama ini?”

Ren tersenyum kearah Hikaru. Dia menggigit potongan terakhir melon pan nya. “Aku akan mengakhirinya.” Keempatnya terkesiap dan mendadak panik. “Kau gila ya?!” “Hei! Pikirkan perasaan Haruru! Dia pasti akan sangat kecewa!” Abe berseru sebal. Ren tertawa melihat respon teman-temannya. “Aku cuma bercanda.” Sedetik kemudian, Ren merasa tangannya di tarik seseorang untuk berdiri. Kepalanya berputar untuk melihat siapa yang berani menariknya sekencang itu hingga bisa membuatnya berdiri.

“Haruna-chan?” “Haruna?” “Shirokawa-kun?” “Haruru?” “Huh?”

Kelimanya terkejut mendapati gadis berambut sebahu lebih kecoklatan itu sudah berada di dekat mereka dengan wajah memerah dan mata berkaca.

“Haruna? Ada apa?” “Kita perlu bicara.” Kemudian gadis itu menarik tangan Ren untuk mengikutinya. Ren menoleh sekilas kearah teman-temannya dan melihat mereka membisikan sesuatu. “Hati-hati...”


Mereka sampai di lapangan basket yang sepi. Hembusan angin penghujung musim semi melambaikan seragam dan rambut mereka. Haruna membungkuk untuk mengatur napasnya, begitu pula dengan Ren. Cowok itu merogoh kantung blazernya dan mengeluarkan sebotol obat. Menenggak kapsul berwarna putih itu. Haruna membalikan tubuhnya menghadap Ren. Cowok itu menatapnya heran. Mata keduanya bertemu. “Haruna? Ada apa?” Sebuah tamparan mengenai pipi kanan Ren. Cowok itu membelalakan matanya sejenak, merasakan sengatan di wajahnya. Kemudian kepalanya menoleh kearah Haruna. Di lihatnya gadis itu menatapnya dengan mata basah dan bahu yang bergetar. Seperti menahan isakan yang keras. “Kamu serius keluar dari klub itu...” Ren tahu itu bukan pertanyaan.

“Ini bukan kamu, Ren. Aku tahu kamu bukan tipe orang yang menyia-nyiakan kepercayaan orang lain padamu.” Ren tahu suara itu berusaha menahan tangisannya. “Kenapa kamu gak pernah cerita?”

Ren tahu itu suara penuh kekecewaan dan Ren menebak kalau gadis itu sudah tahu semuanya. “Haruna...”

“Bahkan Ren berniat untuk putus dariku..?” suaranya melirih. “Ren-kun anggap apa aku selama ini kalau bisa dengan bicara putus seenaknya begitu?”Suarnya terdengar mencabik hati Ren saat mendengarnya. Haruna menundukan kepalanya, menatap sebelah tangannya yang di buat untuk menampar Ren barusan. Ada rasa bersalah di tatapan itu.

“Haruna, maaf.“Ren berhasil mengucapkan beberapa kata. Meskipun tadinya dia nampak tidak bisa mengeluarkan suaranya. Haruna tahu kalau dia tidak bisa mendengar suara itu tanpa menatap kearahnya. Tapi, dia akan semakin tidak kuat jika harus menatap cowok di depannya ini.

“Kenapa, Ren? Kenapa kamu suka sekali menyembunyikan semuanya....” Haruna berusaha menanyakan segala kegelisahannya tentang apa yang di dengarnya lusa kemarin. Dengan mempertahankan agar suaranya tidak terdengar terisak. Haruna berjongkok untuk menyembunyikan wajahnya sejenak.

Ren menghembuskan napasnya pelan. Dia tersenyum melihat Haruna yang berusaha menahan isakannya. “Aku tidak ingin semuanya cemas dan khawatir. Aku keluar dari klub agar mereka bisa dengan cepat menemukan penggantiku sebelum tiba waktunya pertandingan final, karena aku yakin saat itu tiba aku tidak akan bisa hadir di sana dengan maksimal.“Ren menjelaskan panjang lebar. Cowok itu berjongkok di depan Haruna. “Dan alasan kenapa aku tidak menceritakannya padamu adalah karena aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Membuat Haruna cemas dan khawatir.“ujar Ren lembut. Tangannya terulur untuk mengusap kepala gadis di depannya ini. Gadis di depannya ini bergeming. Nampak berusaha mencerna apa yang di katakan cowok itu. Ren menarik napasnya. Mencoba untuk mengatakan apa yang juga ingin di katakannya.

“Ayo kita putus, Haruna.”

Haruna mengangkat kepalanya. Melihat kearah Ren dengan terkejut. Pikirannya blank dan terasa berawan. Ada sesuatu yang seakan menahan oksigen untuk masuk ke paru-parunya. Dadanya sesak dan air matanya mengalir perlahan.

“Kau serius?“Suaranya bergetar. Ren tersenyum lembut. “Aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Sudah cukup Haruna selalu membuatkanku bento dan membantuku membersihkan apartemen setiap akhir minggu. Sudah cukup ya.“Ren beranjak dari sana. Meninggalkan Haruna yang terpaku di tempatnya. Sebelum sosok Ren benar-benar meninggalkan lapangan itu. Haruna berusaha mengumpulkan tenaganya dan berlari kearah cowok itu. Menubruk punggungnya keras dan melingkarkan kedua tangannya yang mungil di pinggang cowok itu. Mendekapnya erat.

“Ja-jangan be-berkata seperti itu! A-aku tidak suka!“gerutu Haruna dengan suara terisak. Air matanya masih mengalir. Kali ini sangat deras dan Ren merasakan tubuh Haruna terguncang hebat. “Haruna... Sudah cukup... Aku tidak mau menyakitimu lagi.“kata Ren. Berusaha melepaskan dekapan Haruna. Tapi, dekapan gadis itu semakin erat memeluk Ren.

“Ju-justru kau me-menyakitiku dengan bi-bilang kalau k-kau me-merasa me-merepotkanku. Kau tahu apa soal perasaanku?!“Suara Haruna yang tegas seakan menampar Ren sekali lagi. Cowok itu terdiam. Dia memang memutuskan hal ini secara sepihak tanpa menanyakan bagaimana perasaan Haruna padanya. “Haruna...”

“Diam! Jangan katakan apapun!”

Semilir angin berhembus. Menerpa wajah keduanya yang sama-sama menunjukan ekspresi sedih. “Aku serius menyukaimu, Ren...” Ren mematung mendengar bisikan parau dari Haruna.

Aku juga serius menyukaimu, tapi maaf, ya, Haruna...


Keadaan Ren memburuk. Cowok itu sering di larikan ke UKS di tengah pelajaran karena sesak napas yang di deritanya sering kambuh dan membuat kesadarannya hilang. Haruna yang mendengar hal itu dari Masakado semakin tidak tenang. Perasaan tidak enak dan takut datang silih berganti menghampirinya. Pagi itu, Haruna memasuki gerbang sekolah dengan perasaan berat. Kedua tangannya mendekap erat buku-buku seputar kesehatan. Dia masih harus belajar untuk persiapan nanti saat lulus untuk masuk ke sekolah kesehatan. “Haruru!” Haruna menoleh merasa namanya di panggil, hanya orang-orang manga klub yang memanggilnya dengan nama itu, well, Masakado juga kadang memanggilnya seperti itu dan Haruna kenal dengan suara yang memanggilnya. Tapi, terkhusus Sakuma, dia masuk ke manga klub hanya untuk bisa baca manga secara gratis. “Sakuma?”

Cowok bernama kecil Daisuke itu menepuk pundaknya dengan napas terengah dan itu mengingatkannya pada Ren. “Ada apa?“tanya Haruna memalingkan pikirannya.

“Semalam Meme pulang ke rumah orang tuanya di Yokohama.“ucapan Sakuma membuat Haruna mengernyit tak paham. “Lalu?”

“Dia di larikan ke rumah sakit karena penyakitnya semakin parah.” Haruna membulatkan matanya tak percaya. Dia mencengkram pundak Sakuma dan menatapnya tajam. “Aku tidak suka candaan, Sakkun.” Sakuma menghembuskan napasnya dan memutar kedua bola matanya sebal. “Kalau aku ingin bercanda, tidak perlu menggunakan alasan penyakit untuk hal-hal lucu!”

Haruna berdecak. Dia berlari meninggalkan Sakuma yang mengerjap, terkejut melihat Haruna yang tiba-tiba saja berlari meninggalkannya, keluar dari kawasan SMA Hanamigawa itu. “Haruru! Mau kemana?“Sakuma berseru cepat sebelum sosok itu menghilang. Haruna menoleh kearahnya sebelum berbelok ke kanan. “Ke Yokohama! Tolong absenku di tulis izin ya, Sakkun! Arigatou!“kemudian, gadis itu berbelok kearah stasiun dan menghilang. “Haruna—ck...” Sakuma berdecak melihat tingkah Haruna. Padahal minggu ini minggu terakhir mereka sekolah sebelum liburan musim panas dan gadis itu malah bolos? “Sakuma? Kenapa kau diam begitu?” Suara Abe terdengar di dekatnya. Cowok itu menatap kearah Sakuma dengan bingung.

Sakuma mendengkus. Dia berjalan kembali ke dalam gedung sekolah di ikuti Abe. “Haruru izin ke Yokohama hari ini.“katanya. “Eehhh? Yang benar?” “Iya. Dia sangat kaget saat mendengar kalau Meme harus masuk rumah sakit lagi.” Abe berdecak. “Kenapa kau memberitahunya?” Sakuma menoleh kearah Abe dan mendelik. Matanya menatap tajam kearah cowok itu. “Kau tidak lihat sih saat dia berjalan tanpa semangat hidup masuk ke kawasan sekolah. Membuat mataku tidak tahan saja melihatnya seperti itu.”

Abe menghela napasnya. Kalau sudah begini dia tidak akan bisa protes lagi. Bagaimana pun juga Haruna adalah gadis baik yang selalu berusaha perhatian pada orang lain. Dia gadis yang berbakat di bidang tarik suara, terlebih gadis itu sangat cocok untuk Ren. Bel masuk berbunyi. “Gawat! Ayo cepat kita masuk!” Abe mengajak Sakuma untuk berlari masuk ke dalam gedung sekolah mereka.

Diam-diam dari belakang mereka ada seorang siswa mencuri dengar. Kepalanya menoleh kearah gerbang sekolah yang belum di tutup meskipun bel sudah berbunyi. Siswa itu melanjutkan langkahnya menuju kelasnya, namun beberapa langkah kemudian dia berbalik dan berjalan cepat kearah gerbang. Keluar melewati pintu besar itu menuju stasiun.


Haruna sampai di tujuannya. Dia berdiri di depan kamar rawat inap di rumah sakit dimana Ren dirawat itu. Tiba-tiba hatinya sedikit bimbang. Ada perasaan khawatir dan cemas juga takut saat dia memegang gagang pintu geser itu. Benda yang dingin itu seakan membuatnya terpaku selama beberapa saat. “Punten...” Gadis itu menoleh dan reflek melepaskan genggamannya pada gagang itu. Di lihatnya wanita paruh baya yang berdiri tak jauh darinya memperhatikannya dengan bingung. Haruna membungkuk kearah sosok wanita yang sangat mirip dengan Ren itu. Wanita itu berjalan menghampirinya dan tersenyum.

“Kamu pasti Shirokawa Haruna ya?” “Eh?“balas Haruna bingung. Wanita itu tertawa kecil. “Ren cerita banyak tentangmu. Ayo masuk.” Wanita yang merupakan ibu Ren itu menggeser pintu itu dan mengajaknya masuk ke dalam rawat inap itu. Aroma disenfektan yang sempat di rasakan Haruna saat masuk ke rumah sakit tadi sedikit berkurang karena dia mencium aroma musim panas yang samar dari arah jendela yang terbuka. Haruna meletakan buku-bukunya di atas nakas di sebelah ranjang Ren. Di lihatnya Ren yang tertidur di atas ranjangnya dengan dibantu masker alat bernapas yang terpasang di antara mulut dan hidungnya. Cowok itu mengenakan setelan piyama biru dan rambut hitamnya agak berantakan.

Haruna berjalan mendekati ranjang itu. Dia menunduk untuk melihat wajah Ren dengan lebih jelas. Diulurkannya jemarinya untuk menyingkirkan beberapa helai rambut kecokelatannya yang menutupi sedikit wajahnya.

Ren bergerak sedikit merasakan sentuhan lembut di keningnya. Matanya perlahan terbuka menampilkan manik hitam kecokelatannya yang terlihat sayu. “Haruna...?” Haruna tersenyum lembut melihatnya. Dia mengusap lembut kening Ren membuat cowok itu memejamkan matanya sejenak, merasakan kehangatan yang tiba-tiba membuatnya sangat nyaman.

Haruna menahan agar air matanya tidak keluar. Melihat Ren dalam kondisi yang tidak sehat seperti ini seakan menguji kekuatannya untuk tidak terlihat lemah. “Ke-Kenapa kamu di sini? Bukankah kamu harus sekolah?“tanya Ren pelan.

Ibu Ren menyentuh pundak Haruna dan gadis itu menoleh sebentar. Wanita itu izin untuk keluar sebentar dan menitipkan Ren padanya. “Aku langsung kemari setelah mendengar kalau kamu masuk rumah sakit.“sahut Haruna. Tangannya meraih tangan Ren yang di beri jarum infus. “Pulanglah.” Haruna terkejut mendengarnya. Matanya membulat tak percaya. Gadis itu mengusap-usap tangan Ren yang di tanami jarum infus itu.

“Kenapa? Aku masih ingin di sini.” Pandangan Ren teralih kearah nakas di sebelahnya saat menyadari ada beberapa buku tebal di atasnya. Pandangan Haruna ikut teralih kearah pandangan Ren berlabuh. “Pulanglah. Jangan buang waktumu untuk orang sepertiku.“kata Ren. Dia sudah bisa mengeluarkan suaranya dengan normal. Haruna menggeleng. “No! Aku masih ingin di sini! Menemani Ren-kun!”

“Kubilang, pulanglah!” Ren menepis tangan Haruna yang menggenggam tangannya. Kemudian matanya menatap tajam kearah Haruna. Sesuatu yang tidak pernah di lihat oleh gadis itu dari Ren. “Apa karena aku membawa buku-buku ini?“lirih Haruna sedih.

“Kau sudah seharusnya belajar untuk persiapan beasiswamu ke sekolah kesehatan bergengsi itu tahun depan. Bukannya malah bolos dan pergi ke Yokohama untuk orang sepertiku.“ujar Ren sarkas. Haruna menatap tak percaya kearah cowok di depannya ini. “Kau ini bicara apa, Ren-kun?” Haruna memegang pundak cowok itu. Namun, Ren mendorong keras Haruna hingga terjatuh. “Haruna!” Ren mendongak untuk melihat siapa yang kali ini datang menengoknya. Seorang cowok yang sangat di kenalnya. Masakado Yoshinori.

Cowok itu membantu Haruna untuk berdiri. Matanya menatap kearah Ren. Kedua maniknya itu menyipit kearah Ren. “Aku tidak kenal Meguro Ren yang kasar seperti ini terhadap wanita.“Ren terdiam mendengar ucapan Masakado yang terlihat kecewa itu. “Ini bukan kamu, Meme.“ujar Masakado sembari menggeleng. Ren berdecak. Dia memalingkan wajahnya kearah lain, enggan untuk menatap kearah keduanya. “Bawa dia pulang, Masakado. Jangan biarkan dia untuk menghabiskan waktunya untuk orang sepertiku.”

“Me—”

Haruna menepuk punggung Masakado, isyarat agar cowok itu berhenti. Cowok bermarga Masakado itu menatapnya bingung. Haruna mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakannya di atas nakas di sebelah ranjang Ren setelah mengambil buku-bukunya. “Tadi aku sengaja buatin bento seperti biasanya. Dimakan ya, Meguro-kun.” Ren sedikit terkejut saat mendengar Haruna memanggilnya bukan dengan Ren atau Ren-kun lagi. Cowok itu melirik kearah gadis itu. Keduanya sudah berada di luar rawat inap. Mereka berpamitan dengan ibunya.

Ren mendongak untuk melihat kearah nakas di sebelah ranjangnya. Dia memposisikan dirinya untuk duduk dan melepaskan masker oksigen itu. Di raihnya tas bento itu dan di bukanya tempat itu. Ada secarik kertas dengan karakter gambar khas Haruna.

Mungkin aku ini bukan yang terbaik untuk Ren. Tapi, aku ingin jadi perempuan yang kuat dan tetap mendukungmu apapun yang terjadi. Aku mencintaimu. Haruna


Masakado menoleh kearah belakangnya untuk memastikan kalau Haruna masih ada dibelakangnya mengikutinya. Dia tersenyum melihat Haruna yang terlihat melamun sembari terus berjalan mengikutinya. Hingga nyaris menabrak Masakado, gadis itu masih asyik dalam pikirannya. “Kenapa ya, Masakado...?”

Masakado menaikan sebelah alisnya saat mendengar Haruna yang memanggilnya tanpa embel-embel suffix seperti biasanya. Gadis itu juga terlihat sangat sedih dan frustasi. Mereka berdiri di belakang garis kuning peron kereta sembari menunggu kereta terakhir yang akan membawa keduanya kembali ke Tokyo.

Penolakan yang dilakukan Ren tadi masih terbayang-bayang di pikiran Haruna. Hatinya seakan tercubit saat teringat penolakan yang membuat dadanya itu sesak. Ada sesuatu yang seakan tidak ingin di terimanya. “Padahal aku tidak pernah mengasihaninya, tapi kenapa Ren-kun bilang tidak perlu menghabiskan waktu untuk seseorang sepertinya? Dia ‘kan bukan beban bagiku...“gumam Haruna sembari menatap lurus kearah peron di seberang mereka. Ada sesuatu di mata Haruna yang membuat Masakado tidak tega melihat gadis itu. “Rasanya sakit hanya mendengarnya menyuruhku untuk pulang.“Tangannya terangkat dan mencengkram blazer sebelah kirinya.

Gadis itu menunduk, membuat helaian rambut panjangnya itu terjatuh menutup wajahnya. Masakado memiringkan kepalanya untuk melihat Haruna lebih jelas. Kacamata yang di pakai gadis itu basah. Masakado mengerjap panik. Dia segera mendekap Haruna erat agar gadis itu berhenti menangis.

“Sakit...“bisik Haruna parau masih mencengkram dadanya di balik dekapan Masakado. “Ssst... Jangan nangis. Meme hanya sedang stress. Dia tidak bermaksud untuk bicara seperti itu.“Masakado mengusap-usap punggung gadis itu, membuatnya agar lebih tenang. “Haruna... Jangan nangis lagi. Hei..”

Gadis itu masih terus terisak. Tangisannya teredam oleh dekapan Masakado yang semakin mengerat. Ada sesuatu yang Haruna rasakan ketika Masakado memeluknya. Seperti ada yang hendak di katakan cowok ini padanya lewat gesturenya. “Hiks... Aku mencintainya, Masakado. Aku harus bagaimana?”

Masakado terdiam mendengar ucapan Haruna. Ada bagian di dalam tubuhnya seakan menolak ucapan gadis itu namun Masakado tidak membalasnya, hanya diam dan berusaha menenangkan gadis di dekapannya ini.


Seharusnya aku tahu sejak dulu...

AU Lokal, Nsfw, typo, cireng

Aqilla baru saja selesai menyetrika pakaiannya dan memasukannya ke dalam lemari saat ponselnya berdering nyaring. Keningnya mengkerut saat melihat kontak Kemal di layar ponselnya. Seingatnya Kemal sedang berlibur di rumah orang tuanya. Yah, tapi berlibur bukan berarti tidak akan menghubunginya, sih.

Belum sempat Aqilla menyapa, suara ceria lelaki yang merupakan kekasihnya itu langsung terdengar. “Udah makan belum?” Aqilla menghembuskan napas dan berdecak pelan.

“Paling tidak sapa dulu baru tanya yang lain!” Gerutu Aqilla. Kemal terkekeh. “Halo, sayang.” Aqilla bergidik. Dia menjauhkan sedikit ponselnya dan menatap benda itu dengan geli, seakan-akan Kemal sedang ada di dekatnya.

“Kenapa?” Aqilla kembali mendekatkan ponsel itu ke telinganya. “Aku main ke kostan ya! Sekalian bawain makan sore! Belum makan, 'kan?”

Kepala Aqilla mengangguk samar, tapi bertolak belakang dengan apa yang diucapkannya. “Sudah.” Disebarang sana, Kemal mencibir. “Bohong kali. Yaudah, aku on the way kesana. Tunggu ya! Abang gojek otw!”

Setelahnya, telepon itu diputus sebelah pihak. Aqilla menggeleng sembari meletakan ponsel itu ke atas laptop di atas mejanya. Dia mengedikan bahu sembari kembali merapikan kostannya. Ah, Aqilla lupa bertanya kenapa Kemal sudah pulang, padahal liburan masih dua minggu lagi.

Dia akan tanya nanti saja saat Kemal sampai.

Selesai merapikan kostan yang sebelumnya seperti kapal pecah itu, Aqilla merebahkan dirinya ke atas kasur dan bermain dengan ponselnya. Menscroll Instagram atau Twitter. Senyumannya terkadang muncul kala melihat postingan yang menarik dan lucu.

Tak lama, pintu kostan diketuk. Dia agak terkejut sampai bangkit dari posisi rebahannya. Aqilla menarik napas dan melempar asal ponselnya, mengambil selimut dan melingkari di sekitar tubuhnya. Aneh, rasanya tadi cerah, kenapa di luar sudah mendung dan udara jadi lebih dingin?

Begitu pintu terbuka, Aqilla menahan keseimbangannya saat mendapat pelukan mendadak dari sosok tinggi yang disayanginya ini. “Astaga, Kemal! Jangan begitu, dong!” Gerutu Aqilla. Dia menepuk punggung Kemal dan menyuruhnya untuk melepas pelukan.

Kemal tertawa. Dia melepaskan pelukannya dan malah beralih mencubit kedua pipi Aqilla. Perempuan itu mengerjap, berusaha melepaskan diri dari Kemal. Dia melotot kearah lelaki itu.

Kemal langsung melepaskan cubitannya dan tertawa. “Aku kangen~.”

“Geli ah.” Gerutu Aqilla, dia menutup pintu kostannya dan saat berbalik

“Tumben ditutup... Biasanya dibiarin kebuka lebar...” Aqilla mengerjap mendapati Kemal yang sekarang menggerakan alisnya dengan menyebalkan. “Ah, kamu mau berduaan denganku yaa!”

Aqilla mengangkat tangannya, hendak memukul Kemal karena gemas dengan pikiran aneh pacarnya ini. “Di-Di luar mau hujan! Kamu mau nanti kena tampias air dari luar?! Aku baru beberes kostan ya!” Omel Aqilla.

Kemal tertawa dan dia langsung memeluk Aqilla lagi setelah meletakan makanannya di atas meja belajar. “Well gapapa sih...” Bisik Kemal yang mengundang pukulan di kepala lelaki itu.

“Berisik. Bawa makanan apa?” Aqilla langsung beralih kearah bungkusan di atas mejanya. “Nasi goreng doang sih....” Kemal mengusap lehernya.


Entah sudah berapa kali Kemal dan Aqilla menonton drama Korea yang diperankan Gong Yoo dan Kim Go Eun ini. Keduanya saat ini sedang bersandar dengan selimut yang menghangatkan keduanya dari udara dingin akibat hujan yang mengguyur.

“Nonton Train to Manggarai aja yuk.” Ajak Kemal. Dia sudah bersandar di pundak Aqilla. Perempuan itu mengerutkan kening, ditepuknya kepala Kemal. “Train to Busan!” Koreksi Aqilla. Kemal mengangguk-angguk.

“Btw, kenapa udah pulang? Bukannya kamu lagi liburan?” Tanya Aqilla. Kemal mengamit tangan Aqilla dan menggenggamnya. “Disana membosankan.” Balasnya.

Sebelum Aqilla sempat membalas lagi, dia terdiam. Keduanya bahkan menahan napas. Layar laptop Aqilla yang menayangkan Goblin sekarang sedang menampilkan scene dimana Kim Shin dan Eun-tak yang bercumbu.

Aqilla berdehem. Dia mengalihkan pandangan dari layar laptop, menatap langit-langit kostannya. Hujan di luar masih mengguyur dengan deras. Aqilla berjengit merasakan lehernya diciumi. Kepalanya menoleh kearah Kemal yang sekarang tersenyum manis. Lelaki itu kembali mendekatkan wajahnya ke leher Aqilla, menciuminya lembut. Aqilla merasa kulitnya meremang. Dia merinding dengan sensasi yang diakibatkan dari kecupan Kemal di lehernya.

“Ke-Kemal!”

“Hmm...?”

Aqilla mendorong Kemal dari lehernya. Kemal terkekeh, dia kembali memeluk Aqilla lebih erat dan tetap menenggelamkan wajahnya di leher kesayangannya ini. “Mal, astaga!” Aqilla berusaha mendorong Kemal tapi tenaganya terasa tidak ada sama sekali. Akhirnya dia mencoba membiarkan Kemal menciumi lehernya. Aqilla nyaris mengeluarkan suaranya saat Kemal menghisap lehernya kencang.

“Kemal! Jangan buat kissmark!” “Gak mau,” balas Kemal. “supaya kelihatan kamu udah ada yang punya.” Aqilla berdecak. Ini bukan pertama kalinya Kemal memberi kissmark. Terkadang lelaki bernama lengkap Kemal Mulyadi itu memberikan tanda dipergelangan tangannya saat sedang menciumi tangannya.

Aqilla menghembuskan napas. Dia kembali dikejutkan dengan tangan Kemal yang sekarang sedang menyusup ke dalam kaosnya. Kalau soal ini, pertama kalinya bagi Aqilla. Dia melotot kearah Kemal. “Mau ngapain?!”

Kemal mengangkat kepalanya dan menatap lurus kearah Aqilla. “Gak boleh?” Aqilla merotasi matanya. Dia enggan menjawab, wajahnya terasa panas dan dia tahu pasti rona wajahnya sudah berubah.

Hal selanjutnya yang kembali mengejutkan Aqilla adalah Kemal menariknya untuk duduk dipangkuan Kemal. Tangan lelaki itu memegang pinggangnya sedangkan tangan Aqilla bertumpu pada bahu Kemal.

“Kemal! Apa-apaan!?” Seru Aqilla. Gawat sekali dia dibuat jantungan oleh tingkahnya Kemal. “Gimana kalo—”

Kemal langsung mencium bibir Aqilla, menghentikan ucapannya. Ciuman itu lembut dan tidak menuntut, malah membuat Aqilla seperti meleleh. Sial...

Ciuman Kemal beralih dari kening, kedua matanya lalu ke hidungnya. Napas keduanya agak memburu dan Aqilla mencoba mengenyahkan pikiran anehnya. Dia menepuk pundak Kemal. “Kamu ... Ngapain sih!?” Gerutunya pelan.

“Cuddle?”

“Ini bukan cuddle namanya...”

“Terus, kamu maunya apa?”

Aqilla tidak menjawab, dia memilih untuk menyandarkan kepalanya di pundak Kemal sementara tangannya melingkar di sekitar leher Kemal. “Tidur.” Balasnya.

“Tidur yang lain?” Aqilla tertawa. Dia malah mendaratkan kecupan singkat di leher Kemal. “Terserah padamu.”

Kemal ikut tertawa dan dia merebahkan Aqilla keatas kasur. Diciuminya Aqilla sembari tangannya menyusup di balik kaos yang dikenakan Aqilla. Tangannya yang lain menarik ikatan rambut Aqilla, membuat rambutnya yang sudah mulai panjang itu tergerai.

“Nghh... Kemal...” Aqilla meremas pundak Kemal saat Kemal bermain-main dengan dadanya. Tangan Kemal mengusap pipi Aqilla lembut tanpa melepaskan ciumannya. Dia melepaskan tautan bibirnya pada Aqilla dan menyeringai. Aqilla merasa merinding saat melihatnya. “Apa?”

Kemal menaikan kaos yang Aqilla kenakan. Aqilla melotot sembari menahan tangan Kemal. “Mau ngapain?” Kemal menyingkirkan tangan Aqilla dan menaikkan kaos Aqilla, melepaskannya dari perempuan itu.

“Hari ini kamu gak pake bra ya...” Gumam Kemal. Tangannya menaikan tank top dengan busa di bagian dada itu. Aqilla mengerjap, wajahnya memanas. “I-Ini aku pake! Tapi, tank top 2 in 1...” Suara Aqilla memelan. Kemal tertawa mendengarnya. Dia memainkan puting Aqilla yang sudah mengeras. Aqilla menggigit bibirnya, mencegah suara – suara aneh keluar.

“Kamu sensitif banget ya disini.” Bisik Kemal, masih memainkan dada Aqilla. Tangannya perlahan turun ke bawah, menyelinap dibalik celana selutut yang dikenakan Aqilla, seringaiannya muncul begitu menyadari celana dalamnya sudah basah.

“Disini juga sensitif?” Aqilla berjengit. Dia menaikkan pinggangnya saat Kemal menyelipkan satu jarinya ke dalam kemaluan Aqilla. “Ke-Kemal... Rasanya aneh....” Gumam Aqilla dengan suara bergetar, dia mengangkat tubuhnya untuk menyembunyikan wajahnya dibalik leher Kemal.

Kemal tertawa. Kenapa Aqilla polos banget sih? “Ugh! Kemal!” Aqilla memukul pundak Kemal saat lelaki itu menambah jarinya dan mulai menggerakkan keluar masuk. Aqilla sampai harus menutup rapat-rapat mulutnya saat gerakan Kemal semakin cepat. Saat sesuatu yang menggelikan dari perutnya memaksa keluar, Kemal malah mengeluarkan jarinya membuat Aqilla melenguh. Merasa kehilangan dan gelisah.

Dia menarik kepalanya dari leher Kemal dan menemukannya sedang tersenyum lembut kearahnya. Kemal menarik turun celana pendek beserta dalaman yang Aqilla kenakan, hanya meninggalkan tanktop abu-abu milik Aqilla. Kemal bangkit sedikit dan melepas bawahannya. Aqilla sampai harus memalingkan wajahnya kearah lain saat matanya tak sengaja melihat milik Kemal.

Dia mengusap wajah Aqilla lembut. Sementara tangannya yang lain mencoba memposisikan dirinya di depan milik Aqilla. Kesayangannya itu masih memalingkan wajahnya membuat Kemal mau tak mau mengarahkan pandangan Aqilla untuk hanya melihatnya. “Lihat aku,” Tapi, Aqilla malah memejamkan matanya erat-erat. Dia bahkan kemnali mengatupkan bibirnya kuat-kuat saat Kemal mengusapkan miliknya dengan milik Aqilla. “Aqilla, lihat aku aja.” Lanjutnya, berbisik.

Kemal sampai harus mengecup pelan kedua kelopak mata Aqilla bergantian sampai perempuan itu bisa melihatnya lagi.

“Kenapa cuma bawahannya yang dilepas?” Tanya Aqilla bingung saat menyadari Kemal masih mengenakan atasannya. Kemal menyunggingkan senyum simpul yang lembut. Sembari mengusap kening Aqilla dia menjawab, “Kamu mau kita naked?” Aqilla menggeleng cepat. Dia masih malu.

Kemal tertawa. Didorongnya masuk perlahan miliknya ke dalam milik Aqilla, hingga membuat Aqilla tersentak sampai menarik napas dan menahannya. Namun, baru setengah jalan, pintu kostan Aqilla diketuk cepat disertai suara yang sangat mereka kenal.

“AQILLAA!!!”

Kemal berdecak. “Luna sialan...” Aqilla yang tadinya sudah meneteskan air mata jadi tertawa. Dia menepuk pundak Kemal. “Yang sabar ya.”

“QILLL!!! AYANG LO DATENG NIHH! BUKAIN PINTU DONG! GUE KEUJANAN!!”

Kemal menatap Aqilla yang ada di bawahnya. Matanya memelas, seakan-akan meminta Aqilla mengabaikan Luna yang ada di luar. Aqilla tersenyum. Dia mendorong Kemal, bersamaan dengan keluarnya milik Kemal dari dalam Aqilla. Perempuan itu sempat melenguh membuat Kemal ingin memaksa Aqilla untuk tidak mengurus orang di balik pintu yang berani-beraninya mengganggu sesi 'cuddle' nya.

Aqilla bangkit dengan susah payah. Dia mengambil celana dalamnya yang baru dari dalam lemari dan mengenakan lagi celana pendek beserta kaosnya. Astaga... Aqilla masih berusaha memproses apa yang akan terjadi padanya dengan Kemal. Dia memungut celana Kemal dan melemparkannya kepada sang empu. “Itu kamu masih tegang, kan? Sana urus dulu di kamar mandi.” Aqilla sudah hendak membuka pintu. Tapi, Kemal masih enggan beranjak dengan wajah merengut.

Aqilla menghembuskan napas, dia menghampiri Kemal lagi dan mencium pipinya lalu mencuri satu kecupan singkat di bibir Kemal. “Kapan-kapan bisa dilanjut kan?”

“Kapannya tuh kapan?” Gerutu Kemal. Dia menahan Aqilla dengan memegang pinggang kesayangannya itu. Aqilla mengedikkan bahu. “Mungkin tunggu Luna jadian sama Aryo?”

“Lama dong!”

“Makanya bantu comblangin sana.”

Kemal merengut. Dia menarik Aqilla ke dalam dekapannya, menenggelamkan wajahnya di perut perempuan itu. Aqilla mengusap kepala Kemal dan menepuknya pelan. “Gih sana. Aku bukain pintu buat Luna dulu.”

Kemal akhirnya beranjak. Dia masuk ke kamar mandi, meninggalkan Aqilla yang sekarang berjalan kearah pintunya. Dia sempat terdiam selama beberapa saat di depan pintu sambil mencengkram gagang pintu itu. Kakinya masih terasa lemas sisa dari kegiatan mereka yang terintrupsi. Aqilla ingin merosot jatuh saat itu juga, tapi teriakan Luna mengagetkannya.

“Tumben lama, qil.” Kata Luna langsung menerobos masuk ke dalam kostannya. Agaknya sedikit membuat punggung Aqilla menabrak dinding dan membuatnya langsung merosot jatuh. Luna terkejut melihatnya. Dia buru-buru menghampiri Aqilla yang sekarang menunduk. “Lo kenapa? Gue dorongnya kekencengan?” Tanya Luna cemas. Padahal seingatnya dia hanya mendorong sedikit Aqilla supaya bisa masuk karena hujan dengan udara dingin semakin menusuknya.

Aqilla mengatur napasnya dan menggeleng. Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum. Senyum yang terlihat lemas. “Enggak, kok. Gue yang lagi agak lemes aja.”

Bersamaan dengan itu, Kemal keluar dari kamar mandi. Luna melihat kearah dua orang sohibnya ini, lalu melihat sekitar, laptop yang masih menayangkan drakor dan kasur yang terlihat agak berantakan.

Selanjutnya adalah Kemal dan Aqilla yang mendapatkan tatapan mata menyipit dari Luna selama lima menit sebelum akhirnya dia bercerita tentang apa yang dialaminya sebelum datang kemari.


Sepulang mereka dari acara launching untuk brand pakaian terkenal yang menunjuk Abe dan Tsuki menjadi BAnya, tidak ada suara satupun diantara keduanya. Namun, Abe seperti enggan melepaskan genggaman tangannya pada Tsuki.

“Kita tidak sedang menyebrang, Ryohei-kun.” Ujar Tsuki. Dia masih mencoba melepaskan tangannya yang digenggam pria yang merupakan kekasihnya ini. Tapi yang didapatinya hanya Abe yang bergeming. Memilih fokus dengan jalanan di hadapannya.

Sesampainya di gedung apartemen Tsuki pun, Abe enggan melepaskan tangannya dari Tsuki. Perempuan itu agaknya merasa aneh dengan tingkah Abe yang terlihat lebih clingy padanya.

Keduanya masuk ke dalam unit apartemen mewah itu. Selepas Tsuki menyimpan heelsnya ke dalam lemari sepatu, dia merasakan dorongan pelan di pundaknya. Abe mendorong kekasihnya itu ke dinding lorong apartemen Tsuki.

Tsuki mengerjap. Dia mendongak untuk melihat kearah Abe yang sekarang sedang mengusap lembut wajahnya. Bahkan Tsuki belum sempat bersuara, bibirnya sudah dibungkam Abe dengan lembut.

Matanya mengerjap karena berusaha memproses apa yang sedang terjadi diantara mereka. Tsuki hendak memberontak namun luluh dengan ciuman Abe yang lembut dan tidak menuntut. Tangannya yang bebas pun mengusap wajah Tsuki. Ciuman itu berhenti saat Tsuki meremas pinggang Abe, merasakan napasnya hilang.

Ternyata pria bernama kecil Ryohei itu tidak berhenti di sana. Abe mencium lembut telinga Tsuki. Ciumannya semakin turun hingga ke tengkuknya. Tsuki mengulum bibirnya sembari meremas pundak Abe.

“Ryohei...”

“Hmmm...”

Astaga...

Tsuki sampai kehilangan kata-kata saat merasakan sentuhan demi sentuhan yang diberikan Abe begitu lembut dan tidak memaksa. Memabukkan. Bahkan hisapan bibir pria itu di tengkuknya begitu lembut namun cukup memberikan—yang Tsuki tahu akan menimbulkan tanda kemerahan.

Abe mengusap rambutnya, menyelipkan helaian rambut Tsuki dibalik telinganya. Memberikan kecupan-kecupan kecil yang begitu cepat di wajahnya. Dari kening, kedua matanya, ke hidung, pipinya yang sudah meranum merah dan berakhir di bibirnya. Abe melumat sedikit bibir Tsuki sebelum akhirnya kembali ke tengkuk Tsuki.

Tsuki nyaris mengeluarkan suara saat tangan Abe menyentuh dadanya. Meremasnya sedikit. “Ry-Ryohei-kun...”

Abe menghentikan ciumannya pada tengkuknya, menangkup wajah wanitanya. Kedua mata mereka saling memandang. Tsuki bisa melihat percikan nafsu di sana, Abe pun melihat hal yang sama pada sepasang mata perempuan bermarga Matsumoto ini.

“Ryohei...”

“Boleh aku menjadikanmu milikku malam ini?”


Seperti biasanya, Ren-kun selalu memintaku membuatkan obento. Kamu bilang obentoku terbaik nomer dua di Jepang. Aku menggerutu kenapa harus nomer dua dan Ren-kun bilang karena nomer satu tetap masakan ibunya. Kita tertawa dengan riang bersama hari itu. Tidak ada yang kita lewatkan bersama dengan pertengkaran dan itulah yang membuatku nyaman dengan hubungan ini. Ren-kun selalu berusaha untuk membuat akhir hari yang menyenangkan. Tapi hari itu aku menyadari sesuatu ada yang aneh dengannya. Ren-kun tidak biasanya mudah lelah setiap selesai latihan. Ren-kun tidak biasanya izin berhari-hari dan tidak memberi kabar. Ada apa?


Haruna memperhatikan seseorang dari balik dinding menuju lapangan basket. Tersenyum saat menemukan Ren yang tengah mendribble bola dan mengarahkannya kearah ring. Dengan pelan, Haruna berjalan mendekati lapangan dan duduk di kursi panjang berwarna biru yang ada di sepanjang lapangan itu. Meletakan bentonya di sampingnya dan memperhatikan Ren yang masih asyik dengan permainannya.

Setelah beberapa lama bermain, cowok itu nampak membungkuk sembari memegangi dadanya dan napasnya tersengal. Haruna mengernyit melihatnya. Ada apa dengan Ren? Yang Haruna kagetkan adalah cowok itu jatuh terduduk dengan keadaan yang sama. Karena panik, Haruna segera menghampiri cowok itu.

“Ren!”

Ren terkejut mendengar suara yang sangat di kenalnya berseru dengan cemas kearahnya. Kepalanya menoleh dan melihat Haruna yang bersimpuh di dekatnya sembari merangkulnya dan sebelah tangannya mengusap punggung Ren. Cowok itu mengalihkam pandangannya dan menarik napas panjang. “Kamu baik-baik saja?“tanya Haruna cemas. Napas Ren kembali normal dan dia tersenyum samar kearah gadis itu. “Hm. Aku cuma kecapekan.“katanya.

Haruna membantu Ren untuk berdiri dan berjalan kearah bangku dimana Haruna meninggalkan bentonya. “Kalau kecapekan jangan maksain buat main basket dong! Gimana kalau tadi kamu pingsan?“gerutu Haruna khawatir. Ren tertawa. Dia acak-acaknya rambut gadis di depannya ini dengan gemas. “Jangan khawatir. Aku lebih kuat darimu.“katanya. Haruna mendengkus. Dia menyodorkan tas berisi kotak bento dan air minum kearah Ren. Cowok itu menerimanya dengan wajah berseri.

“Wah, kamu lagi coba masak masakan Korea ya?“ujar Ren antusias. Dia menemukan beberapa kimbab, kimchi, dan gyoza . Haruna mengerucutkan bibirnya sembari membuka tutup bentonya. “Hari ini kebetulan mama baru beli bahan bahan segar. Jadinya aku bisa menjadikanmu bahan eksperimenku.”

Ren mengerucutkan bibirnya dan mengambil sumpit dari tempatnya, mengatupkannya di depan dada. “Itadakimasu~” Di sumpitnya potongan kimbab itu dan merasakan rasanya memenuhi mulut cowok itu. “Uhmm! Umai!” Haruna tersenyum melihatnya. Dia ikut menyantap bentonya. Sesekali mereka tertawa bersama dan membicarakan banyak hal.

Diam-diam Haruna mengurangi frekuensi bicaranya dan memperhatikan Ren lebih saksama. Wajah cowok itu lebih pucat dan lesu, hanya saja tawa dan senyumanya tidak pernah lepas dari wajahnya. Mungkin orang yang hanya sekilas mengenal Ren tidak begitu memperhatikannya. Ada apa?


Dua minggu berlalu dan hari itu Haruna berniat mengajak Ren makan siang seperti biasanya. Baru saja Haruna hendak beranjak dari kursinya saat tiba-tiba suara dari belakangnya mengejutkannya secara spontan. Haruna menoleh ke belakang dan menemukan siswa yang Haruna kenal adalah teman akrabnya Ren.

“Mukai-kun? Ada apa?”

“Meme hari ini gak masuk. Dia ada acara keluarga.“katanya. Haruna mengernyit. Kenapa Ren tidak mengabarinya? “Besok juga?“tanya Haruna. Koji mengangguk. Haruna menghembuskan napasnya pelan dan kembali duduk di kursinya. Koji tidak mungkin berbohong. Cowok itu adalah sahabat baik Ren sejak SMP. Meskipun umur mereka berbeda satu tahun. Haruna tidak heran kalo Ren pergi ke Chiba, rumah neneknya, tapi kenapa tidak mengabarinya? Dia kan jadi tidak perlu membawakan bento. Haruna menoleh lagi merasakan pundaknya di tepuk.

Di lihatnya Koji yang sedang mengulurkan tangan kearahnya sembari tersenyum lebar. “Apa?“tanya Haruna bingung. “Aku saja yang makan bentonya. Sayang kan kalau di buang?“ujar Koji.

Haruna menoleh kearah bentonya. Kalo di pikir-pikir benar juga. Dia tidak mungkin menghabiskan dua porsi bento dalam sekali makan. “Tidak mau? Ya sudah.“Koji hendak beranjak namun, Haruna segera memutar tubuhnya ke belakang dan menyodorkan kotak bento berwarna hitam putih itu kearah Koji. “Kalau rasanya gak sesuai, maaf.“kata Haruna kembali membalikan tubuhnya ke depan.

Koji tersenyum. “Hehehe. Itadakimasu.” Cowok itu mulai menyantap makan siang gratisnya.


Haruna menggerutu. Dia menekan tombol yang sama dan mendekatkan ponselnya ke telinganya. Menunggu nada sambung itu berubah menjadi suara seseorang yang sangat ingin di dengarnya.

“Halo...” Haruna menghentikan gerakan menulis di atas bukunya. Seulas senyum lebar menghiasi wajahnya yang manis.

“Akhirnya... Ren-kun! Ren-kun kemana aja sih? Sudah dua minggu Ren-kun gak masuk sekolah. Ada sesuatu yang terjadi? Bagaimana kabar keluarga Ren-kun? Mou... Ren-kun selalu saja membuat orang lain khawatir!” Haruna langsung menuduhkan serentetan pertanyaan kearah Ren yang membuat cowok itu malah tertawa kecil.

Hati Haruna berdesir mendengar tawa yang di rindukannya itu. Kemudian, dia mendengar suara Ren dari seberang sana. *“Maaf ya. Aku tidak kasih kabar beberapa hari ini. Lusa aku sudah pulang ke Tokyo kok.” *katanya. Haruna terdiam selama beberapa saat menyadari suara Ren yang terdengar lemah itu. Dia berusah mengenyahkan pikiran negatifnya saat mendengarnya.

“Haruna?” suara Ren terdengar lagi, kali ini Haruna bangun dari lamunanya. “Ah, maaf, aku barusan sedang membaca satu paragraf pelajaran Biologi. Gomen.” Haruna berucap, tentu saja bohong. Ren berdecak. “Berhenti memaksakan dirimu! Aku tahu kau ini ingin jadi dokter forensik, tapi seorang perawat tidak akan meninggalkan tidurnya.” Haruna tertawa renyah. “Ren-kun juga. Sebentar lagi pertandingan final kalian jangan sampai saat sampai di Tokyo lagi, Ren-kun malah sakit.“katanya.

Hening. Ren terdengar terdiam di seberang sambungan. Haruna mengerjapkan matanya. “Ren-kun? Sudah tidur ya?“tanya Haruna pelan.

“Haruna...”

“Ya?“sahut Haruna terkejut. Dia kaget ketika Ren memanggilnya nama kecilnya, tanpa embel-embel suffix dibelakangnya. Sudah pasti apa yang akan di katakan Ren sangat penting.

“Ren?“Haruna memanggil lagi dengan pelan. Memastikan kalau Ren masih ada di seberang sambungan. “Aku akan keluar dari tim basket.” Ini pertama kalinya Haruna mendengar keputusan yang sangat serius dari Meguro Ren. Tidak biasanya cowok itu melepas apa yang di senanginya selama ini. Pasti memang ada yang aneh. Yang tidak beres.

“Ren...”

“Keputusanku sudah bulat. Ini demi kebaikanku.”

Kebaikan apa? Apa yang kau maksud, Ren-kun?


Haruna memangku dagunya di pembatas atap sekolah itu. Menunggu kedatangan seseorang yang hendak membicarakan sesuatu dengannya. Ren masih di Chiba dan sore ini cowok itu akan pulang ke Tokyo dan Haruna akan bisa bertemu dengannya lagi ketika cowok itu sudah masuk sekolah.

“Shirokawa-kun.”

Haruna menoleh saat mendengar suara yang memanggil namanya. Terdengar tenang dan kalem. Membuat Haruna ikut merasa dirinya tenang. Sosok berkacamata dengan rambut hitam kecoklatan itu berjalan menghampirinya. Haruna mengenalinya sebagai siswa tahun terakhir yang jago monomane.

“Fukazawa-kun? Bukankah Masakado-kun yang mau bicara denganku?“tanya Haruna heran. Karena tadi dia bertemu dengan Masakado dan Masakado bilang untuk menemuinya di atap sepulang sekolah. Fukazawa Tatsuya tersenyum. “Iya. Tadi, Masakado mendadak ada rapat OSIS. Dia harus hadir disana, jadinya aku yang menggantikan Masakado untuk bicara denganmu.”

Haruna tertawa. “Wah, apakah yang ingin kalian bicarakan ini sama?” Wajah Fukazawa berubah sangat serius dan itu membuat Haruna sedikit terdiam. Ada yang aneh. “Fukazawa-kun...“lirih Haruna pelan. “Haruna tahu, kan, alasan Meme pulang ke Chiba selama dua minggu?“tanya Fukazawa. Haruna memutar bola matanya ke kanan-kiri berusaha mengingat alasan Ren pergi ke Chiba selama itu. “Urusan keluarga kan?“jawab Haruna agak ragu. Fukazawa menghembuskan napasnya. Kepalanya menunduk memalingkan pandangan dari gadis di depannya. Haruna memiringkan kepalanya bingung.

“Fukazawa-kun?“panggil Haruna lagi. Kali ini menyentuh bahu kakak kelas di depannya ini. Yang Haruna semakin bingung adalah ekspresi Fukazawa yang terlihat sangat sedih. Haruna membetulkan letak kacamatanya. Mengerjap beberapa saat. “Ternyata benar... Meme belum cerita padamu ya.“gumam Fukazawa yang dapat di dengar oleh Haruna.

Mendadak perasaannya sesak dan tidak enak. Dia menatap penuh penasaran pada cowok di depannya ini. “Cerita apa? Maksudnya?”

Perlahan Fukazawa menceritakan semuanya. Semua yang memperjelas keanehan yang di dapati oleh Haruna selama sebulan lebih terakhir ini. Keanehan yang berubah menjadi mimpi buruk baginya. Sesuatu yang paling tidak ingin dia dengar dan berharap kenyataannya tidak seperti itu.


Itulah mengapa aku tidak pernah menanyakan keanehan itu pada siapapun karena aku tidak ingin menerima kenyataannya.


Maafkeun segala typo dan kecirengan

Hari itu Ren-kun berhasil mengalahkan mereka. Pertandingan yang menegangkan dan aku menikmati saat Ren-kun berhasil mencetak goal untuk sekolah kita. Setelah selesai dengan tugas Ren-kun, kita makan malam bersama di kedai ramen biasanya. Ren-kun terlihat puas dengan hasil hari itu. Senyum lebar dan tawa tidak pernah lepas dari wajah Ren-kun. Dan aku merindukannya...


“Meme! Lempar sekarang!” Suara teriakan itu terdengar nyaring bersamaan dengan suara pluit yang di bunyikan oleh wasit. Tanda pertandingan selesai. Seluruh penonton yang berada di trimbun berharap-harap cemas saat tembakan yang di lancarkan Meguro Ren ke arah ring basket berputar-putar di sekitar lingkaran ring. “GOAL!” “YATTA!”

Sorak sorai penonton dan para pemain dari SMA Hanamigawa terdengar heboh. Ren memeluk teman-teman satu timnya. Mereka bersalaman seperti biasanya untuk selebrasi. Kemudian kepala cowok itu berputar kearah trimbun dimana teman-teman sekolahnya menyorakan soraian kemenangan kearah mereka. Ada salah seorang siswi yang hanya tersenyum kearahnya. Gadis itu melambaikan tangannya pelan yang di balas oleh Ren dengan lambaian penuh semangatnya.

“Tunggu aku ya di luar...“Ren berujar dalam kebisuan. Gadis itu mengangguk dan berjalan meninggalkan trimbun dimana pertandingan itu berlangsung.


Ren berlari keluar dari lapangan indoor SMA Hanamigawa itu sembari menyampirkan tas olahraganya di bahu kanannya. Dia melambaikan tangannya kearah gadis yang sedang duduk di kursi di bawah pohon mapple.

“Oi, Ren-kun!“Suara bariton menghentikan langkahnya sejenak. Cowok itu menoleh kearah sumber yang memanggilnya. “Oh! Masakado, Hikaru-kun, Abe, Fukazawa-san!“sahut Ren. Menghampiri keempatnya.

“Omedetou! Permainan kalian bagus sekali hari ini.“ujar Masakado Yoshinori, menyunggingkan seulas senyum dan menyodorkan sekaleng ginger ale kearahnya. Ren menerimanya dan mengucapkan terima kasih.

Tepukan bersahabat di punggungnya membuat cowok itu menoleh dan melihat Iwamoto Hikaru tersenyum lebar kearahnya. “Akhirnya kalian sampai ke final. Omedetou!”

“Lawan berikutnya lebih sulit. Kuharap kalian berlatih lebih keras lagi.“kata Fukazawa Tatsuya sembari membetulkan letak kacamatanya.

“Ah, SMA Minamizawa ya.” Ren seakan teringat sesuatu dan membuat air mukanya berubah seketika. Namun, ekspresinya berubah kembali saat merasakan sebuah benda melayang kearahnya. Sekaleng black coffe. “Jangan hilang fokusmu, Meguro-kun! Haruna udah nungguin tuh!“Perkataan Abe Ryohei, sahabatnya barusan membuat Ren kembali teringat dengan gadis yang selalu menemaninya itu.

Dia menoleh kearah tempat dimana tadi Ren melihat gadis itu duduk. Sekarang sosoknya terlihat berdiri sembari memeluk beberapa buku tebal. Seulas senyum lembut terukir di wajahnya. Ren membalas senyumnya. Dia merasakan rangkulan di bahu Harunan dan di kirinya. Abe dan Hikaru bergelayut di kedua bahunya sembari menyeringai.

“Rupanya kencan setelah pertandingan ya.“ujar Masakado jahil. “Aku penasaran apakah pelatih sudah tahu kalau salah satu muridnya bolos latihan karena sebuah kencan.” Tambah Hikaru.

Ren berdecak dan menyingkirkan rangkulan keduanya. “Hari ini kami diberi libur sampai minggu depan! Jadi aku gak bolos!”

“Sudahlah, Hiikun. Biarkan saja Ren-kun berkencan untuk hari ini.“kata Fukazawa.

“Atau jangan-jangan kalian berdua iri pada Meme karena berhasil dapat pacar ya?“goda Masakado. Hikaru dan Abe mendelik kearah cowok bernama kecil Yoshinori itu. “Buat apa iri sama si jamet ini?! Buang waktu saja!“gerutu Abe.

“Lagipula Haruna kalah cantik dengan Tsuki!“kata Hikaru. Fukazawa mengernyit. “Tsuki? Matsumoto Tsuki? Kalian saja tidak pacaran. Kau mau membandingkan Shirokawa-kun dengan Mao?”

“Hei!” Ren tertawa melihat tingkah ke empatnya. “Makasih ya. Aku duluan. Bye!” “Bye, Meme!”

Cowok itu berlari menghampiri gadis bernama Shirokawa Haruna. “Maaf. Sudah menunggu lama?” Haruna tersenyum dan mengangguk. “Daijobou.“sahutnya. “Otsukaresama deshita. Selamat ya buat kerja keras kalian sampai bisa masuk final.“kata Haruna. Ren tertawa kecil. “Itu belum seberapa. Kami masih harus terus berjuang.“katanya. Haruna mendengus. “Aku gak nyuruh Ren-kun berhenti berjuang kok.“katanya.

“Hah?“Ren menatap kearah gadis itu heran. Haruna terkekeh. Tahu kalau cowok ini tidak mengerti maksud ucapannya. Dia menggeleng. “Bukan apa-apa.”

“Haruna laper gak?” Mereka berjalan meninggalkan kawasan SMA Hanamigawa itu. Haruna mengangguk cepat. “Iya! Tapi aku lagi pengen shio ramen.“gumamnya.

Ren tertawa. Di acak-acaknya rambut gadis itu, membuat Haruna mendelik kearahnya. Ren gemas sekali melihat Haruna yang setiap kali suaranya memelan kalau ingin makan sesuatu. “Kebetulan sekali, aku lagi pengen makan ramen.“katanya. Ren melirik kearah sebelah tangan Haruna yang bebas. Dengan ragu, dia berusaha memantapkan hati dan meraih tangan gadis itu.

“Ne, Ren-kun,” “Iya?” Gerakan Ren langsung terhenti dan dia menarik kembali tangannya. Haruna menatap kearahnya. “Kalau Ren-kun punya masalah, ceritalah padaku.“kata Haruna.

Ren menaikan sebelah alisnya. Mengernyit. Kemudian tersenyum lembut saat mengingat kenapa gadis ini berucap seperti itu. Di usapnya kepala kekasihnya itu lembut. “Bukan apa-apa. Masalahku tidak begitu rumit. Haruna gak perlu ikut terlibat.”

Haruna sedikit terkesiap mendengarnya. Dia menundukan pandangannya dari Ren. “Ah, gak perlu ya?“gumamnya pelan. Sedikit merasa sedih dengan ucapan Ren barusan. Cowok itu yang mendengarnya langsung merasa bersalah. “Uhmm... Aku.. Bukan begitu maksudku, Haruna...”

Tiba-tiba Ren merasakan kehangatan menjalari tangannya di tengah angin musim panas yang sesekali berhembus pelan. “Aku mengerti. Daijobou.” Di lihatnya Haruna yang mengulurkan tangannya dan menggenggamnya erat. Ren terdiam beberapa saat namun kemudian balas menggenggamnya tangannya.

Ren merasa dirinya tenang saat berhasil melakukan yang selama ini ingin di lakukannya. Meskipun simple, tapi karena Ren orang yang malu meskipun kadang malu-maluin, makanya sampai saat ini cowok itu masih ragu untuk menggandeng tangan Haruna. Bahkan kadang-kadang Haruna yang memulai duluan untuk menggandeng tangannya. Meskipun kadang cewek itu juga ikut merasa malu setelah melakukannya.

“Hei, jangan diam saja! Aku malu sekali harus menggandeng tanganmu seperti ini.“gerutu Haruna, mengalihkan pandangannya kearah lain. Ren tertawa mendengar ucapan gadis itu. Di acak-acaknya rambut Haruna membuatnya semakin mengembungkan pipinya.

“Ren, berhenti!” Ren mengencangkan tawanya. “Aku suka saat Haruna memanggilku ‘Ren’.” Haah... Betapa bahagianya aku...


“Ren-kun, beneran gak mau mampir dulu?” Haruna menoleh lagi dan bertanya kearah Ren saat dia sudah setengah membuka pagarnya. Waktu menujukan pukul setengah sembilan malam dan mereka baru saja pulang dari makan malam di kedai langganan mereka. Cowok itu menggeleng dan tersenyum. “Hari ini sibuk sekali tapi menyenangkan. Sebaiknya aku langsung pulang. Besok pagi kan kita bisa bertemu lagi di sekolah.“katanya.

Wajah Haruna sedikit memanas. Dia membalas senyuman Ren. “Hm. Kau benar. Ya sudah. Hati-hati ya, Re-Ren.“Haruna langsung masuk ke dalam rumahnya setelah memanggil Ren dengan nama kecilnya, membuat Ren terkekeh pelan. Ren masih menunggui gadis itu hingga benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Namun langkah gadis itu terhenti, tangannya yang sudah hendak menutup pagar itu dari dalam pun ikut terhenti. Kepalanya mendongak kearah Ren yang mengernyitkan dahinya bingung.

“Ada apa?“tanya Ren. “Aku lupa sesuatu.” Balas Haruna.

Haruna mendorong pagarnya lagi hingga terbuka dan berlari kearah Ren, mencium pipinya sekilas sembari berbisik, “Oyasumi.”

Kemudian, gadis itu berlari secepat kilat masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar lagi. Ren masih mematung di tempatnya. Tangannya terangkat menyentuh pipinya yang di cium Haruna barusan. Matanya mengerjap beberapa saat. Kemudian wajahnya memanas. Ren berseru dalam bisu. Tersenyum lebar dan segera beranjak dari sana dengan langkah riang.

Haruna yang melihat itu dari jendela kamarnya di lantai atas tertawa pelan, melihat tingkah Ren yang lucu itu.

Haruna tidak mengerti kenapa dia bisa menyukai cowok itu. Yang pasti dia merasa sangat nyaman di dekatnya.


To: Ren-Ren From: Haruna Ren-kun, dimana?

Haruna berjalan menyusuri koridor kelas dua IPS itu. Dia beberapa kali di sapa oleh kakak kelas yang mengenalnya. Haruna membungkuk sopan sebagai balasan. Gadis itu sampai di kelas Ren. Matanya menelusuri setiap sudut kelas itu untuk mencari sosok cowok yang di carinya. Tapi, netranya tetap nihil mencarinya. Padahal mereka janjian makan siang bersama, sekarang sudah masuk jam istirahat, cowok itu malah tidak terlihat di kelasnya.

Saat Haruna hendak mengirimkan pesan lagi ke Ren sembari beranjak dari sana suara kakak kelas yang di kenalinya memanggilnya. Haruna menoleh dan melihat Masakado Yoshinori, siswa berambut agak berantakan dengan seragam rapi itu menghampirinya dari uHikarug koridor. Haruna membungkukan badan kearah cowok itu. “Konnichiwa, Masakado-kun.“sapa Haruna ramah sembari mengulas senyum simpul. Dia memanggil dengan suffix ”-kun” karena orang itu sendiri yang tidak suka dipanggil senpai. Anehnya hanya kepadanya Masakado meminta seperti itu.

Masakado tersenyum. Senyumnya semakin lebar saat melihat dua bento yang di bawa oleh Haruna. “Wah, makan siang bersama Meme ya? Aku jadi iri.“goda Masakado. Wajah Haruna merona dan gadis itu mengangguk pelan dengan malu. “Tadi aku melihatnya di lapangan indoor. Kamu bisa kesana.” Kenapa Haruna gak ingat? “Ah! Arigatou, Masakado-kun!”

Masakado mengangguk dan melambaikan tangannya kearah Haruna. Kemudian ekspresi wajahnya berubah sedih. “Meme itu... bodoh banget, ya...”


Maapkeun atas typo

Sudah terhitung 3 jam Ueda menonton televisi dan Picha yang masih asyik sibuk berselancar di internet, lebih tepatnya di website Johnnys shop, melihat-lihat rilisan baru shoppic King & Prince yang baru merilis double single baru mereka. Tidak jarang Ueda mendengar pekikan gemas dari Picha saat menemukan foto yang menggemaskan, menurutnya. Ueda menyandarkan dengan malas kepalanya ke sandaran sofa, mematikan televisi di depannya. Matanya melirik kearah Picha yang tidak sekalipun menaruh perhatian lebih padanya. Padahal dia sengaja meminta Picha ke apartemennya untuk home date tapi begitu Picha sampai di apartemennya, perempuan itu langsung mengangkat tangan dan tersenyum lebar. “Home datenya nanti saja. Aku mau berburu shoppic Hirano!”

Hirano Sho adalah juniornya di Johnnys. Anggota King & Prince. Well, Hirano memang cukup atraktif. Tidak heran kalau dia jadi member yang paling disukai fans, termasuk Picha juga. Jengah karena tidak diperhatikan Picha, Ueda bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Picha. Pria itu melingkarkan tangannya disekitar bahu dan leher perempuan itu, membuat Picha terkejut. Ueda menopangkan dagunya disebelah wajah Picha. Picha sampai menghentikan kegiatannya dan menegakkan tubuhnya karena terkejut, dia bahkan menahan napas. “Sampai kapan kau menelusuri foto-foto Hirano, cha?”

“Sa-Sampai aku dapat yang paling ganteng.” Sahut Picha agak terbata. Dia berdecak kala merasakan wajahnya memanas karena Ueda sangat dekat dengannya saat ini. “Katamu, semuanya ganteng.” Balas Ueda. Dia mengeratkan pelukannya pada Picha. Aduh, jantung gue... gumam Picha dalam hati. “Kalau begitu, bantu aku pilihkan yang mana!” Ueda terdiam. Tidak membalas ucapan Picha barusan. Ueda mengedikkan bahunya. Dia beranjak, melepaskan dekapannya pada Picha. “Tidak mau.” Katanya, merajuk pelan, meninggalkan Picha yang melongo disana. Dihadapkan oleh Ueda Tatsuya yang sedang ngambek padanya.

PREMAN BISA NGAMBEK YA?


Picha bersandar di dinding gedung Johnnys & Associate itu. Ueda tiba-tiba mengiriminya pesan untuk sepulang kerja, mampir sebentar ke jimusho, ada yang mau dia berikan. Picha jadi terpaksa naik kereta dengan line berlawanan dengan arah dimana apartemennya berada karena Ueda memaksanya atau dia akan minta manajernya untuk menjemput yang tentu saja Picha tidak mau. Gedung belakang jimusho ini memang jadi tempat dia dan Ueda bertemu kalau mereka sedang sama-sama sibuk, well, lebih kepada Ueda yang sibuk sampai mereka tidak bisa bertemu di tempat lain.

Picha sedang mengusap-usap jam tangannya saat sebuah tas kertas nyaris mengenai wajahnya. Dia sudah hendak mengomel kearah orang yang nyaris melemparnya dengan tas kertas itu, kalau saja tidak menyadari orang itu adalah Ueda, pacarnya. Picha berdecak, dia memukul pundak kekasihnya itu. Ueda meringis sembari mengusap-usap pundaknya yang kena hantam Picha. “Kau ini love languagenya kekerasan ya!” gerutu Ueda. Picha menjulurkan lidahnya sembari menerima sodoran tas kertas oleh Ueda. “Cocok lah sama kamu yang yakuza!” ujar Picha. Hening. Kedua sempat terdiam selama beberapa saat. Picha melihat kearah Ueda yang sekarang berdehem dengan kedua telinga yang meranum. Dia menyikut pacarnya itu. “Kau bisa malu ternyata.” Godanya. “Picha berisik banget. Udah itu buruan dibuka dulu!” Ueda mencoba mengelak.

Picha tertawa. Dia merogoh tas kertas itu dan menemukan ‘kotak tahu’ dengan merk Johnnys shop yang khas. “Shoppic? Shoppicnya Hirano?!” Picha memekik tertahan. Ueda tidak membalas. Perempuan itu mengecek isinya namun keningnya mengernyit. Foto Hirano hanya ada seperempatnya dan sisanya foto Ueda semua dan foto bergrup.

“Apa maksud?” Picha menyipitkan matanya kearah Ueda, meminta penjelasan. “Ya... Biar kamu mandanginnya aku aja...” katanya dengan suara yang pelan. Picha menahan tawa, meski wajahnya memanas saat ini. Dia mendengkus. “Bisa-bisanya yakuza cemburu sama selembar foto.” Picha mencibir. Ueda melotot. “Mana ada selembar! Itu foto Hirano banyak banget ya!!” Serunya kesal sembari menunjuk-nunjuk kearah ‘kotak tahu’ di tangan Picha. Perempuan itu tertawa melihat reaksi pacarnya. Tidak bisa lagi menahan rasa gelinya.

“Dasar yakuza marsmallow.”


Fireworks

LDR memang bukan hubungan yang ingin Ueda Tatsuya jalani, Picha apalagi. Tapi, tuntutan pekerjaan kali ini membuat Picha harus dimutasi ke ujung Jepang, Hokkaido. Besok sudah tahun baru dan Picha lebih memilih menghabiskan waktu di dalam apartemen milik kantornya ini. Cuaca di luar sudah minus dan ditambah sejak turun salju.

Lagipula, Picha tidak punya banyak teman dekat yang bisa dia ajak untuk menikmati malam tahun baru bersama. “Ah, sial, dingin sekali.” Picha segera membawa mug berisi cokelat panasnya ke ruang televisi yang sedang menyala, menampilkan drama spesial menuju tahun baru. Dihelanya napas beberapa kali. Matanya sempat melirik kearah ponsel yang tergelatak diatas meja. Tidak ada tanda satupun pesan yang masuk. Ueda dan KAT-TUN pasti sedang sibuk dengan Johnnys Countdown, tapi Picha sedang tidak ingin menontonnya. Takut kalau dia semakin merindukan pacarnya itu.

Tanpa disadari waktu yang berjalan sangat cepat, diluar sudah terdengar suara kembang api yang meletus di langit, menandakan bahwa tahun sudah berganti. Keasyikan tenggelam dalam lamunannya, Picha sampai tidak sadar. Dia meletakan mugnya keatas meja dan beranjak menuju balkon. Begitu menggeser pintunya, angin malam yang sangat dingin menerpa wajahnya, sampai membuat Picha merinding dan bergidik. Sial. Dingin sekali

Di depannya, di kejauhan, terlihat cahaya kembang api yang meletus di langit. Meski jauh namun, Picha bisa merasakan keramaiannya dari sini. Ponselnya berdering nyaring. Picha terkejut dan dia buru-buru masuk ke dalam untuk mengambil ponselnya. Sebuah panggilan video dari Ueda. Tumben. Seharusnya mereka masih di acara countdown. “Lihatlah wajah kesepianmu itu.” Baru saja Picha menjawab panggilan itu, dia sudah mendapatkan cibiran dari Ueda.

“Kututup ya!” protes Picha.


“Jangan dong!” Ueda berseru untuk membuat suaranya terdengar jelas. Menelpon di tempat konser memang bukan pilihan yang tepat. “Kamu lagi apa?”

“Ngeliatin kembang api. Kenapa? Mau lihat?” Layar di depan Ueda sudah akan berubah menjadi kamera belakang. “Gak usah! Aku udah sering liat!” balasnya. “Hilih. Mentang-mentang idol janis.” Cibir Picha. Ueda tertawa mendengarnya. Layar di depannya kembali menampilkan wajah Picha yang sedang terselimuti selimut tebal. Pasti disana sangat dingin.

“Kamu masih di Tokyo dome?” Ueda mengangguk. “Sempet ya nelpon begini.” Kata Picha.

“Picha,” panggil Ueda, tanpa membalas ucapan Picha barusan. “kangen gak?” Picha diseberang sana terlihat terdiam dan kemudian menyunggingkan senyum. “Menurutmu?”

Aduh, dasar love languagenya sama-sama tsundere gini.


Aku bergidik. Aku merasakan angin malam berhembus, menembus jaket maupun scraf syal yang sudah kukenakan serapat mungkin dengan kulitku. Mataku melirik kearah Taiga yang berjalan disebelah, wajahnya tertutupi setengah dengan masker dan rambutnya yang berwarna hitam kecoklatan itu tertutupi topi. Aku menghembuskan napas dan berdecak. “Mau sampai kapan jalan tanpa arah gini, sih, Kyomo? Aku capek.” Kataku, menggerutu. Taiga terus berjalan di depannya, tidak membalas gerutuanku barusan.

Aku semakin malas mengikuti langkah pria di depanku ini. Selepas kumenemukan 7Eleven, aku memilih masuk ke dalam sana untuk membeli minuman atau makanan hangat, mengabaikan Taiga yang berjalan di depanku, biar saja Taiga jalan sendiri. Aku disambut oleh sapaan khas pegawai konbini, berjalan cepat kearah section minuma hangat dan menyeduh minuman dark chocolate. Saat hendak menyeduh cokelatku, aku terkejut akan suara bariton yang ku kenal, dari dekat. “Astaga naga...” Aku memekik sakit begitu merasakan tangannya terkena air panas. Sial. Aku memang ingin minuman yang menghangatkan tapi ini terlalu panas dan mengenai kulitku langsung.

“Maumu apa sih?!” Omelku tertahan. Dia menoleh kearah sumber suara, menatap tajam kearah Taiga Kyomoto. Tatapan pria dari member SixTones itu malah berfokus pada tanganku memerah. Aku mengibas-ngibaskan tanganku sembari meringis. Taiga menghela napas. Dia menarik tanganku yang terkena air panas itu kearahnya, meniup-niupnya perlahan dan aku terkejut. Merasakan bibir pria bernama kecil Taiga ini menciumi tanganku.

Sial. Wajahku panas. Gerutuku dalam hati. Jantungku rasanya berdebar kencang. Pipiky memanas dan mataku mengerjap kaget. Aku sampai harus melihat ke sekitar, takut jika ada orang lain di sekitar kami. “Sudah mendingan?” tanya Taiga. Aku berdecak dan langsung menarik tanganku. “Memangnya bibirmu itu obat, hah? Dasar bodoh.” Kataku sembari berlalu. Taiga menahanku lagi. “Kalau begitu, kamu mau dicium di bibir saja?”

“KAU!”


Don’t talk to me

“Jangan bicara denganku!” Gerutunya sembari berjalan cepat di depanku. Aku hanya bisa menatap punggungnya tanpa berniat membalas ucapannya. Pria berusia 27 tahun itu menghentakkan kaki beberapa kali dengan kesal. Dasar bocah. Aku jadi bertanya-tanya sebenarnya yang muda disini siapa?

Langkahnya semakin cepat disana dan aku tidak berniat menyusulnya sedikitpun. Lagipula, dia sedang marah begitu yang ada aku akan kena semprot. Kuhela napas sembari membetulkan ikatan scrunchies di rambutku. Nyeri di dengkulku semakin menjadi kala aku harus mengikutinya berjalan menuruni tangga di depanku. Kalau hanya tiga sampai lima anak tangga kurasa tidak masalah, namun, tangga di depanku ini punya anak tangga yang banyak karena jalannya yang cukup curam menurun. Baru setengah jalan, aku sudah tidak sanggup mengikuti atau menyeimbangi langkahnya.

“Taiga!” Aku mencoba memanggilnya namun dia tetap berjalan cepat di depanku. Semakin jauh. Aku berdecak. Memilih berhenti demi kebaikanku dan duduk sejenak di anak tangga ini, sembari memperhatikan punggung pria yang kupanggil Taiga itu semakin menjauh. Kuhela napas beberapa kali. Lelah. Kutepuk-tepuk dan memijit sedikit dengkulku yang masih nyeri dan ngilu.

Awalnya aku tidak menyangka kalau dia, Taiga Kyomoto, akan bereaksi seperti ini saat aku mengobrol begitu akrab dengan Sato Shori. Oh, ayolah. Shori itu tetanggaku. Wajar kami akrab satu sama lain. Shori sudah banyak membantuku, aku tidak bisa mengabaikannya hanya karena Taiga cemburu seperti itu.

Ku menunduk sembari memperhatikan ujung sepatu kets soft pink yang kukenakan. Kali ini, aku sedikit memberi tenaga pada ayunan tanganku yang memukul-mukul pelan dengkulku. Aku juga tidak mau bicara denganmu Kyomoto Taiga!

“Cepat naik.” Aku mendongak begitu mendengar suara yang familiar itu, menemukan Taiga berjongkok di depanku sembari mengulurkan tangan ke belakang. Aku mengulum bibirku, merasakan sesak yang tiba-tiba menyeruak. Kupandangi beberapa saat pria berambut cokelat kehitaman dan berkulit putih pucat ini. “Kau tidak suka menggendongku, Kyomo.” Kataku. Taiga berdecak. Dia menoleh kearahku dan pandangan kami bertemu. “Kamu mau tidak bisa berjalan selamanya? Dokter bilang ‘kan untuk mengurangi aktifitas berat yang menggunakan dengkul!” Ujar Taiga.

Aku menggigit bibirku. Bangkit dengan susah payah dan menghampirinya, melingkarkan tanganku di sekitar leher Taiga. “Pegangan. Kamu berat.” Mataku melotot dan kupukul pundaknya. “Makanya gak usah sok mau gendong!” Seruku sebal. Aku sudah akan turun dari punggungnya namun Taiga langsung mengencangkan gendongannya dan berdiri. “Aku bercanda.” Katanya.

“Kamu kurusan ya....” kata Taiga pelan. Aku menyunggingkan senyum. “Kau tidak marah lagi?” Lirihku. Taiga menggeleng. Kulihat bibirnya membentuk seulas senyum. “Tidak.” “Benarkah?” “Aku tidak bisa lama-lama marah padamu.”