soymilkao29

“Kak Mina...” Raul memanggil namanya yang sedang sibuk mencuci piring bekas mereka makan malam hari itu. Mina menjawab panggilan Raul dengan gumaman pelan. Tangannya yang sedang memegang piring yang dipenuhi sabun itu nyaris terpleset kala Mina merasakan tangan Raul yang besar itu menyelusup masuk ke dalam kaosnya. Mengusap perlahan kulit dibawah kaos itu. Sedangkan kepala lelaki jangkung bermarga Murakami itu bersandar di bahunya. Sesekali memberikan kecupan yang ceroboh di perpotongan leher Mina yang tidak tertutupi sehelai rambut.

“Aku mau kak Mina hari ini. Boleh?” Mina menggigit bibirnya, masih berusaha menahan suara desahan yang bisa keluar kapan saja karena Raul yang tidak mau berhenti menciumi lehernya. Ciuman Raul selalu berbeda. Apa karena anak ini belum punya pengalaman sebelumnya?

“Ra-Raul, aku belum selesai cuci piring.” Ucap Mina. Dia mengedikkan bahunya begitu Raul menghisap sedikit kulit lehernya. Tangan Raul yang semula berdiam diri di balik kaosnya kini sudah ikut membantunya mencuci piring. Tanpa merubah posisi, Raul membantu Mina membilas piring-piring yang sudah dicuci bersih dan meletakannya di rak sebelah wastafel itu. Sesekali Raul mendaratkan ciuman kecil di pipi Mina.

Selesai dengan piring terakhir, Mina memutar kran air itu agar tertutup dan Raul langsung memutar tubuh Mina kearahnya. Sepasang tangannya yang besar itu kini menangkup wajah Mina. “Aku cium kak Mina sekarang ya.” Raul meminta izin. Mina menahan senyum gelinya dan mengangguk.

Dengan gerakan perlahan dan lembut, Raul menempelkan kedua bibir mereka. Awalnya hanya sebuah kecupan-kecupan kecil yang ceroboh dan ragu, lama-lama berubah menjadi sebuah lumatan. Baik Raul dan Mina sama-sama menikmati cumbuan yang mereka lakukan.

Raul melepaskan cumbuan mereka sebentar, dia menekan sedikit kedua pipi Mina dengan telapak tangannya membuat bibir Mina terbuka sedikit. Raul mendekat kembali. Bibir mereka beradu. Raul mencoba berani untuk memasukkan lidahnya ke dalam mulut perempuan di depannya yang tersentak kaget.

Tangan Raul diletakkan di punggung Mina, di balik kaos yang dikenakan perempuan ini. Mina bisa merasakan tubuhnya berjengit sedikit merasakan sensasi dingin dari tangan Raul yang setengah basah, mengusap punggungnya perlahan, memberikan ketenangan pada perempuan di pelukannya saat ini. Bersamaan dengan tubuh Mina yang rileks, Raul menyapukan lidahnya dengan gerakan tidak teratur di dalam mulut Mina.

Tangan Mina yang sedari tadi di bahu Raul, mulai mengepal, meremas kaos abu-abu yang dikenakan Raul, ia mengeluarkan suara-suara yang tertahan di mulutnya.

Raul memundurkan kepalanya. Sepasang mata keduanya bersitatap. Mina menatap sayu kearah Raul. Napas keduanya jelas terengah. Mina tidak berekspektasi bahwa ciuman Raul akan terasa memabukkan padahal seingat Mina ini pertama kalinya bagi Raul berciuman panas seperti itu.

Jemari Raul menyingkirkan helaian rambut Mina yang terlepas dari ikatannya dan menutupi sebagian wajahnya itu diselipkan di balik telinga Mina. “Kak Mina mau di kamar atau di sofa?” Wajah Mina meranum saat Raul bertanya dimana mereka akan melanjutkan kegiatan mereka.

Pandangan Mina bergerak tidak beraturan. Perempuan itu semakin malu begitu dia mengingat kejadian dimana Raul dan Mina yang nyaris melakukannya di sofa terpaksa terhenti karena Koji, Tsuki dan Haruna yang datang berkunjung tanpa memencet bel.

Jadi, mungkin, “Kurasa kamar lebih aman...” Mina berujar dengan nada ragu. Raul mengangguk. “Benar juga. Supaya tidak ada yang ganggu. Baiklah.”

Raul menarik tangan Mina. Lelaki itu tidak berhenti menatap kearahnya dengan senyuman lembut di wajahnya. Mina semakin yakin bahwa sekarang wajahnya sudah meranum semerah buah tomat. Keduanya masuk ke dalam kamar dan Raul langsung mengunci pintu kamar itu dua kali.

Raul mendekat kearah Mina yang berdiri di tengah kamarnya. Keduanya saling bertukar pandangan, Raul menempelkan keningnya di kening Mina sebelum mendaratkan kecupan singkat di kening kesayangannya ini.

Sementara, Raul mencoba membuat Mina rileks dengan apa yang dikatakan oleh Shota padahanya, kedua tangannya menyelinap masuk ke dalam kaos Mina. Raul baru sadar bahwa kulit Mina sangat lembut dan pemuda itu sangat menyukainya.

Tangan Raul semakin naik keatas dan nyaris menyentuh dada Mina. Raul menjauhkan diri dan menatap lamat-lamat Mina yang balas menatapnya bingung. “Kak Mina... Boleh?” Tanyanya. Begitu Raul bertanya, dia baru sadar saat ini tangan Raul memegang dadanya. Mina mengangguk pelan.

Tanpa ragu lagi, Raul meremas pelan dada Mina, mengundang desahan teriakan tertahan dari perempuan di hadapannya. Sial... Mina mengumpat dalam hati. Dia refleks melingkarkan tangannya di leher Raul. Sementara tangan kanan Raul meremas-remas dadanya, tangan kirinya mencoba melepas kaitan bra yang dikenakan Mina.

Tidak mudah. Raul sampai harus pura-pura menciumi leher Mina lagi untuk melihat lebih jelas posisi kaitan bra Mina di punggung perempuan itu. Gerakan Raul terhenti saat terdengar tawa kecil Mina yang menggantikan desahannya sedari tadi. Mina melepaskan diri sebentar dari Raul dan tersenyum.

“Biar aku yang lepas.” Mina mengulurkan kedua tangan ke ke punggungnya dan melepas kaitan bra nya dengan mudah mengundang ekspresi sebal Raul. Bibirnya mengerucut. Mina kembali mengalungkan tangannya di leher Raul dan mengecup lembut bibir kesayangannya yang maju beberapa senti itu.

“Nanti latihan lagi.” Mendengar kata 'latihan' hanya untuk melepas kaitan bra membuat telinga Raul memerah. Pemuda itu menghela napas dan mengangkat kaos Mina untuk dia lepas beserta bra yang sudah terlepas sempurna. Sekarang gantian Mina yang memerah. Saat ini dia benar-benar setengah telanjang di depan Raul. Mina refleks menutupi daerah dadanya. Sementara Raul sempat memandangi takjub kearah kulit Mina yang bersih dan terlihat lembut.

“Kak Mina gak mau bantuin aku buka baju?” Tanya Raul, sembari jemari tangannya terulur, memainkan puting Mina. Perempuan bermarga Miyahara itu menarik napasnya sambil mengabaikan sensasi geli dan menggelitik di perutnya saat Raul merangsang putingnya.

Mina menarik keatas kaos yang dikenakan Raul, pemuda itu membantu dengan melepaskan kaos itu dari kepalanya. Sekarang keduanya sama-sama bertelanjang dada, masih berdiri berhadapan sementara Raul menahan tubuh Mina yang mulai kehilangan keseimbangannya. Kali ini, sambil memainkan dada Mina, Raul mencium leher Mina lagi.

Mina semakin menahan suaranya untuk keluar, saat Raul mulai bertindak lebih seperti menjilat, menggigit, bahkan menghisap kulit lehernya.

“Rau—Ah!” Desahan Mina lolos dari mulutnya. “Rau—hhh.” Raul tersenyum. Dia senang karena dia bisa membuat kesayangannya mengeluarkan suara satisifiednya.

Mengecup sekali lagi tanda kemerahan yang berhasil dibuatnya, Raul mendorong tubuh Mina perlahan keatas kasur. Sementara Mina melepaskan celana panjang piyama yang dikenakannya dan Raul ikut melakukan hal yang sama dan hanya menyisakan boksernya.

“Kak Mina cantik...” Raul berucap lembut sembari mencium pelan kelopak kanan Mina. Mina terkekeh. “Aku cantiknya cuma pas telanjang aja?” Goda Mina. Raul menggeleng. “Semuanya. Semuanya yang ada di kak Mina itu cantik.”

Sial, aku salah tingkah dengan anak ini... Mina berdecak pelan.

Raul tertawa pelan sebelum mencium candunya sekali lagi, sementara tangannya bergerak menyusuri kulit Mina yang terekspos dihadapannya. Hingga tangannya berhenti pada area sensitif Mina yang masih terbungkus celana dalam yang sudah basah. Jemarinya dengan ceroboh menyentuh bagian dalam milik Mina yang masih tertutupi celana dalam itu.

Justru dengan gerakan Raul yang seperti itu mengundang desahan Mina, nyaris membuat perempuan itu melengkungkan punggungnya. “Kak, basah banget...” Katanya dengan nada polos.

Mina menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. “Ini aku masukin ya...” Tawa tertahan yang dia tahan sekuat tenaga berganti dengan desahan saat Raul memasukkan jarinya ke dalam area sensitif Mina. Tubuh Mina bergetar. Punggungnya sedikit melengkung. Memanggil nama Raul berulang kali.

Raul mulai memainkan telunjuknya di dalam kemaluan Mina, menggerakkannya perlahan. Seruan dari mulut Mina makin tak terkendali saat Raul memasukkan jari yang kedua. Sementara Mina merasakan sekujur tubuhnya panas. Padahal udara sedang dingin dan dia sudah menyalakan pendingin ruangan disana. Tubuh keduanya bermandikan keringat akibat kegiatan panas yang mereka lakukan.

Merasa terganggu dengan kain yang menutupi area sensitif Mina, Raul menarik keluar jarinya dan melepaskan celana dalam Mina, tidak menyisakan sehelai benangpun di tubuh kesayangannya saat ini.

“Masukin lagi kak?” Raul baru hendak memasukkan kembali kedua jarinya ke dalam kemaluan Mina sebelum mengingat 'nasihat' Koji padanya untuk sebisa menanyakan pendapat pasangan saat melakukan seks.

Mina menatap Raul dengan pandangan sayu dan napas terengah. Dia menggeleng. Mina mengangkat tubuhnya sedikit, Raul langsung melingkarkan sebelah lengannya di pinggang Mina. Sementara, tangan Mina membantu Raul melepaskan boksernya.

“Masukin ini aja.” Raul terkesiap saat Mina menggenggam area sensitif miliknya yang sudah menegang itu. “K-Kak Mina!—Ughh!” Raul sampai harus menutup mulutnya saat Mina dengan tak sengaja meremasnya, membuatnya mengeluarkan suara basah.

Raul langsung melepaskan tangan Mina dari miliknya dan mendorong perempuan itu untuk kembali berbaring. “Sebentar, kak... Kata Koji-kun, harus pakai kondom...” Raul bangkit dari posisinya namun Mina menahannya. Dia menyuruh Raul diam di posisinya dan perempuan itu mengambil sebungkus kondom dari laci di sebelah kasurnya.

“Kok kak Mina punya stok kondom?” Tanya Raul. Mina tersenyum. “Hmmm gak tau. Aku nemu pas beres-beres kamar...” Ucap Mina ikut bingung.

“Mau Raul atau aku yang pakein?” Tanya Mina. Wajah Raul memerah. Kedua matanya mengerjap. Raul menggeleng. “Biar aku aja.” Katanya mengambil kondom dari tangan Mina, membuka bungkusnya dan memasang pengaman itu pada miliknya, tanpa hambatan.

“Raul jago ya.” Ucap Mina dengan suara pelan, Raul terdiam selama beberapa saat, merasakan sedikit rasa senang di benaknya saat Mina memujinya.

“Makasih, kak,” balasnya tersipu. “aku masuk ya.” Mina mengalungkan lengannya pada leher Raul saat pemuda itu memposisikan diri di atasnya. Raul meletakkan tangan kanannya pada bantal di atas kepala Mina, sedangkan tangan kirinya menggenggam paha atas Mina—sebagai tumpuan. Dia juga menarik selimut biru tua untuk menutupi sedikit tubuh keduanya.

Raul bergerak sedikit memberikan kecupan singkat pada bibir Mina. “Rileks ya, kak... Aku pelan-pelan, kok...” Bisik Raul dengan suaranya yang rendah.

Perempuan itu mengulum bibirnya, sedikit meredam desahan yang keluar sekaligus menyembunyikan senyumnya yang nyaris terukir di wajahnya. Mina kemudian dengan sengaja mengeluarkan desahan yang lumayan keras saat milik Raul di dalam mencapai titik terbaiknya. Mina tahu Raul menyukai suaranya, karenanya perempuan bermarga Miyahara itu mulai berusaha untuk tidak menahan dirinya. Gerakan dan suaranya pun seirama dengan tempo permainan Raul. Entah sudah berapa ratus kali Mina menyerukan nama Raul malam ini. Meski ini pertama kalinya bagi mereka, tindakan Raul yang terkadang ceroboh dan ragu-ragu membuat desire di dalam tubuh Mina seperti meledak-ledak.

“U—Ugh... Kak Mina seksi banget sekarang...” Raul berucap dengan suara yang rendah, membuat gejolak gairah seksual Mina semakin meledak. Raul mengklaim bibir Mina untuk kesekian kalinya. Sementara pinggulnya terus bergerak keluar dan masuk dengan kedua kaki Mina yang sekarang melingkar di pinggang Raul.

“Hh—Raul—hh...”

“Iyah, kak...” Sahut Raul sembari mengecup kedua kelopak mata Mina bergantian dan turun menciumi dadanya.

“Ka-kamu boleh cepetan, kok....”

Seulas senyum terbit di wajah pemuda berusia dua puluh dua tahun ini. Raul mencumbu candunya lagi sembari mempercepat ritmenya. Mina mendesah tertahan, meremas punggung dan rambut Raul. Keduanya bertahan agak lama hingga akhirnya Mina merasakan penis Raul berkedut di dalam vaginanya.

Raul melepaskan pagutannya dan memeluk Mina erat-erat, mendesah panjang saat dirinya mengeluarkan cairan—yang tentu saja tertahan oleh kondom yang pakainya, bersama dengan Mina yang juga mencapai puncaknya.

Setelahnya, Raul merebahkan diri di sebelah Mina, sebelum bangkit dengan perlahan untuk membuang kondomnya. Tanpa kata, Raul membaringkan tubuhnya kembali di sebelah Mina, memeluk tubuh kekasihnya itu posesif.

“Raul capek?” Mina tertawa melihat Raul yang memeluknya sembari memejamkan mata. Raul mengangguk pelan. “Enak, tapi capek. Aku gak mau sering-sering kayak Meme.”

Tawa Mina meledak. Raul mengerucutkan bibirnya. “Memangnya kak Mina gak capek?” Tanyanya. Mina mengangguk. “Sama kayak Raul.” Balasnya.

“Tapi, kalo sesekali gak apa-apa ya, kak?” Raul menatapnya dengan kedua mata yang membulat. Mina menahan rasa gemasnya. Dia membalas pelukan Raul.

“Iya. Sesekali aja.”


Typo, Cringe, MinaRau


Mako benar-benar cemas. Dia sangat kaget mendapat telepon dari Mina yang sudah menangis sesegukan, memintanya tolong untuk datang ke apartemen perempuan bermarga Miyahara itu. Saking cemasnya, dia bahkan tidak sempat untuk mampir ke suatu tempat untuk membeli sesuatu. Mako sudah cukup tahu tentang lika-liku perjalanan kisah cinta Mina dan perempuan itu tidak pernah menangis setiap dia harus berpisah dengan kekasihnya. Jadi, jelas Mako sangat khawatir mendengar tangisan Mina di telepon tadi.

Mina mengiriminya pesan singkat, mengatakan bahwa dia meninggalkan apartemennya dalam keadaan tidak terkunci. Sesampainya disana, Mako langsung masuk dan menemukan Mina sedang duduk bersandar di bawah sofa, menatap kosong pada satu titik di hadapannya. Mako mendekat perlahan, melepas slingbagnya keatas sofa dan bersimpuh di dekat Mina. Wajah perempuan itu tidak lagi dialiri air mata, namun Mako masih bisa melihat jelas jejak air mata yang mengering.

“Mina-chan...” Mako memanggil lirih, mengulurkan tangan untuk merangkul Mina. Mina menoleh kearahnya. Mako bisa melihat pelupuk mata Mina kembali dipenuhi oleh liquid bening. Tidak butuh waktu lama untuk Mako langsung mendekap Mina erat. Bersama dengan itu, Mina kembali terisak. Dia mendekap erat Mako, sahabatnya.

“Aku masih sayang Raul, Mako...” Ditengah isakan Mina, perempuan itu berucap lirih. “Padahal aku sengaja meminta putus hanya karena takut dia tersakiti jika hubungan kami terungkap... aku tidak mau yang terjadi padaku dan Taiga-kun juga terjadi pada aku dan Raul...”

Mako menepuk-nepuk lembut pundak Mina. “Tapi, itu resikomu berpacaran dengan publik figur, Mina-chan... Apalagi Raul bekerja sebagai idol, idol itu kodratnya milik semua orang.,” Balas Mako. Isakan Mina sedikit mereda. “lihat saja berita dating Meguro Ren dan Shirokawa Haruna. Mereka sempat dihujat banyak orang, tapi kelihatannya masih menjalin hubungan.” Lanjutnya.

“Ini hanya masalah kalian kuat menerima hujatan itu atau tidak. Meski aku bilang idol itu milik semua orang, tapi dia tetap manusia yang butuh kasih sayang orang asing secara dekat.”

Mina menggigit bibir bawahnya. Kesal karena ucapan Mako semua ada benarnya. Yang dia takutkan selama ini hanyalah bayangan dan imajinasinya saja. “Kalau Raul tidak kuat dengan semua hujatan itu, bagaimana, Mako? Apalagi aku tidak pernah diterima di lingkungan Snow Man.” Mako tertawa pelan. Dia mengusap-usap kepala Mina lembut. “Itulah mengapa kalian ada untuk saling melengkapi. Saling menguatkan. Saat Raul-san jatuh, kamu yang membantunya bangun. Begitu pula sebaliknya.”


“Kak Miyahara!” Suara bariton yang masih memiliki aksen cempreng itu terdengar. Mina yang baru saja membeli minum dari mesin penjual otomatis sedikit terkejut mendapati Raul ada di lingkungan kampus. Raul mendekatinya dan Mina harus sedikit mendongak untuk menatap Raul.

Mina mengerjap sedikit. Dia berdehem dan mengulurkan tangannya. “Mau coca cola?” Raul menggeleng. “Ah, enggak, kak. Aku alergi soda.”

Mina mengangguk sembari mengalihkan pandangan. “Oh begitu. Ada ya orang alergi soda. Kalau gitu, mau teh aja?” Mina menyodorkan satu kaleng teh susu hangat padanya. Raul mengangguk dengan senyuman, menerima uluran tangan Mina yang lain. Merek berjalan bersisian menuju salah satu bangku di taman lingkungan kampus itu.

“Oh iya, terima kasih sudah menemukan dompetku, ya, kak.” Ucap Raul. Mina mengerutkan kening, berusaha mengingat sesuatu. Ah, dia ingat, dia menemukan sebuah dompet berbentuk persegi berwarna cokelat dengan kartu identitas didalamnya tercetak nama Murakami Maito Raul. Mina tersenyum. “Sama-sama.” Balasnya. “Kok bisa ya kak Miyahara yang nemuin dompetku, kemarin juga kak Miyahara yang bayarin makananku.” Raul berkata dengan bingung.

Mina yang melihat ekspresi Raul yang menggemaskan jadi sedikit gemas karena sangat lucu. Mina menengguk colanya lagi. “Panggil aja Mina. Aku juga bingung. Hari ini, aku beli dua minuman padahal temanku hari ini ada kelas lain dan kita gak mungkin ketemu hari ini.”

“Takdir gak sih, kak?” Mina nyaris menyemburkan minumannya. Dia menoleh kearah Raul yang sekarang tersenyum lebar kearahnya. “Mana ada. Kamu nih lucu banget ya, Raul.” Balas Mina. Raul mengusap lehernya sembari tertawa kecil, malu. “Hehehe, orang-orang sering bilang gitu ke aku, kak.”

Mereka berdua menghabiskan waktu bersama di kursi taman kampus itu, saling bertukar obrolan dan pandangan tentang kehidupan kampus. Raul yang menceritakan kehidupan kampusnya yang dijalankan secara online sedangkan Mina yang masih harus bolak-balik kampus.

Tanpa disadari, keduanya sama-sama nyaman dengan kehadiran satu sama lain.


Abtsk, Fluff, Typo

Tsuki paling tidak suka belajar. Kalau diberi pilihan antara belajar seharian atau melukis di 10 kanvas, dia akan memilih pilihan kedua. Belajar itu memuakkan. Bukan passion seorang Matsumoto Tsuki. Namun, kali ini ayahnya sudah tidak bisa dibujuk olehnya begitu dipanggil ke sekolah oleh wali kelasnya.

“Tsuki-san sering sekali tidak memperhatikan pelajaran dan hanya sibuk melukis. Hal ini sangat mempengaruhi nilainya, Matsumoto-san,” Tsuki masih ingat betul kalimat aduan wali kelasnya itu pada ayahnya. “kalau begini terus, Tsuki-san bisa tinggal kelas.”

Tsuki langsung mematahkan pensil yang dipegangnya tanpa sengaja begitu mendengar kalimat kesimpulan dari sang wali kelas. Ayahnya—Matsumoto Jun—sempat melirik kearahnya dengan tajam. Tsuki berdehem dan pamit keluar kelas yang sudah sepi itu.

Ayahnya tidak mengomel padanya, melainkan langsung mengirimnya ke lembaga les terbaik di Tokyo. Secara tidak langsung memaksa Tsuki untuk belajar di luar jam sekolah dengan ancaman ayahnya akan mengunci pintu studionya, kalau bisa memakunya dengan kayu hingga Tsuki tidak bisa menerobos masuk. Tsuki jelas tidak terima, apakah semuanya hanya dipandang melalui angka? Melalui akademik saja?

“Kalau kau mau melakukan apa yang kau suka, lewati dulu ini.” *“Anggap saja ini sebagai ganti waktu kamu tidak memperhatikan pelajaran di sekolah. Kalau kamu memperhatikan pelajaran di kelas saat jam sekolah, ayah tidak akan memaksamu pergi les. Begitupula sebaliknya.” *

Tsuki tidak suka belajar dua kali. Kalau bisa sekali kenapa harus dua kali? Tsuki menghela napas sembari memainkan pensilnya. Dia menatap kertas yang diberikan tutor lesnya tadi, kertas itu sekarang sudah dipenuhi oleh sketsa gambarnya.

“Hee... Matsumoto-san jago menggambar ya.” Bahu Tsuki berjengit kalau mendengar pujian dari kursi di sebelahnya. Sosok lelaki seusianya, yang Tsuki kenal bernama Abe Ryohei itu tersenyum sembari mencodongkan tubuh kearahnya.

“Terima kasih.” Balas Tsuki singkat. Dia kembali melipat tangannya diatas meja dan sibuk mencoret-coret kertasnya. Pelajaran hari itu adalah Matematika. Mata pelajaran yang tidak disukai Tsuki. Karena dia tidak suka, jadi dia merubah kertas berisi angka ini jadi wadah menuangkan kreatifitasnya. Pelajaran hari itu cukup panjang, kelas Tsuki baru selesai sekitar pukul 8 malam.

Tsuki sudah berniat untuk mampir ke kedai odeng setelah selesai berkutat dengan jam tambahan ini, sayangnya sosok ayahnya sudah menunggu di lobby gedung lembaga les ini. Dengan langkah malas, Tsuki menghampiri sang ayah. Matsumoto Jun menaikkan sebelah alisnya. “Kau kenapa?” Tsuki melirik kearah ayahnya dengan sinis.

Dikasih isyarat tidak mau mengerti. “Aku mau odeng.”

“Ah, Matsumoto-san, selamat malam.” “Oh, Abe-kun!” Kali ini, Tsuki yang gantian menaikkan sebelah alisnya. Dia melihat Abe yang nampak menyapa akrab ayahnya. Wah, ternyata Abe ini berjiwa bapak-bapak ya.

“Kau juga bimbel disini?” Jun bertanya basa-basi, khas seorang bapak-bapak. Abe mengangguk dengan senyum ramahnya. “Benar, Matsumoto-san. Aku juga beberapa kali satu kelas dengan Tsuki-san.” Tsuki melotot begitu mendengar Abe memanggilnya dengan nama kecilnya.

“Siapa yang mengizinkanmu memanggilku begitu?” cibir Tsuki. Abe menoleh dan mengerjap matanya. “Tidak boleh? Apakah aku harus memanggil Matsumoto 1 dan Matsumoto 2?” balas Abe.

Jun tertawa mendengar balasan yang diberikan sang lelaki pada pertanyaan putrinya. “Jangan sungkan, Abe-kun. Karena kalian teman sekelas, memang lebih baik memanggil nama kecil satu sama lain, ‘kan?”

Tsuki merotasi bola matanya, bersidekap sembari berdecak sebal. “Kami Cuma beberapa kali sekelas. Bukan teman sekelas.” Katanya, mengoreksi ucapan sang ayah.

Jun merangkul Abe dan mengerutkan kening. “Kalo begitu, teman bimbel?” Tsuki merotasi bola matanya sembari berjalan keluar, mengabaikan pertanyaan sang ayah.

“Karena kalian pernah sekelas di bimbel, bagaimana kalau sesekali Abe-kun bantu Tsuki mengerjakan PR nya di rumah?” Langkah Tsuki langsung terhenti. Kepalanya menoleh dengan cepat kebelakang, mengerutkan kening dalam-dalam.

“Hm, hm? Apa itu barusan? Anak ini mengajariku?” Tsuki berjalan kembali ke ayahnya dan juga Abe yang masih berdiri bersebelahan. Abe menatapnya dengan senyuman. “Aku tidak keberatan, Matsumoto-san.” Balasnya. Tsuki langsung mengangkat tangannya sembari memejamkan mata dengan erat. “Sebentar, ayah belum menanyai persetujuanku!” potes Tsuki.

Jun mengerutkan kening sembari pura-pura berpikir. “Jaa, Tsuki setuju, kan?”

“Asalkan—“ “Yak, sudah diputuskan ya! Abe-kun, yoroshiku ne!” “AYAH!” Tsuki mengerang. Padahal dia belum menawarkan sebuah penawaran yang bisa menguntungkannya. Ayahnya ini memang licik.

No Title

Typo, Cringe

Pertemuan dengan Watanabe Shota memang bukan yang pertama kalinya bagi Airi. Mereka sudah lama bertemu bahkan sebelum acara Music Station hari itu.

Bahkan hingga saat ini, keduanya sering tanpa sengaja bertemu, di tempat-tempat ramai yang selalu jadi tempat kesepian bagi Airi. Seakan-akan takdir mengirimkan Shota untuk menemaninya.

Airi tidak mau berharap. Jadi, dia selalu menganggap pertemuannya dengan Shota hanyalah kebetulan. Hubungan mereka dari yang sebelumnya kenalan saja sekarang menjadi saling teman. Keduanya sering bertukar pesan, bahkan tanpa sadar saling mengabari.

Hingga suatu ketika, saat Airi dan Shota tak sengaja berpapasan lagi tanpa rencana, Shota memberikannya sebuah ide gila yang merubah keseharian mereka sebagai seorang teman.

Awalnya Airi hanya iseng bilang bahwa dirinya sedang kesepian dan butuh hiburan. Shota dengan lugas mengatakan—atau mungkin memberinya kode untuk melewati malam bersama.

Airi terkejut. Tapi, dia tidak menolak ajakan Shota. Sejak saat itu, hubungan mereka sebagai Friends With Banefit dimulai. Airi tidak pernah berniat akan terjebak dalam hubungan rumit seperti ini tapi dia suka... Hubungan seperti ini kadang membuatnya lupa akan masa lalu yang tak ingin diingatnya lagi. Setiap titik tertinggi yang dia lewati bersama Shota selalu membawanya ke tempat baru.

“Sudah kubilang jangan merokok! Tidak baik!” Shota mengambil sebatang rokok yang sudah tersulut yang terselip di jemari Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu mendongak sembari tersenyum tipis.

Lelaki bernama lengkap Watanabe Shota itu mematikan sebatang rokok yang belum habis itu dan membuangnya. Dia berbalik untuk menatap Airi sebelum akhirnya mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Airi.

“Bagaimana rasaku?” Shota mengerutkan kening. Airi tertawa melihat ekspresi bingung Shota.

“Rasa bibirmu manis bercampur nikotin,” Balas Shota. “aku tidak suka. Tidak sehat.” Lanjutnya.

“Iya deh. Si paling sehat.” Cibir Airi sembari mendorong Shota menjauh. Tangan Shota meraih pergelangan tangan Airi dan menarik tubuh perempuan itu kearahnya.

Tubuh Airi yang berlapiskan lingerie satin berwarna biru tua itu berdempetan dengan tubuh Shota yang hanya berpakaian celana pendek dan kaos putih yang tipis.

Shota kembali mengklaim bibirnya. Menghisapnya perlahan dan mengecup-kecupnya beberapa kali. Airi mencoba mengimbangi ciuman Shota yang cepat sembari tangannya melingkar di sekitar leher lelaki bermarga Watanabe ini.

Mereka cuma friends with banefit seharusnya tidak perlu melibatkan hati.

Typo, Cringe

Pertemuan dengan Watanabe Shota memang bukan yang pertama kalinya bagi Airi. Mereka sudah lama bertemu bahkan sebelum acara Music Station hari itu.

Bahkan hingga saat ini, keduanya sering tanpa sengaja bertemu, di tempat-tempat ramai yang selalu jadi tempat kesepian bagi Airi. Seakan-akan takdir mengirimkan Shota untuk menemaninya.

Airi tidak mau berharap. Jadi, dia selalu menganggap pertemuannya dengan Shota hanyalah kebetulan. Hubungan mereka dari yang sebelumnya kenalan saja sekarang menjadi saling teman. Keduanya sering bertukar pesan, bahkan tanpa sadar saling mengabari.

Hingga suatu ketika, saat Airi dan Shota tak sengaja berpapasan lagi tanpa rencana, Shota memberikannya sebuah ide gila yang merubah keseharian mereka sebagai seorang teman.

Awalnya Airi hanya iseng bilang bahwa dirinya sedang kesepian dan butuh hiburan. Shota dengan lugas mengatakan—atau mungkin memberinya kode untuk melewati malam bersama.

Airi terkejut. Tapi, dia tidak menolak ajakan Shota. Sejak saat itu, hubungan mereka sebagai Friends With Banefit dimulai. Airi tidak pernah berniat akan terjebak dalam hubungan rumit seperti ini tapi dia suka... Hubungan seperti ini kadang membuatnya lupa akan masa lalu yang tak ingin diingatnya lagi. Setiap titik tertinggi yang dia lewati bersama Shota selalu membawanya ke tempat baru.

“Sudah kubilang jangan merokok! Tidak baik!” Shota mengambil sebatang rokok yang sudah tersulut yang terselip di jemari Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu mendongak sembari tersenyum tipis.

Lelaki bernama lengkap Watanabe Shota itu mematikan sebatang rokok yang belum habis itu dan membuangnya. Dia berbalik untuk menatap Airi sebelum akhirnya mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Airi.

“Bagaimana rasaku?” Shota mengerutkan kening. Airi tertawa melihat ekspresi bingung Shota.

“Rasa bibirmu manis bercampur nikotin,” Balas Shota. “aku tidak suka. Tidak sehat.” Lanjutnya.

“Iya deh. Si paling sehat.” Cibir Airi sembari mendorong Shota menjauh. Tangan Shota meraih pergelangan tangan Airi dan menarik tubuh perempuan itu kearahnya.

Tubuh Airi yang berlapiskan lingerie satin berwarna biru tua itu berdempetan dengan tubuh Shota yang hanya berpakaian celana pendek dan kaos putih yang tipis.

Shota kembali mengklaim bibirnya. Menghisapnya perlahan dan mengecup-kecupnya beberapa kali. Airi mencoba mengimbangi ciuman Shota yang cepat sembari tangannya melingkar di sekitar leher lelaki bermarga Watanabe ini.

Mereka cuma friends with banefit seharusnya tidak perlu melibatkan hati.

Tanaka Juri x OC, Romance Taylor Swift – Wildest Dreams

Kedua kelopakmu terbuka. Manik hitan legam itu menangkap benda-benda di sekitarmu bergerak cepat meninggalkanmu atau kamu yang meninggalkan mereka?

Lehermu yang tidak dilapisi satu helaipun kain itu diterpa angin malam. Kamu sadar bahwa kamu tidak di rumahmu seperti yang kamu harapkan saat membuka mata.

“Sudah bangun?” Kamu pikir suara itu bagian dari mimpi terliarmu. Suara yang begitu akrab bagaikan sebuah kewajiban ada di dalam hidupmu.

Kepalamu bergerak ke samping, menoleh. Kedua manik milikmu bertemu pandang sesekali dengan kedua manik hitam dengan sedikit aksen caramel yang sesekali terlihat, itu yang selama ini selalu kamu ingat jika harus bertatapan dengannya.

Sosok dibalik kemudi mobil BMW dengan seri Z4 itu mengulum senyum tipis yang manis. Sosok Tanaka Juri itu nampak menikmati masa-masa kalian bersama di mobil ini.

Masih segar diingatan kala kamu menemukan Juri berdiri di depan apartemenmu dan tersenyum tanpa bersalah mengajakmu pergi keluar kota.

“Aku bosan dengan Tokyo. Kamu mau kemana?”

Tidak kemana-mana. Kita tidak kemanapun. Kamu mau menjawab ajakan itu dengan kalimat barusan tapi otak dan hatimu suka sekali berebut untuk mengambil alih.

“Shizuoka.”

Perjalanan Tokyo ke Shizuoka bukanlah perjalanan singkat. Kalian beberapa kali berhenti untuk membeli minum dan makanan ringan. Sosok Tanaka itu masih bersikap manis padamu meski kamu tahu orang ini agak 'jahat'.

Juri memang termasuk orang yang menganut ladies first meski seorang womanizer. Kamu selalu dibuat nyaman dengan setiap perlakuan manisnya, sayangnya kamu juga tidak bisa bohong bahwa kamu tidak nyaman dengan kebiasaan Juri sebagai orang yang dekat dengan wanita lebih dari satu.

Hubungan kalian baik-baik saja. Seharusnya.

“Juri,” kamu bersuara setelah selama beberapa saat dibuat terdiam dengan potongan kenangan yang memaksa untuk diputar kembali. “bagaimana kamu mengingatku?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutmu.

Tidak bisa dipungkiri kamu sempat salah tingkah melihat senyum andalan Tanaka Juri yang terukir di wajahnya.

“Menurutmu bagaimana?”

“Apakah aku terlihat seperti seorang cenayang?”

Tawa renyah itu keluar. “Cantik,” kamu refleks merotasi kedua bola matamu malas. “tapi, yang paling kuingat adalah punggungmu.”

“Indah dengan latar sunset.” Kamu baru mau melontarkan sebuah cibiran padanya, namun berhasil dibuat termenung selama beberapa saat.

Pandangan milikmu kamu alihkan ke jalanan, mengabaikan rasa sesak yang tiba-tiba muncul. “Kau mau bilang kalau sunsetnya indah, 'kan?”

“Kata siapa? Kamu yang cantik. Sunset aja rasanya akan iri padamu.” Kepalamu refleks menoleh kembali kearahnya. Kali ini, kedua manik kalian sama-sama bertatapan. Mobil yang semulanya masih berada dijalanan itu sekarang sudah menepi, bersamaan dengan perasaan kalian saat ini.

Tanaka Juri mengulas senyum lembut sebelum akhirnya mengecup bibirmu sekilas.

“CUT!”

Kalian langsung menjauh. Sama-sama turun keluar dari mobil dan mengusap bibir masing-masing.

“Aku harus mencuci bibirku.”

“Aku harus mencium seseorang.”

“Dasar soang.” Cibirmu.

“Atau kau yang kucium saja ya?”

“LEBIH BAIK AKU CIUM TEMBOK!”

Kru syuting hari itu menatap prihatin kearah kalian berdua. Benar-benar pasangan tsundere.

“Ah, ini kenapa kau panggil Tanaka Juri bukan nama karakternya?” Sang sutradara mulai protes. Sadar akan kesalahan yang terekam disana. Kamu mengerjap kaget. Benarkah?

“Kita ulang ya!”

“TIDAK MAU!” Baik kamu dan Juri tidak mau mengulang adegan itu.

MinaRaul. Typo. Semi-nsfw (?). Cringe. Romance.


Mina melirik kearah jam yang menimbulkan suara berdetak dari ujung ruangannya. Helaan napasnya keluar dari mulutnya. Dia merenggangkan tubuhnya yang kaku karena dibuat duduk berjam-jam di depan komputer kantor majalah itu.

Ini baru bulan ketiga dirinya magang di salah satu majalah terkenal di Jepang, AnAn, tapi pekerjaan sebagai seorang editor bagian wawancara selalu menyita waktunya lebih dari 24 jam. Hari ini saja dia masih harus mengerjakan beberapa bagian wawancara untuk AnAn edisi bulan depan. Tidak peduli sudah ada di angka mana jarum pendek di jam dinding itu menunjuk, dia masih harus mengerjakan tugasnya. Bahkan Mina sampai mengabaikan beberapa pesan ajakan untuk minum atau makan malam bersama.

Atasannya bilang padanya bahwa dia bisa mengambil libur begitu pekerjaannya untuk mengedit buletin wawancara selesai. Itu adalah libur pertamanya dan Mina tidak mau menyia-nyiakannya. Setidaknya setelah ini dia bisa meminta bertemu dengan pacarnya. Sudah nyaris setengah tahun keduanya tidak bertemu secara langsung, selain karena kesibukan, Mina memang membatasi jumlah pertemuan mereka karena masih merasa berat hati setiap kali harus mengingat ucapan member terdekat Raul—pacarnya itu, tentang dirinya.

Itu cukup menyita perhatian Mina selama beberapa hari dan dia menghindari Raul dengan alasan sibuk dengan thesisnya. Padahal yang terjadi adalah Mina pulang ke Hokkaido untuk sedikit merenung. Agak berlebihan tapi kenyataannya dia terganggu dengan pernyataan Meguro tentangnya. Biasanya Mina tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang, tapi entah kenapa kali ini dia tidak bisa bersikap seperti itu lagi sejak mengenal Raul.

“Kudengar Miyahara seorang playgirl, dia bahkan pernah pacaran dengan Kyomoto-kun.” “Kau berhak dapat yang lebih baik, Raul! Kau bisa dapat yang menganggapmu sebagai pertama kali dalam hidupnya. Bukan yang menjadikanmu kesekian kali.”

Mina menyandarkan punggungnya sejenak ke kursinya, menatap lama kearah langit-langit kantornya. Mendengar perkataan itu seperti menyatakan bahwa Mina tidaklah pantas untuk bersanding dengan Raul. Tidak pantas untuk mendapatkan yang terbaik setelah gagal berkali-kali dengan kisah asmaranya.

Perempuan bermarga Miyahara itu mengusap wajahnya begitu merasakan setetes air mata jatuh. Dia tidak mau mengingat-ingat perkataan itu lagi. Tidak saat dia sedang stress dengan pekerjaannya saat ini. “Ya, selesaikan dahulu pekerjaanmu, Mina.” Katanya pada dirinya sendiri. Kembali mengecek beberapa hal pada naskah final.

Sampai jam menunjuk angka dua belas, Mina baru menyelesaikan keseluruhan tugasnya. Dia selesai mengirimkan naskah yang benar-benar final lewat email pada proofreader. Perempuan itu menghela napas lega. Dia memejamkan matanya sejenak, bermaksud untuk tidur sebentar sebelum benar-benar pulang.

Namun, tidurnya tidak berlangsung lama saat biliknya diketuk seseorang. Dia mengerjapkan mata, melihat sosok karyawan keamanan dengan senter di tangannya, tersenyum kearahnya dengan hangat. “Miyahara-san belum pulang? Sudah jam dua belas lewat.” Sapanya.

Mina mengecek arlojinya dan menghela napas. Dia membalas senyum sang petugas keamanan. “Sebentar lagi pulang, kok. Terima kasih.” Balas Mina. Petugas itu mengangguk dan tersenyum, pamit dari sana untuk kembali berkeliling. Mina mematikan komputernya dan bersiap-siap untuk pulang.

Perempuan itu beranjak setelah memastikan semuanya sudah kembali rapih. Dia mengangguk dan berjalan kearah lift yang akan membawanya ke lantai bawah. Begitu pintu lift terbuka, Mina masuk dan menginjak tombol yang mengarahkan benda balok itu ke tujuannya. Sembari menunggu, dia menyandarkan diri ke dinding lift sembari membalas tatapannya yang terpantul dari lift yang dia naiki.

Kantung matanya sedikit terlihat tebal dan wajahnya agak memerah. Ini baru awal musim gugur tapi kondisi Mina benar-benar sudah mulai terasa menurun. Perempuan itu melangkah keluar begitu liftnya sampai di lantai yang dituju. Suasana di lobby sudah lumayan sepi dan hanya menyisakan petugas keamanan yang sedang berjaga di resepsionis. Dia menyapa singkat sebelum berjalan langsung keluar dari gedung perkantoran itu.

Angin malam langsung menerpa beberapa bagian kulitnya yang tidak tertutupi kain itu. Mina merinding. Jaket yang tadinya hanya disampirkan di tangannya kini sudah berpindah tempat menyelimuti tubuhnya. Mungkin Mina akan naik taksi saja hari ini.


Perjalanan dari kantornya ke apartemen sekitar 20 menit. Selama itu juga, Mina semakin merasa angin musim gugur menusuk kulitnya. Sangat dingin. Padahal kaca taksi tidak dibuka sama sekali. AC nya juga Mina minta untuk dimatikan.

Dia membayar argo begitu sampai ditujuannya. Dia mengucapkan terima kasih dan berjalan masuk ke gedung apartemennya. Mina mengeluarkan kuncinya begitu sampai di depan unitnya. Dia masukkan ke dalam slot dan memutarnya, mendorong pintu itu untuk terbuka dan melangkah masuk.

Mina menunduk sembari melepas sepatunya, bertumpu pada lantai dan menyimpannya ke dalam lemari. “Ah.” Mina merasakan tumpuan pada lengannya melemah. Dia tersungkur dan menimbulkan bunyi debum yang memenuhi seisi unitnya. Terlalu lesu untuk bangkit, Mina membiarkan tubuhnya untuk diam dalam posisi seperti itu untuk beberapa saat, memejamkan matanya dan menghela napas.

Sembari menikmati tubuhnya yang mendingin karena lantai unitnya, Mina teringat akan sesuatu. Hari ini Raul tampil di Tokyo Girls Collection Auntumn season. Biasanya Mina tidak pernah melewatkannya, tapi kali ini dia tidak bisa menonton dari layar sekalipun karena pekerjaannya. Dia jadi sedikit merasa bersalah. Mina harus jawab apa saat Raul tanya apakah dia menonton runawaynya hari ini?

“Kak Mina?” Sepasang kelopak Mina terbuka perlahan mendengar suara Raul di dekatnya. Tak lama, dia melihat Raul yang berjongkok di dekatnya dan memiringkan kepala kearahnya dengan bingung. Tangan Raul terulur kearahnya untuk menyentuh wajahnya. Mina tersenyum merasakan sensasi dingin pada kulitnya.

“Kak Mina, ayo pindah ke kamar aja!” ujar Raul, sembari mencoba membantu Mina untuk bangun. Tapi, perempuan itu bergeming. Dia malah merubah posisinya menjadi duduk dan menatap Raul yang masih berjongkok di dekatnya. “Aku ... gak sempet nonton runawaynya Raul.” Ucap Mina.

Ekspresi Raul melembut. Dia tersenyum dan mengangguk, mengulurkan tangan untuk menyingkirkan sedikit helaian rambut yang menutupi wajah kesayangannya ini. “Gak apa-apa, kak. Ada rekamannya, kok. Bisa ditonton berulang kali.” Balasnya.

Mina tersenyum. Mereka bersitatap selama beberapa saat. Melihat Raul dari dekat setelah sekian lama membuat Mina seenaknya memutar kenangan buruk antara mereka. Bagaimana ucapan Meguro, ekspresi kecewa Raul dan pertengkaran kecil mereka. Mina menyesali hal itu pernah terjadi diantara mereka. Tapi, setidaknya itu membuat hubungan mereka berdua menguat, begitu kalau kata Raul.

Mina mendekat, melingkarkan tangannya di bahu dan leher Raul, mempertemukan bibir keduanya, sementara sebelah tangan Raul yang bebas refleks memegang pinggang sang perempuan. Menariknya semakin mendekat. Kecupan yang tadinya hanya sekedar saling tempel berubah menjadi cumbuan yang dimana saling mengapit dan menghisap.

Raul memiringkan kepalanya, mencoba memperdalam ciumannya, menyapu bibir Mina dengan lidahnya. Tidak butuh waktu lama untuk meminta izin, lidah Raul sudah masuk dan berganti menyapukan lidahnya dengan tidak teratur di dalam mulut Mina.

Sepasang tangan Mina sudah mengepal, meremas pelan rambut Raul saat dirasa muncul suara-suara basah yang tertahan oleh ciuman mereka. Raul melepaskan tautan mereka selama beberapa saat. Pada jeda itu, keduanya bersitatap. Pandangan Mina yang sayu dan napasnya terengah. Raul tersenyum dan mengusap pipi Mina dengan buku jarinya. Raul tidak bisa pura-pura tidak tahu bahwa kesayangannya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Suhu tubuhnya panas dan wajahnya memerah.

Mina hendak kembali mencium Raul saat lelaki itu menahannya. Mereka kembali bertatapan. Raul menarik Mina untuk didekapnya erat. Diusapnya punggung kesayangannya itu untuk sama-sama menenangkan diri akibat permainan singkat mereka tadi.

“Kak Mina demam, loh.” Mina terdiam. Saat itu juga dia menyadari bahwa tubuhnya menggigil dan tangannya gemetar. Astaga. Hanya karena dia sudah sangat merindukan Raul, dia sampai tidak menyadari kondisinya.

“Pindah kamar yuk, kak. Supaya kak Mina juga lebih enak istirahatnya.” Ujar Raul, kali ini melingkarkan kedua kaki Mina pada pinggangnya dan menggendongnya. Mina saat ini seperti koala yang bergantung pada dahan pohon. Wajah Mina semakin meranum merah.

“Raul?”

“Aku gak kemana-mana. Hari ini sampai besok aku temenin kak Mina sampai sembuh!”

Setelah selesai TGC tadi, Raul sudah berencana menghabiskan malamnya bersama Mina, bahkan dia sampai menelpon Meguro, Abe dan Shota untuk memastikan bahwa ketiga pacar ‘kakak’nya di Snow Man ini tidak sedang berada di Jepang. Atau paling tidak memastikan bahwa Koji tidak ada janji makan bersama dengan Mina. Semuanya mengatakan bahwa mereka sudah punya kegiatan masing-masing. Raul kira rencananya akan berjalan lancar.

Well, mungkin karena memang dia belum cukup umur untuk benar-benar melakukan apa yang biasa dilakukan oleh Shota dan Airi ataupun Meguro dan Haruna.

Untung saja dia masih ingat nasihat Haruna saat dia sedang berjalan-jalan bersama wanita itu. “Jangan coba-coba bermain saat salah satu diantara kalian sakit.” “Kenapa memangnya, kak? Gak enak ya?” Haruna hanya tersenyum.

Sama halnya dengan Mina, dia sudah berpikir akan menebus rasa bersalahnya yang tidak bisa melakukannya bersama Raul saat TGC nya kemarin hari ini. Tapi, tidak menduga kalau ternyata tubuhnya akan dibuat tumbang dengan pekerjaannya sebagai editor di majalah AnAn.

Mungkin tahun depan? Saat Raul sudah genap berusia dewasa.

Pertama Kalinya

typo, nsfw, Micchika


Waktu menunjukkan pukul delapan malam lewat. Hikaru dan Micchi tengah asyik menonton rekaman episode mada update. Sesekali Micchi mendengar tawa renyah Hikaru. Dia menoleh dan memandangi wajah Hikaru dari samping. Lelaki itu menarik napas dan merebahkan kepalanya dipangkuan Hikaru.

“Micchi?” Panggil Hikaru bingung. Micchi menyunggingkan senyum dan tawa sedikit. “Sudah lama aku ga tiduran begini loh.” Katanya. Hikaru mendengkus. Dia kembali fokus dengan tontonan di depannya.

Micchi menatap wajah Hikaru dari posisinya saat ini, lamat-lamat. Hikaru yang merasa dipandangi Micchi, langsung mengalihkan pandanganya dari televisi ke arah Micchi yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuannya. Matanya mengerjap. “Apa?” Tanyanya. Micchi mengulurkan tangannya, melingkar di sekitar leher Hikaru dan menarik dirinya maupun Hikaru untuk berdekatan sampai kedua bibir mereka bersentuhan.

Kedua mata Hikaru membulat. Dia kaget, bahkan sampai menahan napasnya. Micchi mendorong tubuh Hikaru ke atas sofa, memperdalam ciumannya. Disesapi candunya ini, beberapa kali menyapu bibir atas Hikaru untuk meminta izin. Hingga akhirnya dia berhasil menyelipkan lidahnya diantara celah bibir Hikaru yang terbuka. Hikaru meremas kaos yang dikenakan Micchi, dia mencoba membalas ciuman Micchi.

Hikaru merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ujung-ujung jemarinya seperti dialiri listrik bahkan perutnya terasa geli seperti ada sesuatu yang mengaduknya. Ciuman Micchi berhenti, dia menjauhkan wajahnya dari Hikaru. Menatap kedua manik hitam milik kesayangannya. Napas keduanya tersengal. Mereka bertukar pandang selama beberapa saat. Hikaru menyadari bahwa tatapan Micchi berkabut, bibirnya membentuk senyum lembut. Micchi menemukan tatapan yang sama pada Hikaru. Dia mengulurkan tangan untuk menyingkirkan helaian rambut Hikaru yang menutupi wajahnya.

“Cantik... Hikaru cantik...” Micchi menunduk, berbisik. Hikaru bisa merasakan jilatan basah di dekat telinganya. Dia menggigit bibirnya, mencegah pita suaranya mengeluarkan sesuatu. Sebelah tangan Micchi yang lain mencoba menelusup ke dalam piyama biru laut yang kenakannya. Napas Hikaru tercekat begitu merasakan tangan Micchi meremas payudaranya yang masih terselimuti piyama. “Mi-Micchi...?” Hikaru tidak tahan untuk tidak bersuara. Perasaan geli di perutnya semakin menjadi.

Micchi bergeming. Beberapa saat merasakan tubuh Hikaru yang menegang. Diciumnya pangkal leher Hikaru lembut, kemudian beralih ke belakang telinganya. “Hmm...?” Balasnya. Kemudian, semakin naik ke kelopak matanya. Dikecupnya lembut kedua mata Hikaru bergantian. Hidungnya, kedua pipinya dan berakhir di bibirnya. Ciuman itu lembut dan tidak menuntut.

“Ra-Rasanya aneh...” Bisik Hikaru. Suaranya bergetar. Micchi menyunggingkan senyum lagi. “Mau aku berhenti?” Tanyanya. Meski dia tak yakin akan benar-benar berhenti atau tidak. Hikaru sempat memandanginya sejenak. Dia tahu bahwa selama ini Micchi mencoba menahan diri untuk menyentuhnya. Kepala Hikaru menggeleng. “Lakukan perlahan...” Suara Hikaru melirih. Micchi membalas ucapan Hikaru dengan mencium keningnya lembut. Napas Hikaru kembali tenang dan tubuhnya menjadi lebih rileks.

Micchi sedikit bangkit dan melepas kaosnya. Hikaru merasakan wajahnya memanas, menemukan Micchi yang bertelanjang dada di depannya. Lelaki bermarga Michieda itu kembali menunduk dan kali ini mengulurkan tangannya untuk melepas kancing piyama yang dikenakan Hikaru satu persatu. Matanya tidak lepas memandangi Hikaru yang malah mengalihkan pandangan kearah jemari Micchi yang sedang sibuk berusaha membuka kancingnya. Micchi tersenyum geli mendapati wajah Hikaru yang sangat merah. Diusapnya pipi Hikaru dengan sebelah tangannya yang bebas. “Lihat aku saja, Hikaru.” Katanya.

Hikaru mengikuti ucapan Micchi. Matanya bertemu pandang tatapan lembut Micchi. Setelahnya Micchi berhasil melepas semua kancing piyama yang dipakai Hikaru, menarik kaitan dipunggung Hikaru membuatnya langsung terlepas. Micchi menunduk untuk mencium perlahan leher Hikaru, menyapunya perlahan dengan bibirnya. Tanpa sadar, menyesapnya hingga meninggalkan tanda disana. Bersamaan dengan tangannya yang meremas lembut dadanya, bahkan sesekali memainkan puncaknya. “M-Micchi... Nghh..” Hikaru menangkup mulutnya dengan sebelah tangan. Agak terkejut dengan suara yang dibuatnya.

Micchi beralih perlahan ke tangan Hikaru yang menutupi mulutnya, menciumnya lembut. Perlahan menyingkirkannya dari wajah Hikaru. “Sebut namaku...” Katanya dengan suara berat. Hikaru mengerjap dengan wajah penuh kebingungan.

“M-Micchi—Ahh!” Hikaru berseru kala tangan Micchi mengelus bagian sensitifnya yang masih terbalut celana piyamanya. Rasanya saja sudah seperti ini, bagaimana kalau Micchi menyentuh bagian itu tanpa pakaian?

Micchi tersenyum. Sebuah senyum yang jarang sekali Hikaru lihat. Jari-jemari Micchi menarik turun celana piyama dan bagian dalamnya perlahan. Melemparkannya tidak jauh dari sana. Hikaru akan mengomel panjang padanya kalau dia melemparnya jauh-jauh dan susah ditemukan.

“Hikaru...” Panggil Micchi. Napas Hikaru agak memburu. Wanita itu mencoba nenatapnya, namun tatapannya yang sayu semakin membuat sesuatu di dalam Micchi bergejolak. “Hanya lihat aku, ya.” Katanya, sebelum memasukkan jarinya ke dalam daerah sensitif Hikaru. “Oh astaga!!” Hikaru memekik, badannya refleks terangkat sedikit dan tangannya melingkar di leher Micchi. Hikaru menenggelamkan wajahnya di bahu Micchi. Meremas lembut leher kekasihnya itu.

Micchi tertawa kecil. Geli. Dia memasukkan satu lagi jarinya dan menggerakkannya perlahan. Suara desahan Hikaru beradu dengan suara hujan di luar. “Mic-Micchi... Ugh!” Hikaru menahan pekikannya begitu dia merasakan sesuatu keluar dari tubuhnya. Rasa geli di perutnya sedikit berkurang namun dia merasakan pandangannya berkabut.

Tanpa kata, Micchi menyelipkan tangannya di kedua kaki Hikaru dan tubuhnya, menggendongnya perlahan dan berjalan masuk ke kamar Micchi. “Mau kemana...?” Bisik Hikaru. “Memilikimu?” Kening Hikaru mengkerut.

Diturunkannya Hikaru ke atas kasurnya perlahan, Micchi melepas pakaian terakhir yang mereka kenakan. Dia naik perlahan keatas Hikaru. Senyumannya begitu betah tinggal di wajahnya saat ini. Hikaru bisa melihat helaian rambut hitam kecoklatan Micchi yang jatuh lembut. Tangan Micchi menyentuh wajah Hikaru, mengusapnya perlahan. “Boleh aku memilikimu?” Tanyanya. Hikaru mengulum senyum, mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Micchi. Kepalanya mengangguk perlahan.

“Aku mencintaimu...” Micchi menunduk, kali ini kembali ke lehernya, sekitar bahunya dan memberikan tanda disana. Hikaru penasaran apakah tanda itu mudah hilang atau butuh waktu yang lama. “Mi-Micchi... Nghh!” Hikaru mengerang, meremas pelan surai Micchi begitu merasakan bibir itu mengecap payudaranya, sebelah tangannya yang bebas meremasnya lembut, bermain disana selama beberapa saat. Hikaru tidak bisa menahan desahannya.

Hikaru terkesiap saat kali ini, Micchi mengusap bagian sensitifnya dengan tangannya yang besar itu. Kali ini tanpa kain yang menghalangi sedikitpun. Langsung bersentuhan dengan kulitnya. “Astaga...” Hikaru berujar tanpa suara dengan kaget. Perlahan, Micchi melebarkan paha Hikaru.

Micchi memposisikan dirinya di depan Hikaru. Tatapan lembutnya menatap Hikaru, menenangkannya. Micchi mencoba mendorong masuk ke dalam Hikaru. Namun, dia bisa merasakan Hikaru yang menegang dan wajah perempuan itu yang merasakan sakit. Bahkan Hikaru menggigit bibirnya keras-keras dan Micchi melihat cairan pekat keluar dari bibirnya.

Micchi segera menghentikan kegiatannya. Menarik Hikaru ke dalam dekapannya dan mengusap usap kepalanya. “Hush hush.. tenang, Hikaru...” Bisiknya. Dia mengangkat kepalanya dan mengecup bibir Hikaru, menyapu bagian yang berdarah dengan lidahnya. Hikaru nyaris terisak. “Sa-Sakit, Shun...”

Micchi memejamkan matanya, menarik napas perlahan, menenangkan dirinya juga. “Maafkan aku, maaf, kita berhenti ya...” Bisiknya. Namun, Hikaru menggeleng. Dia melepaskan sedikit pelukan Micchi untuk bertemu pandang dengan kesayangannya.

“A-Aku hanya... Tidak terbiasa...” Katanya. Micchi mengernyit. Hikaru mengusap kening Micchi. Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri, juga. “Karena itu, buat aku terbiasa, Shun...” Hikaru mengangguk, menyakinkan Micchi. Lelaki bermarga Michieda itu mencium kening Hikaru lembut dan agak lama.

Perlahan-lahan Micchi memposisikan dirinya di atas Hikaru. Matanya kali ini tidak lepas dari Hikaru. tangannya yang bebas bertaut dengan tangan Hikaru. Diposisikan dirinya kembali di depan Hikaru dan mendorongnya perlahan. Napas Hikaru tercekat, merasakan sesuatu memasuki dirinya. Dia refleks meremas tangan Micchi. Pria itu mencium bibir Hikaru. Desahan Hikaru tertahan oleh ciumannya.

Micchi mulai bergerak perlahan kala dia merasakan Hikaru sudah beradaptasi. Gerakannya yang perlahan itu semakin cepat. “Mm-Micchi... Mi-Michieda... Hah... Sh-Shun—Ah!” Hikaru memekik kala merasakan Micchi menyentuh titik manisnya, membuat pandangannya semakin berkabut. Micchi semakin mempercepat gerakannya begitu dia merasakan sesuatu di dalam tubuhnya semakin bergejolak.

Sensasinya sangat aneh dan begitu candu. “Nghh! Mi-Micchi!” Mereka saling meremas dengan kencang tangan satu sama lain yang terpaut. Micchi segera menarik keluar miliknya dari dalam Hikaru dan mengeluarkan cairannya di atas kasur. Napas keduanya tersengal. Hikaru masih terdiam, mencerna sensai yang baru pertama kali dirasakannya. Micchi sempat terdiam melihat bercak darah di dekatnya. Kedua matanya menatap Hikaru yang balas menatapnya.

“I'm yours...” Ujar Hikaru dengan napas yang masih berusaha diaturnya. Micchi mencium kening Hikaru lembut. “Aku sangat mencintaimu, Hikaru...” Bisiknya, menarik Hikaru ke dalam pelukannya. Hikaru membalas pelukan Micchi dan menyembunyikan wajahnya dibalik leher pria bermarga Michieda ini. Udara dingin dari hujan yang turun baru dirasakan keduanya. Tangan Micchi yang lainnya menarik selimut untuk menutupi tubuh polos Hikaru dan dirinya.


Pertama Kalinya

typo, nsfw, Micchika


Waktu menunjukkan pukul delapan malam lewat. Hikaru dan Micchi tengah asyik menonton rekaman episode mada update. Sesekali Micchi mendengar tawa renyah Hikaru. Dia menoleh dan memandangi wajah Hikaru dari samping. Lelaki itu menarik napas dan merebahkan kepalanya dipangkuan Hikaru.

“Micchi?” Panggil Hikaru bingung. Micchi menyunggingkan senyum dan tawa sedikit. “Sudah lama aku ga tiduran begini loh.” Katanya. Hikaru mendengkus. Dia kembali fokus dengan tontonan di depannya.

Micchi menatap wajah Hikaru dari posisinya saat ini, lamat-lamat. Hikaru yang merasa dipandangi Micchi, langsung mengalihkan pandanganya dari televisi ke arah Micchi yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuannya. Matanya mengerjap. “Apa?” Tanyanya. Micchi mengulurkan tangannya, melingkar di sekitar leher Hikaru dan menarik dirinya maupun Hikaru untuk berdekatan sampai kedua bibir mereka bersentuhan.

Kedua mata Hikaru membulat. Dia kaget, bahkan sampai menahan napasnya. Micchi mendorong tubuh Hikaru ke atas sofa, memperdalam ciumannya. Disesapi candunya ini, beberapa kali menyapu bibir atas Hikaru untuk meminta izin. Hingga akhirnya dia berhasil menyelipkan lidahnya diantara celah bibir Hikaru yang terbuka. Hikaru meremas kaos yang dikenakan Micchi, dia mencoba membalas ciuman Micchi.

Hikaru merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ujung-ujung jemarinya seperti dialiri listrik bahkan perutnya terasa geli seperti ada sesuatu yang mengaduknya. Ciuman Micchi berhenti, dia menjauhkan wajahnya dari Hikaru. Menatap kedua manik hitam kecoklatan milik kesayangannya. Napas keduanya tersengal. Mereka bertukar pandang selama beberapa saat. Hikaru menyadari bahwa tatapan Micchi berkabut, bibirnya membentuk senyum lembut. Micchi menemukan tatapan yang sama pada Hikaru. Dia mengulurkan tangan untuk menyingkirkan helaian rambut Hikaru yang menutupi wajahnya.

“Cantik... Hikaru cantik...” Micchi menunduk, berbisik. Hikaru bisa merasakan jilatan basah di dekat telinganya. Dia menggigit bibirnya, mencegah pita suaranya mengeluarkan sesuatu. Sebelah tangan Micchi yang lain mencoba menelusup ke dalam piyama biru laut yang kenakannya. Napas Hikaru tercekat begitu merasakan tangan Micchi meremas payudaranya yang masih terselimuti piyama. “Mi-Micchi...?” Hikaru tidak tahan untuk tidak bersuara. Perasaan geli di perutnya semakin menjadi.

Micchi bergeming. Beberapa saat merasakan tubuh Hikaru yang menegang. Diciumnya pangkal leher Hikaru lembut, kemudian beralih ke belakang telinganya. “Hmm...?” Balasnya. Kemudian, semakin naik ke kelopak matanya. Dikecupnya lembut kedua mata Hikaru bergantian. Hidungnya, kedua pipinya dan berakhir di bibirnya. Ciuman itu lembut dan tidak menuntut.

“Ra-Rasanya aneh...” Bisik Hikaru. Suaranya bergetar. Micchi menyunggingkan senyum lagi. “Mau aku berhenti?” Tanyanya. Meski dia tak yakin akan benar-benar berhenti atau tidak. Hikaru sempat memandanginya sejenak. Dia tahu bahwa selama ini Micchi mencoba menahan diri untuk menyentuhnya. Kepala Hikaru menggeleng. “Lakukan perlahan...” Suara Hikaru melirih. Micchi membalas ucapan Hikaru dengan mencium keningnya lembut. Napas Hikaru kembali tenang dan tubuhnya menjadi lebih rileks.

Micchi sedikit bangkit dan melepas kaosnya. Hikaru merasakan wajahnya memanas, menemukan Micchi yang bertelanjang dada di depannya. Lelaki bermarga Michieda itu kembali menunduk dan kali ini mengulurkan tangannya untuk melepas kancing piyama yang dikenakan Hikaru satu persatu. Matanya tidak lepas memandangi Hikaru yang malah mengalihkan pandangan kearah jemari Micchi yang sedang sibuk berusaha membuka kancingnya. Micchi tersenyum geli mendapati wajah Hikaru yang sangat merah. Diusapnya pipi Hikaru dengan sebelah tangannya yang bebas. “Lihat aku saja, Hikaru.” Katanya.

Hikaru mengikuti ucapan Micchi. Matanya bertemu pandang tatapan lembut Micchi. Setelahnya Micchi berhasil melepas semua kancing piyama yang dipakai Hikaru, menarik kaitan dipunggung Hikaru membuatnya langsung terlepas. Micchi menunduk untuk mencium perlahan leher Hikaru, menyapunya perlahan dengan bibirnya. Tanpa sadar, menyesapnya hingga meninggalkan tanda disana. Bersamaan dengan tangannya yang meremas lembut dadanya, bahkan sesekali memainkan puncaknya. “M-Micchi... Nghh..” Hikaru menangkup mulutnya dengan sebelah tangan. Agak terkejut dengan suara yang dibuatnya.

Micchi beralih perlahan ke tangan Hikaru yang menutupi mulutnya, menciumnya lembut. Perlahan menyingkirkannya dari wajah Hikaru. “Sebut namaku...” Katanya dengan suara berat. Hikaru mengerjap dengan wajah penuh kebingungan.

“M-Micchi—Ahh!” Hikaru berseru kala tangan Micchi mengelus bagian sensitifnya yang masih terbalut celana piyamanya. Rasanya saja sudah seperti ini, bagaimana kalau Micchi menyentuh bagian itu tanpa pakaian?

Micchi tersenyum. Sebuah senyum yang jarang sekali Hikaru lihat. Jari-jemari Micchi menarik turun celana piyama dan bagian dalamnya perlahan. Melemparkannya tidak jauh dari sana. Hikaru akan mengomel panjang padanya kalau dia melemparnya jauh-jauh dan susah ditemukan.

“Hikaru...” Panggil Micchi. Napas Hikaru agak memburu. Wanita itu mencoba nenatapnya, namun tatapannya yang sayu semakin membuat sesuatu di dalam Micchi bergejolak. “Hanya lihat aku, ya.” Katanya, sebelum memasukkan jarinya ke dalam daerah sensitif Hikaru. “Oh astaga!!” Hikaru memekik, badannya refleks terangkat sedikit dan tangannya melingkar di leher Micchi. Hikaru menenggelamkan wajahnya di bahu Micchi. Meremas lembut leher kekasihnya itu.

Micchi tertawa kecil. Geli. Dia memasukkan satu lagi jarinya dan menggerakkannya perlahan. Suara desahan Hikaru beradu dengan suara hujan di luar. “Mic-Micchi... Ugh!” Hikaru menahan pekikannya begitu dia merasakan sesuatu keluar dari tubuhnya. Rasa geli di perutnya sedikit berkurang namun dia merasakan pandangannya berkabut.

Tanpa kata, Micchi menyelipkan tangannya di kedua kaki Hikaru dan tubuhnya, menggendongnya perlahan dan berjalan masuk ke kamar Micchi. “Mau kemana...?” Bisik Hikaru. “Memilikimu?” Kening Hikaru mengkerut.

Diturunkannya Hikaru ke atas kasurnya perlahan, Micchi melepas pakaian terakhir yang mereka kenakan. Dia naik perlahan keatas Hikaru. Senyumannya begitu betah tinggal di wajahnya saat ini. Hikaru bisa melihat helaian rambut hitam kecoklatan Micchi yang jatuh lembut. Tangan Micchi menyentuh wajah Hikaru, mengusapnya perlahan. “Boleh aku memilikimu?” Tanyanya. Hikaru mengulum senyum, mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Micchi. Kepalanya mengangguk perlahan.

“Aku mencintaimu...” Micchi menunduk, kali ini kembali ke lehernya, sekitar bahunya dan memberikan tanda disana. Hikaru penasaran apakah tanda itu mudah hilang atau butuh waktu yang lama. “Mi-Micchi... Nghh!” Hikaru mengerang, meremas pelan surai Micchi begitu merasakan bibir itu mengecap payudaranya, sebelah tangannya yang bebas meremasnya lembut, bermain disana selama beberapa saat. Hikaru tidak bisa menahan desahannya.

Hikaru terkesiap saat kali ini, Micchi mengusap bagian sensitifnya dengan tangannya yang besar itu. Kali ini tanpa kain yang menghalangi sedikitpun. Langsung bersentuhan dengan kulitnya. “Astaga...” Hikaru berujar tanpa suara dengan kaget. Perlahan, Micchi melebarkan paha Hikaru.

Micchi memposisikan dirinya di depan Hikaru. Tatapan lembutnya menatap Hikaru, menenangkannya. Micchi mencoba mendorong masuk ke dalam Hikaru. Namun, dia bisa merasakan Hikaru yang menegang dan wajah perempuan itu yang merasakan sakit. Bahkan Hikaru menggigit bibirnya keras-keras dan Micchi melihat cairan pekat keluar dari bibirnya.

Micchi segera menghentikan kegiatannya. Menarik Hikaru ke dalam dekapannya dan mengusap usap kepalanya. “Hush hush.. tenang, Hikaru...” Bisiknya. Dia mengangkat kepalanya dan mengecup bibir Hikaru, menyapu bagian yang berdarah dengan lidahnya. Hikaru nyaris terisak. “Sa-Sakit, Shun...”

Micchi memejamkan matanya, menarik napas perlahan, menenangkan dirinya juga. “Maafkan aku, maaf, kita berhenti ya...” Bisiknya. Namun, Hikaru menggeleng. Dia melepaskan sedikit pelukan Micchi untuk bertemu pandang dengan kesayangannya.

“A-Aku hanya... Tidak terbiasa...” Katanya. Micchi mengernyit. Hikaru mengusap kening Micchi. Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri, juga. “Karena itu, buat aku terbiasa, Shun...” Hikaru mengangguk, menyakinkan Micchi. Lelaki bermarga Michieda itu mencium kening Hikaru lembut dan agak lama.

Perlahan-lahan Micchi memposisikan dirinya di atas Hikaru. Matanya kali ini tidak lepas dari Hikaru. tangannya yang bebas bertaut dengan tangan Hikaru. Diposisikan dirinya kembali di depan Hikaru dan mendorongnya perlahan. Napas Hikaru tercekat, merasakan sesuatu memasuki dirinya. Dia refleks meremas tangan Micchi. Pria itu mencium bibir Hikaru. Desahan Hikaru tertahan oleh ciumannya.

Micchi mulai bergerak perlahan kala dia merasakan Hikaru sudah beradaptasi. Gerakannya yang perlahan itu semakin cepat. “Mm-Micchi... Mi-Michieda... Hah... Sh-Shun—Ah!” Hikaru memekik kala merasakan Micchi menyentuh titik manisnya, membuat pandangannya semakin berkabut. Micchi semakin mempercepat gerakannya begitu dia merasakan sesuatu di dalam tubuhnya semakin bergejolak.

Sensasinya sangat aneh dan begitu candu. “Nghh! Mi-Micchi!” Mereka saling meremas dengan kencang tangan satu sama lain yang terpaut. Micchi segera menarik keluar miliknya dari dalam Hikaru dan mengeluarkan cairannya di atas kasur. Napas keduanya tersengal. Hikaru masih terdiam, mencerna sensai yang baru pertama kali dirasakannya. Micchi sempat terdiam melihat bercak darah di dekatnya. Kedua matanya menatap Hikaru yang balas menatapnya.

“I'm yours...” Ujar Hikaru dengan napas yang masih berusaha diaturnya. Micchi mencium kening Hikaru lembut. “Aku sangat mencintaimu, Hikaru...” Bisiknya, menarik Hikaru ke dalam pelukannya. Hikaru membalas pelukan Micchi dan menyembunyikan wajahnya dibalik leher pria bermarga Michieda ini. Udara dingin dari hujan yang turun baru dirasakan keduanya. Tangan Micchi yang lainnya menarik selimut untuk menutupi tubuh polos Hikaru dan dirinya.


#Pertama Kalinya

typo, nsfw, Micchika


Waktu menunjukkan pukul delapan malam lewat. Hikaru dan Micchi tengah asyik menonton rekaman episode mada update. Sesekali Micchi mendengar tawa renyah Hikaru. Dia menoleh dan memandangi wajah Hikaru dari samping. Lelaki itu menarik napas dan merebahkan kepalanya dipangkuan Hikaru.

“Micchi?” Panggil Hikaru bingung. Micchi menyunggingkan senyum dan tawa sedikit. “Sudah lama aku ga tiduran begini loh.” Katanya. Hikaru mendengkus. Dia kembali fokus dengan tontonan di depannya.

Micchi menatap wajah Hikaru dari posisinya saat ini, lamat-lamat. Hikaru yang merasa dipandangi Micchi, langsung mengalihkan pandanganya dari televisi ke arah Micchi yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuannya. Matanya mengerjap. “Apa?” Tanyanya. Micchi mengulurkan tangannya, melingkar di sekitar leher Hikaru dan menarik dirinya maupun Hikaru untuk berdekatan sampai kedua bibir mereka bersentuhan.

Kedua mata Hikaru membulat. Dia kaget, bahkan sampai menahan napasnya. Micchi mendorong tubuh Hikaru ke atas sofa, memperdalam ciumannya. Disesapi candunya ini, beberapa kali menyapu bibir atas Hikaru untuk meminta izin. Hingga akhirnya dia berhasil menyelipkan lidahnya diantara celah bibir Hikaru yang terbuka. Hikaru meremas kaos yang dikenakan Micchi, dia mencoba membalas ciuman Micchi.

Hikaru merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ujung-ujung jemarinya seperti dialiri listrik bahkan perutnya terasa geli seperti ada sesuatu yang mengaduknya. Ciuman Micchi berhenti, dia menjauhkan wajahnya dari Hikaru. Menatap kedua manik hitam kecoklatan milik kesayangannya. Napas keduanya tersengal. Mereka bertukar pandang selama beberapa saat. Hikaru menyadari bahwa tatapan Micchi berkabut, bibirnya membentuk senyum lembut. Micchi menemukan tatapan yang sama pada Hikaru. Dia mengulurkan tangan untuk menyingkirkan helaian rambut Hikaru yang menutupi wajahnya.

“Cantik... Hikaru cantik...” Micchi menunduk, berbisik. Hikaru bisa merasakan jilatan basah di dekat telinganya. Dia menggigit bibirnya, mencegah pita suaranya mengeluarkan sesuatu. Sebelah tangan Micchi yang lain mencoba menelusup ke dalam piyama biru laut yang kenakannya. Napas Hikaru tercekat begitu merasakan tangan Micchi meremas payudaranya yang masih terselimuti piyama. “Mi-Micchi...?” Hikaru tidak tahan untuk tidak bersuara. Perasaan geli di perutnya semakin menjadi.

Micchi bergeming. Beberapa saat merasakan tubuh Hikaru yang menegang. Diciumnya pangkal leher Hikaru lembut, kemudian beralih ke belakang telinganya. “Hmm...?” Balasnya. Kemudian, semakin naik ke kelopak matanya. Dikecupnya lembut kedua mata Hikaru bergantian. Hidungnya, kedua pipinya dan berakhir di bibirnya. Ciuman itu lembut dan tidak menuntut.

“Ra-Rasanya aneh...” Bisik Hikaru. Suaranya bergetar. Micchi menyunggingkan senyum lagi. “Mau aku berhenti?” Tanyanya. Meski dia tak yakin akan benar-benar berhenti atau tidak. Hikaru sempat memandanginya sejenak. Dia tahu bahwa selama ini Micchi mencoba menahan diri untuk menyentuhnya. Kepala Hikaru menggeleng. “Lakukan perlahan...” Suara Hikaru melirih. Micchi membalas ucapan Hikaru dengan mencium keningnya lembut. Napas Hikaru kembali tenang dan tubuhnya menjadi lebih rileks.

Micchi sedikit bangkit dan melepas kaosnya. Hikaru merasakan wajahnya memanas, menemukan Micchi yang bertelanjang dada di depannya. Lelaki bermarga Michieda itu kembali menunduk dan kali ini mengulurkan tangannya untuk melepas kancing piyama yang dikenakan Hikaru satu persatu. Matanya tidak lepas memandangi Hikaru yang malah mengalihkan pandangan kearah jemari Micchi yang sedang sibuk berusaha membuka kancingnya. Micchi tersenyum geli mendapati wajah Hikaru yang sangat merah. Diusapnya pipi Hikaru dengan sebelah tangannya yang bebas. “Lihat aku saja, Hikaru.” Katanya.

Hikaru mengikuti ucapan Micchi. Matanya bertemu pandang tatapan lembut Micchi. Setelahnya Micchi berhasil melepas semua kancing piyama yang dipakai Hikaru, menarik kaitan dipunggung Hikaru membuatnya langsung terlepas. Micchi menunduk untuk mencium perlahan leher Hikaru, menyapunya perlahan dengan bibirnya. Tanpa sadar, menyesapnya hingga meninggalkan tanda disana. Bersamaan dengan tangannya yang meremas lembut dadanya, bahkan sesekali memainkan puncaknya. “M-Micchi... Nghh..” Hikaru menangkup mulutnya dengan sebelah tangan. Agak terkejut dengan suara yang dibuatnya.

Micchi beralih perlahan ke tangan Hikaru yang menutupi mulutnya, menciumnya lembut. Perlahan menyingkirkannya dari wajah Hikaru. “Sebut namaku...” Katanya dengan suara berat. Hikaru mengerjap dengan wajah penuh kebingungan.

“M-Micchi—Ahh!” Hikaru berseru kala tangan Micchi mengelus bagian sensitifnya yang masih terbalut celana piyamanya. Rasanya saja sudah seperti ini, bagaimana kalau Micchi menyentuh bagian itu tanpa pakaian?

Micchi tersenyum. Sebuah senyum yang jarang sekali Hikaru lihat. Jari-jemari Micchi menarik turun celana piyama dan bagian dalamnya perlahan. Melemparkannya tidak jauh dari sana. Hikaru akan mengomel panjang padanya kalau dia melemparnya jauh-jauh dan susah ditemukan.

“Hikaru...” Panggil Micchi. Napas Hikaru agak memburu. Wanita itu mencoba nenatapnya, namun tatapannya yang sayu semakin membuat sesuatu di dalam Micchi bergejolak. “Hanya lihat aku, ya.” Katanya, sebelum memasukkan jarinya ke dalam daerah sensitif Hikaru. “Oh astaga!!” Hikaru memekik, badannya refleks terangkat sedikit dan tangannya melingkar di leher Micchi. Hikaru menenggelamkan wajahnya di bahu Micchi. Meremas lembut leher kekasihnya itu.

Micchi tertawa kecil. Geli. Dia memasukkan satu lagi jarinya dan menggerakkannya perlahan. Suara desahan Hikaru beradu dengan suara hujan di luar. “Mic-Micchi... Ugh!” Hikaru menahan pekikannya begitu dia merasakan sesuatu keluar dari tubuhnya. Rasa geli di perutnya sedikit berkurang namun dia merasakan pandangannya berkabut.

Tanpa kata, Micchi menyelipkan tangannya di kedua kaki Hikaru dan tubuhnya, menggendongnya perlahan dan berjalan masuk ke kamar Micchi. “Mau kemana...?” Bisik Hikaru. “Memilikimu?” Kening Hikaru mengkerut.

Diturunkannya Hikaru ke atas kasurnya perlahan, Micchi melepas pakaian terakhir yang mereka kenakan. Dia naik perlahan keatas Hikaru. Senyumannya begitu betah tinggal di wajahnya saat ini. Hikaru bisa melihat helaian rambut hitam kecoklatan Micchi yang jatuh lembut. Tangan Micchi menyentuh wajah Hikaru, mengusapnya perlahan. “Boleh aku memilikimu?” Tanyanya. Hikaru mengulum senyum, mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Micchi. Kepalanya mengangguk perlahan.

“Aku mencintaimu...” Micchi menunduk, kali ini kembali ke lehernya, sekitar bahunya dan memberikan tanda disana. Hikaru penasaran apakah tanda itu mudah hilang atau butuh waktu yang lama. “Mi-Micchi... Nghh!” Hikaru mengerang, meremas pelan surai Micchi begitu merasakan bibir itu mengecap payudaranya, sebelah tangannya yang bebas meremasnya lembut, bermain disana selama beberapa saat. Hikaru tidak bisa menahan desahannya.

Hikaru terkesiap saat kali ini, Micchi mengusap bagian sensitifnya dengan tangannya yang besar itu. Kali ini tanpa kain yang menghalangi sedikitpun. Langsung bersentuhan dengan kulitnya. “Astaga...” Hikaru berujar tanpa suara dengan kaget. Perlahan, Micchi melebarkan paha Hikaru.

Micchi memposisikan dirinya di depan Hikaru. Tatapan lembutnya menatap Hikaru, menenangkannya. Micchi mencoba mendorong masuk ke dalam Hikaru. Namun, dia bisa merasakan Hikaru yang menegang dan wajah perempuan itu yang merasakan sakit. Bahkan Hikaru menggigit bibirnya keras-keras dan Micchi melihat cairan pekat keluar dari bibirnya.

Micchi segera menghentikan kegiatannya. Menarik Hikaru ke dalam dekapannya dan mengusap usap kepalanya. “Hush hush.. tenang, Hikaru...” Bisiknya. Dia mengangkat kepalanya dan mengecup bibir Hikaru, menyapu bagian yang berdarah dengan lidahnya. Hikaru nyaris terisak. “Sa-Sakit, Shun...”

Micchi memejamkan matanya, menarik napas perlahan, menenangkan dirinya juga. “Maafkan aku, maaf, kita berhenti ya...” Bisiknya. Namun, Hikaru menggeleng. Dia melepaskan sedikit pelukan Micchi untuk bertemu pandang dengan kesayangannya.

“A-Aku hanya... Tidak terbiasa...” Katanya. Micchi mengernyit. Hikaru mengusap kening Micchi. Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri, juga. “Karena itu, buat aku terbiasa, Shun...” Hikaru mengangguk, menyakinkan Micchi. Lelaki bermarga Michieda itu mencium kening Hikaru lembut dan agak lama.

Perlahan-lahan Micchi memposisikan dirinya di atas Hikaru. Matanya kali ini tidak lepas dari Hikaru. tangannya yang bebas bertaut dengan tangan Hikaru. Diposisikan dirinya kembali di depan Hikaru dan mendorongnya perlahan. Napas Hikaru tercekat, merasakan sesuatu memasuki dirinya. Dia refleks meremas tangan Micchi. Pria itu mencium bibir Hikaru. Desahan Hikaru tertahan oleh ciumannya.

Micchi mulai bergerak perlahan kala dia merasakan Hikaru sudah beradaptasi. Gerakannya yang perlahan itu semakin cepat. “Mm-Micchi... Mi-Michieda... Hah... Sh-Shun—Ah!” Hikaru memekik kala merasakan Micchi menyentuh titik manisnya, membuat pandangannya semakin berkabut. Micchi semakin mempercepat gerakannya begitu dia merasakan sesuatu di dalam tubuhnya semakin bergejolak.

Sensasinya sangat aneh dan begitu candu. “Nghh! Mi-Micchi!” Mereka saling meremas dengan kencang tangan satu sama lain yang terpaut. Micchi segera menarik keluar miliknya dari dalam Hikaru dan mengeluarkan cairannya di atas kasur. Napas keduanya tersengal. Hikaru masih terdiam, mencerna sensai yang baru pertama kali dirasakannya. Micchi sempat terdiam melihat bercak darah di dekatnya. Kedua matanya menatap Hikaru yang balas menatapnya.

“I'm yours...” Ujar Hikaru dengan napas yang masih berusaha diaturnya. Micchi mencium kening Hikaru lembut. “Aku sangat mencintaimu, Hikaru...” Bisiknya, menarik Hikaru ke dalam pelukannya. Hikaru membalas pelukan Micchi dan menyembunyikan wajahnya dibalik leher pria bermarga Michieda ini. Udara dingin dari hujan yang turun baru dirasakan keduanya. Tangan Micchi yang lainnya menarik selimut untuk menutupi tubuh polos Hikaru dan dirinya.