soymilkao29

MinaRau, Romance/Fluff, Typo


“Miyahara!” Mina yang sedang berjalan santai menuju ruangan editor dikejutkan dengan seruan seseorang dari salah satu ruangan yang sudah dia lewati. Seorang perempuan dengan outfit yang sangat fashionable itu menggoyangkan tangannya—bermaksud memanggil Mina ke ruangannya dengan isyarat.

Mina mengerutkan kening sembari menghampiri sang perempuan. Mina mengenalnya sebagai Chief Editor AnAn. Ada apa? Apakah kinerjanya mau direview oleh beliau? Mina mengedikkan bahunya cepat. Mana mungkin. Atasannya selalu mengabari para karyawan kalau akan ada penilaian.

Ruangan chief editor memang selalu bagus dan menenangkan. “Silahkan duduk.” kata sang kepala editor, lalu duduk di kursinya sendiri, sementara Mina menarik kursi yang ada di depan meja sang kepala editor bernama Takahashi itu.

Takahashi sibuk mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya, meletakan sebuah map di atas meja di depannya. “Jadi, maksud saya memanggil kamu kemari untuk memberikan sebuah penawaran menarik. Silahkan dibaca.” Takahashi menyodorkan map itu kearah Mina. Miyahara mengambil map bening itu dan mengeluarkan kertas yang diklip.

Disitu jelas tertulis sebuah penawaran untuk mengisi front cover sebagai model AnAn edisi employment. “Kamu terpilih diantara banyak karyawan disini untuk mengisi slot itu,” ucap Takahashi. “apakah Miyahara mau menerimanya?”

“Kenapa saya, Takahashi-henshuuchou?” tanya Mina. dia masih bingung mengapa dia yang harus terpilih untuk mengisi kali ini. Anan biasanya memakai model profesional.

“Hmmm, dilihat dari penampilan dan kinerja, para atasan akhirnya memilih kamu untuk mengisi slot itu, Miyahara.” jawabnya. Mina masih harus mencerna semua ini. Dia tersenyum tipis kearah sang chief editor dan meminta waktu sebentar untuk berpikir dengan tenggat besok akan memberikan kabar. Sang kepala editor menyetujui keinginannya dan memperbolehkan Mina untuk pamit dari ruangannya.

Mina kembali ke mejanya di ruangan editor. Sementara punggungnya bersandar di sandaran kursi kerjanya, sepasang matanya menatap lurus kearah berkas penawaran AnAn yang diberikan padanya tadi. Kalau boleh jujur, Mina tidak pernah ada niatan untuk terjun ke dunia modeling ataupun harus muncul di depan umum sebagai selebriti. Kehidupannya sebagai orang biasa saja sudah melelahkan. Mina tidak suka sesuatu yang ribet dan menyusahkan.

Apa dia perlu tanya seseorang yang sudah sering bolak-balik jadi langganan front cover majalah terkenal? AnAn terkenal kan?

Lamunan Mina buyar saat ponselnya berdering kencang, menarik perhatian beberapa teman sekantornya disana. Mina buru-buru mengambil ponselnya yang ada di sebelah dokumen itu sementara dokumen itu dia simpan di dalam laci mejanya. Mina pamit pada teman di sebelahnya untuk menerima telepon.

Kaki kaki jenjangnya berlari keluar ruangan dan mencari lorong yang lumayan sepi dan jarang dilewati orang. Ternyata Haruna yang menelpon. “Halo, Haruna-san?”

“Halo, Mina-chan! Sedang sibuk? Apakah aku mengganggumu?” suara lembut itu menyapanya. Mina menggeleng dan tersenyum. “Tidak sama sekali, aku baru saja selesai mewawancara narasumber. Ada apa, Haruna-san?”

“Hmmm, Raul sekarang sedang di Paris kan?” Haruna bertanya basa-basi. Oh iya, kalau diingat, Raul—kekasihnya itu sedang berada di Paris untuk menghadiri Paris Fashion Week dan mengisi beberapa fashion show milik Yohji Yamamoto. Mina sangat senang saat Raul menceritakan jadwalnya selama seminggu di Paris sebelum berangkat beberapa hari sebelumnya.

Sampai saat ini, Mina hanya tau kabar bahwa Raul baik-baik saja dan menikmati waktu beserta pekerjaannya lewat Instagram maupun Twitter dari laporan para fans yang tidak sengaja maupun sengaja bertemu Raul disana.

“Ah iya. Aku belum mendengar kabar darinya secara personal. Memangnya kenapa, Haruna-san?” Mina harap dia tidak mendengar hal-hal yang mencemaskan dari lelaki bermarga Murakami Maito itu. Haruna tertawa pelan. “Tidak ada apa-apa,” seakan bisa menjawab kekhawatiran Mina, Haruna mengucapkan kalimat penenang itu. “rencananya aku dan Tsuki mau mengajakmu ke Paris, kalau pekerjaanmu sudah selesai semua.” lanjutnya.

Ah, pekerjaan ya. Soal pekerjaan dia kembali ingat tentang tawaran slot AnAn itu. “Ano, Haruna-san,” Mina memanggil Haruna lagi. Kali ini, dia menyandarkan punggungnya di dinding yang ada dibelakangnya sementara kakinya diayunkan pelan. “Begini, aku… ditawarkan untuk mengisi slot AnAn edisi minggu depan untuk membahas staf di AnAn. Aku masih bingun apakah tawaran ini harus kuambil atau tidak. Menurut Haruna-san bagaimana?”

Terdengar gumaman pelan di seberang sana. “Kalau Mina-chan ingin menantang diri dan percaya diri untuk tampil di majalah, kurasa tidak ada salahnya dicoba.” jawab Haruna.

“Tapi, kalau kamu merasa tidak nyaman, jangan sungkan untuk menolak dan bilang pada atasanmu soal ini ya.” lanjutnya lagi. Mina mengulum bibirnya.

“Terima kasih, Haruna-san.” kata Mina. “Oh tambahan, jangan kaget kalau bertemu fotografer yang tempramental ya. Hehehe.” Mina tertawa mendengarnya.


Raul menghirup dalam-dalam aroma Jepang setelah dia selesai keluar dari Imigrasi. Dia rindu sekali dengan Jepang. Oh, terutama Mina. Apa kabar ya kekasihnya itu? Sudah seminggu lebih dia tidak menyempatkan diri untuk bertukar pesan pada Mina. Terlebih karena dia tidak diizinkan untuk menghubungi orang lain selain member Snow Man dan keluarganya, jadi susah sekali untuk menghubungi Mina. Beruntungnya begitu dia mengecek ponselnya pada kolom chat kontak Mina, tidak ada chat dari sang kekasih. Oh, hanya satu. Pesan itu berbunyi untuk selalu menjaga kesehatannya dan jangan lupa istirahat.

“Raul-san!” Manajernya memanggil namanya begitu menyadari bahwa sang idol jangkung itu tenggelam dalam lamunannya. Raul segera melangkahkan kakinya mengikuti sang manajer menuju van yang sudah terparkir tidak jauh dari mereka. Sudah diduga akan lebih banyak ada kamera yang menyambutnya di bandara.

Raul segera masuk ke dalam mobil itu dan duduk dengan manis di samping jendela. Mobil yang dia tumpangin mulai memasuki kawasan Tokyo yang padat, sebelum bisa pulang ke rumah, Raul harus ke jimusho terlebih dahulu untuk rapat sebentar dengan agensi mengenai karirnya sebagai model.

Memperhatikan jalanan di sekitarnya, mata Raul tidak sengaja menangkap sebuah iklan toko buku di jalanan Akasaka. Sebuah majalah AnAn edisi minggu itu yang model front covernya menarik perhatian Raul. Dia langsung meminta supir untuk memberhentikan mobil van itu dan meminta izin pada manajernya untuk ke toko buku sebentar. Manajernya awalnya tidak mengizinkan Raul untuk keluar, namun dengan wajah memelas lelaki itu, Manajernya luluh dan mengizinkan Raul untuk pergi keluar sebentar namun harus ditemani olehnya.

Raul memasuki toko buku besar itu dengan tidak lupa menyapa pramuniaga disana, tidak lupa pula dia tetap memakai topi beserta kacamata beningnya. Setidaknya dia harus menjaga agak tidak ada yang menyadari bahwa Raul berada disana.

Kaki kaki panjang Raul melangkah ke salah satu display majalah AnAn yang menampilkan sosok perempuan yang sangat dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, Raul mengambil lima kopi majalah edisi AnAn minggu itu dan membayarnya.

Jantungnya berdetak kencang sementara otaknya mengumpulkan beberapa pertanyaan yang intinya. Apa yang telah terjadi selama dirinya berada di Paris?


Hari itu, Minggu, Mina menikmati hari liburnya dengan duduk bersantai di sofa sembari menikmati segelas cokelat hangatnya. Di atas meja yang ada di hadapannya ini, tergeletak sebuah majalah terkenal, tempat dimana dia bekerja saat ini. Menampilkan dirinya yang berpose di halaman terdepan majalah AnAn tersebut. Mina mengulum bibirnya. Selama pemotretan dia menikmatinya, memang terkadang dia harus diarahkan oleh pengarah gaya karena minim sekali soal modeling, sekalipun pacarnya seorang model.

Begitu, majalah edisi itu rilis, Haruna mengiriminya pesan dan mengatakan bahwa Mina sangatlah cantik disana. Dia tidak sabar melihat bagaimana reaksi Raul saat melihat Mina di sana. Raul…. Untuk beberapa saat selama masa pemotretan dan penyusunan majalah itu dia lupa akan Raul. Dia lupa mengabari Raul bahwa dia akan muncul di majalah itu sebagai special appreance.

Belum lagi disitu dia berpose dengan seorang model lelaki. Apakah Raul akan cemburu atau malah biasa saja? Mina jadi penasaran sekaligus takut membayangkan respon Raul saat tahu hal ini.

Lagi. Mina melihat kearah majalah itu. Seorang perempuan yang tubuhnya terbalut Parisian Chic Draped Satin Slip Midi Dress. Sebuah dress yang memiliki aksen drapery  di bagian dada dan pinggang yang cantik, dan juga kedua tali yang menjaga agar dress itu tetap pada tubuhnya. Makeupnya juga tipis dan hanya menghighlight bibirnya yang dipoles pewarna bibir berwarna merah agak muda sedikit. Rambutnya yang sudah mulai panjang melewati bahu itu distyle menjadi messy low bun. Sementara tubuhnya menghadap kamera, model lelaki yang berpose bersamanya memunggungi kamera dan sang penata gaya mengarahkan dirinya—waktu itu— untuk melingkarkan tangannya di sekitar bahu sang lelaki.

Akan lebih bagus kalau waktu itu Raul yang menjadi modelnya, begitu pikir Mina. Tapi, mana mungkin.

Mina menghela napas. Dia membalik majalah itu untuk mengalihkan pikirannya sejenak. Perempuan itu beranjak untuk pergi ke kamarnya setelah mematikan televisinya. Mungkin tidur siang sebentar tidak masalah.

Suara bel menghentikan langkah Mina. Perempuan itu menghela napas. Siapa yang mengunjunginya di hari libur yang cerah ini? Mina memutar haluan dan berjalan kearah pintu unitnya. Dia mengecek interkom dan melihat sosok lelaki jangkung yang selama beberapa hari ini sibuk catwalk di Paris.

Tanpa ragu, Mina membuka pintu, bertemu pandang dengan Raul yang menatapnya dari balik kacamata berframe bening yang membingkai wajahnya. Mina mengulum bibirnya, menahan diri untuk tidak lompat kearah Raul dan memeluk erat lelaki itu.

“Tadaima, kak Mina!” sapa Raul. Mina mengangguk. “Okaeri, Rau.” balas Mina pelan.


Raul bertopang dagu, menatap lamat-lamat kekasih yang sudah tidak ditemuinya selama seminggu lebih ini. Mempelajari garis wajahnya dan memproyeksikan setiap detailnya pada otaknya. Kemudian, menggabungkannya pada visual sosok perempuan yang dia lihat di majalah AnAn yang tadi dia beli sesampainya di Jepang.

Dia sudah bertanya mengenai majalah itu pada Mina. Perempuan itu bilang bahwa dia ingin mencoba sesuatu yang baru tapi tidak berniat untuk melanjutkannya, hanya ingin mencoba sekali apa yang Raul rasakan saat kamera menangkap setiap posenya. Mina melirik Raul yang duduk di depannya, sementara lelaki bermarga Murakami Maito itu semakin melebarkan senyumannya.

“Aku senang kak Mina muncul di majalah AnAn,” kata Raul. namun, bibirnya mengerucut sebal. “tapi, akan lebih bagus kalau yang dipeluk kak Mina adalah aku di majalah itu!” ujarnya.

Mina tertawa. “Dia cuma bisa memelukku sekali. Sedangkan Rau bisa kapan saja memelukku.” katanya. Benar sih, tapi tetap saja. Raul mengembungkan pipinya. Dia berdiri dari duduknya dan menarik tangan Mina.

“Aku ngantuk. Mau tidur sambil meluk kak Mina.” kata Raul dengan suara lucunya. Wajah Mina meranum, sementara jantungnya sudah mulai berdetak tidak karuan lagi. Mina menyelesaikan dirinya yang sedang melihat-lihat majalah yang dibawa Raul dari Paris itu dan menerima uluran tangan Raul.

Sekarang keduanya sedang menikmati waktu bersama di atas kasur sembari Mina memeluk Raul begitupula sebaliknya. Raul meletakan dagunya diatas kepala Mina dan memeluk perempuan-nya itu dengan erat.

“Kak Mina… Aku bukannya mau melarang kak Mina kalau kak Mina mau terjun ke modeling juga. Hanya saja…,” Raul menarik napas. dia memposisikan wajahnya sejajar dengan Mina, menatap lurus ke dalama sepasang mata kekasihnya itu.

“Aku tidak mau merasakan perasaan bahwa semua orang mau mencuri wanitaku…”

Sial. Darimana Raul belajar kalimat seperti itu? Sekarang Mina semakin tidak bisa menahan detakan jantungnya yang semakin gila beserta wajahnya yang memanas. Sementara otaknya terus mengulang kalimat Raul barusan bagaikan sebuah kaset yang rusak. Mina bersyukur Raul tidak marah atas kemunculannya di AnAn.

“Aku juga tidak akan membiarkan mereka mencuriku, Rau.” balas Mina. Dia mencoba memberanikan diri, mengecup bibir Raul. Hanya sebuah kecupan singkat yang membuat Raul ingin kembali mencium Mina dengan lebih, menyesap candunya.

Typo, OOC


Kaki jenjang Aline turun dari kereta dan berjalan menuju salah satu bangku di peron stasiun untuk untuk duduk supaya bisa membalas pesan dengan lebih aman. Bibirnya membentuk bulan sabit saat layarnya menemukan chat dari Matsumura Hokuto di barisan teratas aplikasi LINE nya. Lelaki yang sudah official menjadi kekasihnya sejak lulus SMA hingga saat ini—baik Aline maupun Hokuto sudah menginjak semester 4 saat ini—mengirimkan sebuah stiker dan pesan yang menanyakan keberadaan Aline hari itu.

Meski sudah jalan dua tahun berpacaran, bagi Aline hubungannya dengan Hokuto selalu terasa baru dan menyenangkan. Hokuto selalu berhasil membuat jantungya berdetak sangat cepat setiap kali dia melihat senyuman manis sang pacar. Sebut saja Aline bulol.

Baru membalas pesan Hokuto, layar ponselnya sudah menyala dan bergetar. Hokuto menelponnya. “Hai, Hokuto.” Aline menyapa dengan masih mempertahankan senyumannya. Kakinya bergerak semangat. “Hai, sayang.” Sial. Baru dibilang, jantung Aline sekarang sudah mulai berdetak dengan abnormal. Belum lagi sekarang wajahnya meranum merah. Dia yakin sekali.

Aline menjauhkan sedikit ponselnya dan berteriak kecil tanpa suara. Dihela napasnya perlahan setelah dirasa dia sudah lebih tenang. “Ehem. Bilang-bilang dong kalau mau manggil begitu.” Tawa Hokuto membalas ucapan Aline barusan.

“Pasti lagi salah tingkah ya?” IYA! Aline menambahkan dalam hati dengan gemas. “Oh iya, aku lagi di Starbucks sebelah stasiun. Aku susulin ya.” kata Hokuto. Aline ingat di pesan sebelumnya Hokuto bilang dia ada di dekat stasiun dimana Aline turun hari itu. Dia rencananya mau ketemuan sama Bina tapi perempuan itu meminta untuk mereschedule karena dosennya mendadak memberikan jam tambahan. Aline tidak masalah karena dia sendiri paham seperti apa dosen Bina dari apa yang diceritakan perempuan itu.

Oh iya, bicara soal Bina, Aline tahu bahwa Bina dan Jesse sudah putus.:( Bina sendiri yang bilang. Perempuan itu dengan santai berkata bahwa dia dan Jesse sudah tidak ada hubungan apapun. Penyebabnya sampai saat ini tidak diketahui Aline.

“Gak usah. Aku susulin Hokuto aja.” Kata Aline sudah bersiap-siap untuk berdiri. Hokuto berdecak pelan. “Duduk dulu! Jangan teleponan sambil jalan, Aline.” Kata Hokuto dengan nada yang tidak ingin dibantah.

Aline langsung duduk kembali dengan manis dan mengatup rapat-rapat mulutnya. “Yaudah kita ketemuan di depan stasiun ya. Aku kesana sekarang,” kata Hokuto. “matiin teleponnya.” Lanjut Hokuto. Aline mengangguk. “Baik.” Dia memutus sambungan dan segera beranjak. Suasana stasiun hari itu cukup ramai meski bukan hari libur.

Aline membawa dirinya untuk berdiri di pojok gedung stasiun itu sembari memandangi lalu lalang di depan matanya. Sesekali memfokuskan pandangannya satu titik dan melamun. Aline berjengit begitu merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kanannya. Kepalanya menoleh, menemukan Hokuto yang tertawa pelan di dekatnya. Buku-buku jari lelaki itu mengusap pipi Aline yang sedikit basah oleh kaleng minuman dingin yang ditempelkan lelaki itu pada wajahnya.

“Jangan melamun! Nanti ada yang ambil kamu dari aku, gimana?” Sial. Aline mengulum bibirnya dengan wajah memanas. Dia berdecak dan memukul pelan pundak Hokuto dan menerima kaleng minuman soda itu.

Hokuto ikut bersandar di sebelahnya dan memperhatikan lalu lalang di stasiun yang ramai itu. Sesekali dia melirik kearah Aline yang ternyata juga sedang memandanginya. Perempuan itu jelas terkejut dan pura-pura melihat sesuatu di sebelah Hokuto. Aline berdecak dan mengusap wajahnya dengan malu.

“Aku belum terbiasa dengan Hokuto ternyata.” Gumamnya. Hokuto mengernyit. “Maksudnya?” Aline menarik napas dan berdiri menghadap Hokuto, menyandarkan bahunya pada dinding di sebelahnya. Senyumnya terulum simpul. Tangannya menyentuh dadanya. “Jantungku,” Aline memegang wajahnya. “wajahku, semuanya selalu bereaksi berlebihan setiap kali Hokuto ada di dekatku. Bagaimana cara menghentikannya?” tanyanya.

Hokuto mengerjap mendengar ucapan Aline barusan. Lelaki itu tidak bisa menahan senyum gemasnya. Hokuto mengantongi kaleng minumannya dan menangkup wajah Aline, mendekatkan wajahnya kearah perempuan itu dan menggosokan kedua hidung mereka. Aline sudah merasakan bola matanya akan melompat keluar saat Hokuto mendekat kearahnya seperti itu.

“Aline kenapa menggemaskan sekali sih?” Aline melotot, lagi-lagi tangannya menepuk pelan pundak Hokuto. “Berhenti mendekat dengan tiba-tiba seperti itu!” Aline menyentuh dadanya, merasakan detakannya semakin tidak karuan.

“Kukira kau mau menciumku... Astaga...” Meski dengan suara yang pelan, Hokuto bisa mendengar jelas ucapan Aline barusan dari jarak sedekat ini. Tanpa memberikan aba-aba apapun pada perempuan di depannya ini, Hokuto mengecup dengan cepat bibir Aline.

Pada saat inilah, jantung Aline berhenti berdetak sepersekian detik.

Typo, OOT


Dengan matanya yang tajam, Taiga semakin menatap sinis kearah Hokuto—sang kucing siberian black yang sedang berlomba tatap-tatapan dengan kucing berjenis sama dengan Taiga—Turkish Anggora betina bernama Aline itu. Taiga merotasi bola matanya sembari melipat kedua kaki depannya dan bersandar di atasnya.

Ini bukan pertama kalinya Hokuto datang jauh dari blok belakang—blok nomor 7 untuk menghampiri sang pujaan hati yang tinggal satu blok bersama Taiga itu. awalnya Hokuto masih malu-malu dan meminta bantuannya untuk mendekati Aline, lama-lama kucing jantan itu mulai mandiri dan mendekati Aline dengan lebih agresif. Yah, tidak agresif karena di mata Taiga, Hokuto masih ada sedikit rasa malu. Agak berbeda dengan kucing berjenis bombay berwarna abu-abu yang tinggal di blok sebelahnya—kalau tidak salah namanya Juri.

Aline juga terlihat memberikan rasa tertariknya pada Hokuto dengan membicarakan kucing itu setiap kali mereka makan bersama—oh iya, owner dari Taiga dan Aline merupakan sahabat dekat sejak kecil. Jadi, mereka sudah terbiasa bersama, namun Taiga tidak sedikitpun tertarik untuk mengawini Aline. Terlebih juga setiap musim mating, Taiga memilih untuk mendekam di rumah dan berguling-guling—yang juga terkadang membuat ownernya sedikit jengah dan nyaris membawanya ke klinik hewan untuk di steril.

Taiga tahu apa itu steril, dia belum mau disteril. Pernah suatu ketika, ownernya tiba-tiba bilang padanya bahwa Taiga akan disteril besok. Saat itu juga, Taiga langsung lari dan bersembunyi di rumah Aline—lebih tepatnya di bawah kasur milik ownernya Aline. Setiap kali sang ownernya ingin meraihnya, Taiga selalu mendesis galak dan menatap tajam kearah ownernya hingga sang ownernya membatalkan niatnya untuk mensteril Taiga.

“Taiga,” Kucing berwarna putih yang sedang melamun itu mengangkat kepalanya saat Hokuto mendekat kearah Taiga. “Sudah selesai lomba tatapannya sama Aline?” cibir Taiga.

Hokuto tertawa. Kucing jantan itu duduk di sebelahnya dan melipat ke dalam kedua kakinya. “Udah. Aline lagi dipanggil babunya. Mau dimandiin bentar, sih, kata Aline tadi.”

Taiga yang kali ini tertawa. “Tumben dia mau mandi. Biasanya kabur-kaburan mulu.” Kata Taiga. Hokuto mengangguk. “Oh iya, tadi aku ketemu Agatha,” kedua telinga tajam Taiga langsung berdiri dan pupil matanya membesar. Hokuto yang melihat tersenyum geli. “lagi sama Shin.” Lanjutnya.

“Oh.” Balas Taiga. Agatha—Kucing berjenis Ragdoll yang tinggal di blok sebelah—blok nomor 2, satu blok dengan Juri dan Shin yang disebutkan Hokuto tadi. Seekor kucing putih dengan aksen cokelat yang membuat Taiga—mungkin jatuh cinta padanya sejak pertama bertemu.

“Cuma oh doang? Gak takut Agatha diambil Shin?” Hokuto menjilat pawnya dan mengusapkannya pada kepalanya. Taiga tidak membalas pertanyaan Hokuto barusan. Kedua matanya mengerjap beberapa kali dan pupilnya mengecil sedikit. Kucing jantan itu bangkit dari duduknya dan merenggangkan tubuhnya.

“Aku mau jalan-jalan.” Tanpa menoleh, Taiga membawa keempat kakinya untuk berjalan menjauhi Hokuto. “Mau nyamperin Agatha yaa?” Taiga mendesis pelan mendengar suara Hokuto yang menggodanya. Dia berjalan terus dan berbelok di tikungan menuju blok nomor 2. Iya, Taiga mau nyamperin Agatha. Hitung-hitung menjalin silahturahmi antar sesama kucing. Enggak sih, Taiga sebenarnya mau PDKT. Memang manusia doang yang bisa?

Taiga sedikit berhenti berjalan saat menemukan kucing berwarna putih dengan aksen cokelat itu tersentak melihat kearahnya dan langsung berlari pergi. Kedua telinga Taiga mengerut. Dia kembali berjalan, kali ini menghampiri kucing berjenis


Agatha sedang duduk tenang di lantai teras rumahnya sembari melihat Shin—kucing berjenis Chartreux berwarna oranye itu memainkan tali rapia berwarna hitam yang dia temukan di bawah pohon rindang dekat rumah Agatha. Dengan tenang duduk berposisi seperti patung Spinx, Agatha mengangkat kepala, merasakan kedatangan sesuatu. Pupilnya membesar melihat sosok kucing turkish anggora yang Agatha kenal bernama Taiga berjalan santai kearah mereka. Agatha langsung bangkit dari duduknya dengan panik dan menghampiri Shin.

“Kalau Taiga nyariin aku, bilang aku gak kesini. Aku gak ada. Gitu ya, Shin!” Ujar Agatha pada Shin yang fokusnya terpecah dengan Agatha. Kucing betina itu langsung berlari menuju taman kecil di dekat sana. Belum sempat mengiyakan ucapan Agatha, suara Taiga sudah menghampiri telinganya.

“Hai, Shin.” Sapa Taiga. Berdiri dengan manis di sebelah kucing jantan dari keluarga Morimoto itu. “Halo, Taiga.” Balas Shin. Taiga mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari-cari keberadaan Agatha disana. Namun, nihil.

“Agatha kemana?” tanyanya. Sembari memainkan tali, Shin menjawab santai. “Tadi kata Agatha, dia gak kesini.” Taiga mengangkat tinggi sebelah telinganya. Shin langsung mengangkat kepalanya dan bertemu pandang dengan Taiga yang menyipit kearahnya.

Kucing jantan itu tersenyum kikuk dan berpura-pura sibuk dengan mainannya. Taiga menghela napas. Dia beranjak untuk berjalan kearah taman kecil disana. Agatha selalu menghindar darinya setiap kali Taiga muncul. Padahal Taiga Cuma mau duduk dengan tenang di sebelah Agatha. Cukup memperhatikan kucing betina itu saja sudah membuat Taiga senang.

Melewati bangku taman yang dibelakangnya tumbuh banyak semak-semak liar, Taiga berhenti di depannya. menatapnya sejenak karena semak-semak yang bergerak mencurigakan. Dia memasang ancang-ancang, menggoyangkan ekor panjangnya dan menajamkan pandangannya.

Suara teriakan khas kucing terdengar saat seekor kucing melompat keluar menabrak Taiga. “Agatha?!”

Agatha menarik tubuhnya dari Taiga dan bersembunyi di balik tangga perosotan, menatap Taiga dengan kedua pupilnya yang membesar itu. Kenapa dia sangat menggemaskan?, Taiga berujar pelan di dalam benaknya. Kucing jantan itu mendekat pelan kearah Agatha, sementara Agatha mendesis.

“Segitunya gak mau ketemu sama aku?” Taiga bertanya pelan dengan kedua telinga yang terlipat dan tatapan sedihnya. Agatha mengerjap sejenak. Sementara Agatha mencerna apa yang diucapkan Taiga, kucing jantan milik keluarga Kyomoto itu mendekat dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh kaki kanan depan milik Agatha.

Tidak. Agatha bukan tidak mau bertemu Taiga. Dia hanya tidak suka sensasi yang ditimbulkan tubuhnya setiap kali Agatha melihat Taiga. Agatha tidak yakin dia bisa tahan untuk sekedar duduk diam bersebelahan dengan kucing jantan yang cukup terkenal di cluster itu.

“Yauda aku mau pulang dulu. Tadi mau main juga sama Agatha dan Shin tapi Agatha enggak suka ya?” Taiga menarik tangannya dan tersenyum, berjalan menjauhi Agatha yang masih betah dengan posisinya di bawah perosotan itu.

Pertemuan pertama dengan Taiga bukan sesuatu yang menyenangkan. Waktu itu Agatha tidak sengaja main terlalu jauh dan tidak tahu bagaimana cara pulang. Untuk seharian itu, Agatha memojokan diri di salah satu ruko tidak berpenghuni untuk menghindari hujan yang turun hari itu. Dia tidak begitu suka terkena air. Namun, hari itu kucing turkish anggora berwarna putih berlari-lari menerjang hujan kearahnya. Bulu-bulu halusnya terlihat basah terkena hujan. Kucing itu bilang padanya bahwa Agatha dicari-cari oleh pemiliknya.

Pemiliknya meminta kucing itu untuk mencari Agatha dan kalau ketemu kucing itu akan diberikan snack. Agatha baru tahu namanya setelah mereka sampai di rumah, ownernya yang bilang bahwa kucing turkish itu bernama Taiga. Tinggalnya tidak jauh dari rumahnya.

“Aku tidak suka kena hujan.” “Kenapa? Aku suka hujan. Udara jadi segar dan aroma sekitar jadi sangat alami.” Setelah mengucapkan itu, Taiga mendorong bagian belakang tubuhnya untuk berjalan namun Agatha enggan menerjang hujan. Taiga sampai mengerang dan hendak menggigit leher Agatha. Kucing betina Ragdoll itu jelas mendesis dan menatap tajam kearah Taiga, bersiap-siap menyerangnya.

Taiga sedikit terkejut dan dia menyadari apa yang dia lakukan pada Agatha tidak mendapat consent dari sang kucing. Taiga bukan kucing jantan yang akan ‘menyerang’ betina begitu saja. Biar dia kucing, dia masih bisa memilih kucing mana yang mau dia ajak mating. Setelah mengucapkan kata maaf, Taiga memilih duduk di sebelah Agatha, memperhatikan hujan.

“Yaudah, kita pulang setelah hujan reda ya.” kata Taiga. Agatha masih menatapnya tajam. “Aku gak gigit lagi. Sini duduk.” Taiga yang sedang duduk santai menepuk lantai ruko dengan kaki depannya. Tatapannya melembut, seakan mengatakan bahwa dia serius dengan ucapannya. Agatha kembali rileks dan membawa dirinya duduk tidak jauh dari Taiga.

Kedua kucing ras itu duduk tenang memperhatikan hujan. Sesekali memperhatikan orang-orang yang lalu lalang menggunakan payung atau jas hujan menerobos rintik demi rintik air yang turun dari langit hari itu.

“Taiga!” Agatha memanggil kencang. Sang kucing sampai nyaris kehilangan keseimbangannya. Taiga menoleh, Agatha mendekat perlahan. “Ayo main...,” ucapnya pelan. “sama Shin.”

Ini pertama kalinya Agatha mengajak Taiga. Kucing betina itu ingat bahwa dia belum membalas kebaikan Taiga hari itu yang sudah menyelamatkannya, meskipun ownernya sendiri sudah memberikan snack sesuai janjinya.

Different but Feel Same

ShoppiAiri, H/C, Typo


Ada yang terasa berbeda di malam natalnya tahun ini. Airi berdehem berulang kali untuk mengabaikan rasa salah tingkahnya begitu mendapati sosok bernama Watanabe Shota berjalan masuk ruangan dengan setelan kasual yang membungkus tubuhnya dengan pas. Ditambah style rambutnya hari ini dibuat menampilkan keningnya.

Dia mendongak untuk mengalihkan perhatiannya dari Shota, sementara lelaki bermarga Watanabe itu duduk dengan tenang mengobrol dengan teman masa kecilnya, Miyadate Ryota. Pembicaraan mereka tidak jauh dari bahasan skincare. Sesuatu yang disukai Shota.

Airi berdecak. Lelaki itu terlihat biasa saja, kenapa dia harus salah tingkah seperti ini? Ingat! Dirinya dan Shota tidak lebih dari friends with banefit. Meski beberapa orang yang biasa ada disana selalu menggodanya dan Shota untuk segera jadian.

“Gak enak tau cemburu dengan status Fwb.”

“Jadian aja gih. Kalian cocok, kok.”

Airi mengerang. Dia hanya tersenyum sembari menggeleng dan meminum minumannya kalau mulai masuk di situasi seperti itu. Hubungan mereka tidak akan bisa berubah, tidak, karena Airi tidak menginginkannya. Ya. Seperti itu lebih baik.

“Airi.” Perempuan bermarga Minamoto itu menoleh dan tersentak di posisinya melihat Shota sudah merunduk untuk menyamakan posisi dengannya. Airi berdehem pelan, berusaha mengabaikan rasa terkejutnya. “Apa?” balas Airi, tangannya mengambil roti cemilan di atas meja dan memakannya.

Tidak ada balasan dari Shota. Airi menoleh lagi dan menemukan Shota yang tersenyum kearahnya. Lelaki itu menggeleng dan mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Airi pelan. “Tidak apa-apa. Aku hanya merindukanmu.” Airi terlonjak. Dia lompat kebelakang sembari mengusap-usap kepalanya. Pandangannya mengarah tidak beraturan, mengabaikan pandangan Shota padanya.

“Apa sih, Watanabe?!” Sial. Jantungku. Airi menyentuh dadanya, berdehem dan terbatuk pelan. “Loh, Aku salah?” tanya Shota panik.

Airi menggeleng. Tidak. Aku yang salah. “Aku permisi sebentar.” Perempuan itu melangkah keluar. Dia menyusuri lorong restoran itu dan keluar menuju balkon yang ada di lantai empat puluh itu. Airi menyandarkan tubuhnya di pagar balkon dan menghela napas pelan. Dia menepuk-nepuk pipinya sembari mengatur napas dan detak jantungnya yang masih cepat.

Sementara kepalanya menggeleng cepat untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang menyatakan bahwa dia menyukai Watanabe Shota. Airi sudah memutuskan untuk tidak jatuh cinta lagi, kenapa dia mengkhianati dirinya sendiri? Airi mengerang. Dia berbalik dan menemukan pemandangan malam yang indah. Lampu-lampu dari gedung di sekitarnya menerangi malam natal hari itu.

Ingatannya memutar bagaimana rasanya saat Shota menatapnya dengan senyuman lembut serta tepukan hangat di kepalanya, menimbulkan sensasi nyaman dan juga bergetar yang berbeda dari biasanya. Tidak hanya sampai situ, Airi juga kembali memutar kumpulan ingatannya tentang Watanabe Shota. Bagaimana lelaki itu memperlakukannya dengan baik, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan oleh seseorang dengan FWB.

“Sial… Apakah aku sudah menyukainya?”

Tubuh Airi mematung saat sepasang tangan menyelimutinya dengan mantel panjang miliknya yang tadi dia tinggal di dalam ruangan, dan tangan itu menariknya untuk bersandar pada dada seseorang di belakangnya. Airi menoleh sedikit dan menemukan Shota berdiri di belakangnya, mendekapnya erat.

“Kau meninggalkan jaketmu di ruang makan.” Airi mengangguk pelan sebagai balasan. Perempuan itu memejamkan matanya sebentar, kali ini bukan untuk menetralkan detakan jantungnya. Airi membiarkan jantungnya berdetak sebagaimana mestinya kali itu. Dia memejamkan mata untuk menikmati hembusan angin musim dingin dan juga kehangatan Shota yang menyelimutinya kali ini.

“Suki dayo, Airi…”

Ya. Aku tahu.


ShoppiAiri, Typo,

Di tengah hiruk pikuk keramaian ruang makan—tempat dimana member Snow Man dan kesayangan mereka biasa berkumpul untuk sekedar makan malam bersama atau berbincang itu, ada Airi dan Shota yang sedari tadi melempar tatapan tajam, sesekali membuang muka kala mereka ketahuan oleh orang-orang disana sedang saling bersitatap.

Airi menyuap chikuwa tempuranya dengan kasar, mengunyahnya dengan cepat membuat Haruna yang duduk di sebelahnya tidak ayal melayangkan tatapan cemas sembari mengusap-usap pundaknya. “Makannya pelan-pelan, Airi-san…” ucap Haruna, tentu saja tidak diindahkan oleh perempuan bermarga Minamoto itu.

Sedangkan Shota—Watanabe Shota meminum air mineralnya dengan sekali teguk sembari menghembuskan napas dengan kasar. Koji yang duduk persis di sebelah kanannya mengerjapkan mata dengan penuh keheranan. Berulang kali mengganti pandangannya dari Airi ke Shota.

“Kalian ini kenapa sih? Shoppi, lo lagi otw PMS apa gimana?” Koji mencibir.

Shota mendengkus. “Gue? Pertanyaan lo cocoknya buat Minamoto.” Koji semakin terkejut kala Shota memanggil Airi dengan nama marganya. Tidak biasa. “Wah, wah, ada apa ini? Shoppi sama Airi chan berantem lagi?” Suara Fukka—Fukazawa Tatsuya menimbrung percakapan keduanya.

Airi menyipitkan mata kearah Shota. “Jangan lo bawa-bawa gue ke masalah tempramen lo sendiri ya, Watanabe!” Gerutu Airi kesal.

Sementara Shota terbahak. Tersenyum miring dengan tatapan mengejek. “Tempramen katanya,” cibir Shota. “lo sendiri yang cari gara-gara dengan ngeflirt sama Jesse ya!” Lanjutnya.

Airi mengerutkan kening. “Lah, terserah gue dong! Lo sama lawan main lo di drama SP aja gue biasa ya!” Ujar Airi.

“Ya karena gue gak ngeflirt kayak apa yang lo lakuin ke Jesse.”

“Bedanya apa?! Lo deket-deket sama cewek gue biasa aja! Lagian kita ini gak pacaran ya! Lo gak ada hak dong buat larang gue ngeflirt sama siapa!” Airi semakin terlihat jengah dengan tingkah Shota, langsung melontarkan banyak kalimat yang sudah dia tahan selama beberapa saat.

Suasana mendadak hening. Sementara, Tsuki sibuk memperhatikan sembari menikmati kudapan yang dia pesan. Tersenyum tipis melihat pertengkaran friends with banefit ini.

“Ya... Ya, gue gak suka aja liat lo godain cowok lain...” Balas Shota dengan suara yang memelan. Koji yang mendengar jelas di sebelahnya, berusaha menahan tawamya.

“Maksudnya Shoppi, lo cuma boleh godain dia.” Koji menerjemahkan kalimat Shota barusan pada Airi mengundang suara siulan beserta tendangan di tulang kering Koji yang dilakukan Shota.

Airi mengulum bibirnya. Memalingkan pandangan kearah lain, selagi dia merasakan wajahnya memanas. Sial.

“Gak usah dengerin omongannya Koji.” Kata Shota, tanpa melihat kearah Airi.

Airi mendengkus. “Bilang aja lo cemburu, Watanabe.” Balas Airi. Shota mendongak, menatap langsung kearah Airi dengan datar. “Ya, emang gue cemburu.”

Airi mengerjap. Dia berdehem. “Tapi, kita gak pacaran. Lo gabisa dong cemburu seenaknya sama gue!” Kata Airi.

Shota tertawa. “Lo gue ajakin pacaran, menghindar mulu. Gimana mau cemburu dengan leluasa...”

Saat itu juga tawa Tsuki meledak, perempuan bermarga Matsumoto itu tertawa kencang. Kemudian sedikit terbatuk mengundang decakan pelan dari Abe Ryohei—sang kekasih yang sedari tadi berjaga-jaga kalau perempuannya ini bertingkah aneh dan benar saja. Dia sudah siap siaga dengan segelas air mineral.

Airi dan Shota bertukar pandang dengan tatapan tajam sekali lagi sebelum akhirnya Airi beranjak. Sudah jengah dengan suasana tidak enak di tempat itu.

Mereka bukan sepasang kekasih tapi Shota seenaknya bicara seperti itu hanya karena lelaki itu pernah menyatakan perasaan padanya dan dia menghindar untuk menjawabnya.

Airi benci Shota.

ShoppiAiri, Fluff, Typo, Cringe

Lampu di ruangan yang dijadikan kamar itu sudah padam, namun dari balik tirai putih yang sedikit transparan itu masuk pantulan cahaya dari gedung-gedung di sekitar gedung apartemen ini. Suara ramai yang samar beserta suara sibuk kendaraan di kejauhan menyambut indera pendengaran Airi Minamoto kala dia membuka matanya. Kepalanya menoleh ke samping kanannya, menemukan sosok pria bermarga Watanabe yang sedang terlelap dengan suara napas yang tenang.

Airi menghela napas perlahan, merubah posisi rebahannya menjadi menyamping, menghadap kearah Shota. Tangannya terulur untuk menarik selimut untuk menutupi tubuh atas Shota yang polos. Jemarinya menyingkirkan sedikit helaian rambut yang menutupi kening sang lelaki.

Airi menatap lamat-lamat Shota yang sedang terlelap itu hingga seulas senyum tipis muncul di wajahnya. Seperti biasa. Malam itu mereka melakukan hubungan seksual seperti biasanya. Well, ini sudah dua bulan sejak Airi dan Shota sibuk dan mereka tidak bisa bermain seperti biasanya. Hubungan mereka? Masih friends with banefit.

Walaupun Shota sudah berulang kali memberinya kode bahwa lelaki itu ingin lebih dari sekedar FWB. Airi tahu itu. Airi sudah sadar sejak pertama Shota memberikan perhatian lebih yang seharusnya tidak dilakukan seorang FWB. Beberapa teman dekatnya—sebut saja Haruna dan Tsuki—Pacar dari Meguro Ren dan Abe Ryohei yang juga teman dekat dari Watanabe Shota— sudah berulang kali mendorongnya kearah Shota, menyuruh Airi untuk menerima Shota sebagai kekasihnya.

Airi hanya merenggut atau menanggapi dengan, “Hahaha, gak dulu.” Walaupun Shota mendapatkan penolakan dari Airi terus-menerus, lelaki itu tidak berhenti menjadi FWB nya. Mereka masih menghabiskan waktu bermain bersama, entah itu di hotel, di apartemen Shota atau apartemen Airi.

Pernah sewaktu ketika Airi diajak Date—FWB nya yang lain, untuk liburan bersama Haruna, Tsuki, Mina, maupun member Snow Man yang lain di ryokan daerah Gunma. Shota yang sedang setengah mabuk, duduk bersama Abe, Meguro, Fukka, Koji dan Date menjawab pertanyaan Koji mengapa Shota masih menjalani hubungan friends with banefit ini meskipun Airi sudah memberikan jawaban bahwa dia tidak tertarik untuk berhubungan lebih jauh dengan Shota. Airi tidak bermaksud menguping waktu itu, dia baru membeli susu hangat di kasir depan dan hendak kembali, lalu tidak sengaja melewati ruangan dimana member Snow Man berkumpul.

“Kalo aku berhenti hanya karena ditolaknya, dia semakin menganggap bahwa semua lelaki itu sama. Mereka cuma peduli dengan hubungan seksual atau semacamnya. Aku ingin mengembalikan rasa percaya diri Airi, aku ingin jadi orang yang menyembuhkan traumanya,” Suara Shota menjawab dengan parau—mungkin pengaruh alkohol. “aku ingin menjaga dan membuat Airi berharga selamanya. Aku ingin jadi rumah untuknya.”

Bohong kalau Airi tidak merasakan jantungnya berdetak cepat saat mendengar pernyataan Shota saat itu. Perutnya geli dan wajahnya meranum merah. Perasaan seperti ini sudah empat tahun lamanya dia tidak rasakan dan begitu asing.

Airi menarik tangannya saat dia sadar hendak menyentuh wajah Shota. Perempuan itu bangkit dan duduk sejenak di kasurnya yang dia tiduri bersama Shota setelah ‘bermain’ tadi. Airi mengusap wajahnya dan menggeleng. Dia butuh kafein. Airi beranjak dan melangkah perlahan agar tidak membangunkan Shota. Perempuan bermarga Minamoto itu menyeduh kopi hitam dari rak dapurnya dan membawanya ke sofa. Dengan pencahayaan minim hanya dari dapur, Airi duduk diantara kegelapan di ruang tengah unitnya itu.

Airi duduk bersandar di kaki sofanya, menatap lurus pada televisinya yang tidak menyala. Memantulkan sedikit bayangannya. Pandangan Airi bertemu dengan sebuah frame foto yang dipajang di sebelah rak televisinya. Fotonya bersama dengan kedua orang tuanya. Foto terakhir yang dia ambil sebelum Airi tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengambil foto yang sama bersama kedua orang tuanya.

Perempuan itu menyeret dirinya untuk mendekat kearah rak berkaki rendah itu dan mengambil frame foto yang tersimpan di atasnya. Ditatapnya lama foto itu hingga dia merasakan sesak karena rasa rindu yang menyeruak. Sudah berapa lama sejak dia kehilangan ‘rumah’nya?

Airi kira dengan dia menarik napas, tidak akan ada air mata yang keluar sedikitpun. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Satu tarikan napas, membuat satu isakan keluar dari mulutnya. Airi menangkup mulutnya dengan punggung tangannya, meredam isakkannya yang keluar dengan beruntun setelah satu isakan berhasil lolos. Dia tidak mau membangunkan orang lain yang ada di unitnya saat ini. Tidak dengan kondisinya yang sedang merindukan orang tuanya ini. Airi terbiasa baik-baik saja di depan Shota.

Kecuali pada hari dimana pertama kali dia bertemu Shota di Gangnam.

Tubuh Airi membeku merasakan sepasang tangan yang besar menariknya untuk bersandar pada seseorang. Seseorang itu memeluknya erat dengan selimut yang menyelimuti mereka. Aroma lembut namun maskulin yang Airi kenal sebagai aroma milik Watanabe Shota itu memenuhi indera penciumannya. Tanpa sadar memberikan rasa tenang untuknya. Dekapan Shota pada tubuhnya mengerat selaras isakkan Airi yang semakin keras.

Suara siulan yang pelan terdengar sesekali sembari Airi merasakan tangan yang memeluknya, menepuk-nepuk pelan bahunya. Airi melepaskan pelukan Shota dan mengusap wajahnya, dia meletakan kembali foto itu ke tempatnya semula dan berbalik. Menemukan Shota dengan wajah mengantuknya menatapnya sayu namun juga lembut.

Shota mendekat, mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Airi juga merasakan tangan lelaki itu mengusap pelan kepalanya. Lelaki itu menjauh dan tersenyum. Kedua tangannya terbuka, bermaksud menerima Airi dalam pelukannya. Perempuan itu tanpa berpikir dua kali langsung menghambur ke pelukan Shota, duduk di pangkuan Shota dengan posisi menyamping dengan tangan yang melingkar di pundak tegap lelaki bermarga Watanabe itu.

Ingatan-ingatan Airi memutar suara Shota yang sudah dia dengar beberapa kali, menyatakan perasaan padanya dan dia yang selalu menghindar untuk menjawab semua pernyataan Shota—membuat Tsuki gemas—jika kadang-kadang Shota menyatakannya saat perempuan bermarga Matsumoto itu juga ada di dekatnya.

Mungkin… membuka hati sekali lagi tidak ada salahnya.

“Shota…” Watanabe jelas terkejut mendengar Airi memanggilnya dengan nama kecilnya sebab perempuan itu selalu memanggilnya Watanabe. “Hm…?” balasnya.

“Mungkin tahun depan…”

“Tahun depan?”

Mungkin tahun depan, Airi coba untuk menjawab semua pernyataan perasaan Shota padanya. Sekarang, dia hanya ingin menikmati waktu yang dingin ini dengan merasakan kehangatan Shota.

Typo, H.C, Cringe, Iwamoto Hikaru x OC

“Kenalin, Fuyumi Kanon, pacarku.” Perempuan berambut sepunggung dengan model shaggy layer tipis dengan poni samping itu membeku. Genggaman tangannya di tangan kokoh Iwamoto Hikaru mengerat selaras dengan kalimat yang dilontarkan oleh Hikaru di depan kedelapan member Snow Man dan empat orang perempuan di sana. Kanon mengembungkan pipinya sedikit sembari berdehem pelan, mengabaikan sensasi panas yang menjalari wajahnya, beserta detakan jantung yang cepat. Rasa yang sama dia rasakan pada Hikaru sejak SMA. Tidak pernah berubah.

Sempat ada keheningan diantara mereka, sebelum Fukka—Fukazawa Tatsuya bersuara dengan nada terkejut. “Jadi, selama ini kau berpacaran dengan staf TBS?” Hikaru mengangguk sebagai balasan. Fukka menyentuh keningnya dengan dramatis. Berpura-pura terharu. “Sungguh tidak kusangka. Akhirnya ya, Fuyu-kun.” Kata Fukka pada Kanon. Kanon menyunggingkan senyum tipisnya sembari mengangguk samar.

Kanon menatap kearah Hikaru di sebelahnya, lelaki itu memfokuskan pandangan pada seorang perempuan yang duduk di sebelah Abe Ryohei. Kanon sudah pernah bertemu dengan perempuan itu beberapa kali di studio TBS dan dia mengenalnya sebagai Matsumoto Tsuki, anak perempuan dari Matsumoto Jun dan Inoue Mao. Kanon bisa merasakan bahwa Hikaru ingin menarik perhatian Tsuki saat memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Hikaru.

“Halo, Fuyumi-san. Kenalkan, aku Matsumoto Tsuki. Pacarnya Ryohei-kun. Salam kenal ya.” Lamunan Kanon buyar saat mendengar suara Tsuki di dekatnya. Dia tidak sadar bahwa perempuan itu sekarang sudah berdiri di depannya, mengulurkan tangan dan tersenyum ramah. “Halo, Matsumoto-san. Fuyumi Kanon desu. Bisa panggil aku Kanon. Salam kenal.” Kanon menerima uluran tangan Tsuki. Mereka berjabat tangan dan saling bertukar senyum.

Tsuki merangkul Kanon dan menoleh kearah Hikaru. “Pacarnya disuruh berdiri aja nih, Iwamoto? Ajak duduk dong.” Goda Tsuki pada Hikaru. Kemudian, Tsuki kembali ke tempatnya di sebelah Ryohei. Hikaru terkekeh dan dia menarik Kanon untuk duduk di kursi yang tersedia tanpa mengajak perempuan itu lagi. Kanon duduk di sebelah Raul dan lelaki jangkung itu menyambutnya dengan hangat. “Halo, kak Kanon!” sapanya dengan ceria. Kanon melambaikan tangannya. “Halo, Raul-kun.”

Sepanjang acara itu, Kanon mendapatkan banyak perhatian dari Hikaru. Entah membantunya untuk menuang minuman atau menyeka sisa makanan di bibir Kanon yang tidak disadari perempuan itu. Semua yang dilakukan Hikaru padanya membuat jantung Kanon tidak berhenti berdetak sangat cepat.

Selagi Hikaru sibuk bercengkrama dengan sesama rekannya di Snow Man dia memperhatikan lamat-lamat wajah lelaki ini. Kerutan di matanya saat tertawa, suaranya tawanya yang renyah, ekspresi merengutnya yang menggemaskan membuat Kanon lupa bahwa hari ini dia hanyalah teman yang dimintai tolong untuk jadi pacarnya dalam semalam. Rasa sesak dan sakit saat dia sadar bahwa perlakuan Hikaru yang manis padanya hari ini hanyalah sebuah kepura-puraan untuk mendapatkan perhatian Tsuki, orang yang sebenarnya disukai oleh Iwamoto Hikaru.

“Hari ini saja, jadi pacarku dan ikut denganku ke acara makan malam rutin Snow Man.”

Hari ini saja...

Kanon berjengit merasakan colekan di pundaknya. Dia menoleh ke samping kanannya, menemukan Raul dan perempuan manis yang Kanon kenal bernama Shirokawa Haruna, member RED*ONE yang satu grup dengan Tsuki. Kedua orang ini tersenyum kearahnya.

“Kak Kanon sangat menyukai Iwamoto-kun ya?” tanya Raul. Kanon mengerjap. Dia yakin sekali sekarang wajahnya sudah memerah. Kanon mengembungkan pipinya sedikit dan tertawa malu. “Sangat terlihat ya?” balasnya. Raul mengangguk. “Iya! Senyum dan pandangan yang kak Kanon berikan ke Iwamoto-kun sangat hangat dan penuh sayang!” ujar Raul. Dibilang seperti itu oleh anak berusia dua puluh tahun jelas membuat Kanon salah tingkah.

“Andai sekali saja aku mendapatkan hal yang sama dari Hikaru-kun...” Kanon membalas ujaran Raul dengan suara tipis, yang hanya bisa dia dengar. Untuk saat ini, meski hanya semalam, Kanon ingin menikmati title sebagai ‘kekasih Iwamoto Hikaru’.

ShoppiAiri, Typo, Cringe, H/C


Perempuan bermantel panjang itu melangkah pelan menyusuri pendestrian daerah Gangnam. Langit hari ini kelihatannya tidak begitu bersahabat dengannya. Suara petir yang samar dan angin yang berhembus tidak menghentikan langkahnya sedikitpun. Sudah lima belas menit lebih, Minamoto Airi melangkah tanpa arah. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah menghilangkan semua kejadian yang terekam jelas di otaknya saat ini, yang menimbulkan rasa sesak di dadanya hingga dia sendiri tidak bisa mengeluarkan air matanya. Tatapannya sedikit kosong dan beberapa kali dia menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah darinya. Untuk menarik napas saja, Airi merasakan dadanya nyeri. Kepalanya pusing dan suara-suara berisik dari rekaman kejadian hari itu terus berputar di otaknya. Masih sambil berjalan, Airi meremas kepalanya. Hingga akhirnya kakinya sudah menolak untuk melangkah dan akhirnya menjatuhkan diri di kursi halte bis. Airi bersandar dan menunduk, menatap telapak tangannya yang sedari tadi gemetar. Memejamkan kedua kelopak matanya, malah membuat Airi memutar rekaman itu dengan jelas.

Hari ini, dia bermaksud untuk mengunjungi kekasihnya yang tinggal di kawasan perumahan elit bernama Gangnam. Airi bahkan menyempatkan diri di tengah kesibukannya sebagai soloist untuk membeli beberapa bahan makanan yang nantinya bisa dia masak di rumah sang kekasih. Airi tidak menyangka sedikitpun kalau yang menyambutnya adalah seorang perempuan yang hanya mengenakan pakaian dalam dan Airi bisa melihat beberapa bekas kemerahan di kulit perempuan itu. Kekasihnya keluar tidak lama hanya menggunakan bathrobe dan menyambut Airi dengan memeluk perempuan setengah telanjang itu.

Airi jelas shock melihatnya, amarah dan rasa sedih langsung menguap. Dia menyerahkan kantong plastik kearah kekasihnya, “Home delivery,” Ujar Airi. “Oh, aku lupa aku bukan home delivery. Omong-omong, kita putus, Do Hyun-ah.” Airi langsung berbalik pergi dari sana. Seperjalanannya meninggalkan unit itu, dia masih bisa mendengar teriakan—yang sekarang merupakan mantan kekasihnya itu—mengatakan bahwa dari dulu dia ingin putus dari Airi, beserta ucapan meremehkan dari selingkuhan mantannya itu, mengatakan pula bahwa tidak heran Airi diputuskan Do Hyun karena Airi menolak melakukan seks dengannya sebagai bentuk tugasnya seorang pasangan.

Airi menangkup wajahnya, frustasi tidak bisa mengeluarkan rasa mengganjal di hatinya. Apa ini? Aku diputuskan hanya karena menolak melakukan hubungan seksual dengannya? Ayolah kami saja baru pacaran! Lucu sekali. Airi tidak habis pikir. Airi menolak melakukannya dengan kekasihnya bukan karena tidak sayang padanya, rasa sayang tidak selalu diukur seberapa sering kalian melakukan hubungan seksual bukan? Airi lebih suka mengutarakan rasa sayangnya lewat tindakan affection non sexual. Sayangnya memang Do Hyun itu otak selangkangan.

Namun, yang membuat Airi tidak bisa menangis hari ini adalah, berita kematian orang tuanya. Diantara perjalanan tanpa arahnya selama lima belas menit itu, Airi mendapat telepon dari manajernya bahwa orang tua Airi mengalami kecelakaan tunggal saat menuju Saitama dan meninggal di tempat. “Ya Tuhan, ada yang lebih buruk dari ini semua....?” Airi bergumam parau. Suaranya serak tapi tidak ada air mata yang keluar sedikitpun, meski menarik napas saja rasanya sesak dan kesusahan.

Padahal Airi belum mengunjungi orang tuanya lagi sejak dia debut sebagai soloist dua tahun yang lalu, ada sedikit rasa bersalah disana. Airi merasa dirinya hancur dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.

Permisi...” Airi berdehem sebentar sebelum mendongak kala mendengar suara bariton seseorang menyapanya dalam bahasa Inggris beraksen Jepang. Kedua matanya bertemu pandang dengan sosok lelaki tinggi dengan senyum seperti karakter Sanrio bernama Cinnamonroll. “Ya?” balas Airi. Lelaki itu memegang sebuah boneka Cinnamonroll berukuran sedang dengan wajah kebingungan.

Aku membeli ini secara tidak sadar dan bingung mau diapakan. Sedangkan, manajerku mungkin tidak memperbolehkan membawa banyak souvenir,” Airi mengerutkan kening. Lalu apa urusannya denganku?kulihat kau sedang kesulitan, mungkin boneka ini bisa meringankan sedikit kesulitanmu.” Lanjutnya. Lelaki itu menyerahkan boneka menggemaskan itu pada Airi.

Kau tidak memasukkan benda mencurigakan di dalamnya kan?” Airi menyipitkan matanya. Di saat seperti ini, dia masih sempat saja menaruh curiga pada orang asing. Lelaki itu mengerjap dan langsung menggeleng. “Tentu saja tidak! Aku baru saja membelinya tadi disana!” Lelaki tinggi itu menunjuk kearah gedung departement store tidak jauh dari mereka.

Airi menarik napas dan menghembuskannya perlahan, terkejut karena kali ini dia bisa melakukannya tanpa kesulitan. “Baiklah. Aku terima. Terima kasih.” Lelaki itu mengangguk dan tersenyum lebar, pamit dari hadapannya dengan berlari kecil. Airi menatap punggung lelaki itu sejenak sebelum mengalihkan perhatian pada boneka di tangannya saat ini.

Ditatapnya lamat-lamat boneka di tangannya ini, hingga tanpa sadar Airi sudah terisak. Air matanya berjatuhan membasahi boneka berwarna putih dengan aksen biru muda itu. Dipeluknya erat boneka Cinnamonroll itu. Tangisan Airi yang mengeras itu teredam oleh boneka yang dipeluknya. Rasa sesak yang sedari tadi memenuhi dadanya menguap.


“Shoppi! Lama sekali! Habis darimana?” Sakuma Daisuke mengerutkan kening saat seseorang yang dipanggil Shoppi berlari mendekat kearah mereka. Lelaki bernama lengkap Watanabe Shota itu mengatur napasnya sejenak sebelum menjawab, “Aku kelebihan beli boneka Cinnamonrollnya, sedangkan manajer Cuma mengizinkan beli satu saja.”

“Implusif ya kalo udah sama kembaran.” Koji mencibir. Shota menjulurkan lidahnya. “Biarin. Daripada Koji, jauh-jauh ke Korea Selatan belinya Cuma roll film.” Balas Shota. Koji mendelik. Sedangkan Sakuma tertawa melihat kedua orang yang sedang saling melempar cibiran ini. “Lalu, boneka satunya dikemanakan?” tanyanya. Shota mengulum bibirnya sembari menoleh kearah sosok perempuan yang masih duduk di bangku halte, menatap boneka yang diberikannya. “Aku berikan pada seseorang.” Balas Shota.

“Tumben sekali, maniak skincare ini bermurah hati.” Shota berdecak. “Kau cari ribut denganku?” gerutunya. Sakuma langsung berdiri diantara Koji dan Shota, melerai keduanya. “Sudah, sudah. Ayo kembali ke mobil.” Ajak Sakuma, menarik tangan Shota dan Koji untuk meninggalkan gedung tempat mereka membeli oleh-oleh.


Micchikaru, NSFW, Cringe, 18+, Typo


“Kak Hikaru...” Micchi memanggil namanya yang sedang sibuk mencuci piring bekas mereka makan malam hari itu. Hikaru menjawab panggilan Micchi dengan gumaman pelan. Tangannya yang sedang memegang piring yang dipenuhi sabun itu nyaris terpleset kala Hikaru merasakan tangan Micchi yang besar itu menyelusup masuk ke dalam kaosnya. Mengusap perlahan kulit dibawah kaos itu. Sedangkan kepala pemuda jangkung bernama kecil Shunsuke itu bersandar di bahunya. Sesekali memberikan kecupan yang ceroboh di perpotongan leher Hikaru yang tidak tertutupi sehelai rambut.

“Aku mau Kak Hikaru hari ini. Boleh?” Hikaru menggigit bibirnya, masih berusaha menahan suara desahan yang bisa keluar kapan saja karena Micchi yang tidak mau berhenti menciumi lehernya. Ciuman Micchi selalu berbeda. Apa karena anak ini belum punya pengalaman sebelumnya?

“Sh-Shun, aku belum selesai cuci piring.” Ucap Hikaru. Dia mengedikkan bahunya begitu Micchi menghisap sedikit kulit lehernya. Tangan Micchi yang semula berdiam diri di balik kaosnya kini sudah ikut membantunya mencuci piring. Tanpa merubah posisi, Micchi membantu Hikaru membilas piring-piring yang sudah dicuci bersih dan meletakannya di rak sebelah wastafel itu. Sesekali Micchi mendaratkan ciuman kecil di pipi Hikaru.

Selesai dengan piring terakhir, Hikaru memutar kran air itu agar tertutup dan Micchi langsung memutar tubuh Hikaru kearahnya. Sepasang tangannya yang besar itu kini menangkup wajah Hikaru. “Aku cium Kak Hikaru sekarang ya.” Micchi meminta izin. Hikaru menahan senyum gelinya dan mengangguk.

Dengan gerakan perlahan dan lembut, Micchi menempelkan kedua bibir mereka. Awalnya hanya sebuah kecupan-kecupan kecil yang ceroboh dan ragu, lama-lama berubah menjadi sebuah lumatan. Baik Micchi dan Hikaru sama-sama menikmati cumbuan yang mereka lakukan.

Micchi melepaskan cumbuan mereka sebentar, dia sedikit menekan kedua pipi Hikaru dengan telapak tangannya membuat bibir Hikaru terbuka sedikit. Micchi mendekat kembali. Bibir mereka beradu. Micchi mencoba berani untuk memasukkan lidahnya ke dalam mulut perempuan di depannya yang tersentak kaget dengan apa yang dilakukan pemuda itu.

Tangan Micchi diletakkan di punggung Hikaru, di balik kaos yang dikenakan perempuan ini. Hikaru bisa merasakan tubuhnya berjengit sedikit merasakan sensasi dingin dari tangan Micchi yang setengah basah, mengusap punggungnya perlahan, memberikan ketenangan pada perempuan di pelukannya saat ini. Bersamaan dengan tubuh Hikaru yang rileks, Micchi menyapukan lidahnya dengan gerakan tidak teratur di dalam mulut Hikaru.

Tangan Hikaru yang sedari tadi di bahu Micchi, mulai mengepal, meremas kaos abu-abu yang dikenakan Micchi, ia mengeluarkan suara-suara yang tertahan di mulutnya.

Micchi memundurkan kepalanya. Sepasang mata keduanya bersitatap. Hikaru menatap sayu kearah Micchi. Napas keduanya jelas terengah. Hikaru tidak berekspektasi bahwa ciuman Micchi akan terasa memabukkan padahal seingat Hikaru ini pertama kalinya bagi Micchi berciuman panas seperti itu.

Jemari Micchi menyingkirkan helaian rambut Hikaru yang terlepas dari ikatannya dan menutupi sebagian wajahnya itu diselipkan di balik telinga Hikaru. “Kak Hikaru mau di kamar atau di sofa?” Wajah Hikaru meranum saat Micchi bertanya dimana mereka akan melanjutkan kegiatan mereka.

Pandangan Hikaru bergerak tidak beraturan. Perempuan itu semakin malu begitu dia mengingat kejadian dimana Micchi dan Hikaru yang nyaris melakukannya di sofa terpaksa terhenti karena Hikaru batuk-batuk tidak berkesudahan. Ya, memang saat itu juga Hikaru sedang sakit.

Jadi, mungkin, “Kurasa kamar lebih aman...” Hikaru berujar. Micchi mengangguk. “Benar juga. Supaya kak Hikaru gak sakit. Baiklah.”

Micchi menarik tangan Hikaru. Pemuda itu tidak berhenti menatap kearahnya dengan senyuman lembut di wajahnya. Hikaru semakin yakin bahwa sekarang wajahnya sudah meranum semerah buah tomat. Keduanya masuk ke dalam kamar dan Micchi langsung mengunci pintu kamar itu dua kali.

Micchi mendekat kearah Hikaru yang berdiri di tengah kamarnya. Keduanya saling bertukar pandangan, Micchi menempelkan keningnya di kening Hikaru sebelum mendaratkan kecupan singkat di kening kesayangannya ini.

Sementara, Micchi mencoba membuat Hikaru rileks, kedua tangannya menyelinap masuk ke dalam kaos Hikaru. Micchi baru sadar bahwa kulit Hikaru sangat lembut dan pemuda itu sangat menyukainya.

Tangan Micchi semakin naik keatas dan nyaris menyentuh dada Hikaru. Micchi menjauhkan diri dan menatap lamat-lamat Hikaru yang balas menatapnya bingung. “Kak Hikaru... Boleh?” Tanyanya. Begitu Micchi bertanya, dia baru sadar saat ini tangan Micchi memegang dadanya. Hikaru mengangguk pelan.

Tanpa ragu lagi, Micchi meremas pelan dada Hikaru, mengundang desahan tertahan dari perempuan di hadapannya. Sial... Hikaru mengumpat dalam hati. Dia refleks melingkarkan tangannya di leher Micchi. Sementara tangan kanan Micchi meremas-remas dadanya, tangan kirinya mencoba melepas kaitan bra yang dikenakan Hikaru.

Tidak mudah. Micchi sampai harus pura-pura menciumi leher Hikaru lagi untuk melihat lebih jelas posisi kaitan bra Hikaru di punggung perempuan itu. Gerakan Micchi terhenti saat terdengar tawa kecil Hikaru yang menggantikan desahannya sedari tadi. Hikaru melepaskan diri sebentar dari Micchi dan tersenyum.

“Biar aku yang lepas.” Hikaru mengulurkan kedua tangan ke ke punggungnya dan melepas kaitan bra nya dengan mudah mengundang ekspresi malu Micchi. Bibirnya mengerucut sedikit dengan wajah memerah. Hikaru kembali mengalungkan tangannya di leher Micchi dan mengecup lembut bibir kesayangannya yang maju beberapa senti itu.

“Nanti latihan lagi.” Mendengar kata 'latihan' hanya untuk melepas kaitan bra membuat telinga Micchi semakin memerah. Pemuda itu menghela napas dan mengangkat kaos Hikaru untuk dia lepas beserta bra yang sudah terlepas sempurna. Sekarang gantian Hikaru yang memerah. Saat ini dia benar-benar setengah telanjang di depan Micchi. Hikaru refleks menutupi daerah dadanya. Sementara Micchi sempat memandangi takjub kearah kulit Hikaru yang bersih dan terlihat lembut.

“Kak Hikaru gak mau bantuin aku buka baju?” Tanya Micchi, sembari jemari tangannya terulur, memainkan puting Hikaru. Perempuan bermarga Takahashi itu menarik napasnya sambil mengabaikan sensasi geli dan menggelitik di perutnya saat Micchi merangsang putingnya.

Hikaru menarik keatas kaos yang dikenakan Micchi, pemuda itu membantu dengan melepaskan kaos itu dari kepalanya. Sekarang keduanya sama-sama bertelanjang dada, masih berdiri berhadapan sementara Micchi menahan tubuh Hikaru yang mulai kehilangan keseimbangannya. Kali ini, sambil memainkan dada Hikaru, Micchi mencium leher Hikaru lagi.

Hikaru semakin menahan suaranya untuk keluar, saat Micchi mulai bertindak lebih seperti menjilat, menggigit, bahkan menghisap kulit lehernya.

“Shu-Shun—Ah!” Desahan Hikaru lolos dari mulutnya. “Shun—hhh.” Micchi tersenyum. Dia senang karena dia bisa membuat kesayangannya mengeluarkan suara satisifiednya.

Mengecup sekali lagi tanda kemerahan yang berhasil dibuatnya, Micchi mendorong tubuh Hikaru perlahan keatas kasur. Sementara Hikaru melepaskan celana panjang piyama yang dikenakannya dan Micchi ikut melakukan hal yang sama dan hanya menyisakan boksernya.

“Kak Hikaru cantik...” Micchi berucap lembut sembari mencium pelan kelopak kanan Hikaru. Hikaru terkekeh. “Aku cantiknya cuma pas telanjang aja?” Goda Hikaru. Micchi menggeleng. “Semuanya. Semuanya yang ada di Kak Hikaru itu cantik.”

Sial, aku salah tingkah dengan anak ini... Hikaru berdecak pelan.

Micchi tertawa pelan sebelum mencium candunya sekali lagi, sementara tangannya bergerak menyusuri kulit Hikaru yang terekspos dihadapannya. Hingga tangannya berhenti pada area sensitif Hikaru yang masih terbungkus celana dalam yang sudah basah. Jemarinya dengan ceroboh menyentuh bagian dalam milik Hikaru yang masih tertutupi celana dalam itu.

Justru dengan gerakan Micchi yang seperti itu mengundang desahan Hikaru, nyaris membuat perempuan itu melengkungkan punggungnya. “Kak, basah banget...” Katanya dengan nada polos.

Hikaru menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. “Ini aku masukin ya...” Tawa tertahan yang dia tahan sekuat tenaga berganti dengan desahan saat Micchi memasukkan jarinya ke dalam area sensitif Hikaru. Tubuh Hikaru bergetar. Punggungnya sedikit melengkung. Memanggil nama Micchi berulang kali.

Micchi mulai memainkan telunjuknya di dalam kemaluan Hikaru, menggerakkannya perlahan. Seruan dari mulut Hikaru semakin tak terkendali begitu Micchi memasukkan jari yang kedua. Sementara Hikaru merasakan sekujur tubuhnya panas. Padahal udara sedang dingin dan dia sudah menyalakan pendingin ruangan disana. Tubuh keduanya bermandikan keringat akibat kegiatan panas yang mereka lakukan saat ini.

Merasa terganggu dengan kain yang menutupi area sensitif Hikaru, Micchi menarik keluar jarinya dan melepaskan celana dalam Hikaru, tidak menyisakan sehelai benangpun di tubuh kesayangannya saat ini.

“Masukin lagi kak?” Micchi baru hendak memasukkan kembali kedua jarinya ke dalam kemaluan Hikaru sebelum mengingat 'nasihat' Koji dan Jo padanya untuk sebisa mungkin menanyakan pendapat pasangan saat melakukan seks.

Hikaru menatap Micchi dengan pandangan sayu dan napas terengah. Dia menggeleng. Hikaru mengangkat tubuhnya sedikit, Micchi langsung melingkarkan sebelah lengannya di pinggang Hikaru. Sementara, tangan Hikaru membantu Micchi melepaskan boksernya.

“Masukin ini aja.” Micchi terkesiap saat Hikaru menggenggam area sensitif miliknya yang sudah menegang itu. “K-Kak Hikaru!—Ughh!” Micchi sampai harus menutup mulutnya saat Hikaru dengan tak sengaja meremasnya, membuatnya mengeluarkan suara basah.

Micchi langsung melepaskan tangan Hikaru dari miliknya dan mendorong perempuan itu untuk kembali berbaring. “Sebentar, kak... Kata kak Koji harus pakai kondom...” Micchi bangkit dari posisinya namun Hikaru menahannya.

Dia menyuruh Micchi diam di posisinya dan perempuan itu mengambil sebungkus kondom dari laci di sebelah kasurnya. “Kok Kak Hikaru punya stok kondom?” Tanya Micchi. Hikaru tersenyum. “Hmmm gak tau. Aku nemu pas beres-beres kamar...” Ucap Hikaru ikut bingung.

“Mau Micchi atau aku yang pakein?” Tanya Hikaru. Wajah Micchi memerah. Kedua matanya mengerjap. Micchi menggeleng. “Biar aku aja.” Katanya mengambil kondom dari tangan Hikaru, membuka bungkusnya dan memasang pengaman itu pada miliknya, tanpa hambatan.

“Micchi jago ya.” Ucap Hikaru dengan suara pelan, Micchi terdiam selama beberapa saat, merasakan sedikit rasa senang di benaknya saat Hikaru memujinya.

“Makasih, kak,” balasnya tersipu. “aku masuk ya.” Hikaru mengalungkan lengannya pada leher Micchi saat pemuda itu memposisikan diri di atasnya. Micchi meletakkan tangan kirinyanya pada bantal di atas kepala Hikaru, sedangkan tangan kirinya menggenggam pinggang Hikaru—sebagai tumpuan. Dia juga menarik selimut biru tua untuk menutupi sedikit tubuh keduanya.

Micchi bergerak sedikit memberikan kecupan singkat pada bibir Hikaru. “Rileks ya, kak... Aku pelan-pelan, kok...” Bisik Micchi dengan suaranya yang rendah.

Perempuan itu mengulum bibirnya, sedikit meredam desahan yang keluar sekaligus menyembunyikan senyuman yang nyaris terukir di wajahnya. Hikaru kemudian dengan sengaja mengeluarkan desahan yang lumayan keras saat milik Micchi di dalam mencapai titik terbaiknya. Hikaru tahu Micchi suka saat Hikaru mengeluarkan suaranya, karenanya perempuan bermarga Takahashi itu mulai berusaha untuk tidak menahan diri. Gerakan dan suaranya pun seirama dengan tempo permainan Micchi. Entah sudah berapa ratus kali Hikaru menyerukan nama Micchi malam ini. Meski ini pertama kalinya bagi mereka, tindakan Micchi yang terkadang ceroboh dan ragu-ragu membuat desire di dalam tubuh Hikaru seperti meledak-ledak.

“U—Ugh... Kak Hikaru seksi banget sekarang...” Micchi berucap dengan suara yang rendah, membuat gejolak gairah seksual Hikaru semakin meledak. Meski begitu, ada sedikit rasa terkejut kala mendengar Micchi memujinya secara sensual seperti ini. Berbeda sekali dengan image dirinya yang biasa. Micchi mengklaim bibir Hikaru untuk kesekian kalinya. Sementara pinggulnya terus bergerak keluar dan masuk dengan kedua kaki Hikaru yang sekarang melingkar di pinggang Micchi.

“Hh—Micchi—hh...”

“Iyah, kak...” Sahut Micchi sembari mengecup kedua kelopak mata Hikaru bergantian dan turun menciumi dadanya.

“Ka-kamu boleh cepetan, kok....”

Seulas senyum terbit di wajah pemuda berusia dua puluh dua tahun ini. Micchi mencumbu candunya lagi sembari mempercepat ritmenya. Hikaru mendesah tertahan, meremas punggung dan rambut Micchi. Keduanya bertahan agak lama hingga akhirnya Hikaru merasakan penis Micchi berkedut di dalam vaginanya.

Micchi melepaskan pagutannya dan memeluk Hikaru erat-erat, mendesah panjang saat dirinya mengeluarkan cairan—yang tentu saja tertahan oleh kondom yang pakainya, bersama dengan Hikaru yang juga mencapai puncaknya.

Setelahnya, Micchi merebahkan diri di sebelah Hikaru, sebelum bangkit dengan perlahan untuk membuang kondomnya. Tanpa kata, Micchi membaringkan tubuhnya kembali di sebelah Hikaru, memeluk tubuh kekasihnya itu posesif.

“Micchi capek?” Hikaru tertawa melihat Micchi yang memeluknya sembari memejamkan mata. Micchi mengangguk pelan. “Enak, tapi capek. Aku gak mau sering-sering.”

Tawa Hikaru meledak. “Padahal aku belum mengemut Shun, loh.” Kata Hikaru dengan wajah innocentnya. Micchi mengerjap. Wajahnya memerah kembali. “Ngemut?” tanyanya bingung.

“Kamu mau sekarang?” tanya Hikaru, tubuhnya sudah beranjak. Micchi menarik Hikaru dengan panik untuk berbaring lagi. Kepalanya menggeleng-geleng. “I-Itu nanti aja, kak! Aku gak paham ngemut yang dimaksud gimana, tapi memangnya Kak Hikaru gak capek?” Tanyanya. Hikaru mengangguk. “Sama kayak Micchi.” Balasnya. Micchi berdecak, dia menarik Hikaru ke dalam pelukannya.

“Yaudah ayo sekarang tidur aja.”


MinaRau, NSFW, Typo, Cringe


“Kak Mina...” Raul memanggil namanya yang sedang sibuk mencuci piring bekas mereka makan malam hari itu. Mina menjawab panggilan Raul dengan gumaman pelan. Tangannya yang sedang memegang piring yang dipenuhi sabun itu nyaris terpleset kala Mina merasakan tangan Raul yang besar itu menyelusup masuk ke dalam kaosnya. Mengusap perlahan kulit dibawah kaos itu. Sedangkan kepala pemuda jangkung bermarga Murakami itu bersandar di bahunya. Sesekali memberikan kecupan yang ceroboh di perpotongan leher Mina yang tidak tertutupi sehelai rambut.

“Aku mau kak Mina hari ini. Boleh?” Mina menggigit bibirnya, masih berusaha menahan suara desahan yang bisa keluar kapan saja karena Raul yang tidak mau berhenti menciumi lehernya. Ciuman Raul selalu berbeda. Apa karena anak ini belum punya pengalaman sebelumnya?

“Ra-Raul, aku belum selesai cuci piring.” Ucap Mina. Dia mengedikkan bahunya begitu Raul menghisap sedikit kulit lehernya. Tangan Raul yang semula berdiam diri di balik kaosnya kini sudah ikut membantunya mencuci piring. Tanpa merubah posisi, Raul membantu Mina membilas piring-piring yang sudah dicuci bersih dan meletakannya di rak sebelah wastafel itu. Sesekali Raul mendaratkan ciuman kecil di pipi Mina.

Selesai dengan piring terakhir, Mina memutar kran air itu agar tertutup dan Raul langsung memutar tubuh Mina kearahnya. Sepasang tangannya yang besar itu kini menangkup wajah Mina. “Aku cium kak Mina sekarang ya.” Raul meminta izin. Mina menahan senyum gelinya dan mengangguk.

Dengan gerakan perlahan dan lembut, Raul menempelkan kedua bibir mereka. Awalnya hanya sebuah kecupan-kecupan kecil yang ceroboh dan ragu, lama-lama berubah menjadi sebuah lumatan. Baik Raul dan Mina sama-sama menikmati cumbuan yang mereka lakukan.

Raul melepaskan cumbuan mereka sebentar, dia menekan sedikit kedua pipi Mina dengan telapak tangannya membuat bibir Mina terbuka sedikit. Raul mendekat kembali. Bibir mereka beradu. Raul mencoba berani untuk memasukkan lidahnya ke dalam mulut perempuan di depannya yang tersentak kaget.

Tangan Raul diletakkan di punggung Mina, di balik kaos yang dikenakan perempuan ini. Mina bisa merasakan tubuhnya berjengit sedikit merasakan sensasi dingin dari tangan Raul yang setengah basah, mengusap punggungnya perlahan, memberikan ketenangan pada perempuan di pelukannya saat ini. Bersamaan dengan tubuh Mina yang rileks, Raul menyapukan lidahnya dengan gerakan tidak teratur di dalam mulut Mina.

Tangan Mina yang sedari tadi di bahu Raul, mulai mengepal, meremas kaos abu-abu yang dikenakan Raul, ia mengeluarkan suara-suara yang tertahan di mulutnya.

Raul memundurkan kepalanya. Sepasang mata keduanya bersitatap. Mina menatap sayu kearah Raul. Napas keduanya jelas terengah. Mina tidak berekspektasi bahwa ciuman Raul akan terasa memabukkan padahal seingat Mina ini pertama kalinya bagi Raul berciuman panas seperti itu.

Jemari Raul menyingkirkan helaian rambut Mina yang terlepas dari ikatannya dan menutupi sebagian wajahnya itu diselipkan di balik telinga Mina. “Kak Mina mau di kamar atau di sofa?” Wajah Mina meranum saat Raul bertanya dimana mereka akan melanjutkan kegiatan mereka.

Pandangan Mina bergerak tidak beraturan. Perempuan itu semakin malu begitu dia mengingat kejadian dimana Raul dan Mina yang nyaris melakukannya di sofa terpaksa terhenti karena Koji, Tsuki dan Haruna yang datang berkunjung tanpa memencet bel.

Jadi, mungkin, “Kurasa kamar lebih aman...” Mina berujar dengan nada ragu. Raul mengangguk. “Benar juga. Supaya tidak ada yang ganggu. Baiklah.”

Raul menarik tangan Mina. Pemuda itu tidak berhenti menatap kearahnya dengan senyuman lembut di wajahnya. Mina semakin yakin bahwa sekarang wajahnya sudah meranum semerah buah tomat. Keduanya masuk ke dalam kamar dan Raul langsung mengunci pintu kamar itu dua kali.

Raul mendekat kearah Mina yang berdiri di tengah kamarnya. Keduanya saling bertukar pandangan, Raul menempelkan keningnya di kening Mina sebelum mendaratkan kecupan singkat di kening kesayangannya ini.

Sementara, Raul mencoba membuat Mina rileks dengan apa yang dikatakan oleh Shota padahanya, kedua tangannya menyelinap masuk ke dalam kaos Mina. Raul baru sadar bahwa kulit Mina sangat lembut dan pemuda itu sangat menyukainya.

Tangan Raul semakin naik keatas dan nyaris menyentuh dada Mina. Raul menjauhkan diri dan menatap lamat-lamat Mina yang balas menatapnya bingung. “Kak Mina... Boleh?” Tanyanya. Begitu Raul bertanya, dia baru sadar saat ini tangan Raul memegang dadanya. Mina mengangguk pelan.

Tanpa ragu lagi, Raul meremas pelan dada Mina, mengundang desahan teriakan tertahan dari perempuan di hadapannya. Sial... Mina mengumpat dalam hati. Dia refleks melingkarkan tangannya di leher Raul. Sementara tangan kanan Raul meremas-remas dadanya, tangan kirinya mencoba melepas kaitan bra yang dikenakan Mina.

Tidak mudah. Raul sampai harus pura-pura menciumi leher Mina lagi untuk melihat lebih jelas posisi kaitan bra Mina di punggung perempuan itu. Gerakan Raul terhenti saat terdengar tawa kecil Mina yang menggantikan desahannya sedari tadi. Mina melepaskan diri sebentar dari Raul dan tersenyum.

“Biar aku yang lepas.” Mina mengulurkan kedua tangan ke ke punggungnya dan melepas kaitan bra nya dengan mudah mengundang ekspresi sebal Raul. Bibirnya mengerucut. Mina kembali mengalungkan tangannya di leher Raul dan mengecup lembut bibir kesayangannya yang maju beberapa senti itu.

“Nanti latihan lagi.” Mendengar kata 'latihan' hanya untuk melepas kaitan bra membuat telinga Raul memerah. Pemuda itu menghela napas dan mengangkat kaos Mina untuk dia lepas beserta bra yang sudah terlepas sempurna. Sekarang gantian Mina yang memerah. Saat ini dia benar-benar setengah telanjang di depan Raul. Mina refleks menutupi daerah dadanya. Sementara Raul sempat memandangi takjub kearah kulit Mina yang bersih dan terlihat lembut.

“Kak Mina gak mau bantuin aku buka baju?” Tanya Raul, sembari jemari tangannya terulur, memainkan puting Mina. Perempuan bermarga Miyahara itu menarik napasnya sambil mengabaikan sensasi geli dan menggelitik di perutnya saat Raul merangsang putingnya.

Mina menarik keatas kaos yang dikenakan Raul, pemuda itu membantu dengan melepaskan kaos itu dari kepalanya. Sekarang keduanya sama-sama bertelanjang dada, masih berdiri berhadapan sementara Raul menahan tubuh Mina yang mulai kehilangan keseimbangannya. Kali ini, sambil memainkan dada Mina, Raul mencium leher Mina lagi.

Mina semakin menahan suaranya untuk keluar, saat Raul mulai bertindak lebih seperti menjilat, menggigit, bahkan menghisap kulit lehernya.

“Rau—Ah!” Desahan Mina lolos dari mulutnya. “Rau—hhh.” Raul tersenyum. Dia senang karena dia bisa membuat kesayangannya mengeluarkan suara satisifiednya.

Mengecup sekali lagi tanda kemerahan yang berhasil dibuatnya, Raul mendorong tubuh Mina perlahan keatas kasur. Sementara Mina melepaskan celana panjang piyama yang dikenakannya dan Raul ikut melakukan hal yang sama dan hanya menyisakan boksernya.

“Kak Mina cantik...” Raul berucap lembut sembari mencium pelan kelopak kanan Mina. Mina terkekeh. “Aku cantiknya cuma pas telanjang aja?” Goda Mina. Raul menggeleng. “Semuanya. Semuanya yang ada di kak Mina itu cantik.”

Sial, aku salah tingkah dengan anak ini... Mina berdecak pelan.

Raul tertawa pelan sebelum mencium candunya sekali lagi, sementara tangannya bergerak menyusuri kulit Mina yang terekspos dihadapannya. Hingga tangannya berhenti pada area sensitif Mina yang masih terbungkus celana dalam yang sudah basah. Jemarinya dengan ceroboh menyentuh bagian dalam milik Mina yang masih tertutupi celana dalam itu.

Justru dengan gerakan Raul yang seperti itu mengundang desahan Mina, nyaris membuat perempuan itu melengkungkan punggungnya. “Kak, basah banget...” Katanya dengan nada polos.

Mina menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. “Ini aku masukin ya...” Tawa tertahan yang dia tahan sekuat tenaga berganti dengan desahan saat Raul memasukkan jarinya ke dalam area sensitif Mina. Tubuh Mina bergetar. Punggungnya sedikit melengkung. Memanggil nama Raul berulang kali.

Raul mulai memainkan telunjuknya di dalam kemaluan Mina, menggerakkannya perlahan. Seruan dari mulut Mina makin tak terkendali saat Raul memasukkan jari yang kedua. Sementara Mina merasakan sekujur tubuhnya panas. Padahal udara sedang dingin dan dia sudah menyalakan pendingin ruangan disana. Tubuh keduanya bermandikan keringat akibat kegiatan panas yang mereka lakukan.

Merasa terganggu dengan kain yang menutupi area sensitif Mina, Raul menarik keluar jarinya dan melepaskan celana dalam Mina, tidak menyisakan sehelai benangpun di tubuh kesayangannya saat ini.

“Masukin lagi kak?”

Raul baru hendak memasukkan kembali kedua jarinya ke dalam kemaluan Mina sebelum mengingat 'nasihat' Koji padanya untuk sebisa menanyakan pendapat pasangan saat melakukan seks.

Mina menatap Raul dengan pandangan sayu dan napas terengah. Dia menggeleng. Mina mengangkat tubuhnya sedikit, Raul langsung melingkarkan sebelah lengannya di pinggang Mina. Sementara, tangan Mina membantu Raul melepaskan boksernya.

“Masukin ini aja.” Raul terkesiap saat Mina menggenggam area sensitif miliknya yang sudah menegang itu. “K-Kak Mina!—Ughh!” Raul sampai harus menutup mulutnya saat Mina dengan tak sengaja meremasnya, membuatnya mengeluarkan suara basah.

Raul langsung melepaskan tangan Mina dari miliknya dan mendorong perempuan itu untuk kembali berbaring. “Sebentar, kak... Kata Koji-kun, harus pakai kondom...” Raul bangkit dari posisinya namun Mina menahannya. Dia menyuruh Raul diam di posisinya dan perempuan itu mengambil sebungkus kondom dari laci di sebelah kasurnya.

“Kok kak Mina punya stok kondom?” Tanya Raul. Mina tersenyum. “Hmmm gak tau. Aku nemu pas beres-beres kamar...” Ucap Mina ikut bingung.

“Mau Raul atau aku yang pakein?” Tanya Mina. Wajah Raul memerah. Kedua matanya mengerjap. Raul menggeleng. “Biar aku aja.” Katanya mengambil kondom dari tangan Mina, membuka bungkusnya dan memasang pengaman itu pada miliknya, tanpa hambatan.

“Raul jago ya.” Ucap Mina dengan suara pelan, Raul terdiam selama beberapa saat, merasakan sedikit rasa senang di benaknya saat Mina memujinya.

“Makasih, kak,” balasnya tersipu. “aku masuk ya.” Mina mengalungkan lengannya pada leher Raul saat pemuda itu memposisikan diri di atasnya. Raul meletakkan tangan kanannya pada bantal di atas kepala Mina, sedangkan tangan kirinya menggenggam paha atas Mina—sebagai tumpuan. Dia juga menarik selimut biru tua untuk menutupi sedikit tubuh keduanya.

Raul bergerak sedikit memberikan kecupan singkat pada bibir Mina. “Rileks ya, kak... Aku pelan-pelan, kok...” Bisik Raul dengan suaranya yang rendah.

Perempuan itu mengulum bibirnya, sedikit meredam desahan yang keluar sekaligus menyembunyikan senyumnya yang nyaris terukir di wajahnya. Mina kemudian dengan sengaja mengeluarkan desahan yang lumayan keras saat milik Raul di dalam mencapai titik terbaiknya. Mina tahu Raul menyukai suaranya, karenanya perempuan bermarga Miyahara itu mulai berusaha untuk tidak menahan dirinya. Gerakan dan suaranya pun seirama dengan tempo permainan Raul. Entah sudah berapa ratus kali Mina menyerukan nama Raul malam ini. Meski ini pertama kalinya bagi mereka, tindakan Raul yang terkadang ceroboh dan ragu-ragu membuat gairah di dalam tubuh Mina seperti meledak-ledak.

“U—Ugh... Kak Mina seksi banget sekarang...” Raul berucap dengan suara yang rendah, membuat gejolak gairah seksual Mina semakin meledak. Raul mengklaim bibir Mina untuk kesekian kalinya. Sementara pinggulnya terus bergerak keluar dan masuk dengan kedua kaki Mina yang sekarang melingkar di pinggang Raul.

“Hh—Raul—hh...”

“Iyah, kak...” Sahut Raul sembari mengecup kedua kelopak mata Mina bergantian dan turun menciumi dadanya.

“Ka-kamu boleh cepetan, kok....”

Seulas senyum terbit di wajah pemuda berusia dua puluh dua tahun ini. Raul mencumbu candunya lagi sembari mempercepat ritmenya. Mina mendesah tertahan, meremas punggung dan rambut Raul. Keduanya bertahan agak lama hingga akhirnya Mina merasakan penis Raul berkedut di dalam vaginanya.

Raul melepaskan pagutannya dan memeluk Mina erat-erat, mendesah panjang saat dirinya mengeluarkan cairan—yang tentu saja tertahan oleh kondom yang pakainya, bersama dengan Mina yang juga mencapai puncaknya.

Setelahnya, Raul merebahkan diri di sebelah Mina, sebelum bangkit dengan perlahan untuk membuang kondomnya. Tanpa kata, Raul membaringkan tubuhnya kembali di sebelah Mina, memeluk tubuh kekasihnya itu posesif.

“Raul capek?” Mina tertawa melihat Raul yang memeluknya sembari memejamkan mata. Raul mengangguk pelan. “Enak, tapi capek. Aku gak mau sering-sering kayak Meme.”

Tawa Mina meledak. Raul mengerucutkan bibirnya. “Memangnya kak Mina gak capek?” Tanyanya. Mina mengangguk. “Sama kayak Raul.” Balasnya.

“Tapi, kalo sesekali gak apa-apa ya, kak?” Raul menatapnya dengan kedua mata yang membulat. Mina menahan rasa gemasnya. Dia membalas pelukan Raul.

“Iya. Sesekali aja.”

Tidak terdengar lagi suara dari Raul. “Tapi, syukurlah kali ini gak diganggu sama Haruna-san dan Tsuki-san lagi...” Gumam Raul pelan sebelum akhirnya tertidur. Mina tertawa pelan mendengarnya.

Perempuan itu mengusap wajah Raul yang masih sedikit dipenuhi keringat sisa-sisa mereka bercinta tadi. Disingkirkannya sedikit helaian rambut yang menutupi keningnya.

Mina mengecup lembut kening Raul dan ikut masuk ke dalam mimpi.