soymilkao29

ShoppiAiri Fluff, Typo, Cringe


Shota melirik kearah sosok perempuan yang sedang setengah terlelap di sebelahnya, setelah dia menghentikan mobilnya di persimpangan lampu merah. Jelas dengan senyuman yang masih merekah di wajahnya.

Perempuan bernama Minamoto Airi—kekasihnya—kalau mengingat titel itu kadang membuat Shota senyum-senyum sendiri. Dia tahu mendapatkan hati Minamoto tidaklah cukup dengan kata-kata manis dan tindakan nyata, paling tidak dirinya harus bisa menyakinkan bahwa Shota memang berniat serius. Bukan main-main. Disinilah mereka sekarang, melepas titel FWB dan naik tingkat menjadi sepasang kekasih.

Airi menggeliat. Kedua kakinya diangkat keatas kursi mobil dan dia memeluk dirinya sendiri. “Chotaa, dingin...” lirihnya pelan. Lelaki bermarga Watanabe itu terkekeh. Kalau saja dia sedang tidak di balik kemudi, mungkin sekarang dia sudah memeluk erat-erat kesayangannya itu.

Masih menunggu lampu merah berubah, Shota sedikit menjulurkan badannya ke kursi belakang, mengambil selimut yang sudah dia siapkan. Airi selalu kedinginan setiap kali mabuk, jadi paling tidak sejak menjadi kekasih perempuan itu, Shota harus menyiapkan selimut cadangan di mobilnya. Shota melebarkan selimut itu dan menyelimuti Airi.

Airi menggeliat lagi, keningnya mengkerut dalam dengan mata terpejam, tangannya menyingkirkan selimut yang diberikan Shota. “Gak mau selimut...” lirihnya. Mata terbuka separuh, menatap Shota dengan pandangan sayu. “Mau peluk Chotaa!” gerutu Airi. Dia mengerucutkan bibirnya.

Shota berdecak sebal. Tidak sepenuhnya. Dia lebih kesal karena keadaan. “Iyaa, nanti ya! Aku harus membawamu pulang dengan selamat dulu. Abis itu, Airi boleh memelukku sampai pagi ya.” balas Shota. Lampu merah berubah dan lelaki itu kembali menjalankan mobilnya. Kali ini sedikit lebih cepat. “Benarkah?” Kali ini kedua mata itu menatapnya dengan mata yang berbinar samar. Sial, menggemaskan sekali. Shota mengutuk keadaan lagi. Kalau saja mereka sedang tidak berada di mobil, dia sudah memeluk Airi erat-erat sekarang.

“Iya, sayang.” Shota bisa mendengar teriakan kecil Airi yang terdengar begitu senang. “Asyikk aku memeluk Chotaa lagii~” katanya, memeluk dirinya sendiri dan beberapa saat kemudian kembali terlelap. Shota mengerjap, agak terkejut dengan kecepatan tidur sang kekasih.

Lelaki itu tertawa kecil. Sebaiknya dia segera membawa mobil ini sampai ke unit mereka sebelum Shota memeluk Airi di mobil yang sempit itu.

Cringe, Typo,


Aku menarik koper besarku melewati gerbang imigrasi di bandara Narita. Aku sedikit bersyukur karena perjalanan dari Indonesia – Jepang berjalan dengan lancar. Keberangkatan pesawat pun tepat waktu.

“Hato-san?” Langkahku terhenti. Aku menoleh ke sumber suara dan mengerjap bingung, melihat sosok lelaki yang memegang papan kecil bertuliskan nama panggilanku dalam hiragana. Sosok itu tersenyum dari balik maskernya. Melihat sepasang mata yang tidak asing itu, aku menyadari bahwa sosok itu sering aku lihat di video dokumentari Naniwa Danshi dan juga beberapa kali bertemu secara langsung.

“Ah!” Aku segera merunduk sopan, sementara sang lelaki membalasku. “Biar kubantu bawa.” Katanya, meraih gagang koper yang kubawa. Aku baru saja hendak mencegah sang manajer menarik koperku, sayang gerakan sang manajer lebih cepat dariku. Ah, sudah terlatih mungkin.

“Daigo-san sudah menunggu di mobil. Dia memintaku menyampaikan permintaan maaf karena tidak bisa keluar untuk menjemput Hato-san.” Aku menggeleng. Kakiku melangkah sejajar dengan sang manajer.

“Tidak, tidak. Justru aku berterima kasih karena manajer-san yang menjemputku.” Balasku, sementara Sang manajer tertawa. “Benar juga, akan jadi kehebohan kalau ada yang melihat Daigo-san disini.” Aku tersenyum. Aku tidak mengira kalau lokasi parkirnya akan lumayan jauh. Yah, tidak sejauh jarak satu terminal ke terminal lain di Soeta.

Langkah kami terhenti di depan sebuah mobil van hitam dengan kaca film yang pekat. Sementara manajer menyimpan koper di bagasi, pintu van terbuka, menampilkan sosok kekasih jarak jauhku yang mengintip dengan pose menggemaskan. Sosok bernama lengkap Daigo Nishihata itu tersenyum lebar kearahku. Tangannya terulur untuk meraih tanganku untuk mengajaknya masuk.

Sebelum bisa berucap apa-apa, Aku dibuat terkejut dengan Pata yang memelukku erat-erat. Tidak lupa menggoyangkan tubuh keduanya. “Aku merindukanmu, Hato-chan~” ujarnya, membuat wajahku memanas dan jantungku mulai berdetak dengan cepat. Ah, sial, selalu seperti ini setiap kali aku di dekat Pata.

Pata menjauhkan tubuh kami dan tersenyum lebar lagi kearahku. Tubuhnya sudah maju untuk mencium sebelum ada deheman keras dari arah depan. Sang manajer menatap datar kearah kami berdua. “Berangkat sekarang?” Daigo terlihat menghela napas dan merajuk.

“Sedikit lagi aku mencium pacarku... Aih...”

Sang manajer kembali duduk dengan manis di balik kemudi. “Tenang saja. Daigo-san. Kalian punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama.”

Daigo langsung menoleh kearahku dengan ekspresi yang sangat menggemaskan. “Benarkah?” Aku meringis. “Itu tergantung jadwalmu, pata.” Ujarku. Sembari duduk di sebelahnya, pata terlihat tidak mau jauh-jauh dariku. Mobil yang kami tumpangi mulai beranjak meninggalkan bandara. Pata menyandarkan kepalanya di bahuku, membuat tubuhnya saat ini seperti setengah berbaring.

“Aku merindukanmu...” bisiknya lagi. Ya. Aku tahu, berhenti membuatku salah tingkah, Nishihata. “Ya. Aku tahu, pata...” Aku mengangguk samar, lagi-lagi menetralisirkan detakan jantungku yang semakin kencang. Pata menoleh kearahku sembari masih bersandar di bahuku. Aku bergumam pelan sebagai balasan.

Sebelum aku berucap karena kebingungan dengan tingkahnya, lelaki bernama kecil Daigo ini malah mendekatkan wajahnya kearahku dan sebelum aku sadar, dia sudah menempelkan bibirnya dengan hati-hati di bibirku. Ciumannya itu hanya berlangsung selama beberapa detik, namun berhasil membuatku terpaku.

“Aku gak mau keliatan cheesy, tapi aku ingin Hato tahu bagaimana perasaanku,” Pata berbisik lagi. Kenapa dia jadi suka berbisik-bisik begini? “愛してるやん.” Perlahan, wajah pata mendekat. Tatapannya yang semula tepat ke arah mataku, secara perlahan mulai menyayu. Meski tegang setengah mati, aku tidak berusaha menghindar dan malah memejamkan mata ketika pata memiringkan kepalanya di hadapanku.

Dan... ya.. aku dan pata kembali ciuman. Ini memang bukan yang pertama kali tapi selalu membawa sensasi yang menggelikan namun bukan sesuatu yang buruk. Mungkin.

Rasanya, aku mau teriak. Ciuman itu berlangsung agak lama dan pata mengapit bibir atasku, mengecapnya. Sebelum akhirnya aku mendorong bahunya pelan untuk menjauh.

“Udah, pata...” kataku. Sial. Aku sempat melihat kearah sepasang matanya yang menatapku bagaikan anjing poddle yang tersesat. Aish. Tapi, sesaat kemudian lelaki itu hanya tersenyum dan kembali merebahkan kepalanya di bahuku, menggenggam tanganku dan memejamkan mata tanpa kata.

Aku tersenyum tipis sebelum akhirnya ikut bersamanya tenggelam dalam dunia mimpi. Sudah lama kami tidak tidur berdekatan seperti ini. Hubungan jarak jauh memang menyiksa untuk orang-orang yang tidak tahan jauh dari pasangannya. Meksi beberapa kali pata terlihat manja setiap kali kami bertukar kabar lewat Zoom atau aplikasi semacamnya, dia tidak pernah menuntutku untuk segera kembali ke Jepang. Jauh dari rumah pasti susah untukmu, aku tidak mau mengganggu waktumu yang berharga selama melepas rindu di Indonesia. Take your time, Hato. Begitu katanya.

Ah, rasanya semakin tidak ada alasan untukku berhenti menyayangi lelaki bernama lengkap Daigo Nishihata ini.

Sembari masih terguncang di dalam kereta, Micchi membaca pesan singkat darimu. Dia mengulum senyum lembut meskipun kamu sedang tidak ada di depannya saat itu. Micchi mengetik sebuah balasan. Kamu mengabari Micchi kalau meet up kalian hari itu tidak bisa dilakukan karena kamu sedang kehabisan energi. Kamu bahkan sampai sangat meminta maaf karena hal ini. Padahal Micchi tidak masalah, dia sudah cukup lama mengenal kamu dan kamu berhak untuk merasa lelah dan tidak mau bertemu siapapun.

Lelaki bermarga Michieda itu menghela napas. Mungkin dia akan jalan-jalan di sekitar destinasi tempat kalian janjian hari itu. Kereta yang ditumpangi Micchi berhenti di sebuah stasiun. Lelaki itu turun dan berjalan menuju pintu keluar. Tidak jauh dari stasiun ada taman yang cukup ramai. Mungkin Micchi akan duduk-duduk disana sambil menikmati cemilan. Lelaki itu mampir sebentar ke Lawson di dekat sana, membeli dua bungkus pocky dengan rasa stoberi dan cokelat juga dua porsi oden dan dua botol minuman dingin. Keluar dari sana Micchi mengernyit bingung. Kenapa dia beli dua?

Micchi berdecak. Tangan dan mulutnya otomatis bergerak sendiri mengambil bagian milikmu padahal hari itu kalian tidak jadi bertemu. “Ya sudah, deh. Bisa kuberikan ke orang yang disana.” Gumam Micchi. Micchi melangkahkan kakinya, keluar dari area stasiun dan menyusuri jalan setapak di taman itu. Mencari bangku yang tersedia.

Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang sangat Micchi kenal sedang duduk, seperti sedang merenung memperhatikan keramaian di sana. Perempuan yang dia kenal sebagai kekasihnya itu masih mengenakan setelan kantoran namun wajahmu terlihat lesu tanpa semangat. Pelan-pelan, Micchi duduk di sebelahmu yang masih tidak menyadari kehadiran Micchi.

Lelaki bernama kecil Shunsuke itu menatapmu lamat-lamat dengan senyum lembut. Hendak mengulurkan tangan untuk menyentuhmu namun diurungkan. Kamu terlihat menikmati kesendirian dalam keramaian ini yang pada akhirnya membuat Micchi memutuskan untuk menikmati kebersamaan kalian dalam keheningan diantara keramaian sore itu.

Kamu menghela napas. Sedikit terperanjat menyadari seorang lelaki duduk di sebelahmu dengan tenang memegang dua porsi mangkuk kertas berdesain Lawson. Micchi tersenyum lebar kearahmu, senyuman lelaki itu nyaris membuatmu menangis. Kamu menunduk, mengatur detakan jantung dan deru napas yang mendadak cepat.

Kamu mengangkat kepalamu dan memaksakan senyum. Micchi menarik tanganmu dan menyerahkan seporsi oden itu padamu. Kamu mengernyit. “Aku kelebihan belinya,” Micchi meringis. “kebiasaan kalo inget kamu pasti selalu beli dua porsi. Tapi, syukurlah odennya gak jadi sia-sia.” Lanjutnya.

“Kamu udah sampe disini kok gak ngabarin?” Tanya Micchi, membuka tutup mangkuk oden di pangkuannya, sembari melirik kearahmu. Kamu menatap oden yang ada dipangkuanmu. “Aku sedang ingin sendiri...” balasmu.

Micchi terdiam. Kedua kelopaknya mengerjap. “Oh, ah, aku mengganggumu? Kalau begitu—“Micchi sudah bersiap untuk pindah dari sana saat tanganmu menahannya.

“Karena Shun sudah disini, aku jadi ingin berduaan denganmu di keramaian ini.” Katamu. Micchi bisa merasakan wajahnya memanas mendengar kalimat itu meluncur dari mulutmu. Kamu berdehem dan mulai menyantap oden traktiran Micchi. Lelaki itu mengangguk samar. Kalian berdua menikmati waktu bersama dengan oden date hari itu. Tanpa membuka percakapan sedikitpun.

“Jadi, ada apa hari ini?” Micchi kembali setelah membuang sampahnya dengan sebuah pertanyaan. Kamu tersenyum tipis, mulai menceritakan apa yang kamu lewati selama seharian itu. Hingga rasanya dadamu sesak dan pandanganmu mengabur oleh air mata. Kamu selalu tidak bisa untuk tidak berhenti bercerita saat Micchi sudah memancingmu seperti ini.

Micchi meraih kepalamu untuk bersandar di bahunya, sementara tangannya merangkul bahumu. “Otsukaresama...” Bisik Micchi.

Angst

Gemetar... Kedua tangan itu di penuhi oleh cairan merah yang pekat dan berbau anyir... Wajahnya pucat ... Suasana ribut di sekitarnya terasa tak bersuara...

Tapi, suara parau dan gemetarnya memanggil nama seseorang yang terbaring di dekatnya. Tak bergerak. Juga tidak merespon setiap panggilannya. Dadanya sesak. Kedua matanya terasa buram oleh cairan bening yang kapan saja bisa turun membasahi wajahnya. Suara selanjutnya yang di keluarkannya terdengar begitu kencang dan memecah keramaian yang hampa.

“DAICHAN!”

Sebelum akhirnya, kesadarannya direnggut oleh sesuatu yang hitam dan pekat. Sesak dan menyakitkan.


Semuanya terasa seperti mimpi saat Ryusei Onishi membuka matanya pertama kali. Dia pikir semuanya mimpi. Sebuah mimpi buruk yang tidak dia inginkan untuk terjadi sedikitpun. Pada siapapun. Pada orang yang tidak dia sukai sekalipun.

Tapi, rasa sakit jadi sebuah bukti bahwa semuanya bukanlah mimpi. Saat suaranya keluar untuk bertanya dimana Daigo Nishihata, kelima pasang mata yang sedari tadi menatapnya penuh rasa syukur dan lega langsung memalingkan pandangan. Seakan-akan Ryusei tidak diizinkan untuk mengetahui apa yang ada di dalam mata mereka. Emosi seperti apa yang sebenarnya terpendam.

“Jo...” Panggilnya dengan suara yang serak. Kepada seorang pria yang berdiri tak jauh darinya, tangan Ryusei yang masih tertusuk jarum infusan itu mencoba untuk menyentuh ujung kemeja yang di pakai pria itu.

Jo menoleh dan menatap Ryusei sendu. “Daichan mana? Dia baik-baik saja, ‘kan?”

Jo menarik napas dan menghembuskan napasnya. Dia berlutut di dekat ranjang Ryusei dan tersenyum. Sebuah senyum yang dimaksudkan untuk menenangkan Ryusei. “Ryuche mau lihat Daigo?” Ryusei mengangguk dan itu sudah lebih dari cukup sebagai jawaban.

Ketika, Jo hendak berdiri, Michieda menarik Jo menjauh dari Ryusei, menimbulkan sebuah kilatan bingung di tatapan Ryusei yang memperhatikan keduanya. Ryusei tidak bisa mendengar jelas apa yang di ucapkan keduanya tapi itu jadi sebuah dugaan kalau Jo nampak marah pada Michieda. Entah karena hal apa.

“Kento,” panggil Ryusei pelan pada sosok paling fashionable di Naniwa Danshi yang sedari tadi menatapnya. Dengan tatapan yang sama-sama sendu dengan kelima lainnya. “Nani?” sahutnya pelan. Tidak ada emosi semangat disana. Terlalu sedih. Hingga rasanya Ryusei semakin menaruh curiga.

“Daichan.... dia baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya. Nagao Kento menarik napasnya dan tersenyum. Di gigitnya bibir bawahnya.

“Kento?” panggilnya sekali lagi membuyarkan lamunan sekejap Kento. “A-Aku sendiri tak yakin bisa di bilang baik-baik saja atau tidak.” Sahut Kento pelan.

Ryusei mengernyitkan dahi. Dia menatap kelima pria disana, yang sama-sama menatapnya sedih. Kazuya beranjak mendekati Ryusei yang speechless.

Kebingungan dengan apa yang terjadi. Dia hendak bersuara tapi Kazuya sudah mendekapnya dengan erat. Mengusap pundaknya dengan lembut dan pelan.

“Ryuche... mau lihat Daigo kan?” Ryusei mengangguk. Dia ingin tahu keadaan orang yang sudah dia anggap keluarganya sendiri. Orang yang paling dia sayangi. “tapi, janji, jangan terkejut saat menengoknya ya.” Ryusei semakin penasaran.

Dia mencurigai sesuatu yang tidak ingin dia pikirkan tapi semua tatapan sendu ini semakin membuatnya tidak bisa menjernihkan pikiran dan terus berpikir bahwa ada hal buruk yang menantinya.


Ryusei tahu dia tidak bisa janji.

Ryusei terkejut. Saking terkejutnya dia tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Dengan wajah datar, menatap pada sosok yang terbaring disana dengan lemah, dengan bantuan alat bernapas dan pendeteksi detak jantung serta alat-alat lainnya yang Ryusei tidak tahu apa fungsinya.

Mungkin, Ryusei akan berpikir kalau sosok di depannya ini sudah tidak bernapas kalau layar yang memonitor detak jantung itu tidak menyala. Otak Ryusei kembali menyatukan kepingan dengan kepingan kejadian waktu itu, bagaimana Daigo Nishihata bisa ada disana. Terbaring tidak bergerak sedikitpun.

Entah apa yang merasuki Ryusei waktu itu, tapi dia tidak bisa berpikir jernih, Ryusei masih shock saat itu. Ryusei kecewa pada dirinya sendiri.

Seluruh matanya sudah di penuhi kabut sendu yang kuat hingga rasanya Ryusei ingin menjauh sejauh-jauhnya dari tempatnya berada saat ini. Tapi, saat itu juga, ada sosok itu disana.

Sosok yang selalu jadi orang pertama yang ingin dia beri kabar tentang apa saja. Sosok kakak yang sangat dia sayangi. Bukan—Bahkan hubungan mereka bisa dikatakan lebih dari sekedar keluarga. Namun, saat itu kakinya melangkah tanpa memperdulikan sekitarnya. Tanpa menyadari bahwa lampu pejalan kaki di perempatan Shibuya itu sudah kembali memerah, tapi Ryusei tetap menyebrang. Bertaruh nyawa dengan banyaknya mobil yang berkeliaran disana.

Semuanya terjadi begitu cepat. Ryusei mendengar teriakan Daigo, tatapan paniknya. Suara langkah kakinya yang cepat dan dekapan hangat yang didapatkannya sesaat sebelum Ryusei merasakan kehangatan itu terlepas.

Kedua tangan Ryusei terangkat. Kedua matanya melebar dengan shock saat merasakan sensasi yang sama pada saat itu. Sensasi hangatnya cairan merah yang pekat dengan bau anyir. Kedua tangannya bergetar lagi. Kepalanya menggeleng dan dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan sesak yang tiba-tiba menjalari dadanya.

“Dokter bilang kondisi Daigo buruk. Kepalanya terbentur cukup keras dengan aspal jalan. Ada kemungkinan dia tidak akan bangun lagi akibat trauma otak yang dideritanya. Satu-satunya jalan hanya menunggu.” Tubuh Ryusei bergetar. Isakkan pelan menyelinap dari bibirnya.

“Tapi, kalaupun dia sadar, mungkin akan ada yang hilang darinya.” Ryusei berusaha mendekat. Dia mencengkram pelan tangan Daigo yang tidak merespon apa-apa.

“Daichan... Bangun....” bisik Ryusei dengan suara paraunya. Air matanya mengalir. “Ka-kalau Daichan bangun, aku janji bakal lebih sering cerita ke kamu! A-Aku gak akan ngejauhin Daichan lagi! Ku-kumohon bangun!”

Ryusei berseru dengan parau. Masih dengan isakkannya. Seharusnya Ryusei tidak ada disana waktu itu, seharusnya Daigo tidak bertemu dengan Ryusei malam itu. Seharusnya... ini semua tidak terjadi. Tapi, jika ingin pergi, tidak begini caranya... setidaknya tidak pergi selamanya.

Karena tingkahnya yang seperti kakak baginya, Ryusei jadi merasa bahwa keberadaan Daigo itu harus ada disana, bersamanya. Perhatian Daigo yang terkadang memang menyebalkan baginya akan sangat dia rindukan jika tidak ada.

Ryusei masih belum bisa terima jika Daigo harus pergi sekarang. Kento dan Kazuya terkejut saat mereka dihadapkan oleh Ryusei yang berteriak histeris, memanggil Daigo dan menyuruh pria itu untuk segera bangun. Kazuya mendekati Ryusei yang terus mengguncang tubuh Daigo. Di dekapnya erat tubuh Ryusei, menenangkannya dengan lembut.

“Ini salahku... Ini salahku...” Lirih Ryusei pelan.

Kazuya menggeleng. Meski hatinya perih saat melihat Daigo terbaring disana, bukan berarti dia menyalahkan Ryusei atas semua ini. Keempat member lainnya menahan tangisannya saat melihat dua orang yang dia sayangi terjebak dalam keadaan menyakitkan seperti ini.

“Daichan... Daichan... Dia akan bangun kan?” Gumam Ryusei. kedua matanya sudah tidak mengalirkan air mata lagi tapi tatapannya berubah kosong.

Kazuya mengeratkan dekapannya tidak mau memberikan harapan lebih dari apa yang dikatakan oleh dokter. Semua nya terasa pahit. Terasa menyakitkan. Menyedihkan dan Ryusei... tidak bisa terbiasa dengan semua ini. Hatinya selalu enggan untuk membiasakan diri. Sangat tak ingin...

Tapi, suara panjang yang monoton itu membuat bulu kuduk mereka meremang.

Kyomoto Taiga x OC, Fluff


Kamu terus menaiki anak tangga menuju atap sekolah itu. Langkah-langkahmu cepat dan pasti. Sembari melepas blazer sekolah yang kamu kenakan, kamu membuka pintu atap itu.

Kakimu masih harus memutari atap itu untuk mencari keberadaan seseorang. Kamu menyunggingkan seulas senyum saat berhasil menemukan seseorang yang kamu cari sedari tadi.

“Taiga.” Suaramu memanggil namanya. Namun, dia tidak membalas sedikitpun panggilanmu. Kamu sampai harus mendekatinya dan menepuk pundaknya.

Lelaki bermarga Kyomoto itu menoleh. “Kenapa kau disini?” dia balas bertanya. Kamu mendengkus dan berdiri di sebelahnya, menyampirkan blazermu di pinggir pagar pembatas atap sekolah itu.

“Aku sudah free. Sekarang tinggal operasi semut,” Katamu. Saat ini, sekolah kalian tengah mengadakan festival budaya tahunan.

Taiga sebagai ketua pelaksananya dan kamu sebagai koor acaranya. “aku tinggal memastikan bahwa semua orang tidak ada yang tinggal di sekolah.” Lanjutmu, melirik kearah Taiga. Lelaki itu malah tertawa dan mencibir, “kamu koor acara bukan K2.” Katanya.

Kamu mengedikkan bahu. “Tidak apa-apa, kan?” Taiga tidak membalas lagi setelah itu.

Kalian memperhatikan bekas api unggung di tengah lapangan itu. beberapa staf masih tersisa disana, merapikan beberapa perlengkapan dan membawanya ke gudang.

Kamu melihat ke salah satu staf yang menyadari keberadaanmu di atas sini. Staf itu terlihat memberinya sebuah sinyal untuk turun ke bawah.

“Hmm, sepertinya ada yang mau mereka sampaikan.” Katamu, bergumam.

Kamu berbalik, hendak beranjak dari sana. Tapi, Taiga bergeming. Tidak bergerak seinchipun dari posisinya. Kamu berdecak, ditariknya tangan Taiga dan kamu genggam erat.

“Ayo,” ajakmu. Menarik Taiga untuk ikut denganmu pergi dari atap itu. Lelaki itu mengerutkan kening namun tidak memberontak untuk melepas genggaman tangan kalian. “aku tidak meninggalkanmu disini sendirian, Taiga.” Lanjutmu, sembari menatap lurus kearah Taiga.

Taiga merasakan wajahnya memanas. Dia mendengkus. Tangannya yang lain mengambil blazer yang masih tersampir di pinggir pagar atap.

Taiga melempar blazer itu kearahmu dan balik menggenggam tanganmu. “Pakai lagi,” kata Taiga tegas, tidak mau dibantah. “malam semakin dingin.” Lanjutnya.

Kamu terdiam selama beberapa saat, kemudian sebuah tawa keluar dari mulutmu.

“Hee, baiklah.” Kamu memakai blazermu kembali dengan susah payah karena tangan kalian masih terpaut. Kamu melihat kearah Taiga. “Apa?” katanya.

“Tidak mau melepas tanganku dulu?”

“Tidak mau.”


2♡ ; Catch you Crying

Kemana anak ini? Ini sudah pukul dua belas malam lewat. Para staf juga sudah pulang. Taiga melirik lagi kearah jam tangan di tangan kirinya. Dia mengetuk ujung sepatunya dengan tak sabaran. Dia penasaran kemana anak itu, apakah sudah pulang duluan?

“Loh, Kak Kyomoto, belum pulang?” Taiga mendongak dan menemukan Shintaro dan Suzu yang sepertinya hendak pulang. Kepala Taiga mengangguk sebagai balasan. “Nungguin seseorang?” Kali ini Suzu yang bertanya dan Taiga kembali mengangguk.

“Ah, sepertinya masih ada orang di ruang sekret. Mungkin kak Kyomoto bisa cek kesana.” Kata Shintaro setelah kembali mengingat-ingat siapa yang masih ada di dalam gedung sekolah.

Taiga mengernyit. “Oke. Makasih ya,” katanya sembari berjalan masuk lagi. “kalian pulangnya hati-hati ya.” lanjutnya sebelum kembali masuk ke dalam gedung sekolah.

“Kak Kyomoto itu suka sama kakak koor acara itu ya?” gumam Shintaro. Suzu memiringkan kepalanya bingung. “Bukannya mereka berpacaran?”

“Hee? Benarkah?”

✧✧✧

Langkah Taiga yang menyusuri lorong sekolah yang sudah gelap itu terdengar menggema. Terdengar beberapa kali suara serangga malam dan angin yang berhembus pelan di luar.

Dengan berbekal senter dari ponsel pintarnya dia melangkahi setiap lantai di gedung itu dengan pelan. Dia jadi berpikir, sedang apa orang itu masih mengurung dirinya di ruang sekret? Taiga pikir kalian sudah janji akan pulang bersama, kalau mengingat sekarang sudah terlalu larut.

Taiga sampai di depan pintu ruang sekret. Dari celah pintu itu, dia masih bisa melihat lampu ruangan yang menyala. Taiga menghela napas. Dia meraih gagang pintu dan memutarnya, membuka pintu itu.

Dari depan pintu saja dia bisa melihat kamu yang sedang sibuk dibalik laptopmu, bolak-balik mengecek ke buku besar di sebelahmu.

Namun, Taiga tidak tahu kalau kamu juga melakukan itu sambil menangis. “Ah sial, ini kenapa begini...” Kamu bergumam dengan panik.

“Sedang apa kau?” Kamu terkejut saat mendengar suara lain di ruangan itu. Kamu bahkan sampai terjengkang dari kursi saking terkejutnya, mengingat bahwa sekarang sudah sangat larut dan kamu pikir semua orang sudah pulang. Bahkan tadinya kamu berniat untuk mengingap disana.

Taiga langsung mendekatimu dan membantumu untuk bangkit. Lelaki bermarga Kyomoto itu menarik kursi dan mendudukanmu lagi disana.

“Ke-Kenapa kau masih disini?” tanyamu bingung. Seharusnya semua orang sudah pulang.

“Kita janjian pulang bareng, 'kan?” balas Taiga. Dia menarik kursi lain dan duduk di dekat kamu. Tidak lupa dia mematikan senter yang masih menyala dari ponselnya.

Kamu terdiam dan kini memukul pelan keningmu. “Aku lupa mengabari,” gumammu.

Kamu menarik napas dan mengusap wajahmu yang basah oleh air mata. “kamu duluan aja, aku masih ngurus laporan keuangan.” Lanjutmu.

Taiga tidak membalas ucapanmu dan kamu memilih melanjutkan menyusun laporan hari itu. “Ini tugasnya bendahara, kenapa kamu yang mengerjakan?” tanya Taiga.

Kamu menghentikan kegiatanmu sejenak. Kamu pun menyunggingkan senyum tipis. “Uhm, karena ada laporan pengeluaran acara yang ambigu jadi aku diminta buat cek sendiri.” Katamu.

Taiga berdecak. Dia mengambil buku besar dan beberapa bukti pembayaran, mengumpulkannya jadi satu dan memasukkannya ke dalam map plastik dan menyimpannya keatas rak. “Taiga! Aku belum selesai!” Kamu berseru panik.

Namun, Taiga seperti tidak mendengarkan teriakannya, lelaki bermarga Kyomoto itu menggesermu dari depan laptop dan menyimpan file itu lalu mematikan laptopnya.

“Aduh!” Kamu memukul kepala Taiga. Taiga menoleh sambil mengusap belakang kepalanya, dia terdiam melihatmu yang sudah nyaris setengah menangis.

“Jangan ganggu aku! Kamu kalo mau pulang, pulang saja sendiri!” Ujarmu dengan kesal. Kamu mendorong Taiga menjauh dari laptopmu, kembali menyalakan laptop itu untuk melanjutkan pekerjaanmu yang tertunda barusan. “Aku mau menginap disini.”

“Sudah kuduga,” gumam Taiga. Kamu menatap kearah Taiga. “untung saja aku menyusulmu kemari, kalau tidak mungkin kau akan benar-benar menginap disini.” Lanjutnya.

Taiga kembali duduk di kursinya. Dia mengeluarkan kembali buku besar dari map plastiknya dan berniat membantumu.

“Biar kubantu, supaya cepat selesai.” Kamu hanya bisa mengangguk sambil membuka kembali file di laptopmu. Taiga mengecek satu persatu laporan panjang kegiatan festival sekolah mereka.

Kamu diam-diam memperhatikan Taiga yang sedang serius meneliti laporan itu, kamu sempat merasa bersalah karena harus melibatkan Taiga dalam pekerjaanmu.

Taiga menghela napas lega setelah berhasil menemukan kejanggalan di salah satu laporan. “Lihat, kau salah memasukkan pengeluaran di pemasukan, lalu disini, kelebihan 0.” Kata Taiga.

Lelaki itu menoleh kearahmu dan kalian jadi saling bersitatap. Keheningan panjang malah menyapa dan kamu harus berdehem untuk membuyarkannya.

“O-Oh, benarkah?” tanyamu sembari mengalihkan pandangan kearah layar laptop, mengabaikan sensasi hangat di kedua pipimu yang semakin meranum.

“Itu saja?” Kamu menoleh kearah Taiga yang sekarang sedang menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

“Iya.” Kamu menghela napas lega, buru-buru membetulkan bagian yang salah tadi. “Seharusnya aku minta bantuanmu sejak tadi.” Gumammu. Taiga melirik kearahmu. “Itu karena kau kelelahan, makanya tidak bisa fokus dan teliti.” Balasnya.

Kamu tertawa kecil. Selesai dengan masalah laporan itu, Taiga bangkit dari duduknya dan menoleh kearahmu.

“Ayo pulang.” Ajaknya. “Sebentar, otakku butuh istirahat.” Kamu yang kali ini gantian bersandar di sandaran kursi, menatap lurus kearah Taiga yang menjulang tinggi dari posisinya. Taiga merotasi bola matanya.

“Istirahat saja di rumahmu.”

“Sebentar saja, Taiga Kyomoto.”

Taiga berdecak, dia mendekatimu yang masih asyik menyandarkan tubuh. “Kau mau kugendong saja biar kita cepat pulang?” ancamnya. Kamu mengerjap. Buru-buru bangkit dan merapikan barang-barangmu.

“Iya iya! Dasar tidak sabaran.” Taiga seram sekali, sih.


3♡ ; Colonge

Aroma itu masih sama. Aroma maskulin yang selalu membuatnya overthinking, matanya bahkan sesekali melirik kearah sosok perempuan yang sedang duduk dua bangku darinya di perpustakaan kampus hari itu. Meski Taiga Kyomoto tidak sendirian disana, tapi indera penciumnya seakan-akan hanya berfokus pada satu aroma itu.

Lamat-lamat Taiga memperhatikan perempuan itu, dia sampai terkejut begitu melihatnya didatangi seorang lelaki lain, lelaki itu dengan akrab mengobrol pelan dengan sang perempuan. Apakah itu pacarnya?, kalimat itu yang langsung terlintas dipikiran Taiga. Lelaki itu tinggi, outfit yang digunakan juga sangat kekinian, belum lagi wajahnya yang terlihat seperti seorang half.

Taiga langsung menutup wajahnya dengan buku yang dia buka—Tidak benar-benar dibaca—begitu perempuan yang menarik perhatiannya itu balas melihat kearahnya. Taiga menggigit bibirnya, mengutuk dirinya yang terlalu terang-terangan menatap kearah perempuan itu.

Telinganya menangkap suara kursi yang digeser dan langkah kaki yang menjauh. Saat dia intip dari balik bukunya, sepasang netranya menemukan sosok perempuan dan lelaki itu berjalan beriringan keluar dari perpustakaan.

Taiga menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menghela napas. Sudah punya pacar rupanya... Pantas aromanya maskulin.

***

Kelas hari itu lebih ramai dari kelas-kelas yang Taiga ambil di semester itu, sampai sang dosen harus mengarahkan mereka ke kelas yang lebih besar. Taiga duduk di barisan paling atas, bersebelahan dengan Juri yang sedang menyalin tugasnya ke kertas folio bergaris.

“Lo gak bilang tugasnya tulis tangan, sih, Ga!” Juri menggerutu sambil membuat tangannya bergerak lebih cepat, menyalin kata demi kata yang terpampang dari aplikasi ms word.

“Udah dibilangin di grup, lo yang gak baca kali.” Balas Taiga, melirik sang teman yang sedang dilanda panik. Tidak ada balasan lagi dari Juri yang sekarang lebih fokus menyelamatkan tugasnya.

“Hai,” Bukan hanya suara itu yang menyapanya, tapi juga aroma yang sangat Taiga kenal menyapa indera penciumannya. Wah, tajam sekali hidungmu, Taiga. “gue boleh duduk disini? Kursi yang lain udah penuh.” Lanjutnya. Taiga menoleh dan menemukan kamu yang tersenyum kearahnya.

Terdiam selama beberapa saat, membuat Juri yang menggantikan Taiga untuk berbicara. “Duduk aja.” Katanya. Taiga berdecak, dia mendelik. Kamu tertawa mendengarnya, menurunkan kursi yang terlipat itu dan mendudukinya. Taiga memandangi kamu sebentar.

Ini bukan pertama kalinya kalian bertemu atau satu kelas. Kalau Taiga ingat, ini kali keempatnya kalian bertemu. Pertama, kalian bertemu di kantin saat sedang mengantri makan siang, kamu berbaris di depannya sembari mengobrol akrab dengan temanmu saat itu, saat itu sebenarnya Taiga tidak terlalu memperhatikanmu, namun, aroma colonge yang kamu gunakan cukup menarik perhatiannya.

Pertemuan kedua adalah saat Taiga kehabisan saldo Suica untuk naik bis dan kamu bertemu dengannya, menawarkan untuk membayar ongkosmu juga.

Taiga sudah menawarkan untuk mengganti tapi kamu bilang tidak perlu. Kalian berpisah di depan gerbang kampus. Dan kali ketiga adalah di perpustakaan dan sekarang kalian bertemu lagi di kelas yang sama namun bedanya sekarang kamu duduk bersebelahan dengan Taiga.

Taiga tidak bisa menghentikan dirinya yang salting tanpa sebab. Padahal kalian hanya duduk bersebelahan, mungkin karena sekarang aroma maskulin itu semakin menyerang penciumannya.

Taiga tidak bilang dia tidak suka, hanya saja aroma itu selalu membuatnya overthinking akan rasa yang dia rasakan pada perempuan di sebelahnya ini.

Kelas hari itu berjalan lancar dan menyenangkan. Taiga tidak langsung keluar kelas begitu melihat pintu kelas yang ramai oleh para mahasiswa yang berbondong-bondong keluar bersamaan. Taiga menoleh ke sebelahnya, melihat kamu yang masih duduk dengan santai sembari membaca sebuah buku literatur.

Melihat crushnya dari dekat seperti ini, membuat jantung Taiga tidak bisa diam. Tenang, bodoh. Taiga terus-menerus mengutuk dirinya. Juri menyikut tangannya dan melirik-lirik kearah kamu.

“Dia 'kan yang lo crush?” bisik Juri. Taiga sudah nyaris kaget, takut kalau Juri mengeraskan suaranya saat bertanya seperti itu. Kepalanya menggangguk.

“Hei,” Panggil Juri kearah kamu. Kamu mengalihkan pandangan dari bukumu dan menatap Juri. “lo pake colonge cowok atau udah punya pacar?” tanya Juri. Kamu mengerjap. Taiga melotot, memukul belakang kepala lelaki bermarga Tanaka itu.

Taiga berbalik tersenyum tidak enak kearahmu yang sekarang menatapnya dan Juri dengan bingung. Kamu mengendus pelan pergelangan tanganmu dan tersenyum. Baru melihat senyummu saja, Taiga sudah merasa jantungnya seperti diajak lari marathon.

“Ah, ini, karena aromanya enak, jadi gue pake terus padahal colongenya buat cowok,” katamu. “dan gue belum punya pacar.”

NICE!

Overthinking Taiga seketika lenyap saat itu juga. Taiga berusaha mati-matian menahan senyumnya. Juri yang sadar akan gerak-gerik temannya yang seperti anak sekolah baru pertama kali jatuh cinta jadi terpikirkan sesuatu.

“Syukur deh,” kata Juri, mengundang keningmu mengkerut bingung. “kalo gitu, mau sama dia gak?” Juri menepuk pundak Taiga membuat lelaki bermarga Kyomoto itu berjengit kaget. Wajahnya sekarang memanas, dia melotot tajam kearah Juri, mendelik sedelik-deliknya.

“Anaknya baik, kok. Cuma gabisa masak mi instant aja.”

Taiga dan kamu sama-sama tertawa. Bedanya, kamu tertawa gemas dan Taiga tertawa canggung.

Tanaka Juri sialan. Taiga mengumpat dalam hati.

“Boleh.” Sahutmu dengan geli. Taiga menatap kearahmu, terkejut dengan respon yang kamu berikan.

***

“Dia siapa?” Jesse bertanya padamu yang sedari tadi mengulas senyum setelah keluar dari perpustakaan.

Kamu mengangguk. “Taiga Kyomoto, gue beberapa kali ketemu dia.” Jesse mengangguk sembari menggumam paham.

“Lo suka dia?” Kamu kembali tersenyum, namun, kali ini menahan senyum itu untuk melebar seenaknya. Kedua bahumu mengedik, membuat Jesse menyipitkan matanya, curiga kalau tebakannya benar.

Ya, kamu sudah menyukai Taiga sejak kalian bertemu di hari pertama ospek.


4♡ ; Water

Rapat yang selalu diadakan setiap akhir bulan itu sudah berlangsung selama dua setengah jam lebih. Suasana di dalam ruangan sudah bisa dikatakan kurang kondusif kalau Taiga perhatikan. Dia sendiri sudah mulai merasa bosan dan ingin segera menyelesaikan agenda bulanan BEM nya ini. dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Taiga bertopang dagu sembari memainkan pulpennya, memperhatikan sang sekretaris yang sedari tadi sedang sibuk mencatat poin-poin rapat.

Senyum Taiga terulas tipis saat melihat sosok sekretaris—yang merupakan pacarnya itu kelihatan masih bisa mempertahankan fokusnya. Taiga yang duduk di belakang saja sudah mulai mengantuk dan melirik jam terus, bagaimana kamu yang duduk di depan dan harus mencatat semua tanpa terkecuali. Bisa dikatakan bahwa Taiga bangga sekali melihatmu. Apa mungkin aku tanya saja apa tips & trick nya ya?

Cukup lama Taiga memandangi kesayangannya itu, hingga sikut seseorang menyandarkan lamunannya. Taiga jelas terkejut dan dia menoleh, mendapati Morimoto Shintaro tersenyum kearahnya. Senyumnya bukan sesuatu yang ramah untuk Taiga, lebih kepada sebuah senyum menggoda. “Lo kayaknya haus banget ya, kak Taiga.” Lelaki bermarga Kyomoto itu mengernyit.

“Haus kasih sayang maksudnya?” Tanaka Juri yang disebelahnya menambahkan. Shintaro terkekeh. “Haus kasih sayang dan belaian.” Wajah Taiga meranum. Dia terkejut mendengar ucapan sang adik tingkat dan juga teman seangkatannya ini.

Taiga berdecak dan memberi gestur hendak melempar barang yang ada di tangannya saat ini. “Eits, tuan muda gak boleh galak.” Kata Juri. Taiga mendengkus. “Lo emang halal buat dipukul ya, Tanaka!”

“Tiga orang yang duduk dibelakang, tolong ya kondusif.” Baik, Juri, Shintaro dan Taiga langsung memasang duduk yang manis begitu suara sang ketua BEM menegur mereka. Taiga melirik kearahmu lagi dan menemukanmu yang sekarang sedang menatapnya. Taiga sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Kamu membalas senyumannya dan beralih kearah sang ketua BEM.

Taiga melihatmu berdiskusi sebentar, empat mata dengan sang ketua dan kepala sang ketua mengangguk. “Oke. Kita istirahat dulu empat puluh lima menit. Nanti jam 18.45 kembali lagi ya. Makasih.”

Taiga langsung menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menghela napas panjang. Dia menunggu sampai seluruh anggota keluar dari kelas. Taiga tidak suka berdesak-desakkan di depan pintu. “Taiga, kantin gak?” Juri mencolek pundaknya sebelum beranjak.

Lelaki bermarga Kyomoto itu menggeleng. “Gak. Mager.” Balasnya. “Halah, bilang aja mau ke kantin barenga ayang.” Cibir Shintaro. Taiga langsung melotot dan mendelik. Namun, tak lama suaramu menyapa kalian.

“Halo, Shintaro, Juri.” Sapamu dengan ramah. Ketiganya menoleh dan ikut menyunggingkan senyum. Kamu menyodorkan sebotol air mineral kearah Taiga. Juri tertawa melihatnya. “Ih, ayangnya Taiga peka banget kalo Taiga dari tadi kehausan.” Kamu tertawa.

“Tapi haus belaian dan kasih sayang.”

Baik Taiga dan kamu sama-sama salah tingkah dan menahan malu saat Shintaro berucap seperti itu.


5♡ ; Jangan Lupa Makan

Masa jabatan untuk kabinet organisasi eksekutif yang Taiga ikuti sudah mulai memasuki masa akhir. Setiap divisi kelihatan sibuk mengurus laporan akhir mereka. Tidak terkecuali Taiga yang membantu kepala divisi minat dan bakat yang menaunginya ini untuk menyusun laporannya.

Saking menyita waktu, Taiga sampai tidak sempat untuk menghabiskan waktu atau paling tidak melihat kondisimu. Yah, tapi setidaknya kalian masih sering berpapasan di ruang sekret. Seperti hari ini, sang ketua meminta kalian semua untuk berkumpul di ruang sekret untuk sama-sama menyusun laporan akhir kepengurusan. Tujuannya agar bisa saling check dan kontrol.

Setelah sibuk dengan Juri yang mengetik di laptopnya, Taiga mengangkat kepala untuk mencari keberadaanmu. Seperti biasanya, sebagai sekretaris kamu berkeliling untuk mengecek tiap laporan yang dibuat oleh setiap divisi. Beberapa anggota yang kamu datangi, menyodorkan snack kecil kearahmu. Kamu hanya tersenyum dan menerimanya, tidak langsung memakannya. Taiga mengerutkan kening tidak suka. Seingatnya, sejak kalian bertemu pagi ini, kamu bilang pada Taiga belum makan apa-apa. Yah, sekarang sudah sore, mungkin saja kamu sudah makan.

Taiga mengikuti langkahmu kembali ke meja dimana laptopmu yang menyala terletak. Kamu kembali sibuk dengan laporanmu. Taiga menghela napas dan kembali ke Juri yang sedang mengobrol dengan Kochi, membahas laporan kegiatan salah satu proker.

Seseorang menepuk pundak Taiga. Taiga menoleh dan menemukan Abe Ryohei—Ketua organisasi eksekutif universitas—berdiri di belakangmu. “Hai, Abe-chan.” Sapa Taiga. Ryohei tersenyum. “Anak itu, tadi, gue tanya sudah makan belum, jawabannya enggak memuaskan. Kayaknya lo harus bilang sesuatu sama dia.” Taiga bersyukur dia punya Ryohei yang tahu dan mau mengerti soal hubungannya dengan kamu.

Taiga mengangguk. “Makasih, ya. Gue izin ke kantin sebentar deh.” Lelaki bermarga Kyomoto itu beranjak setelah mendapat persetujuan dari Ketua dan Kepala divisinya untuk pamit sebentar keluar. Taiga membeli nasi kepal yang dibumbui furikake yang di jual di kantin dan juga memesan UberEats. Lima belas menit kemudian Taiga kembali ke dalam ruang sekret. Dia mendekat kearahmu yang masih sibuk mengetik di atas keyboard laptopmu.

“Ikut aku sebentar yuk.” Taiga menyentuh tanganmu yang bergerak diatas keyboard. Kamu sempat mengerjap, terkejut karena Taiga tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganmu. “Kemana?” Taiga hanya tersenyum. Dia menarikmu mengikuti langkahnya.

Kalian berjalan menuju sebuah pendopo yang sepi, namun di atas bangku panjang disana sudah ada beberapa bungkus makanan yang membuat kamu mengernyit bingung. Taiga menyuruhmu duduk di atas bangku panjang itu, kalian duduk bersisian sembari Taiga mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik dan kotak bertuliskan salah satu nama restoran ternama.

“Apa ini?” kamu bertanya bingung. “Makanan. Kata Abe-chan, kamu belum makan sampai sekarang. Jadi, ayo makan!” ujar Taiga, menarik tanganmu dan meletakan sekepal onigiri.

Kamu berdecak, mengembalikan kepalan onigiri itu pada Taiga dan beranjak. Namun, gerakan Taiga kali ini lebih cepat dari langkahmu. “Aku maksa.” Suara Taiga yang berat dan tatapannya yang tajam sedikit membuatmu merinding. Padahal kamu belum menyelesaikan laporan, seharusnya kamu tidak berada disini dan makan bersama Taiga.

“Mau aku suapin atau makan sendiri?” Kamu menggeleng dan menerima kembali uluran onigiri di tangan Taiga. Kalian menikmati keheningan dengan makan bersama, baik Taiga maupun kamu dengan serius melahap onigiri di masing-masing tangan. Sembari membuka bungkus onigiri yang lain dan memberikannya padamu Taiga berucap lirih, “Jangan seperti ini lagi. Kamu menyakitiku juga.”

Kamu mengerjap. “Maksudnya?” Taiga menoleh kearahmu dengan tatapan seriusnya. “Jangan telat makan. Jangan memendam semuanya sendirian. Jangan memaksakan diri. Jangan menyakiti diri sendiri.” Lanjutnya dengan panjang lebar. Kamu tertawa mendengarnya. Kamu menggeser dudukmu kearah Taiga dan mencubit hidungnya.

“Tenang saja. Aku kuat lebih dari apa yang aku dan kamu pikirkan, Taiga.”


6♡ ; Nightmare

Malam itu memang bukan suasana yang tenang. Diluar gedung apartemen bertingkat ini, terdengar jelas suara gemuruh hujan disertai petir sesekali seperti memaksa masuk ke dalam mimpi setiap orang yang sedang terlelap malam itu. Tidak terkecuali Taiga.

Lelaki bermarga Kyomoto itu berjalan pelan keluar dari kamarnya, menutup perlahan pintu di belakangnya agar tidak membangunkanmu yang sedang terlelap di dalam sana. Dengan wajah yang masih mengantuk dan sedikit percikan rasa takut, Taiga duduk di sofa dengan diam. Tanpa melakukan apapun. Terdiam di posisinya selama beberapa saat.

Taiga mengangkat sebelah tangannya yang masih gemetar. Rasa sesak yang memenuhi dadanya juga tidak kunjung hilang. Sisa mimpi buruk yang menghampirinya tadi juga enggan untuk pergi. Tidak biasanya dia merasakan perasaan takut karena mimpi seperti ini.

Mungkin karena mimpi barusan terlalu nyata untuk disebut sebuah mimpi. Taiga menghembuskan napas dan mencoba menenangkan diri dengan menarik naik kakinya untuk mendekat ke dadanya dan memeluknya. Kepala Taiga disandarkan pada lutut-lututnya yang berhimpitan dan dia memejamkan matanya, berharap semoga kali ini bayangan mimpi itu tidak hadir lagi.

“Kyomo?” Suara lembut dan serak itu membuat Taiga mengangkat kepalanya. Dia merasakan usapan lembut di kepalanya. Sepasang matanya itu menemukan kamu yang berdiri di depannya dengan tangan lainnya masih mengucek sebelah matamu.

“Kenapa tidur disini?” Kamu bertanya sembari duduk di sebelah Taiga. Lelaki itu tersenyum tipis. “Aku tidak bisa tidur.” Balas Taiga.

“Mimpi buruk?”

Taiga seharusnya paham kalau dia tidak bisa menyembunyikannya dari kamu. Mau tak mau Taiga mengangguk sembari mengeratkan genggamannya pada tangannya yang lain. Kamu mengangguk, mengulurkan tangan untuk menarik kepala Taiga bersandar di dadamu. Kamu mengusap-usap lembut kepala Taiga sembari meniup kepalanya. Taiga terkekeh. “Ngapain begitu?”

“Pergilah mimpi buruk, jangan ganggu Kyomo-ku.”

Taiga terdiam sejenak mendengar ucapanmu. Dia melepaskan pelukannya pada kedua lututnya dan beralih memelukmu erat. Tanpa sadar sudah meneteskan liquid bening yang keluar dari sepasang matanya yang berwarna cokelat kehitaman itu.

Aku takut kehilanganmu...

Taiga berbisik sepelan mungkin. Terlalu takut untuk mengucapkannya terlalu keras.


Bonus : Wildest Dreams

Kedua kelopakmu terbuka. Manik hitan legam itu menangkap benda-benda di sekitarmu bergerak cepat meninggalkanmu atau kamu yang meninggalkan mereka?

Lehermu yang tidak dilapisi satu helaipun kain itu diterpa angin malam. Kamu sadar bahwa kamu tidak di rumahmu seperti yang kamu harapkan saat membuka mata.

“Sudah bangun?” Kamu pikir suara itu bagian dari mimpi terliarmu. Suara yang begitu akrab bagaikan sebuah kewajiban ada di dalam hidupmu.

Kepalamu bergerak ke samping, menoleh. Kedua manik milikmu bertemu pandang sesekali dengan kedua manik hitam dengan sedikit aksen caramel yang sesekali terlihat, itu yang selama ini selalu kamu ingat jika harus bertatapan dengannya.

Sosok dibalik kemudi mobil BMW dengan seri Z4 itu mengulum senyum tipis yang manis. Sosok Tanaka Juri itu nampak menikmati masa-masa kalian bersama di mobil ini.

Masih segar diingatan kala kamu menemukan Juri berdiri di depan apartemenmu dan tersenyum tanpa bersalah mengajakmu pergi keluar kota.

“Aku bosan dengan Tokyo. Kamu mau kemana?”

Tidak kemana-mana. Kita tidak kemanapun. Kamu mau menjawab ajakan itu dengan kalimat barusan tapi otak dan hatimu suka sekali berebut untuk mengambil alih.

“Shizuoka.”

Perjalanan Tokyo ke Shizuoka bukanlah perjalanan singkat. Kalian beberapa kali berhenti untuk membeli minum dan makanan ringan. Sosok Tanaka itu masih bersikap manis padamu meski kamu tahu orang ini agak 'jahat'.

Juri memang termasuk orang yang menganut ladies first meski seorang womanizer. Kamu selalu dibuat nyaman dengan setiap perlakuan manisnya, sayangnya kamu juga tidak bisa bohong bahwa kamu tidak nyaman dengan kebiasaan Juri sebagai orang yang dekat dengan wanita lebih dari satu.

Hubungan kalian baik-baik saja. Seharusnya.

“Juri,” kamu bersuara setelah selama beberapa saat dibuat terdiam dengan potongan kenangan yang memaksa untuk diputar kembali. “bagaimana kamu mengingatku?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutmu.

Tidak bisa dipungkiri kamu sempat salah tingkah melihat senyum andalan Tanaka Juri yang terukir di wajahnya.

“Menurutmu bagaimana?”

“Apakah aku terlihat seperti seorang cenayang?”

Tawa renyah itu keluar. “Cantik,” kamu refleks merotasi kedua bola matamu malas. “tapi, yang paling kuingat adalah punggungmu.”

“Indah dengan latar sunset.” Kamu baru mau melontarkan sebuah cibiran padanya, namun berhasil dibuat termenung selama beberapa saat.

Pandangan milikmu kamu alihkan ke jalanan, mengabaikan rasa sesak yang tiba-tiba muncul. “Kau mau bilang kalau sunsetnya indah, 'kan?”

“Kata siapa? Kamu yang cantik. Sunset aja rasanya akan iri padamu.” Kepalamu refleks menoleh kembali kearahnya. Kali ini, kedua manik kalian sama-sama bertatapan. Mobil yang semulanya masih berada dijalanan itu sekarang sudah menepi, bersamaan dengan perasaan kalian saat ini.

Tanaka Juri mengulas senyum lembut sebelum akhirnya mengecup bibirmu sekilas.

“CUT!”

Kalian langsung menjauh. Sama-sama turun keluar dari mobil dan mengusap bibir masing-masing.

“Aku harus mencuci bibirku.”

“Aku harus mencium seseorang.”

“Dasar soang.” Cibirmu.

“Atau kau yang kucium saja ya?”

“LEBIH BAIK AKU CIUM TEMBOK!”

Kru syuting hari itu menatap prihatin kearah kalian berdua. Benar-benar pasangan tsundere.

“Ah, ini kenapa kau panggil Tanaka Juri bukan nama karakternya?” Sang sutradara mulai protes. Sadar akan kesalahan yang terekam disana. Kamu mengerjap kaget. Benarkah?

“Kita ulang ya!”

“TIDAK MAU!” Baik kamu dan Juri tidak mau mengulang adegan itu.

✧ ✧ ✧

Is This Break Up?

Baik kamu dan Tanaka Juri saling bersitatap. Tatapan Juri padamu seakan menguncimu dalam kotak pendingin bersuhu minus. Ini pertama kalinya kamu melihat Tanaka Juri begitu dingin dan tajam menatap kearahmu.

“Jadi, maumu apa sekarang?”

Lidahmu kelu. Tanganmu sedikit gemetar kala menyadari intonasi suara Juri sedikit meninggi. Bola matamu bergulir ke kanan dan kiri dengan gelisah. Juri jelas sadar akan gestur yang kamu tunjukkan saat ini.

“Kenapa? Tadi kamu bisa mengomel dengan lancar. Kenapa sekarang saat kutanya apa maumu, kau diam saja?” Juri bersidekap, masih mempertahankan tatapan tajamnya.

Atmosfer diantara kalian memang tidak bisa dibilang baik. Pertengkaran yang mengawali suasana tak enak seperti ini memang salah. Kamu tahu Juri sudah menahan rasa sabarnya sejak lama. Tapi, kamu juga merasa bahwa kamu juga sudah bersabar dan tidak akan bisa lebih dari ini kalau kamu melihat Juri bersama wanita lain.

Juri itu milikku!, Kamu ingin berteriak sekencang mungkin agar dunia tahu tentang kenyataan itu.

Entah kamu dan Juri yang tidak cocok atau memang waktu belum tepat membuat kalian bersama.

Kamu mendongak begitu mendengar langkah kaki menjauh dan suara pintu tertutup. Sosok Tanaka Juri sudah tidak ada di apartemen kalian. Kamu tidak lagi bisa menahan berat tubuhmu, kakimu melemas. Tubuhmu jelas merosot jatuh sembari menangkup wajahmu yang sekarang sudah dipenuhi air mata. Ada rasa penyesalan sedikit kala merasakan ketidakhadiran Juri disana. Seharusnya aku diam saja, menahan sedikit rasa cemburuku seharusnya tidak membuatku mati. Begitu pikirmu pada akhirnya.

Sampai tengah malam, kamu masih seorang diri di unit kalian. Melirik ponselmu pun rasanya tidak ada gunanya kala menyadari benda persegi panjang itu tidak menunjukkan tanda-tanda notifikasi dari sosok yang sempat bertengkar denganmu tadi.

Kamu mencoba untuk tetap terjaga sampai Tanaka Juri kembali meski sebagian hatimu sudah mulai berpikir macam-macam, berpikir bahwa Juri saat ini sedang menumpahkan kekesalannya pada alkohol. Sesuatu yang tidak begitu kamu sukai.

Kamu menghela napas begitu rasa kantuk menyerangmu, memaksamu untuk memejamkan sepasang matamu. Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar samar, namun kantuk kali ini mulai mengambil alih semua kesadaranmu. Sembari mencoba menghampiri sumber suara, matamu terpejam beberapa kali hingga mulutmu menyuarakan nama yang sedari tadi kamu tunggu.

Tubuhmu limbung, sebelum benar-benar terjatuh, sepasang tangan sudah menahan tubuhmu untuk tidak menyentuh lantai unit. Kamu bahkan refleks bergantung padanya. Meremas bahu orang ini dengan lembut sembari menyandarkan kepala. Aroma tembakau yang samar membuatmu sadar bahwa orang ini adalah Tanaka Juri.

“Okaeri, Juri...” Kamu berucap pelan. Juri mengusap kepalamu, mengeratkan dekapannya pada tubuhmu sembari membetulkan posisi kalian. Juri merubah posisimu, menjadi terlelap dalam gendongannya.

“Juri, maaf... aku tadi kelepasan... Maafkan aku...” Kamu bergumam meminta maaf, melingkarkan tangan di sekitar leher Juri. Masih dengan kedua mata terpejam, sebulir air mata kembali turun.

“Tidak apa-apa. Aku juga salah. Maafkan aku ya...” kata Juri.

“Jangan pergi, Juri..”

“Aku tidak pergi kemana-mana, sayang...”

“Tapi, tadi kamu pergi...”

Juri terdiam mendengar ucapanmu. Memang benar tadi Juri pergi untuk menenangkan diri dengan merokok di taman. Juri dari awal tidak ada niatan untuk meninggalkanmu, dia hanya takut akan menyakitimu dengan kata-kata kasarnya. Jadi, Juri memilih untuk menenangkan diri terlebih dahulu.

“Maafkan aku.”

Tapi, yang pasti, tak ada satupun niat Juri untuk meninggalkanmu, mengakhiri hubungan kalian. Tidak ada sedikitpun, sebab ini pertama kalinya dia ingin berkomitmen denganmu.


ShoppiAiri, Fluff, Typo

Airi mengucapkan terima kasih pada seorang staf resepsionis yang mengantarkan paketnya. Tidak lupa tersenyum manis.

Perempuan itu membawa kotak kecil yang terlihat berat tersebut ke dalam unitnya. Bukan—unitnya bersama kekasihnya sekarang—Watanabe Shota.

Dengan semangat Airi membuka paket tersebut dan takjub dengan apa yang ada di dalamnya. Seakan-akan barang di dalam kotak tersebut memantulkan sinar yang sangat terang.

Airi mengeluarkan buku yang merupakan majalah itu dari dalam kotak tersebut dan memandanginya sejenak sebelum akhirnya membuka halaman demi halaman, kembali terkesiap dengan takjub menemukan sosok lelaki yang saat ini menjadi pacarnya berpose dan menatap kearah dirinya—bukan, kamera, maksudnya dengan tatapan yang sayu maupun tajam.

Wah sial, Airi sepertinya mulai bucin.

Selesai melihat bagian dalam majalan berjudul Cyan Man itu, Airi kali ini memandangi lama cover depan majalah itu. Matanya terhenti pada satu titik di wajah Shota yang menghiasi majalah tersebut. Tanpa sadar mendekatkan wajahnya dan mencium permukaan majalah itu—lebih tepatnya pada bagian bibir sang model.

Sebut aja Airi cringe.

“Dari pada ciuman sama kertas mending cium langsung orangnya.” Airi mengerjap sebelum tersentak dan menoleh ke sumber suara, dia menemukan Shota berdiri sambil bersandar di kusen pintu kamar mereka. Sepertinya baru bangun dari tidurnya.

Airi berdehem langsung memasukkan kembali majalahnya ke dalam kotaknya. Shota mendekat dan duduk di sofa, di dekat Airi membuka paketnya tadi. Lelaki itu bertopang dagu di atas dengkulnya, memandangi Airi sejenak dengan senyuman di wajahnya.

“Apa?” Balas Airi melirik malas kearah Shota.

Shota menggeleng. Senyumannya masih enggan lepas dari wajahnya. “Kali ini beli berapa kopi?” Shota bertanya, bermaksud untuk menggoda kekasihnya itu.

Airi berdecak. Malas kalau sudah berurusan dengan Shota yang seperti ini. Minamoto langsung berdiri, namun tangan Shota lebih cepat menangkap tangannya dan langsung menarik leher Airi untuk mendekat kearahnya.

Shota mencium bibir Airi, mengusap leher perempuan bermarga Minamoto itu hingga menimbulkan suara Airi yang lirih. Bersamaan dengan itu Shota mengapit bibir atas Airi, mengecap dan menghisapnya pelan.

Suara kecupan demi kecupan memenuhi ruangan itu hingga Airi mendorong Shota saat lelaki itu berhasil menarik tubuhnya untuk duduk diatas pangkuan sang lelaki bermarga Watanabe itu.

Napas keduanya agak terengah. “Aku harus berangkat ke Osaka hari ini. Manajer sebentar lagi jemput.” Kata Airi.

Shota mengernyit. Dia mengerucutkan bibirnya. “Mendadak banget,” Kata Shota. Dia memeluk Airi lagi, menyembunyikan wajahnya di balik leher perempuannya ini. “Ya udah. Hati-hati.” Lanjut Shota.

Airi tersenyum tipis. “Hati-hati tapi akunya gak dilepasin gini?” Tanya Airi. Shota menggeleng. Masih enggan melepas pelukannya.

“Bawa sekalian majalahnya.” Bisik Shota. Airi berdecak. “Shota apaan sih?! Diem ah!”

ShoppiAiri, Fluff, Typo


Malam tahun baru benar-benar waktu yang sibuk untuk Snow Man. Tidak hanya untuk Snow Man, tapi juga Airi dan RED*ONE yang tahun ini berhasil menembus masuk Kouhaku Uta Gassen.

Ini pertama kalinya sejak Airi debut. Dia sangat terharu karena bisa satu panggung dengan artis ternama dan legenda. Selepas Kouhaku yang dimana ditutup dengan kemenangan tim Merah tahun itu, Airi memutuskan untuk menghabiskan waktunya di klub bernuansa cozy dan menenangkana langganannya. Di Kouhaku tadi dia sempat mengobrol dengan Raul dan juga Haruna beserta Tsuki. Tidak lupa mengambil potret. Bahkan Tsuki menyuruh Watanabe Shota untuk berfoto berdua dengan Airi yang hari itu mengenakan dress indah yang membuat penampilannya stunning.

Malam sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi, sementara bar tempat dia ‘merayakan’ New Year Eve setelah Kouhaku terlihat masih ramai meskipun suasananya begitu sunyi dan menenangkan. Dia baru ingat kalau bar ini memperpanjang jam operasionalnya di malam tahun baru.

“Tambah minumannya lagi, Minamoto?” Sang bartender membuyarkan lamunannya. Airi mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Tequila sunrise.” kata Airi. Sang bartender mengangguk, menyiapkan pesanan Airi.

Airi mengeluarkan ponselnya dan meletakan benda persegi itu diatas mejanya. Jemari lentiknya menekan dua kali layar itu menampilkan lockscreen dengan foto bayangan seseorang. Airi memandanginya sembari bertopang dagu.

“Bayangan siapa itu? Sampai membuatmu tersenyum lebar seperti itu.” Sang bartender meletakan pesanannya di sebelah ponsel Airi. Airi sudah sering kemari membuat sang bartender tidak segan untuk menggodanya.

Airi menggeleng, menikmati minumannya. “Hanya seseorang.” jawab Airi. Sang bartender mengangguk. “Yang mengajakmu FWB?” Aish, orang ini terlalu tahu banyak tentangnya. Memang, tempat ini adalah pertama kali Airi dan Watanabe Shota bertemu kembali dan titik balik kesehariannya bersama seorang lelaki. Tidak. Airi hanya main dengan dua lelaki. Watanabe Shota dan Miyadate Ryota. Biar begini, dia juga pemilah jika ingin bermain-main.

Airi melempar tisu di sampingnya kearah sang bartender. “Kalau ada berita datingku yang muncul, aku akan menuduhmu pertama kali.” cibir Airi. Sang bartender tertawa. “Tidak hanya aku yang berada disini, Minamoto.” balas sang bartender sembari tangannya sibuk dengan gelas cocktail di tangannya.

Airi mendengkus. Dia menengguk minumannya lagi, menikmati keramaian yang sunyi di malam tahun baru itu.


Watanabe Shota memutar kemudinya, sembari pandangannya melihat kearah kaca spion sesekali, memastikan bahwa tidak ada kendaraan yang lewat ataupun polisi yang berjaga di sekitar.

Biasanya di malam tahun baru, dia selalu diantar manajernya pulang. Tapi, karena hari itu dia mau membawa kendaraannya sendiri, jadi malam itu dia terpaksa harus menyetir. Untung saja, dia tidak minum malam itu meskipun ada after party setelah Johnnys Countdown.

Sayangnya, dia tidak bisa langsung pulang ke apartemennya. Ponselnya tadi menerima telepon dari temannya yang seorang bartender di sebuah bar terkenal, mengabarinya soal Airi. Tanpa berpikir dua kali, lelaki itu langsung putar balik dan menuju lokasi.

Shota dikabari bahwa Airi terpleset di kamar mandi. Kalau dari yang dikabari oleh temannya, Airi tidak mabuk sama sekali. Perempuan itu hanya tidak lihat jalan saat masuk ke dalam kamar mandi dan sekarang perempuan itu tidak bisa berjalan dengan sempurna.

Shota memarkirkan mobilnya di pinggir jalan yang ditandai boleh parkir. Langkahnya cepat menyusuri pendestrian yang masih sedikit ramai oleh orang yang lalu lalang dari kegiatan mereka di malam tahun baru. Sedangkan Shota baru selesai bekerja saat jam menunjuk pukul setengah tiga pagi. Lelaki bermarga Watanabe itu menarik turun topinya saat berpapasan dengan orang-orang. Butuh melewati lima gedung pertokoan untuk sampai di bar tempat dimana Airi berada.

Selepas berhasil masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat Airi yang duduk di sofa tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Tengah bersandar dengan punggung tangannya menutupi wajahnya, sementara temannya yang merupakan bartender yang menghubunginya tadi sedang mengompres kaki Airi.

“Airi!”

Airi langsung bangkit, terkejut mendengar suara Shota ada disana. Refleksnya membuat keseimbangannya hilang karena menyadari kakinya masih terkilir. Shota langsung menangkap tubuh Airi yang hendak jatuh. Airi meremas jaket yang dikenakan Shota. Semakin terkejut dengan apa yang dilakukan lelaki itu.

“Kenapa kau disini?” Tanya Airi bingung. Shota mendudukan perempuan itu kembali di atas sofa. “Dia menghubungiku.” Shota menunjuk kearah bartender yang tadi sedang mengompres kaki Airi. Airi mengerjap, kemudian dia mendelik tajam, sementara sang bartender hanya tersenyum manis.

“Kakimu kenapa?” tanya Shota sembari berjongkok, menyentuh lembut kaki Airi. Perempuan itu langsung memukul pundak Shota saat Shota tidak sengaja meremas bagian yang terkilir. “Jangan ditekan bodoh!” Omel Airi.

Shota mendengkus. “Ya sudah. Ayo pulang, kau perlu istirahat, Airi.” katanya. Shota melepaskan topinya dan memakaikan pada Airi. Sementara dia berjongkok memunggungi perempuan itu.

“Naik.” kata Shota. Airi menggeleng. “Aku bisa jalan sendiri.” tolak Airi. Dia tidak mau merasakan sensasi jantungnya yang berdebar kencang serta wajahnya yang memerah lagi. Terlebih dia lebih malu kalau sampai Shota bisa mendengar debarannya. Mau ditaruh dimana wajahnya?

Shota berdecak. Dia menoleh sedikit kearah Airi dan mendelik. “Dengan kondisi kakimu yang seperti itu? Kita bisa sampai mobilku saat matahari terbit, Minamoto.” cibir Shota.

“Ya sudah! Kau pulangs aja sana! Aku bisa menginap disini atau menelpon Date atau Manajerku.” Gerutu Airi, bersidekap. Shota mengembungkan pipinya, menghela napas. “Jangan repotkan mereka, Airi.”

“Repot? Kau repot menjemputku kemari?”

Perdebatan ini tidak akan ada habisnya.


Pada akhirnya, Shota berhasil membujuk Airi untuk naik ke punggungnya dan membawa perempuan itu menuju mobilnya. Perjalanan menuju mobil Shota diisi oleh keheningan. Airi menyandarkan dagunya pada bahu Shota sementara Shota masih tenang menggendongnya sembari terus melangkah. Rambut sepunggung Airi sempat diikat oleh Shota sebelum lelaki itu memakaikan topi miliknya pada Airi.

Airi terus mengucapkan doa dalam hati, berharap kalau Shota tidak mendengar debaran jantungnya yang menggila saat ini. Padahal Airi sudah sering menolak Shota secara tidak langsung tapi lelaki itu seperti tidak pernah jengah memberikan perhatian padanya, bahkan rela pulang terlambat hanya untuk menjemputnya di bar. Sebenarnya, Airi sudah pernah bilang pada Shota untuk menunggunya sampai tahun depan, mungkin. Tapi, Airi tidak tahu apakah sampai saat ini Shota masih menyukainya atau tidak.

Airi mengeratkan pelukannya pada leher Shota, menghirup dalam-dalam aroma Shota. Apakah dia akan menanyakan ini atau tidak…

“Shota…” Airi memanggil nama kecilnya, membuat langkah Shota refleks terhenti. Dia terkejut. Tidak biasanya mendengar Airi memanggilnya seperti itu. Perempuan bermarga Minamoto ini selalu memanggilnya dengan nama marganya. kecuali saat mereka bercinta. Sesekali perempuan itu akan meneriakan namanya saat keduanya akan mencapai titik tertinggi bersama.

“Ya…?” balas Shota, kembali berjalan. Airi mengulum bibirnya yang mendadak kering. “Apakah… perasaanmu masih sama seperti pertama kali kau mengatakannya padaku? Jika aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya—” Shota ingin langsung memotong perkataan Airi dengan mengatakan ‘ya! perasaanku masih sama seperti waktu itu, Airi!’, tapi dia memilih menunggu Airi menyelesaikan ucapannya. “apakah ada kemungkinan bahwa perasaanku jadi sepihak?”

Shota tertawa kecil. Dia menarik napas dan berusaha mati-matian menahan senyuman lebarnya sementara jantungnya mulai berdetak keras tidak seperti biasanya. “Kau tahu bahwa perasaanmu tidak pernah sepihak padaku, Ai.” balas Shota.

Airi membulatkan matanya. Tidak menyangka akan jawaban Shota yang tanpa keraguan sedikitpun. “Benarkah?” lirihnya pelan. Shota mengangguk. Mereka sampai dimana mobil Shota terparkir, lelaki itu menurunkan Airi dengan pelan dan membukakan pintu mobilnya untuk perempuan itu. Namun, Airi tidak kunjung masuk, perempuan bermarga Minamoto itu berdiri memunggunginya.

Mungkin… Sudah waktunya dia membuka hatinya dan memberi kesempatan pada cinta yang baru untuk mewarnai hidupnya sekali lagi. Bukan hanya untuk kesenangan seksual semata. Lagipula, hari itu sudah berganti tahun, sesuai dengan janji Airi pada dirinya sendiri.

“Airi?” Shota memanggil Airi, menatap bingung kearah perempuan itu. Sebelum dia hendak menyentuh pundaknya, Airi sudah berbalik, bertumpu pada pundaknya dan berjinjit, mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirnya.

“Ciuman itu tanda bahwa kau sudah jadi milikku!” Tanpa memberikan lanjutan penjelasan, Airi langsung masuk ke dalam mobil dengan susah payah, dia langsung menarik pintu mobil Shota yang masih terbuka untuk tertutup. Sementara, lelaki bermarga Watanabe itu masih mematung. Ciuman yang dia rasakan barusan rasanya berbeda. Ada sesuatu yang seakan menunggu untuk meledak-ledak di dalam hatinya.

Rasa sesak yang menyenangkan bahkan menguap membentuk senyuman lebar pada wajahnya serta warna merah meranum yang kontras dengan kulitnya yang putih.

Shota menggeleng. Dia berjongkok sedikit dan mengetuk-ngetuk jendela dimana Airi duduk. Airi mengernyit, dia membuka jendela itu. “Apa?” tanya Airi. Shota bisa melihat wajah perempuan itu sama meranumnya dengan miliknya.

“Jadi, maksudmu… kita berpacaran?” tanya Shota dengan suara yang tertahan. Shota bisa melihat wajah Airi semakin memerah. Perempuan bermarga Minamoto itu berdehem. Kepalanya mengangguk samar.

Katakan padanya bahwa ini bukanlah mimpi! Shota mengerjap. “Benarkah? Kau serius? Aku marah kalau kau bercanda padaku, Airi.” Gerutu Shota. Airi berdecak. Dia membuka ponselnya, sibuk dengan benda itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menunjukkan layarnya yang menampilkan kontak milik Shota. Perempuan itu sudah mengganti namanya menjadi Shota dengan emoticon love biru di depannya.

“Cuma Shota?” tanyanya. Shota mengernyit. “Memang sebelumnya Airi menamaiku apa?”

“Watanabe.” balas Airi. Shota mengangguk dengan mulut yang membentuk lingkaran. Airi mengerang. “Mau sampai kapan kita disini? Kau tidak kedinginan terus di luar begitu?” Cibir Airi. Shota tertawa. Dia segera beranjak dan masuk ke mobilnya, duduk di kursi pengemudi.

“Aku kan mau ciuman lagi.” gumam Airi pelan, memalingkan wajahnya kearah jendela di sampingnya selepas Shota masuk ke dalam mobilnya. Shota menyeringai. Dia mendekatkan wajahnya kearah Airi. “Sekarang saja kalau begitu.” bisik Shota.

Airi menoleh dan dia terkejut melihat wajah Shota sudah sangat dekat dengannya. Kepalanya menggeleng. “Tidak mau.” balas Airi. Shota mengerucutkan bibirnya.

“Airi tidak asyik.”

Airi mengembungkan pipinya sembari menghela napas pelan, menetralisir rasa berdebar yang masih tersisa.

Shota mulai menyalakan mobilnya, menaikkan jendela Airi agar tertutup dan menjalankan mobilnya menuju apartemennya. Selagi Shota menyetir, tangan lelaki itu yang bebas meraih tangan Airi dan menggenggamnya. Airi masih tidak terbiasa sehingga dia beberapa kali terkejut sendiri.

“Oh iya, Shota…”

“Ah… Aku suka sekali mendengar nama kecilku disebut olehmu..”

Airi berdecak. Diam dulu, Watanabe Shota!

“Tolong jangan beritahu teman-temanmu di Snow Man maupun Haruna, Tsuki, dan Mina soal hubungan baru kita,” kata Airi semakin melirih. Shota menoleh sedikit kearah Airi sembari tetap fokus pada jalanan di depannya. “a-aku… Aku takut hubungan ini tidak akan berjalan lancar seperti yang kujalani beberapa tahun yang lalu…”

Ah. Shota tersenyum lembut. Dia menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah merah. Shota menoleh kearah Airi dan mengusap wajahnya dengan buku-buku jarinya. Kepalanya mengangguk. “Ya,” katanya. “tapi, Airi juga harus percaya bahwa kali ini semuanya akan baik-baik saja.”

Airi mengangguk. Dia membalas senyuman lembut Shota dengan senyum simpulnya. Matanya sedikit berair membuat Airi harus memalingkan wajahnya kearah lain. Ya Tuhan… Semoga aku tidak salah lagi kali ini…

ShoppiAiri, Fluff, Typo

Watanabe Shota mengerang pelan. Pandangannya tidak lepas dari layar ponsel yang menampilkan room chat dengan kontak bernama Airi. Dia sudah mengirimkan lima chat di jam berbeda tapi tidak ada satupun yang menunjukkan tanda sudah dibaca. Kemana perempuan itu? Bukannya sekarang adalah masa-masa sibuk persiapan untuk solo konsernya? Ya, mungkin saja karena itu Airi tidak sempat membalas pesannya.

“Kenapa, Shoppi? Mukamu keliatan gak tenang gitu.” Koji tiba-tiba bersuara sembari duduk di sebelah lelaki bermarga Watanabe itu. Shota tadinya tidak mau menanggapi, namun begitu mengingat Koji dan Airi cukup dekat membuatnya langsung menoleh kearah Koji dengan harapan dia bisa menemukan jawaban atas kecemasannya. “Airi ada mengabarimu sesuatu tidak?” Tanyanya.

Koji terdiam sejenak, menatap sang lelaki, tak lama tersenyum dengan kedua mata menyipit. “Utututuu~ Shoppi mencemaskan FWB nya.” Goda Koji.

Shota berdecak. Dia merotasi bola matanya dan kembali duduk menyamping Koji. Koji langsung menahan lelaki itu untuk duduk menghadapnya.

“Iya, iya, iyaa! Tadi malam Airi mengabari di grup kami bertiga—Tsuki dan aku kalau dia hari ini gak bisa ikut kumpul kayak biasanya karena lagi sakit.” Jawab Koji.

Kedua mata Shota langsung membulat. Air mukanya berubah cemas. “Kenapa dia tidak mengabariku...” Gumam Shota.

“Aku baru tahu kalau FWB harus mengabari perihal begitu.” Kata Koji sembari membuka ponselnya. Shota terdiam sejenak. Napasnya terhela pelan.

Ya. Hubungannya dengan Airi hanyalah friends with banefit. Meski dari awal dia mencetuskan ide ini hanyalah alibi untuk bisa lebih dekat dengan Airi. Perasaan sebenarnya adalah dia sudah menyukai Airi sejak pertama kali mereka bertemu lagi. Tapi, mendengar rumor bahwa Airi tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki untuk saat ini, membuat kepercayaan diri Shota sedikit menurun.

Setelah mereka tak sengaja bertemu lagi di sebuah bar, muncul lah ide untuk mengajak Airi menjalani hubungan FWB ini. Yah, Shota juga sudah mulai terbuka dengan mengatakan bahwa dia menyukai Airi. Tapi, perempuan itu selalu menghindar darinya. Dia juga selalu mendengar penolakan dari Airi setiap Tsuki menggodanya dan Shota. Tapi, entah kenapa, Shota enggan menyerah. Melihat respon Airi yang terkadang positif pada setiap afeksi yang dia berikan membuat Shota yakin bahwa mungkin saja perempuan itu sudah mulai terbuka padanya.

Setelah ini, dia maupun Snow Man tidak ada jadwal apapun. Mungkin, Shota bisa mangkir juga dari pertemuan hari ini. Toh tidak ada Airi rasanya akan percuma.


“Loh Shoppi kemana?” Tanya Hikaru begitu mereka sudah kumpul di tempat biasa untuk makan bersama. Tsuki yang biasanya jadi garda terdepan untuk menggoda Airi dan Shota juga menyadari absennya lelaki itu.

“Kayaknya jenguk Airi deh.” Balas Koji. Tsuki mengulum senyum simpul yang terkesan puas.

“Heee, padahal cuma FWB tapi segitunya.” Ujar Tsuki. Koji ikut mengangguk-angguk setuju.

“Kita tunggu saja tanggal jadian ShoppiAiri.” Kata Koji.

Sementara di sisi lain, seorang lelaki yang kerap dicap sebagai bangsawan itu melahap makanan pesanannya dalam diam, bermaksud untuk menetralkan rasa cemburu serta mengubur dalam-dalam sesuatu yang dia rasakan pada Airi.

Dia tidak seharusnya menikung sahabatnya sendiri, kan?


Airi memutar tubuhnya ke sisi lain, menarik naik selimut yang dia kenakan hari itu. Dia menarik napas dengan susah payah, sesekali disertai batuk. Airi mengerang. Dia tidak suka sakit. Airi jadi tidak bisa melakukan banyak hal dengan tubuhnya. Bahkan hari itu saja dia tidak bisa menghadiri acara makan-makan mingguan bersama Snow Man dengan Tsuki, Haruna, dan Mina. Apalagi malam itu malam natal. Harusnya dia bisa makan-makan dengan gratis hari itu. Demam sialan.

Airi sudah menelpon manajernya untuk membawakannya obat dan juga plester penurun panas. Tapi, dia tidak menyangka akan memakan waktu selama ini. Dia berdecak. Airi kembali terlelap dalam tidurnya.

Terlelap dalam beberapa jam kedepan, membuat Airi terbangun dengan plester penurun panas sudah tertempel di keningnya. Airi mengernyit. Telinganya mendapati suara ribut di luar. Oh, rupanya sang manajer sudah datang. Dia menarik napas dan beranjak keluar dari selimutnya. “Semoga saja dapurku tidak meledak dia gunakan.” gerutu Airi sembari berjalan pelan keluar kamarnya. Dia mematung mendapati bukan manajernya yang berada disana, melainkan sosok lelaki bernama lengkap Watanabe Shota.

“Wa-Watanabe?” Suara Airi serak. Dia berdehem namun malah berakhir dengan suara batuk yang menyiksanya hingga membuat Airi harus berjongkok sembari memegangi dadanya. Shota yang sedang memindahkan sesuatu ke dalam wadah, segera menghampiri Airi. berjongkok di sebelahnya dan mengusap-usap punggungnya.

“Ayo duduk dulu.” ajaknya. Shota merangkul Airi dan membawa perempuan itu untuk duduk di atas sofa, kemudian berlari masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil selimutnya. Diselimutinya Airi dengan selimut itu.

“Minum obat dulu ya? Ah, makan dulu.” kata Shota. Lelaki itu tidak memberikan kesempatan untuk Airi untuk bersuara. Shota berlari ke dapur dan kembali membawakan segelas air beserta semangkuk sup telur. Makanan orang sakit yang Airi sukai. Airi ingat dia pernah bilang pada Shota bahwa dia sangat menyukai sup telur yang dibuat mendiang ibunya. Ini pertama kalinya Shota membuatkan makanan ini untuknya.

Shota menyodorkan gelas pada bibir Airi. tatapannya seakan berkata untuk menyuruh Airi minum. Perempuan itu meminum air itu dan menghela napas lega, merasakan tenggorokannya kembali segar.

“Aku suapin atau makan sendiri?” tanyanya. Airi mengulum bibirnya yang kering. Dia bergumam menjawab pertanyaan Shota, Shota mengangguk dan mendekatkan mangkuk itu kearah Airi sementara Airi menyendok makanan itu untuk dia santap. Suapan pertama hingga kedua masih aman, hingga Airi tidak tahan merasakan kekuatan tangannya melemah dan menghasilkan getaran yang menjengkelkan.

Shota tertawa pelan sementara Airi mendelik mendengarnya. “Maaf.” kata Shota. Dia mengambil sendok dari tangan Airi, menyendok sup dari mangkuknya dan meniupnya pelan sebelum diarahkan ke Airi. Perempuan itu menatap Shota sebelum akhirnya menerima suapan dari Shota. Lima belas menit dihabiskan hanya untuk menyantap sup itu. Biasanya Airi bisa menghabiskannya dalam waktu lima menit. Airi mengerang sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa setelah dia selesai meminum obatnya.

“Manajer-san kemana? Kenapa kau yang kemari?” tanya Airi. Shota mengibaskan tangannya di wastafel pencucian piring sebelum mengelap tangannya dengan kain terdekat. “Tadi, aku tidak sengaja bertemu dengan manajer Airi di lobby, beliau sebenarnya sedang terburu-buru, katanya mumpung aku ada disini beliau memintaku untuk sekalian merawatmu.”

Airi jelas tidak percaya. Ini pasti ada campur tangan Matsumoto Tsuki. Tsuki sialan.

“Sekarang mau tidur lagi atau mau nonton aja?” Tanya Shota, lelaki itu sudah berdiri di dekatnya.

“Tidur aja kurasa.” balas Airi. Shota mengangguk. Dia membantu Airi untuk berjalan ke kamarnya. Lelaki itu hendak beranjak selepas Airi berhasil tiduran di kasurnya saat tangannya diraih oleh Airi. Shota mengerjap.

“Temani….” lirih Airi dengan wajah memerah. Entah efek demam atau memang perempuan itu sedang salah tingkah. Shota tersenyum geli. Dia menarik napas dan mengangguk, naik keatas ranjang Airi. Biasanya mereka bercinta di ranjang itu, tapi sekarang ranjang itu bukan hanya untuk bercinta, tapi juga berbagi kehangatan yang sesungguhnya.

Shota menarik Airi ke dalam pelukannya. Mengusap-usap punggung perempuan itu saat Airi terbatuk-batuk lagi. Situasi seperti ini sangatlah jarang dia lakukan bersama Airi.

Lelaki bermarga Watanabe itu mencium puncak kepala Airi lembut. “Cepat sembuh, sayang…”

Bohong kalau jantung Airi sekarang tidak berdebar kencang.

ShoppiAiri, Fluff, Typo


Airi menghela napas. Layar televisi di depannya masih menampilkan tayangan drama tengah malam di saluran televisi NTV. Sementara dia sedang asyik menonton, sosok lelaki bermarga Watanabe yang berdatang ke unitnya sudah terlelap diatas sofanya, membuat Airi mau tidak mau duduk di lantai dengan bersandar ke sofa. sudah dua kaleng bir yang dia habiskan malam itu untuk menemaninya menonton, menghilangkan insomnia yang tiba-tiba menyerangnya.

Watanabe Shota—lelaki berusia 30 tahun itu tiba-tiba mengiriminya pesan, mengatakan bahwa sudah di lobby gedung apartemennya. Airi bingung, dia dan Shota tidak ada jadwal untuk bercinta. Terlebih hari itu Airi masih dalam masa datang bulan. Seharusnya Shota tahu. Seharusnya.

Sesampainya Shota di unitnya, lelaki itu terlihat menenteng tas kertas dengan nama toko manisan terkenal dan menyerahkannya pada Airi. Tidak Cuma itu, lelaki itu juga membawakannya cemilan lainnya. Airi menanyakan kenapa Shota kemari. Shota menjawab dia sedang ingin tidur di tempat lain. Hari itu bahkan dia berjanji tidak akan mengganggu Airi kalau perempuan itu sedang melakukan sesuatu.

Akhirnya, Airi mengizinkan Shota untuk bermalam di unitnya. Sekarang sudah pukul dua belas lewat lima belas. Drama yang dia tonton sudah memasuki scene terakhir dan Airi sudah menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Tidak tahan untuk menunggu sampai preview episode selanjutnya, Airi mematikan televisinya dan beralih membuka ponselnya.

Dia menoleh kearah Shota yang berada di belakangnya, memastikan bahwa lelaki itu benar-benar sudah terlelap. Airi menscroll timeline Instagramnya, tanpa sadar tersenyum saat melihat akun privasi Tsuki memposting fotonya dengan Abe Ryohei—kekasihnya. Pas sekali, di bawahnya ada postingan dari akun privasi Mina, menampilkan Raul yang sedang menikmati secangkir kopi, mungkin. Mereka kenapa manis sekali. Meski Airi suka bertingkah sasimo pada kekasih perempuan-perempuan ini, pada aslinya hanya sebuah candaan. Dia sangat senang melihat keromantisan yang disebarkan oleh pasangan di Snow Man ini.

Airi menghela napas. lagi. Dia meletakan ponselnya diatas meja yang ada di depannya. Terdiam sejenak dalam lamunannya. Kalau orang bertanya padanya siapa yang dia sukai saat ini, Airi sangat ingin menjawab satu nama yang sekarang sedang bermalam di apartemennya. Ya. Watanabe Shota.

Shota juga punya rasa yang sama padanya. Namun, setiap Shota memberikan afeksi lebihnya pada Airi, Airi selalu menganggap hal itu menyebalkan. Bahkan, saat Tsuki terus-terusan mendorongnya untuk berpacaran dengan Shota, dia akan menolak secara tidak langsung. Meski aslinya dia tidak bermaksud seperti itu. Entahlah, hati dan otaknya seringkali tidak sinkron jika menyangkut perasaan. Yang dia takutkan namun juga sadari, perasaannya pada Shota kian membesar dan Airi takut dia akan melakukan sesuatu yang ceroboh di depan umum. Atau paling tidak di depan teman-temannya. Di depan Snow Man dan para kesayangannya yang juga dia anggap sebagai teman-temannya.

Airi menggelengkan kepalanya. Dia bangkit dari duduknya, berdiri dengan kedua lututnya, berbalik dan menghadap kearah Shota yang sedang terlelap dalam mimpinya. Wajah lelaki itu terlihat tenang, sementara keningnya tidak tertutupi sehelai rambut pun. Airi menatap lamat-lamat wajah lelaki di hadapannya. Digigitnya bibir bagian dalamnya, menahan sesuatu yang sesak dan rasa berdebar yang tiba-tiba menyerangnya setiap kali dia memandang lama lelaki yang sebenarnya dia sayangi ini.

Sebelum akhirnya, Airi maju dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Shota. Kecupan itu berlangsung lama, seakan-akan Airi ingin memberitahu Shota tentang perasaannya lewat ciuman itu. Yang tidak Airi duga adalah Shota sudah membuka matanya, sedikit terkejut melihat wajah Airi berada sangat dekat dengannya serta merasakan bibir perempuan itu berada di keningnya. Shota sedikit berkedip begitu merasakan sesuatu membasahi wajahnya selepas Airi perlahan-lahan menjauhkan wajahnya dari Shota.

Shota langsung memejamkan matanya lagi. Airi segera beranjak, memalingkan wajahnya dan pergi dari ruangan itu. Masuk ke dalam kamarnya.

Shota membuka matanya. Menatap lama kearah langit-langit ruangan itu.


Ruangan itu hening. Baik Airi dan Shota sama-sama menikmati sarapan mereka dalam diam. Tidak berusaha membahas apapun yang terjadi tadi malam. Shota selesai dengan sarapannya bersamaan dengan ponselnya yang berdering, menandakan pesan masuk. Dari manajernya yang mengatakan bahwa dia sudah berada di depan.

“Terima kasih sarapannya.” Ucap Shota. Airi tersentak dan dia mengangguk dengan senyum tipis, masih berusaha menikmati sarapannya.

Shota beranjak, dia menatap agak lama kearah Airi sebelum akhirnya mendekati perempuan itu. Sebelah tangannya menyelipkan helaian rambut Airi dibelakang telinga perempuan itu sebelum akhirnya mendaratkan sebuah ciuman di keningnya. Kedua mata Airi membulat, terkejut dengan apa yang dilakukan Shota padanya. Ciumannya itu berlangsung agak lama, lamanya sama dengan apa yang Airi lakukan semalam pada Shota. Lelaki itu menjauhkan wajahnya dan tersenyum, menyejajarkan wajahnya pada Airi.

Ittekimasu.” *

Itterashai...

Uhn.... suki dayo Airi menggelengkan kepalanya. Apa yang dia pikirkan barusan?

MinaRau, Fluff, Typo


Suara riuh terdengar dari speaker televisi di ruang tengah unit apartemen milik Miyahara itu. Sambil menyantap ramen instantnya, sang pemilik unit menikmati tontonan yang menyala dari televisinya. Sebuah film keluaran tahun 2022. Film dimana seluruh member Snow Man berakting di dalamnya.

Mina sempat terdiam saat melihat karakter Todomatsu muncul dengan setelan jas. Untuk sesaat Mina merasakan jantungnya berdetak cepat, saat mendengar suara khas seseorang dari balik topeng yang perlahan dilepas. Kemudian, Mina merasa gemas sendiri. Ah, sial, aku salah tingkah.

“Kak Mina nonton apa?” Mina menoleh sejenak kearah sumber suara yang mendekat. Dia melihat Raul berjalan kearahnya dan duduk di sebelahnya yang bersandar di sofa. Tangan Raul yang panjang merangkul Mina sembari menatap kearah layar televisi. “Osomatsu san live action.” balas Mina, sembari menyuap suapan terakhir ramennya dan mengembalikan mangkuknya ke tempat cucian piring.

Dia duduk di sebelah Raul sembari bertopang dagu di atas kedua lutut yang dia dekatkan ke tubuhnya. “Ih, kak Mina senderan ke aku aja.” Raul menarik Mina untuk bersandar di dadanya. Mina berdehem, merasakan wajahnya memanas dan dia salah tingkah lagi.

Menikmati film bersama adalah sesuatu yang jarang mereka lakukan karena kesibukan masing-masing—ya, lebih kepada Raul yang selalu sibuk. Beruntungnya hari ini Raul menyelesaikan jadwalnya lebih cepat dan mereka bisa menikmati waktu bersama. Raul berjengit saat mendengar suara Mina yang tertawa kencang, melihat scene Todomatsu, Ichimatsu dan Chibita yang saling bertukar dialog. Tanpa sadar dia menepuk-nepuk pundak Raul membuat lelaki blasteran itu sedikit terganggu.

“Duh, kak Mina!” gerutu Raul, berusaha menahan tangan Mina yang terus menepuk pundaknya. Namun, perempuan itu masih terus tertawa kencang. “Lihat, lihat! Todomatsu lucu banget disitu!” katanya. Jengah dengan tingkah Mina, Raul menarik tangan Mina membuat perempuan itu semakin mendekat kearah Raul. Keduanya saling pandang dengan jarak yang sangat dekat, jelas baik Mina maupun Raul saat ini sedang sama-sama berusaha menetralkan detakan jantung mereka.

“Yang lucu Todomatsu atau aku?” bisik Raul dengan suara rendah. Mina mengerjap. Namun, dia membalas pertanyaan Raul dengan senyuman. “Kamu.” balas Mina berbisik.

Raul terkikik. Dia mengusap pipi Mina dengan punggung tangannya sebelum mengecup pelan bibir Mina. Raul menarik dagu Mina, menyesap bibir bawah Mina. Memutuskan bahwa ciumannya tidak hanya sampai disitu saja. Suara kecupan demi kecupan perlahan menggema di ruang tengah yang televisinya masih menampilkan film Osomatsu-san itu. Tanpa sadar, Mina melingkari tangannya di sekitar bahu Raul, sementara Raul menarik pinggang Mina, memposisikan perempuan itu untuk duduk di pangkuannya.

Mina mendorong Raul saat lelaki itu hendak menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Mina. Napas keduanya terengah dan tubuh Mina masih bergetar sisa dari ciuman mereka tadi. Raul menatapnya dengan kedua puppy eyesnya, seakan-akan Mina sudah merebut makanannya.

“Kita belum selesai nonton Osomatsunya, Rau.” kata Mina. Raul mengerang. Mina tersenyum tipis, dia bangkit dari duduknya di pangkuan Raul. Namun, Raul menarik tangannya, menyuruh Mina untuk di depannya sementara Raul berada di belakangnya memeluk erat Mina.

“Yaudah, nontonnya begini aja.” kata Raul, meletakan dagunya diatas bahu Mina.