Kyomoto Taiga x OC, Fluff
Kamu terus menaiki anak tangga menuju atap sekolah itu. Langkah-langkahmu cepat dan pasti. Sembari melepas blazer sekolah yang kamu kenakan, kamu membuka pintu atap itu.
Kakimu masih harus memutari atap itu untuk mencari keberadaan seseorang. Kamu menyunggingkan seulas senyum saat berhasil menemukan seseorang yang kamu cari sedari tadi.
“Taiga.” Suaramu memanggil namanya. Namun, dia tidak membalas sedikitpun panggilanmu. Kamu sampai harus mendekatinya dan menepuk pundaknya.
Lelaki bermarga Kyomoto itu menoleh. “Kenapa kau disini?” dia balas bertanya. Kamu mendengkus dan berdiri di sebelahnya, menyampirkan blazermu di pinggir pagar pembatas atap sekolah itu.
“Aku sudah free. Sekarang tinggal operasi semut,” Katamu. Saat ini, sekolah kalian tengah mengadakan festival budaya tahunan.
Taiga sebagai ketua pelaksananya dan kamu sebagai koor acaranya. “aku tinggal memastikan bahwa semua orang tidak ada yang tinggal di sekolah.” Lanjutmu, melirik kearah Taiga. Lelaki itu malah tertawa dan mencibir, “kamu koor acara bukan K2.” Katanya.
Kamu mengedikkan bahu. “Tidak apa-apa, kan?” Taiga tidak membalas lagi setelah itu.
Kalian memperhatikan bekas api unggung di tengah lapangan itu. beberapa staf masih tersisa disana, merapikan beberapa perlengkapan dan membawanya ke gudang.
Kamu melihat ke salah satu staf yang menyadari keberadaanmu di atas sini. Staf itu terlihat memberinya sebuah sinyal untuk turun ke bawah.
“Hmm, sepertinya ada yang mau mereka sampaikan.” Katamu, bergumam.
Kamu berbalik, hendak beranjak dari sana. Tapi, Taiga bergeming. Tidak bergerak seinchipun dari posisinya. Kamu berdecak, ditariknya tangan Taiga dan kamu genggam erat.
“Ayo,” ajakmu. Menarik Taiga untuk ikut denganmu pergi dari atap itu. Lelaki itu mengerutkan kening namun tidak memberontak untuk melepas genggaman tangan kalian. “aku tidak meninggalkanmu disini sendirian, Taiga.” Lanjutmu, sembari menatap lurus kearah Taiga.
Taiga merasakan wajahnya memanas. Dia mendengkus. Tangannya yang lain mengambil blazer yang masih tersampir di pinggir pagar atap.
Taiga melempar blazer itu kearahmu dan balik menggenggam tanganmu. “Pakai lagi,” kata Taiga tegas, tidak mau dibantah. “malam semakin dingin.” Lanjutnya.
Kamu terdiam selama beberapa saat, kemudian sebuah tawa keluar dari mulutmu.
“Hee, baiklah.” Kamu memakai blazermu kembali dengan susah payah karena tangan kalian masih terpaut. Kamu melihat kearah Taiga. “Apa?” katanya.
“Tidak mau melepas tanganku dulu?”
“Tidak mau.”
2♡ ; Catch you Crying
Kemana anak ini? Ini sudah pukul dua belas malam lewat. Para staf juga sudah pulang. Taiga melirik lagi kearah jam tangan di tangan kirinya. Dia mengetuk ujung sepatunya dengan tak sabaran. Dia penasaran kemana anak itu, apakah sudah pulang duluan?
“Loh, Kak Kyomoto, belum pulang?” Taiga mendongak dan menemukan Shintaro dan Suzu yang sepertinya hendak pulang. Kepala Taiga mengangguk sebagai balasan. “Nungguin seseorang?” Kali ini Suzu yang bertanya dan Taiga kembali mengangguk.
“Ah, sepertinya masih ada orang di ruang sekret. Mungkin kak Kyomoto bisa cek kesana.” Kata Shintaro setelah kembali mengingat-ingat siapa yang masih ada di dalam gedung sekolah.
Taiga mengernyit. “Oke. Makasih ya,” katanya sembari berjalan masuk lagi. “kalian pulangnya hati-hati ya.” lanjutnya sebelum kembali masuk ke dalam gedung sekolah.
“Kak Kyomoto itu suka sama kakak koor acara itu ya?” gumam Shintaro. Suzu memiringkan kepalanya bingung. “Bukannya mereka berpacaran?”
“Hee? Benarkah?”
✧✧✧
Langkah Taiga yang menyusuri lorong sekolah yang sudah gelap itu terdengar menggema. Terdengar beberapa kali suara serangga malam dan angin yang berhembus pelan di luar.
Dengan berbekal senter dari ponsel pintarnya dia melangkahi setiap lantai di gedung itu dengan pelan. Dia jadi berpikir, sedang apa orang itu masih mengurung dirinya di ruang sekret? Taiga pikir kalian sudah janji akan pulang bersama, kalau mengingat sekarang sudah terlalu larut.
Taiga sampai di depan pintu ruang sekret. Dari celah pintu itu, dia masih bisa melihat lampu ruangan yang menyala. Taiga menghela napas. Dia meraih gagang pintu dan memutarnya, membuka pintu itu.
Dari depan pintu saja dia bisa melihat kamu yang sedang sibuk dibalik laptopmu, bolak-balik mengecek ke buku besar di sebelahmu.
Namun, Taiga tidak tahu kalau kamu juga melakukan itu sambil menangis. “Ah sial, ini kenapa begini...” Kamu bergumam dengan panik.
“Sedang apa kau?” Kamu terkejut saat mendengar suara lain di ruangan itu. Kamu bahkan sampai terjengkang dari kursi saking terkejutnya, mengingat bahwa sekarang sudah sangat larut dan kamu pikir semua orang sudah pulang. Bahkan tadinya kamu berniat untuk mengingap disana.
Taiga langsung mendekatimu dan membantumu untuk bangkit. Lelaki bermarga Kyomoto itu menarik kursi dan mendudukanmu lagi disana.
“Ke-Kenapa kau masih disini?” tanyamu bingung. Seharusnya semua orang sudah pulang.
“Kita janjian pulang bareng, 'kan?” balas Taiga. Dia menarik kursi lain dan duduk di dekat kamu. Tidak lupa dia mematikan senter yang masih menyala dari ponselnya.
Kamu terdiam dan kini memukul pelan keningmu. “Aku lupa mengabari,” gumammu.
Kamu menarik napas dan mengusap wajahmu yang basah oleh air mata. “kamu duluan aja, aku masih ngurus laporan keuangan.” Lanjutmu.
Taiga tidak membalas ucapanmu dan kamu memilih melanjutkan menyusun laporan hari itu. “Ini tugasnya bendahara, kenapa kamu yang mengerjakan?” tanya Taiga.
Kamu menghentikan kegiatanmu sejenak. Kamu pun menyunggingkan senyum tipis. “Uhm, karena ada laporan pengeluaran acara yang ambigu jadi aku diminta buat cek sendiri.” Katamu.
Taiga berdecak. Dia mengambil buku besar dan beberapa bukti pembayaran, mengumpulkannya jadi satu dan memasukkannya ke dalam map plastik dan menyimpannya keatas rak. “Taiga! Aku belum selesai!” Kamu berseru panik.
Namun, Taiga seperti tidak mendengarkan teriakannya, lelaki bermarga Kyomoto itu menggesermu dari depan laptop dan menyimpan file itu lalu mematikan laptopnya.
“Aduh!” Kamu memukul kepala Taiga. Taiga menoleh sambil mengusap belakang kepalanya, dia terdiam melihatmu yang sudah nyaris setengah menangis.
“Jangan ganggu aku! Kamu kalo mau pulang, pulang saja sendiri!” Ujarmu dengan kesal. Kamu mendorong Taiga menjauh dari laptopmu, kembali menyalakan laptop itu untuk melanjutkan pekerjaanmu yang tertunda barusan. “Aku mau menginap disini.”
“Sudah kuduga,” gumam Taiga. Kamu menatap kearah Taiga. “untung saja aku menyusulmu kemari, kalau tidak mungkin kau akan benar-benar menginap disini.” Lanjutnya.
Taiga kembali duduk di kursinya. Dia mengeluarkan kembali buku besar dari map plastiknya dan berniat membantumu.
“Biar kubantu, supaya cepat selesai.” Kamu hanya bisa mengangguk sambil membuka kembali file di laptopmu. Taiga mengecek satu persatu laporan panjang kegiatan festival sekolah mereka.
Kamu diam-diam memperhatikan Taiga yang sedang serius meneliti laporan itu, kamu sempat merasa bersalah karena harus melibatkan Taiga dalam pekerjaanmu.
Taiga menghela napas lega setelah berhasil menemukan kejanggalan di salah satu laporan. “Lihat, kau salah memasukkan pengeluaran di pemasukan, lalu disini, kelebihan 0.” Kata Taiga.
Lelaki itu menoleh kearahmu dan kalian jadi saling bersitatap. Keheningan panjang malah menyapa dan kamu harus berdehem untuk membuyarkannya.
“O-Oh, benarkah?” tanyamu sembari mengalihkan pandangan kearah layar laptop, mengabaikan sensasi hangat di kedua pipimu yang semakin meranum.
“Itu saja?” Kamu menoleh kearah Taiga yang sekarang sedang menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Iya.” Kamu menghela napas lega, buru-buru membetulkan bagian yang salah tadi. “Seharusnya aku minta bantuanmu sejak tadi.” Gumammu. Taiga melirik kearahmu. “Itu karena kau kelelahan, makanya tidak bisa fokus dan teliti.” Balasnya.
Kamu tertawa kecil. Selesai dengan masalah laporan itu, Taiga bangkit dari duduknya dan menoleh kearahmu.
“Ayo pulang.” Ajaknya. “Sebentar, otakku butuh istirahat.” Kamu yang kali ini gantian bersandar di sandaran kursi, menatap lurus kearah Taiga yang menjulang tinggi dari posisinya. Taiga merotasi bola matanya.
“Istirahat saja di rumahmu.”
“Sebentar saja, Taiga Kyomoto.”
Taiga berdecak, dia mendekatimu yang masih asyik menyandarkan tubuh. “Kau mau kugendong saja biar kita cepat pulang?” ancamnya. Kamu mengerjap. Buru-buru bangkit dan merapikan barang-barangmu.
“Iya iya! Dasar tidak sabaran.” Taiga seram sekali, sih.
3♡ ; Colonge
Aroma itu masih sama. Aroma maskulin yang selalu membuatnya overthinking, matanya bahkan sesekali melirik kearah sosok perempuan yang sedang duduk dua bangku darinya di perpustakaan kampus hari itu. Meski Taiga Kyomoto tidak sendirian disana, tapi indera penciumnya seakan-akan hanya berfokus pada satu aroma itu.
Lamat-lamat Taiga memperhatikan perempuan itu, dia sampai terkejut begitu melihatnya didatangi seorang lelaki lain, lelaki itu dengan akrab mengobrol pelan dengan sang perempuan. Apakah itu pacarnya?, kalimat itu yang langsung terlintas dipikiran Taiga. Lelaki itu tinggi, outfit yang digunakan juga sangat kekinian, belum lagi wajahnya yang terlihat seperti seorang half.
Taiga langsung menutup wajahnya dengan buku yang dia buka—Tidak benar-benar dibaca—begitu perempuan yang menarik perhatiannya itu balas melihat kearahnya. Taiga menggigit bibirnya, mengutuk dirinya yang terlalu terang-terangan menatap kearah perempuan itu.
Telinganya menangkap suara kursi yang digeser dan langkah kaki yang menjauh. Saat dia intip dari balik bukunya, sepasang netranya menemukan sosok perempuan dan lelaki itu berjalan beriringan keluar dari perpustakaan.
Taiga menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menghela napas. Sudah punya pacar rupanya... Pantas aromanya maskulin.
***
Kelas hari itu lebih ramai dari kelas-kelas yang Taiga ambil di semester itu, sampai sang dosen harus mengarahkan mereka ke kelas yang lebih besar. Taiga duduk di barisan paling atas, bersebelahan dengan Juri yang sedang menyalin tugasnya ke kertas folio bergaris.
“Lo gak bilang tugasnya tulis tangan, sih, Ga!” Juri menggerutu sambil membuat tangannya bergerak lebih cepat, menyalin kata demi kata yang terpampang dari aplikasi ms word.
“Udah dibilangin di grup, lo yang gak baca kali.” Balas Taiga, melirik sang teman yang sedang dilanda panik. Tidak ada balasan lagi dari Juri yang sekarang lebih fokus menyelamatkan tugasnya.
“Hai,” Bukan hanya suara itu yang menyapanya, tapi juga aroma yang sangat Taiga kenal menyapa indera penciumannya. Wah, tajam sekali hidungmu, Taiga. “gue boleh duduk disini? Kursi yang lain udah penuh.” Lanjutnya. Taiga menoleh dan menemukan kamu yang tersenyum kearahnya.
Terdiam selama beberapa saat, membuat Juri yang menggantikan Taiga untuk berbicara. “Duduk aja.” Katanya. Taiga berdecak, dia mendelik. Kamu tertawa mendengarnya, menurunkan kursi yang terlipat itu dan mendudukinya. Taiga memandangi kamu sebentar.
Ini bukan pertama kalinya kalian bertemu atau satu kelas. Kalau Taiga ingat, ini kali keempatnya kalian bertemu. Pertama, kalian bertemu di kantin saat sedang mengantri makan siang, kamu berbaris di depannya sembari mengobrol akrab dengan temanmu saat itu, saat itu sebenarnya Taiga tidak terlalu memperhatikanmu, namun, aroma colonge yang kamu gunakan cukup menarik perhatiannya.
Pertemuan kedua adalah saat Taiga kehabisan saldo Suica untuk naik bis dan kamu bertemu dengannya, menawarkan untuk membayar ongkosmu juga.
Taiga sudah menawarkan untuk mengganti tapi kamu bilang tidak perlu. Kalian berpisah di depan gerbang kampus. Dan kali ketiga adalah di perpustakaan dan sekarang kalian bertemu lagi di kelas yang sama namun bedanya sekarang kamu duduk bersebelahan dengan Taiga.
Taiga tidak bisa menghentikan dirinya yang salting tanpa sebab. Padahal kalian hanya duduk bersebelahan, mungkin karena sekarang aroma maskulin itu semakin menyerang penciumannya.
Taiga tidak bilang dia tidak suka, hanya saja aroma itu selalu membuatnya overthinking akan rasa yang dia rasakan pada perempuan di sebelahnya ini.
Kelas hari itu berjalan lancar dan menyenangkan. Taiga tidak langsung keluar kelas begitu melihat pintu kelas yang ramai oleh para mahasiswa yang berbondong-bondong keluar bersamaan. Taiga menoleh ke sebelahnya, melihat kamu yang masih duduk dengan santai sembari membaca sebuah buku literatur.
Melihat crushnya dari dekat seperti ini, membuat jantung Taiga tidak bisa diam. Tenang, bodoh. Taiga terus-menerus mengutuk dirinya. Juri menyikut tangannya dan melirik-lirik kearah kamu.
“Dia 'kan yang lo crush?” bisik Juri. Taiga sudah nyaris kaget, takut kalau Juri mengeraskan suaranya saat bertanya seperti itu. Kepalanya menggangguk.
“Hei,” Panggil Juri kearah kamu. Kamu mengalihkan pandangan dari bukumu dan menatap Juri. “lo pake colonge cowok atau udah punya pacar?” tanya Juri. Kamu mengerjap. Taiga melotot, memukul belakang kepala lelaki bermarga Tanaka itu.
Taiga berbalik tersenyum tidak enak kearahmu yang sekarang menatapnya dan Juri dengan bingung. Kamu mengendus pelan pergelangan tanganmu dan tersenyum. Baru melihat senyummu saja, Taiga sudah merasa jantungnya seperti diajak lari marathon.
“Ah, ini, karena aromanya enak, jadi gue pake terus padahal colongenya buat cowok,” katamu. “dan gue belum punya pacar.”
NICE!
Overthinking Taiga seketika lenyap saat itu juga. Taiga berusaha mati-matian menahan senyumnya. Juri yang sadar akan gerak-gerik temannya yang seperti anak sekolah baru pertama kali jatuh cinta jadi terpikirkan sesuatu.
“Syukur deh,” kata Juri, mengundang keningmu mengkerut bingung. “kalo gitu, mau sama dia gak?” Juri menepuk pundak Taiga membuat lelaki bermarga Kyomoto itu berjengit kaget. Wajahnya sekarang memanas, dia melotot tajam kearah Juri, mendelik sedelik-deliknya.
“Anaknya baik, kok. Cuma gabisa masak mi instant aja.”
Taiga dan kamu sama-sama tertawa. Bedanya, kamu tertawa gemas dan Taiga tertawa canggung.
Tanaka Juri sialan. Taiga mengumpat dalam hati.
“Boleh.” Sahutmu dengan geli. Taiga menatap kearahmu, terkejut dengan respon yang kamu berikan.
***
“Dia siapa?” Jesse bertanya padamu yang sedari tadi mengulas senyum setelah keluar dari perpustakaan.
Kamu mengangguk. “Taiga Kyomoto, gue beberapa kali ketemu dia.” Jesse mengangguk sembari menggumam paham.
“Lo suka dia?” Kamu kembali tersenyum, namun, kali ini menahan senyum itu untuk melebar seenaknya. Kedua bahumu mengedik, membuat Jesse menyipitkan matanya, curiga kalau tebakannya benar.
Ya, kamu sudah menyukai Taiga sejak kalian bertemu di hari pertama ospek.
4♡ ; Water
Rapat yang selalu diadakan setiap akhir bulan itu sudah berlangsung selama dua setengah jam lebih. Suasana di dalam ruangan sudah bisa dikatakan kurang kondusif kalau Taiga perhatikan. Dia sendiri sudah mulai merasa bosan dan ingin segera menyelesaikan agenda bulanan BEM nya ini. dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Taiga bertopang dagu sembari memainkan pulpennya, memperhatikan sang sekretaris yang sedari tadi sedang sibuk mencatat poin-poin rapat.
Senyum Taiga terulas tipis saat melihat sosok sekretaris—yang merupakan pacarnya itu kelihatan masih bisa mempertahankan fokusnya. Taiga yang duduk di belakang saja sudah mulai mengantuk dan melirik jam terus, bagaimana kamu yang duduk di depan dan harus mencatat semua tanpa terkecuali. Bisa dikatakan bahwa Taiga bangga sekali melihatmu. Apa mungkin aku tanya saja apa tips & trick nya ya?
Cukup lama Taiga memandangi kesayangannya itu, hingga sikut seseorang menyandarkan lamunannya. Taiga jelas terkejut dan dia menoleh, mendapati Morimoto Shintaro tersenyum kearahnya. Senyumnya bukan sesuatu yang ramah untuk Taiga, lebih kepada sebuah senyum menggoda. “Lo kayaknya haus banget ya, kak Taiga.” Lelaki bermarga Kyomoto itu mengernyit.
“Haus kasih sayang maksudnya?” Tanaka Juri yang disebelahnya menambahkan. Shintaro terkekeh. “Haus kasih sayang dan belaian.” Wajah Taiga meranum. Dia terkejut mendengar ucapan sang adik tingkat dan juga teman seangkatannya ini.
Taiga berdecak dan memberi gestur hendak melempar barang yang ada di tangannya saat ini. “Eits, tuan muda gak boleh galak.” Kata Juri. Taiga mendengkus. “Lo emang halal buat dipukul ya, Tanaka!”
“Tiga orang yang duduk dibelakang, tolong ya kondusif.” Baik, Juri, Shintaro dan Taiga langsung memasang duduk yang manis begitu suara sang ketua BEM menegur mereka. Taiga melirik kearahmu lagi dan menemukanmu yang sekarang sedang menatapnya. Taiga sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Kamu membalas senyumannya dan beralih kearah sang ketua BEM.
Taiga melihatmu berdiskusi sebentar, empat mata dengan sang ketua dan kepala sang ketua mengangguk. “Oke. Kita istirahat dulu empat puluh lima menit. Nanti jam 18.45 kembali lagi ya. Makasih.”
Taiga langsung menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menghela napas panjang. Dia menunggu sampai seluruh anggota keluar dari kelas. Taiga tidak suka berdesak-desakkan di depan pintu. “Taiga, kantin gak?” Juri mencolek pundaknya sebelum beranjak.
Lelaki bermarga Kyomoto itu menggeleng. “Gak. Mager.” Balasnya. “Halah, bilang aja mau ke kantin barenga ayang.” Cibir Shintaro. Taiga langsung melotot dan mendelik. Namun, tak lama suaramu menyapa kalian.
“Halo, Shintaro, Juri.” Sapamu dengan ramah. Ketiganya menoleh dan ikut menyunggingkan senyum. Kamu menyodorkan sebotol air mineral kearah Taiga. Juri tertawa melihatnya. “Ih, ayangnya Taiga peka banget kalo Taiga dari tadi kehausan.” Kamu tertawa.
“Tapi haus belaian dan kasih sayang.”
Baik Taiga dan kamu sama-sama salah tingkah dan menahan malu saat Shintaro berucap seperti itu.
5♡ ; Jangan Lupa Makan
Masa jabatan untuk kabinet organisasi eksekutif yang Taiga ikuti sudah mulai memasuki masa akhir. Setiap divisi kelihatan sibuk mengurus laporan akhir mereka. Tidak terkecuali Taiga yang membantu kepala divisi minat dan bakat yang menaunginya ini untuk menyusun laporannya.
Saking menyita waktu, Taiga sampai tidak sempat untuk menghabiskan waktu atau paling tidak melihat kondisimu. Yah, tapi setidaknya kalian masih sering berpapasan di ruang sekret. Seperti hari ini, sang ketua meminta kalian semua untuk berkumpul di ruang sekret untuk sama-sama menyusun laporan akhir kepengurusan. Tujuannya agar bisa saling check dan kontrol.
Setelah sibuk dengan Juri yang mengetik di laptopnya, Taiga mengangkat kepala untuk mencari keberadaanmu. Seperti biasanya, sebagai sekretaris kamu berkeliling untuk mengecek tiap laporan yang dibuat oleh setiap divisi. Beberapa anggota yang kamu datangi, menyodorkan snack kecil kearahmu. Kamu hanya tersenyum dan menerimanya, tidak langsung memakannya. Taiga mengerutkan kening tidak suka. Seingatnya, sejak kalian bertemu pagi ini, kamu bilang pada Taiga belum makan apa-apa. Yah, sekarang sudah sore, mungkin saja kamu sudah makan.
Taiga mengikuti langkahmu kembali ke meja dimana laptopmu yang menyala terletak. Kamu kembali sibuk dengan laporanmu. Taiga menghela napas dan kembali ke Juri yang sedang mengobrol dengan Kochi, membahas laporan kegiatan salah satu proker.
Seseorang menepuk pundak Taiga. Taiga menoleh dan menemukan Abe Ryohei—Ketua organisasi eksekutif universitas—berdiri di belakangmu. “Hai, Abe-chan.” Sapa Taiga. Ryohei tersenyum. “Anak itu, tadi, gue tanya sudah makan belum, jawabannya enggak memuaskan. Kayaknya lo harus bilang sesuatu sama dia.” Taiga bersyukur dia punya Ryohei yang tahu dan mau mengerti soal hubungannya dengan kamu.
Taiga mengangguk. “Makasih, ya. Gue izin ke kantin sebentar deh.” Lelaki bermarga Kyomoto itu beranjak setelah mendapat persetujuan dari Ketua dan Kepala divisinya untuk pamit sebentar keluar. Taiga membeli nasi kepal yang dibumbui furikake yang di jual di kantin dan juga memesan UberEats. Lima belas menit kemudian Taiga kembali ke dalam ruang sekret. Dia mendekat kearahmu yang masih sibuk mengetik di atas keyboard laptopmu.
“Ikut aku sebentar yuk.” Taiga menyentuh tanganmu yang bergerak diatas keyboard. Kamu sempat mengerjap, terkejut karena Taiga tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganmu. “Kemana?” Taiga hanya tersenyum. Dia menarikmu mengikuti langkahnya.
Kalian berjalan menuju sebuah pendopo yang sepi, namun di atas bangku panjang disana sudah ada beberapa bungkus makanan yang membuat kamu mengernyit bingung. Taiga menyuruhmu duduk di atas bangku panjang itu, kalian duduk bersisian sembari Taiga mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik dan kotak bertuliskan salah satu nama restoran ternama.
“Apa ini?” kamu bertanya bingung. “Makanan. Kata Abe-chan, kamu belum makan sampai sekarang. Jadi, ayo makan!” ujar Taiga, menarik tanganmu dan meletakan sekepal onigiri.
Kamu berdecak, mengembalikan kepalan onigiri itu pada Taiga dan beranjak. Namun, gerakan Taiga kali ini lebih cepat dari langkahmu. “Aku maksa.” Suara Taiga yang berat dan tatapannya yang tajam sedikit membuatmu merinding. Padahal kamu belum menyelesaikan laporan, seharusnya kamu tidak berada disini dan makan bersama Taiga.
“Mau aku suapin atau makan sendiri?” Kamu menggeleng dan menerima kembali uluran onigiri di tangan Taiga. Kalian menikmati keheningan dengan makan bersama, baik Taiga maupun kamu dengan serius melahap onigiri di masing-masing tangan. Sembari membuka bungkus onigiri yang lain dan memberikannya padamu Taiga berucap lirih, “Jangan seperti ini lagi. Kamu menyakitiku juga.”
Kamu mengerjap. “Maksudnya?” Taiga menoleh kearahmu dengan tatapan seriusnya. “Jangan telat makan. Jangan memendam semuanya sendirian. Jangan memaksakan diri. Jangan menyakiti diri sendiri.” Lanjutnya dengan panjang lebar. Kamu tertawa mendengarnya. Kamu menggeser dudukmu kearah Taiga dan mencubit hidungnya.
“Tenang saja. Aku kuat lebih dari apa yang aku dan kamu pikirkan, Taiga.”
6♡ ; Nightmare
Malam itu memang bukan suasana yang tenang. Diluar gedung apartemen bertingkat ini, terdengar jelas suara gemuruh hujan disertai petir sesekali seperti memaksa masuk ke dalam mimpi setiap orang yang sedang terlelap malam itu. Tidak terkecuali Taiga.
Lelaki bermarga Kyomoto itu berjalan pelan keluar dari kamarnya, menutup perlahan pintu di belakangnya agar tidak membangunkanmu yang sedang terlelap di dalam sana. Dengan wajah yang masih mengantuk dan sedikit percikan rasa takut, Taiga duduk di sofa dengan diam. Tanpa melakukan apapun. Terdiam di posisinya selama beberapa saat.
Taiga mengangkat sebelah tangannya yang masih gemetar. Rasa sesak yang memenuhi dadanya juga tidak kunjung hilang. Sisa mimpi buruk yang menghampirinya tadi juga enggan untuk pergi. Tidak biasanya dia merasakan perasaan takut karena mimpi seperti ini.
Mungkin karena mimpi barusan terlalu nyata untuk disebut sebuah mimpi. Taiga menghembuskan napas dan mencoba menenangkan diri dengan menarik naik kakinya untuk mendekat ke dadanya dan memeluknya. Kepala Taiga disandarkan pada lutut-lututnya yang berhimpitan dan dia memejamkan matanya, berharap semoga kali ini bayangan mimpi itu tidak hadir lagi.
“Kyomo?” Suara lembut dan serak itu membuat Taiga mengangkat kepalanya. Dia merasakan usapan lembut di kepalanya. Sepasang matanya itu menemukan kamu yang berdiri di depannya dengan tangan lainnya masih mengucek sebelah matamu.
“Kenapa tidur disini?” Kamu bertanya sembari duduk di sebelah Taiga. Lelaki itu tersenyum tipis. “Aku tidak bisa tidur.” Balas Taiga.
“Mimpi buruk?”
Taiga seharusnya paham kalau dia tidak bisa menyembunyikannya dari kamu. Mau tak mau Taiga mengangguk sembari mengeratkan genggamannya pada tangannya yang lain. Kamu mengangguk, mengulurkan tangan untuk menarik kepala Taiga bersandar di dadamu. Kamu mengusap-usap lembut kepala Taiga sembari meniup kepalanya. Taiga terkekeh. “Ngapain begitu?”
“Pergilah mimpi buruk, jangan ganggu Kyomo-ku.”
Taiga terdiam sejenak mendengar ucapanmu. Dia melepaskan pelukannya pada kedua lututnya dan beralih memelukmu erat. Tanpa sadar sudah meneteskan liquid bening yang keluar dari sepasang matanya yang berwarna cokelat kehitaman itu.
Aku takut kehilanganmu...
Taiga berbisik sepelan mungkin. Terlalu takut untuk mengucapkannya terlalu keras.
Bonus : Wildest Dreams
Kedua kelopakmu terbuka. Manik hitan legam itu menangkap benda-benda di sekitarmu bergerak cepat meninggalkanmu atau kamu yang meninggalkan mereka?
Lehermu yang tidak dilapisi satu helaipun kain itu diterpa angin malam. Kamu sadar bahwa kamu tidak di rumahmu seperti yang kamu harapkan saat membuka mata.
“Sudah bangun?” Kamu pikir suara itu bagian dari mimpi terliarmu. Suara yang begitu akrab bagaikan sebuah kewajiban ada di dalam hidupmu.
Kepalamu bergerak ke samping, menoleh. Kedua manik milikmu bertemu pandang sesekali dengan kedua manik hitam dengan sedikit aksen caramel yang sesekali terlihat, itu yang selama ini selalu kamu ingat jika harus bertatapan dengannya.
Sosok dibalik kemudi mobil BMW dengan seri Z4 itu mengulum senyum tipis yang manis. Sosok Tanaka Juri itu nampak menikmati masa-masa kalian bersama di mobil ini.
Masih segar diingatan kala kamu menemukan Juri berdiri di depan apartemenmu dan tersenyum tanpa bersalah mengajakmu pergi keluar kota.
“Aku bosan dengan Tokyo. Kamu mau kemana?”
Tidak kemana-mana. Kita tidak kemanapun. Kamu mau menjawab ajakan itu dengan kalimat barusan tapi otak dan hatimu suka sekali berebut untuk mengambil alih.
“Shizuoka.”
Perjalanan Tokyo ke Shizuoka bukanlah perjalanan singkat. Kalian beberapa kali berhenti untuk membeli minum dan makanan ringan. Sosok Tanaka itu masih bersikap manis padamu meski kamu tahu orang ini agak 'jahat'.
Juri memang termasuk orang yang menganut ladies first meski seorang womanizer. Kamu selalu dibuat nyaman dengan setiap perlakuan manisnya, sayangnya kamu juga tidak bisa bohong bahwa kamu tidak nyaman dengan kebiasaan Juri sebagai orang yang dekat dengan wanita lebih dari satu.
Hubungan kalian baik-baik saja. Seharusnya.
“Juri,” kamu bersuara setelah selama beberapa saat dibuat terdiam dengan potongan kenangan yang memaksa untuk diputar kembali. “bagaimana kamu mengingatku?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutmu.
Tidak bisa dipungkiri kamu sempat salah tingkah melihat senyum andalan Tanaka Juri yang terukir di wajahnya.
“Menurutmu bagaimana?”
“Apakah aku terlihat seperti seorang cenayang?”
Tawa renyah itu keluar. “Cantik,” kamu refleks merotasi kedua bola matamu malas. “tapi, yang paling kuingat adalah punggungmu.”
“Indah dengan latar sunset.” Kamu baru mau melontarkan sebuah cibiran padanya, namun berhasil dibuat termenung selama beberapa saat.
Pandangan milikmu kamu alihkan ke jalanan, mengabaikan rasa sesak yang tiba-tiba muncul. “Kau mau bilang kalau sunsetnya indah, 'kan?”
“Kata siapa? Kamu yang cantik. Sunset aja rasanya akan iri padamu.” Kepalamu refleks menoleh kembali kearahnya. Kali ini, kedua manik kalian sama-sama bertatapan. Mobil yang semulanya masih berada dijalanan itu sekarang sudah menepi, bersamaan dengan perasaan kalian saat ini.
Tanaka Juri mengulas senyum lembut sebelum akhirnya mengecup bibirmu sekilas.
“CUT!”
Kalian langsung menjauh. Sama-sama turun keluar dari mobil dan mengusap bibir masing-masing.
“Aku harus mencuci bibirku.”
“Aku harus mencium seseorang.”
“Dasar soang.” Cibirmu.
“Atau kau yang kucium saja ya?”
“LEBIH BAIK AKU CIUM TEMBOK!”
Kru syuting hari itu menatap prihatin kearah kalian berdua. Benar-benar pasangan tsundere.
“Ah, ini kenapa kau panggil Tanaka Juri bukan nama karakternya?” Sang sutradara mulai protes. Sadar akan kesalahan yang terekam disana. Kamu mengerjap kaget. Benarkah?
“Kita ulang ya!”
“TIDAK MAU!” Baik kamu dan Juri tidak mau mengulang adegan itu.
✧ ✧ ✧
Is This Break Up?
Baik kamu dan Tanaka Juri saling bersitatap. Tatapan Juri padamu seakan menguncimu dalam kotak pendingin bersuhu minus. Ini pertama kalinya kamu melihat Tanaka Juri begitu dingin dan tajam menatap kearahmu.
“Jadi, maumu apa sekarang?”
Lidahmu kelu. Tanganmu sedikit gemetar kala menyadari intonasi suara Juri sedikit meninggi. Bola matamu bergulir ke kanan dan kiri dengan gelisah. Juri jelas sadar akan gestur yang kamu tunjukkan saat ini.
“Kenapa? Tadi kamu bisa mengomel dengan lancar. Kenapa sekarang saat kutanya apa maumu, kau diam saja?” Juri bersidekap, masih mempertahankan tatapan tajamnya.
Atmosfer diantara kalian memang tidak bisa dibilang baik. Pertengkaran yang mengawali suasana tak enak seperti ini memang salah. Kamu tahu Juri sudah menahan rasa sabarnya sejak lama. Tapi, kamu juga merasa bahwa kamu juga sudah bersabar dan tidak akan bisa lebih dari ini kalau kamu melihat Juri bersama wanita lain.
Juri itu milikku!, Kamu ingin berteriak sekencang mungkin agar dunia tahu tentang kenyataan itu.
Entah kamu dan Juri yang tidak cocok atau memang waktu belum tepat membuat kalian bersama.
Kamu mendongak begitu mendengar langkah kaki menjauh dan suara pintu tertutup. Sosok Tanaka Juri sudah tidak ada di apartemen kalian. Kamu tidak lagi bisa menahan berat tubuhmu, kakimu melemas. Tubuhmu jelas merosot jatuh sembari menangkup wajahmu yang sekarang sudah dipenuhi air mata. Ada rasa penyesalan sedikit kala merasakan ketidakhadiran Juri disana. Seharusnya aku diam saja, menahan sedikit rasa cemburuku seharusnya tidak membuatku mati. Begitu pikirmu pada akhirnya.
Sampai tengah malam, kamu masih seorang diri di unit kalian. Melirik ponselmu pun rasanya tidak ada gunanya kala menyadari benda persegi panjang itu tidak menunjukkan tanda-tanda notifikasi dari sosok yang sempat bertengkar denganmu tadi.
Kamu mencoba untuk tetap terjaga sampai Tanaka Juri kembali meski sebagian hatimu sudah mulai berpikir macam-macam, berpikir bahwa Juri saat ini sedang menumpahkan kekesalannya pada alkohol. Sesuatu yang tidak begitu kamu sukai.
Kamu menghela napas begitu rasa kantuk menyerangmu, memaksamu untuk memejamkan sepasang matamu. Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar samar, namun kantuk kali ini mulai mengambil alih semua kesadaranmu. Sembari mencoba menghampiri sumber suara, matamu terpejam beberapa kali hingga mulutmu menyuarakan nama yang sedari tadi kamu tunggu.
Tubuhmu limbung, sebelum benar-benar terjatuh, sepasang tangan sudah menahan tubuhmu untuk tidak menyentuh lantai unit. Kamu bahkan refleks bergantung padanya. Meremas bahu orang ini dengan lembut sembari menyandarkan kepala. Aroma tembakau yang samar membuatmu sadar bahwa orang ini adalah Tanaka Juri.
“Okaeri, Juri...” Kamu berucap pelan. Juri mengusap kepalamu, mengeratkan dekapannya pada tubuhmu sembari membetulkan posisi kalian. Juri merubah posisimu, menjadi terlelap dalam gendongannya.
“Juri, maaf... aku tadi kelepasan... Maafkan aku...” Kamu bergumam meminta maaf, melingkarkan tangan di sekitar leher Juri. Masih dengan kedua mata terpejam, sebulir air mata kembali turun.
“Tidak apa-apa. Aku juga salah. Maafkan aku ya...” kata Juri.
“Jangan pergi, Juri..”
“Aku tidak pergi kemana-mana, sayang...”
“Tapi, tadi kamu pergi...”
Juri terdiam mendengar ucapanmu. Memang benar tadi Juri pergi untuk menenangkan diri dengan merokok di taman. Juri dari awal tidak ada niatan untuk meninggalkanmu, dia hanya takut akan menyakitimu dengan kata-kata kasarnya. Jadi, Juri memilih untuk menenangkan diri terlebih dahulu.
“Maafkan aku.”
Tapi, yang pasti, tak ada satupun niat Juri untuk meninggalkanmu, mengakhiri hubungan kalian. Tidak ada sedikitpun, sebab ini pertama kalinya dia ingin berkomitmen denganmu.