soymilkao29

ShoppiAiri, Typo, Cringe, Office AU


Bartenderrr!! Satu lagii!” Seorang bartender bername tag Kato itu menghembuskan napas, mendapati seorang perempuan dengan setelan kantoran sudah setengah mabuk di pantrynya. Sementara teman mabuknya kali ini—Matsumoto Tsuki hanya memperhatikan sembari bertopang dagu dan tersenyum miring, sebenarnya geli melihat kondisi sahabatnya.

“Minamoto-san, ini sudah gelas kelima!” ujar sang bartender. Perempuan bernama lengkap Minamoto Airi itu mengangkat kepalanya yang semula tertidur diatas meja, matanya yang sudah sayu itu menatap sebal kearah Kato, sang bartender. Kepalanya menggeleng-geleng.

“Itu baru gelas pertamaa!” balas Airi. “Ya, ‘kan, Tsuki!?” Sosok yang dipanggil Tsuki menahan senyumnya dan mengangguk. “Ya.” balasnya. Airi beralih kembali pada Kato dan menunjuk wajahnya. “Dengar itu!” Kato merotasi bola matanya. “Baiklah, asal kau membayar semua minum yang sudah dipesan.” Cibirnya.

Airi cengengesan. Dia meraih Tsuki untuk dirangkul. “Tenang! CEO muda ini yang akan membayar semuanyaaa~!” Airi melebarkan sebelah tangannya dengan senyum khas orang mabuknya itu. Tsuki berdecak, dia melepaskan diri dengan paksa dari perempuan itu.

“Kau bayar sendiri saja.‘kan sudah naik jabatan menjadi sekretarisnya Watanabe.” Kata Tsuki. Airi berdecak kencang. Kepalanya kembali direbahkan diatas meja pantry itu sembari menunggu Kato selesai membuatkan pesanannya lagi.

“Aku lebih baik kembali turun menjadi karyawan biasa,” lirih Airi, memainkan jemari lentiknya yang kukunya dipoles warna nude. “gajiku naik tapi sebanding dengan pressure yang diberikan si Watanabe sialan itu.” lanjutnya, menggertakan giginya, berdecak sebal.

Tsuki bertopang dagu setelah menyesap sedikit bloody marynya. “Sesuai juga dengan harapanmu untuk bisa dekat dengannya.” Tambah Tsuki. Airi mengangkat kepalanya dan menatap Tsuki malas dengan wajahnya yang memerah.

“Orang gila yang suka pada bos tempramental dan suka teriak-teriak!”

“Tapi, kau sendiri yang bilang kalau kau hitomebore padanya.” Ucapan Tsuki barusan berhasil membuat Airi terdiam. Perempuan itu mengerucutkan bibirnya. Kato meletakan segelas kecil pesanan Airi dan segera pergi dari sana, takut akan ditarik Airi untuk diminta buatkan minuman lainnya.

“Aku mau memukul diriku dengan keras saat ingat fakta memalukan itu.” gerutu Airi, menenggak habis dalam satu tegukan minuman beralkohol yang dia pesan barusan. Ya. Airi pernah cerita pada Tsuki tentang hari pertama Airi diterima kerja di perusahaan Biyouharu cabang Shibuya sebagai staf Analis Marketing, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kecantikan, HRDnya mengabari bahwa hari pertama dia kerja akan diawasi langsung oleh CEO dari Headquarters BiyouHaru tersebut. Pertama kali melihatnya, Airi merasakan sensasi aneh pada jantungnya yang berdetak cepat serta wajahnya yang terasa memanas serta saat sang CEO bertukar pandang dengannya disertai senyumannya yang mirip dengan maskot Sanrio, Cinnamonroll.

Airi sampai nyaris melakukan kesalahan di hari pertamanya bekerja karena distraksi yang konyol seperti itu. Bodohnya, dia malah membatin apakah ini yang dinamakan Hitomebore? Cinta pada pandangan pertama? Sudah gila. Pekerjaannya selama satu tahun dinilai baik. Dia beberapa kali berurusan langsung dengan sang pemilik perusahaan. Hingga suatu waktu, dia dipanggil HRDnya, mengatakan bahwa dia akan ditransfer ke kantor pusat di Yokohama. Airi awalnya bersyukur, apalagi setelah dikatakan gajinya akan naik. Tapi, yang tidak dia duga selanjutnya adalah jobdescnya berganti menjadi Sekretaris sang CEO yang dia kenal bernama Watanabe Shota.

Selama dia berurusan dengan beliau, Airi tidak ada masalah sedikitpun. Orangnya ramah dan murah senyum. Selain itu, dia juga tampan untuk ukuran pria berusia 30 tahun. Malahan, Airi mengira kalau Shota berusia 5 tahun lebih muda dari usianya. Minggu pertama bekerja sebagai sekretaris masih dirasa aman dan berjalan lancar, dia bisa mengatasi tekanan demi tekanan beserta pengaturan jadwal yang ketat dengan baik. Tapi, memasuki minggu ketiga, dia mulai merasa mempertanyakan alasan mengapa dia harus menerima kepindahannya sebagai sekretaris ke kantor pusat, menangangi Watanabe Shota.

Sosok yang awalnya dia kira sangat baik hati bagaikan malaikat malah ternyata iblish dibalik jubah malaikat. Shota tidak segan-segan meneriakinya saat dia sedang tidak fokus, memarahinya dengan kata-kata tajam menusuknya jika Airi tidak melakukan pekerjaannya dengan benar—meskipun lelaki itu masih punya hati nurani untuk tidak memarahinya di depan umum. Belum lagi, setumpuk dokumen yang harus dia sortir untuk ditanda-tangani, mulai dari yang deadlinenya dekat sampai yang paling lama. Airi jadi bertanya-tanya, kenapa dia masih menyukai orang ini? Memang dasarnya gila.

Seperti hari ini, selepas menyelesaikan sebagian pekerjaannya, dia memutuskan untuk pulang, menelpon Tsuki dan mengajaknya minum bersama untuk melepas penat. Persetan dengan Watanabe. Dia mau meringankan sedikit bebannya meski sementara waktu.

Airi mengambil ponselnya dari tas kerjanya, menyalakan ponsel itu dan mendapati banyak missed call dan pesan dari bos nya yang tempramen dengan mulut sepedas cabai rawit itu, menanyakan dirinya dimana, bagaimana progres pekerjaannya, apa jadwalnya untuk besok pagi, hingga perintah untuk membawakannya sarapan tepat pukul 7 pagi di ruangannya.

“AKU BUKAN BABY SITTERMU, DASAR GILA!” Teriak Airi dengan kesal pada ponselnya, membuat Tsuki yang sedang menikmati Croissant yang dia pesan tersangkut di tenggorokannya. Tsuki langsung meminta air mineral pada bartender yang sedang duduk di dekat sana.

Perempuan anak kedua dari keluarga Matsumoto itu mendelik, memukul kencang pundak Airi dengan kesal. “Berisik sekali kau ini, Airi! Kalau kangen bilang sana!” Gerutu Tsuki. Airi menoleh kearahnya dengan mata menyipit.

“Aku sudah gila rindu pada orang sepertinya.”

Ya, dia gila. Tergila-gila pada orang bernama Watanabe Shota itu. Ponselnya berdering lagi, Airi melirik caller idnya, Watanabe-shachou. Airi menghembuskan napas, menenggak tegukan terakhir Tequila Sunrisenya baru menjawab panggilan tersebut. “Minamoto, kau dimana? Aku perlu dokumen—“

“Watanabe, i don’t know how to say this, but i hope i’m not mad at you anymore,” Airi menarik napas. “This feeling so hard to explain, I don't even know how to talk right now~” Tsuki yang duduk di sebelahnya sembari menerima telepon juga dari tunangannya ini melirik dengan terkejut kearah Airi. Tidak menyangka perempuan ini akan berani berucap seperti itu pada crush yang juga bos nya, bos yang sedari tadi jadi bahan gerutuannya. Bahan keluhannya malam itu. “It's “I-need-you-o'clock” right now! I want you to hear me say “Baby, come be my starlight” “

“Minamoto, kau mabuk?”

“No~ Aku sadar dengan penuh! Lagian ya, ini diluar jam kerja! Daripada kau menelponku untuk menanyakan pekerjaan, lebih baik kau lepaskan stressmu supaya berhenti membuatku tertekan, Watanabe—Hik—Chota!”

Tsuki menutup mulutnya, menahan tawa yang bisa saja keluar dengan kencang selagi dia masih menerima telepon. Tidak lama Airi menutup teleponnya dan kembali merebahkan kepalanya diatas meja, kali ini memejamkan matanya. Sepertinya alkohol mulai mengambil alih kesadarannya. Yah, kali ini membuatnya tertidur bukan meracau tidak jelas seperti tadi. “Kau menelpon siapa? Abe-kun?” Suara Airi terdengar serak berucap pada Tsuki.

Tsuki mengangguk, masih dengan tangan yang menutupi mulutnya, menahan tawanya. Masih. Airi menggumam tidak jelas sebagai balasan. “Ryohei-kun bilang dia mau kesini menjemputku bersama temannya.”

Airi tidak membalas ucapan Tsuki lagi. Terlelap dengan memegang ponselnya yang menampilkan notif dari kontak Shota.


Tsuki berpapasan dengan tunangannya yang baru datang—Abe Ryohei yang datang bersama sosok berwajah seperti Cinnamonroll di sebelahnya, selepas dia keluar dari toilet yang bersebelahan dengan pintu masuk. Ryohei tersenyum kearah sang kesayangan, menarik tangan Tsuki untuk mendekat dan mendaratkan sebuah kecupan kecil pada kening Tsuki.

“Kenapa Watanabe bisa bersamamu?” Tanya Tsuki. Ryohei menoleh ke sebelahnya, mengerjap begitu mendapati Shota yang tadi berdiri di sebelahnya sudah menghilang. Dia mengedarkan pandangan bersamaan dengan Tsuki kearah penjuru bar cozy itu, mendapati Shota sudah berdiri di belakang Airi dan menghela napas, lelaki itu melipat tangannya di depan dada. Terlihat Airi sudah bangun dan sedang bermain dengan ponselnya.

“Aku dan Shoppi tadi ada janji temu dengan Meme & Kenty.” Jawab Ryohei. Dia merangkul Tsuki. Tsuki mengangguk. “Temu kangen?” Meguro Ren dan Nakajima Kento termasuk ke dalam salah dua teman masa kuliah Ryohei dan Shota dulu. “Aku Cuma kangen denganmu, kok.” Jawab Ryohei. Tsuki mencibir namun tidak dipungkiri bahwa dia sedikit salah tingkah dengan ucapan Ryohei barusan.

“Begini nih, abis ketemu Nakajima malah mendadak ngalus.” Gerutu Tsuki. Ryohei tertawa. Mereka kembali memperhatikan Shota dan Airi di pantry bar tersebut. “Tumben sekali bos seperti dia mau datang kemari untuk menjemput sekretarisnya.” Kata Tsuki.

Ryohei terkekeh. “Shota khawatir sekali pada Minamoto dari tadi. Aku bahkan sampai harus mempercepat pertemuan kami hari ini.”

“Oh, biasanya sampai dini hari ya?” Cibir Tsuki. Ryohei berdecak pelan, mencubit pipi Tsuki gemas. “Dari tadi bibirnya mencibir mulu. Minta aku cium kah?”

“Ryohei-kun, apa, sih?” Iya. Tsuki salah tingkah lagi.


“Kato, bosmu galak tidak?” “Syukurlah tidak.”

“Benarkah?” “Coba saja bekerja disini.”

Kato sudah sering menghadapi orang mabuk di bar yang dia ampu ini. Namun, tidak pernah terbiasa menghadapi pelanggan tetapnya yang bernama Minamoto Airi ini. Airi termasuk pelanggan yang keras kepala. Airi sudah memesan gelas ketujuh tequila sunrisenya. Tentunya belum mengalahkan rekor minum dari Tsuki. Tsuki termasuk peminum handal. Kadar alkohol yang bisa dia minum juga tinggi.

“Ada tips merubah bos galak jadi baik hati dan tidak sombong gak?” Tanya Airi. Bahunya mulai berjengit sesekali dan napasnya terputus beberapa kali. Dia cegukan. Kato melirik sosok yang ada di belakang Airi. Dia mengulum bibirnya dan berdehem. “Kau cari tahu sendiri, Minamoto.” Airi berdecak. Dia menegakkan tubuhnya dan bergerak kesal seperti anak kecil.

“Kau tidak asyik.” Gerutunya. Keseimbangan Airi hilang bersamaan dengan gerakan konyolnya itu. Perempuan itu nyaris terjatuh ke belakang kalau saja tidak ada sepasang tangan yang menangkapnya dan punggungnya bersandar pada dada seseorang.

“Huwaah!” Airi menoleh ke belakang, menemukan sosok yang sedari tadi jadi objek keluhannya muncul di hadapannya. Airi segera bangkit dengan sempoyongan. Dia berdiri dari posisi duduknya, mengibaskan tangannya pada Kato, memberi gestur memanggil dan menunjuk dengan semangat pada Shota. “Kato! Kato! Lihat, bos galak yang sering kuceritakan datang!” Kato meringis. Dia merunduk dengan sopan. “Ya, aku sudah melihatnya dari tadi.” Balasnya.

Airi berbalik dan bersandar pada meja pantry, menatap Shota dengan sepasang matanya yang menyipit. “Wah, ada apa kemari, bos? Kau repot-repot menagih dokumen kesini.” Katanya. Shota menghembuskan napas, tanpa melepaskan pandangan dari Airi, dia berucap. “Ayo pulang. Kau mabuk berat, Airi.” Perempuan bermarga Minamoto itu merasakan perutnya geli saat sang atasan memanggilnya dengan nama kecilnya. Airi tertawa pelan untuk mengabaikan rasa berdebar yang tiba-tiba muncul.

“Haaahh? Apa ini? Seorang bos mengantar sekretarisnya yang mabuk pulang? Aku tidak salah dengar? Oh! Apakah aku sedang berada di drama korea? What’s Wrong with Secretary Minamoto!” Racau Airi dengan tidak jelas. Shota berdecak. Dia meraih tangan dan tas Airi, beserta blazernya. “Kau sudah gila. Sekarang ayo pulang. Kau harus membawakan keperluanku jam 7 besok.” Airi melepaskan tangan Shota darinya dan kembali bersandar dengan malas pada meja pantry, bertopang dagu dengan sebelah tangannya dan tangannya yang lain menunjuk-nunjuk wajah Shota dengan kesal.

“Kau seharusnya cari babysitter atau istri bukan sekretaris, Watanabe-shachouu!” omelnya. Shota menatapnya datar, merotasi bola matanya. Dia meraih tangan Airi lagi. “Kenapa tidak kau saja yang jadi istriku?”

Airi mengerjap. Dia tertawa kencang. “Aku jadi istrimu? Kau gila.”

“Ya. Aku tergila-gila padamu.” Tukas Shota dengan kesal. “Benarkah? Wah, kita sama ya! Ah, tapi aku tidak percaya padamu! Kau bukan tipe yang mudah kupercaya. ” Gerutu Airi, sedikit menunduk.

Dasar pembohong. Kalau kau tergila-gila padaku, kau tidak akan menyiksaku seperti ini. Airi menggerutu dalam hati.

Shota mengembungkan pipinya. Dia tersenyum kearah Airi. “Then, i will be your starlight, baby.” Airi mengerjap. Dengan kondisi mabuk seperti ini dia masih seperempat sadar dan merasakan jantungnya makin berpacu cepat dan wajahnya semakin merah. Dia mendekat kearah Shota, mengalungkan lengannya pada bahu lelaki bermarga Watanabe itu dan berbisik.

“Well, i should be your moonlight first, Shota.”

I guarantee i got ya ...

Shota tersenyum tipis. Memiringkan wajahnya kearah Airi, napas dan hidung keduanya bertemu.


TsukiAiri Friendship


Matsumoto Tsuki menatap lamat-lamat sosok perempuan berambut sepunggung yang distyle messy top knot bernama lengkap Minamoto Airi. Sementara sosok di sampingnya, Watanabe Shota, terlihat menyantap tempura udangnya sembari memperhatikan kesayangannya yang sedang memperhatikan Sakuma bercerita. Dasar bucin, Tsuki mencibir Shota dalam hati.

Sesekali perempuan bermarga Matsumoto itu menyipitkan mata seraya ingatannya terputar pada kejadian mengejutkan—baginya. Hari itu, Haruna tiba-tiba datang dengan menunjukkan ponselnya. Perempuan bermarga Shirokawa itu menunjukkan sebuah video dari YouTube. Tsuki melihat video tersebut dari Tobe Entertainment, agensi baru yang dibuat oleh Takki—Hideaki Takizawa.

Sosok yang sering jadi target utama yang dia goda. Dalam artian baik tentunya. Anggap saja Tsuki punya crush terhadap teman bapaknya itu. Tentunya rasa crush yang tidak sama seperti yang dia rasakan pada Nakajima Yuto.

Berita mengenai Takki yang membuka agensi sebenarnya sudah lama dia duga selepas pria itu memilih untuk hengkang dari agensi yang sudah membesarkan namanya, Johnnys Entertainment. Meski di salah satu space Twitter, Takki pernah bilang dia belum berniat membuka agensi baru saat ditanya oleh salah satu fans beruntung yang bisa berbincang dengannya. Yah, mungkin Takki sudah ada niat sekarang.

“Tsuki-eonnie! Lihat ini!” Haruna duduk di sebelahnya, memamerkan layar ponsel pada Tsuki. Tsuki mengernyit, jemarinya menekan tombol pausa dan video tersebut terputar. Sepertinya sebuah teaser. Yang tidak dia duga adalah kemunculan Airi di video tersebut, diperkenalkan sebagai salah satu talent dari Tobe Entertainment.

Perempuan itu terlihat cantik dengan rambutnya yang di style low ponytail dengan riasan yang simpel dan setelan gaun monochrome. *Airi juga mengucapkan satu kalimat berbentuk pertanyaan dengan menyisipkan nama agensi tersebut. To be with you, what should i do next? Tsuki mengerjap. Tidak menduga bahasa Inggris Airi akan sefasih ini. Selama Tsuki mengenal Airi, perempuan itu selalu enggan untuk diajak bicara bahasa Inggris.

“Tsuki, eonnie?” “Airi tidak cerita apa-apa soal ini...” Gumam Tsuki. Masih tidak percaya dengan berita yang disampaikan Haruna padanya.

Ya. sampai sekarang Airi belum bercerita apapun tentang kepindahannya tersebut. Tsuki ingin memotong perbincangan mereka tapi tidak menemukan waktu yang tepat.

“Shoppi, kau harus berhati-hati pada Tsuki,” Lamunan Tsuki buyar saat suara Koji muncul di indera pendengarannya. Perempuan itu segera melihat kearah Koji yang sedang tersenyum geli kearahnya. “sepertinya Tsuki mulai menyukai Airi.”

“Otakmu itu kau buang di panci hotpot ya?” Cibir Tsuki. Airi tertawa mendengarnya sementara Shota melotot seraya memeluk Airi dari samping. “Kalau begitu, kalian sudah memakan otakku.” “Kau menjijikan, Mukai.” Gerutu Tsuki.

Koji tertawa mendengarnya. Airi menoleh kearah Shota dan tersenyum sembari menepuk-nepuk tangan Shota yang melingkari tubuhnya. “Tenang, kau sudah mendapatkanku, Shoppi.” Kata Airi. Tsuki berdehem. “Airi, kau tidak ada niat untuk menceritakan tentang kepindahanmu ke Tobe?” Tsuki melipat tangannya.

Airi mengerjap beberapa kali dan tersenyum. “Oh iya, aku belum cerita.”

“Airi-chan, belum cerita apa?” Sakuma tiba-tiba nimbrung dengan semangat. “Takki buka agensi baru dan Minamoto pindah kesana.” Kata Hikaru.

“EEEEHHH?” Sakuma dan Raul berseru bersamaan. Sama-sama terkejut dengan fakta yang baru mereka ketahui. Airi berdehem. “Oke, aku akan cerita singkat saja.”

Airi menceritakan untuk masuk ke Tobe dia perlu mengajukan gugatan pemutusan kontrak dengan agensi lamanya. Beruntungnya pengadilan dengan mudah mengabulkan permintaannya karena agensi tersebut juga melakukan abuse padanya selama beberapa tahun ke belakang ini. Shota protes kenapa dia tidak pernah tahu tentang itu. “Kau tidak pernah bertanya.” Kata Airi. “Dan Minamoto-san terlihat baik-baik saja.” Sambar Mina.

Airi mengangguk. “Aku berterima kasih pada manajerku tentang itu.” balasnya. Airi belum ada niatan untuk pindah pada awalnya. Dia mengira, dia harus menyelesaikan kontraknya, mengingat hanya tersisa dua tahun untuk menunggu pembaruan kontrak. Tapi, manajernya lebih memilih untuk segera memindahkannya ke Tobe dengan alasan demi kebaikannya saat ini dan di masa mendatang. Ya, memang saat itu Airi sudah merasa bahwa ini tidaklah baik-baik saja. Salarynya selama dua tahun pun ditahan oleh agensi lamanya. Beruntunnya dalam gugatan itu dia berhasil memenangkannya dengan bantuan Takki.

Alasan Takki membantunya saat itu karena melihat potensi Airi dan juga, “Karena kau sudah menjaga Shoppi.” Tambah Takki saat itu. Airi jelas salah tingkah saat Takki menyebut nama Shota padanya. Awalnya Takki ingin membuat agensi itu berfokus pada agensi lelaki saja seperti Johnnys. Tapi, setelah dipikir, akan lebih berwarna kalau agensinya tidak terfokus pada satu gender saja.

“Berterima kasih padaku, Airi~” kata Shota. Airi mendelik. “Arigatou gozaimashita, Watanabe-kun.” Cibirnya.

Sementara itu, Tsuki terdiam beberapa saat. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku soal agensi lamamu yang sialan itu?”

Airi menggeleng. “Aku tidak mau merepotkan orang lain selama aku bisa mengatasinya sendiri.” Kata Airi. “Pada awalnya seperti itu.” Perempuan itu tertawa. Tsuki menarik napas dan menghembuskannya perlahan.

“Well, kalau begitu selamat untuk kepindahanmu, Airi.” Kata Tsuki. “Sebagai hadiah selamat, bagaimana kalau aku meminta tas Coach terbaru padamu?” Tsuki melotot, mendelik kearah Airi. “Minta pada pacarmu!”

Haruna berdehem sedikit keras, memancing perhatian seluruh orang yang ada disana untuk melihat kearahnya. “Karena Airi-san membahas soal Tobe, aku jadi mau memberitahu kalau aku akan mengurus beberapa lagu di album comeback Airi-san kali ini.”

“HAH?”

Airi menahan tawanya saat mendengar teriakan Tsuki. “Wah, Haruna dan aku jadi lebih sering bertemu Takki-san dibanding dirimu, Tsuki.” Goda Airi, mengundang ekspresi masam dari Tsuki.

ShoppiAiri, Fluff, Typo


“Airi, Suki dayo. Tsukiatte kudasai.

Sosok perempuan berambut panjang sepunggung yang diikat setengah itu menatap datar kearah sosok lelaki berwajah seperti Cinnamon Roll ini. Sosok perempuan yang tadi dipanggil Airi—Minamoto Airi itu melirik kearah badge yang terukir di blazer biru tua yang dikenakan sang lelaki. Watanabe Shota.

Airi menyunggingkan seulas senyum yang membuat Shota mengerjap karena terkejut, tiba-tiba diberi senyum semanis cotton candy itu. Memang dasar bucin. “Gomen ne, Watanabe-kun. Aku tidak mau.” Balas Airi.

Shota mengerjap lagi kali ini terkejut karena balasan dari Airi. “Kenapa?!” Suaranya tanpa sadar melengking membuat Airi refleks mengedikkan bahu. Perempuan berusia 17 tahun itu menarik napas. “Aku tidak mau. Itu saja.”

“Tidak ada alasan khusus?”

“Tidak.”

“Kalo begitu, aku akan buat Airi menyukaiku.”

Airi berdecak. Dia bersidekap dengan malas. Tatapannya yang semula ramah itu berubah. “Kau ini keras kepala sekali! Aku tidak mau ya tidak mau!” ujar Airi jengah. Shota menggeleng. “Karena Airi tidak memberi alasan jelas kenapa tidak mau, aku akan berusaha lagi supaya kau menyukaiku.”

Keras kepala sekali orang ini. Airi merotasi bola matanya. Dia mendekati Shota yang berdiri di depannya. “Dengar, aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan romantis dengan lelaki,” kata Airi. Shota mengerjap. Dia menangkup mulutnya dengan terkejut. “Kau... suka sesama jenis?” katanya sedikit berbisik.

Airi mengerjap. Dia berdecak dan melayangkan pukulan pada bahu Shota. Shota meringis sembari mengusap-usap bahunya yang jadi sasaran pukulan Airi barusan. “Mulutmu itu dijaga! Aku masih straight!” Gerutu Airi.

Shota mengerucutkan bibirnya. “Kalo begitu, kenapa kau tidak mau pacaran denganku? Aku tidak jelek-jelek banget.” Airi menatap lamat-lamat Shota. Kalau dipikirkan, Shota memang termasuk lelaki yang tampan. –Sial, Airi mau memukul dirinya sendiri— Lalu, Shota juga langganan peserta lomba kontes menyanyi bersama Kyomoto & Nishino dari kelas IPA. Beberapa teman sekelas Airi juga sering membicarakan Shota.

Airi berdecak. Hitung sudah berapa kali dia melakukannya. “Kalau kau menyukaiku, seharusnya kau menghargai keputusanku dong!” ujar Airi. Dia sudah bingung bagaimana mengatasi Shota yang keras kepala.

Shota terdiam beberapa saat. Dia menatap lama kearah Airi yang malah merasakan wajahnya memanas diperhatikan oleh lelaki itu. “Apa sih?” Gerutu Airi seraya mundur selangkah.

“Benar juga.” Katanya. Seharusnya Shota bisa menghargai apapun keputusan perempuan yang disukainya. Tapi, dia juga tidak mau menyerah untuk mendapatkan kesayangannya. Bagaimanapun selama belum ada undangan pernikahan yang disebar, Shota akan terus memperjuangkannya.

“Baiklah,” Shota menepuk tangannya. Dia mendekati Airi dan memegang kedua bahu perempuan itu. Airi melotot, memundurkan wajahnya. “aku akan membuatmu suka padaku!” tekadnya.

Airi terkekeh. “Kau akan butuh waktu yang sangat lama untuk itu, Watanabe-kun.” Cibir Airi. Airi sudah berencana tidak akan meladeni Shota selama sisa masa sekolahnya. Dia tidak mau menjalin hubungan serius untuk saat ini. Tidak saat dia punya masalah yang lebih besar pada dirinya sendiri.


Thank u, Next : I don’t Wanna give up

MinaRau, H/C, Typo, Cringe TXT – Ring, Emi Noda ft Takase Toya – Doushite, & Kisumai – Love Bias


Mina merenggangkan tubuhnya selepas turun dari bis yang membawanya pulang dari kantor Magazine House tempat dimana majalah AnAn tempat dia kerja saat ini bernaung. Hari itu suhu sekitar terasa sangat dingin, Mina sampai harus merapatkan mantel yang dikenakannya. Sayang sekali, Mina lupa untuk membawa syalnya. Sebenarnya tadi dia tidak dari kantor, hari itu Mina mengambil jatah setengah hari untuk mengurus beberapa keperluan kelulusannya bersama Mako. Ya. Mina berhasil lulus dengan baik dari Keio. Jadi, sekarang dia bisa fokus untuk mengembangkan karirnya.

Haruna yang masih ingat dengannya bahkan menanyai lokasi upacara kelulusan Mina. Wanita itu bilang, kalau sempat dia akan datang bersama Raul. Mina yang membaca nama Raul di pesan singkat itu hanya bisa tersenyum kecut saat itu. Tapi, dia tetap memberikan lokasi dimana upacara kelulusannya diadakan. Upacaranya juga diadakan 23 Maret besok.

Mina membetulkan letak kacamata yang dikenakannya dan juga shoulder bagnya. Mina terkejut begitu dia tidak sengaja menabrak seseorang. Perempuan itu menggumamkan permintaan maaf sembari mendongak perlahan. Sepasang matanya mengerjap mendapati Raul berada disana, menatapnya dengan sepasang mata yang sendu dan dipenuhi rindu.

Ah, sudah tiga bulan mereka tidak bertemu. Keduanya saling pandang satu sama lain, menikmati keheningan yang muncul diantara keduanya. Aku merindukan orang ini...

Mina menggeleng. Dia berdehem dan menyunggingkan senyum tipis. “Hai.” Sapanya canggung. “Hai.” Balas Raul.

“Sedang apa Murakami-kun disini?” tanya Mina berbasa-basi, meski dia ingin cepat-cepat pergi dari hadapan lelaki jangkung itu. “Menunggu kak Mina.” Katanya.

Mina merasakan sayatan kecil di hatinya pada luka yang sudah lama dia tutup. Mina mengeratkan genggamannya pada tali shoulder bagnya. Ekspresinya semula menghangat berubah sedingin salju waktu itu, membuat Raul sedikit tersentak melihatnya.

Mina berdecak seraya merotasi bola matanya. “Kita sudah putus, Murakami-kun, kenapa kamu masih menungguku? Untuk apa?” Suara Mina mengecil bersamaan dengan kedua matanya yang menyipit.

“Kata siapa? Aku gak mengiyakan permintaan Kak Mina! Jadi, kita belum resmi putus!” ujar Raul tidak mau kalah. Selama ini dia merasa hubungannya dengan Mina hanyalah break sejenak. Tidak pernah ada kata putus diantara mereka. Kecuali kalau Mina melakukannya sepihak. Bagi Raul, itu belum memutuskan hubungan diantara mereka.

Mina melepas kacamatanya dan memijat pangkal hidungnya. “Murakami, kutegaskan sekali lagi, sejak tiga bulan yang lalu tidak ada hubungan lagi diantara kita. Jadi, berhenti menggangguku.” Tukas Mina sebelum akhirnya melengos, meninggalkan Raul yang terpaku pada posisinya.

“Lalu, untuk apa kak Mina bilang sayang padaku waktu itu?! Perasaanku sekarang berubah sepihak begitu?” Suara Raul memecah langkahnya. Mina berhenti berjalan. Sesak yang menyakitkan itu kembali muncul, menyesakkan napasnya dan membuat matanya dipenuhi liquid bening. Rasa sakitnya lima puluh kali lebih menyesakkan dibanding saat dia harus putus dari Kyomoto.

Tidak, Rau. Sampai sekarang, sampai sekarang perasaanmu masih berbalas. Bahkan semakin besar hingga aku rela untuk melepaskanmu.

Mina menggigit bibir dalamnya. Genggamannya semakin mengerat. Sesaknya semakin menyiksa. Mina memejamkan matanya, menetralisirkan air mata yang jatuh dan sesak yang dirasakannya saat ini. Mina mengusap wajahnya sebelum berbalik menatap Raul kembali.

“Sudah berapa kali kubilang, Rau,” Mina menarik napas. Kumohon, aku tidak mau mengatakan ini... “sejak saat itu aku tidak lagi merasakan yang sama denganmu. Dari awal kita saja sudah tidak cocok. Dunia kita bahkan berbeda! Duniamu dibawah lampu sorot sedangkan aku harus menetap di balik layar.” Lanjut Mina.

Raul terdiam. Mulutnya hendak mengeluarkan suara sebelum akhirnya Mina mengeluarkan suaranya lagi. “Dari awal, Rau. Dari awal, dari sejak kamu membawaku ke pertemuan dengan Snow Man kita sudah tidak cocok! Mereka tidak pernah mendukung hubungan kita meskipun aku berusaha untuk bisa diterima! Apa yang kau harapkan kalau support systemmu tidak mendukung?”

“Aku tidak peduli! Support systemku bukan hanya Snow Man! Aku masih punya orang tua dan Haruna-san!” Seru Raul. Jengah karena Mina tidak memberinya waktu untuk membalas ucapannya.

Mina terkejut mendengarnya, tidak mengira bahwa Raul yang dia tahu sangat menyayangi Snow Man, mengucapkan kalimat itu. Perempuan bermarga Miyahara itu menghembuskan napas dan terkekeh. “Lihat, kau sendiri seperti mengatakan rela melepas Snow Man demi seorang wanita, Rau. Apa yang akan dikatakan abang-abangmu kalau sampai mereka mendengar ini? Aku tidak mau jadi penyebab rusaknya hubungan kalian!” Aku sudah jadi perusak hubungan Snow Man sejak awal.

Raul menggeleng kencang. Lelaki itu menggigit bibirnya, kakinya melangkah mendekati Mina tapi Mina mundur menjauh. “Kita perjelas saja ini agar cepat karena aku kedinginan,” Mina menarik napas, bersiap untuk melemparkan bom terakhir yang dia siapkan untuk menghancurkan Raul.

“aku tidak pernah menyayangimu. Yang kukatakan padamu selama hanyalah bualan. Sejak awal, aku hanya ingin bermain-main denganmu, ingin melihat apakah anak-anak Johnnys mudah kuperdayai? Dan ya, buktinya ada di depanku. Kau bodoh, Rau. Sama bodohnya dengan Kyomoto. Padahal Meguro sudah memperingatkanmu tentangku tapi kau selalu buta dengan cinta monyetmu padaku. Jadi, kita sudahi sampai disini. Aku muak bermain-main denganmu.”

Mina langsung berbalik, enggan melihat wajah tanpa kata Raul yang terlihat sekilas sangat tersakiti dengan setiap kata-kata yang diucapkannya. Mina mempercepat langkahnya untuk pulang ke apartemennya. Menahan mati-matian air matanya yang sudah siap tumpah ruah.

Sementara Raul masih berdiri disana, mencerna setiap kalimat yang diucapkan oleh Mina padanya. Kalimat yang tidak pernah dia kira akan keluar dari Mina. Sosok yang selama dua tahun ini dia sukai. Raul merasa bahwa Mina berbohong, dia tidak percaya pada setiap apa yang diucapkan oleh Mina barusan. Tapi, sebagian dari dirinya mengatakan bahwa itu faktanya. Fakta menyakitkan yang berusaha dia abaikan.

Tanpa sadar, tangan Raul bergerak dengan sendirinya, mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.

“Meme, ini salahmu,” Suara Raul tercekat. Dia berusaha menarik napasnya tapi terhenti di lehernya. “tapi, aku—haah—yang paling banyak berbuat—hhhh—salah disini...” Napas Raul berubah memendek. Sesak di dadanya semakin terasa nyata dan menyiksa pernapasannya.


Meguro tidak menyangka dia akan dapat telepon dari Raul dan adiknya di Snow Man itu saat sedang melepas rindu bersama Haruna. Saat itu mereka sedang sibuk Netflix & Chill begitu Meguro mendapat telepon Raul yang berisi suara Raul yang menyalahkan dirinya. Tapi, lelaki yang akan ganjil berusia 21 tahun itu melanjutkan dengan kalimat yang menyalahkan dirinya sendiri.

Yang membuat Meguro lebih cemas adalah suara Raul yang terputus-putus disertai napasnya yang pendek. Saat itu juga, Meguro beranjak untuk menyusul Raul.

“Ren-kun? Ada apa?” Haruna tidak bisa tidak penasaran dengan kekasihnya yang tiba-tiba beranjak dengan cepat dan membuatnya terkejut. Seraya memakai mantel dan syalnya Meguro menjawab sang kekasih, “Raul. Sepertinya terjadi sesuatu padanya.”

Haruna terkejut. Dia refleks ikut beranjak. “Tunggu! Aku ikut denganmu!” Dia curiga pasti ini ada kaitannya dengan Mina. Apalagi besok kelulusan anak itu... Apakah Raul menemui Mina lagi?


Raul berusaha mati-matian mengatur napasnya. Dia tidak bisa menarik napasnya sama sekali. Belum lagi isakannya yang semakin hebat. Bahkan Raul sampai harus jatuh terduduk bersandar pada dinding pertokoan disana. Untungnya suasana disana sedang sepi, kalau tidak dia akan benar-benar menarik perhatian orang-orang.

Raul merasakan berbagai macam emosi tercampur jadi satu. Marah, kecewa dan sedih seperti menguasainya saat ini dan Raul seperti tenggelam di dalamnya. Dia sudah berusaha keras kembali ke permukaan namun sekuat apapun dia seperti ditarik kembali untuk jatuh ke dalam emosi terdalamnya. Pandangan Raul mengabur seraya dengan isakannya yang memelan dan napasnya yang semakin pendek. Dalam pandangan yang mengabur itu dia bisa melihat seseorang mendekat kearahnya.

“Rau! Raul!” “Raul-kun, napasnya pelan-pelan. Tarik dari hidung.”

Pandangan Raul perlahan-lahan kembali jelas. Napasnya yang semula pendek-pendek kembali normal. Dia menoleh ke kanan dan kirinya, menemukan Meguro dan Haruna yang menatapnya cemas. Haruna di sebelahnya masih membimbingnya untuk mengatur napas sembari mengusap-usap punggungnya.

“Ha-Haruna-san...” “Napasnya pelan-pelan ya, Raul-kun. Jangan dipaksa bicara.” Kata Haruna dengan cemas. Raul meraih tangan Haruna yang menyentuh pundaknya.

“Ka-Kak Mina... Kak Mina bilang ...” Raul menarik napas lagi. “Kak Mina bilang... dia-dia Cuma bermain-main denganku...”

Haruna melirik kearah Meguro sekilas. Sementara Meguro menatap sejenak Haruna dan Raul bergantian sebelum akhirnya menunduk. “Kak Mina bilang dia lelah berjuang un-untuk diterima Snow Man... Dia bilang... Dia bilang dia gak pernah sayang padaku, Ha-Haruna-san...” Sepasang mata Raul kembali berkaca-kaca.

Haruna ikut merasakan rasa sakit yang dirasakan Raul. Dia langsung menarik perlahan Raul ke dalam pelukannya, mendekapnya erat dan mengusap punggungnya.

“Kak Mina berbohong, kan, Haruna-san... Kalau dia tidak pernah menyayangiku... untuk apa dia berusaha untuk diterima Snow Man? Ke-Kenapa dia tidak langsung menyerah saja? Ke-Kenapa dia bilang sayang padaku waktu itu... Haruna-san...” Raul kembali terisak, membalas pelukan Haruna.

Haruna tidak sanggup membalas. Wanita itu hanya berusaha menenangkannya dengan usapan-usapan pelan di punggungnya sementara matanya menatap tajam kearah Meguro.


Mina mematut dirinya di depan cermin toilet kampusnya. Dia mengecap-ecap bibirnya setelah memoleskan pewarna bibir disana. Rambutnya yang diikat dengan model twisted dan dihiasi jepitan kanzashi berwarna senada dengan hakama yang dikenakannya hari itu. Mina menatap sejenak pantulan dirinya. Bersyukur bahwa matanya tidak terlihat bengkak setelah menangis semalam.

Upacara kelulusannya hari itu berjalan dengan lancar. Dia berhasil lulus dengan nilai baik. Begitupula Mako, sahabatnya. Mina berjalan keluar dari toilet, bersiap untuk pulang dari sana. Kakinya yang dilapisi ankle boots berwarna hitam melangkah di pendestrian menuju halte bis. Halte itu tidak banyak dipenuhi oleh mahasiswa yang sudah lulus. Mungkin sebagian dari mereka memilih untuk makan-makan bersama orang terkasih. Tadi, dia sudah berfoto dengan dosen maupun Mako.

Perjalanan menuju halte bis ditemani oleh ranting sakura yang berayun-ayun perlahan dihembus angin. Langkahnya terhenti sejenak untuk menatap bunga itu. Tidak dirasa sudah berapa tahun dia berkuliah disini, meski tahun terakhir dia habiskan untuk mengerjakan tugas akhir di kantor. Tapi, setidaknya dia bersyukur ada kenangan yang terukir di tempat itu meski akhirnya tidak begitu baik.

“Mina-chan!” Perempuan bermarga Miyahara itu berbalik, menemukan sosok perempuan yang dia kenal sebagai Shirokawa Haruna sedang berlari kecil kearahnya dengan sebuket bunga baby breath dan lili di tangannya. Mina sedikit terkejut saat Haruna langsung memeluknya.

Happy graduation, Mina-chan!” Ujarnya sembari menggoyangkan tubuh keduanya. Dibelakangnya ada Meguro yang ternyata juga ikut datang bersama Haruna.

Haruna melepaskan pelukannya dan menyerahkan buket itu pada Mina. “Maaf aku mengajak Ren-kun kemari,” katanya. Mina menggeleng. Dia merunduk sopan pada Meguro yang dibalas hal yang sama oleh lelaki itu. “Raul tidak bisa diajak karena sedang sakit.”

Mina terkejut mendengarnya. Matanya mengerjap selama beberapa saat sebelum akhirnya berdehem. Haruna dan Meguro bertukar pandang. “Oh begitu...” balas Mina. Dia berdehem lagi dan bola matanya bergerak kesana kemari.

“Bagaimana kalau kita makan dulu? Sekalian mengobrol sebentar. Tidak apa-apa, ‘kan? Habis ini Mina-chan ada janji?” Haruna merentetkan pertanyaan itu pada Mina membuat Mina tertawa geli.

“Haruna-san tumben sekali banyak bicara hari ini. Habis ini aku tidak ada acara lain.” Balas Mina.

“Bagus. Ayo kita makan mochi!” Seru Haruna penuh semangat.


Mereka masuk ke sebuah resto yang khusus menjual mochi. Haruna sudah lebih dulu memesan Ichigo Stroberi sementara Mina memesan Sakura Mochi dan Meguro memesan Umeboshi Onigiri.

Haruna sibuk mengobrol dengan Haruna tanpa memperdulikan Meguro yang sedang asyik memandangi orang yang berlalu lalang di depan resto itu. “Kudengar Ren-kun sudah meminta maaf padamu, Mina-chan?” Tanya Haruna. Mina tersentak, dia melirik kearah Meguro yang melirik kearahnya.

“Ah, iya, kami bertemu di Asakusa waktu itu.” Benar. Mina dan Meguro sudah saling berbicara empat mata. Meguro meminta maaf padanya tentang perlakuan buruknya pada Mina dan juga sempat meminta Mina untuk kembali pada Raul. Bagaimanapun Raul sangat menyayangi Mina.

“Syukurlah. Jadi, kalian sudah baikan.” Kata Haruna dengan senyum bahagianya. Dia bersyukur satu masalah sudah selesai tanpa perlu dia turun tangan. “Miyahara.” Meguro memanggil namanya, Mina menoleh kearah Meguro.

“Semalam,” Tubuh Mina refleks menegang. Punggungnya mendadak kaku dan jantungnya berdetak kencang. “Raul drop di dekat apartemenmu. Dia bilang bahwa kau hanya bermain-main dengannya. Kau tidak pernah benar-benar sayang padanya.”

Mina mengulum bibirnya. “Aku...” Seorang pelayan mengintrupsi obrolan mereka dan meletakan pesanan di meja mereka. Ketiganya menggumamkan terima kasih.

“Aku tahu kau berbohong padanya tentang semua itu.” kata Meguro. Mina menunduk, menatap kedua tangannya yang bertaut.

“Untuk apa Mina-chan berbohong seperti itu?” Kali ini suara Haruna terdengar, suaranya lembut dan tanpa penghakiman. Mina menatap kearah Haruna yang sekarang menatapnya.

“Aku.. Aku memang masih menyayangi Rau. Perasaanku padanya sampai sekarang bukan kebohongan. Tapi, aku bukan orang yang kuat seperti Haruna-san. Aku tidak sanggup kalau harus menghadapi kakak-kakaknya di Snow Man yang tidak merestui kami sekuat apapun aku memantaskan diri...” balas Mina. Matanya terasa panas.

Image sebagai perempuan yang memiliki banyak mantan kekasih sudah seperti sesuatu negatif di mata mereka. Aku tidak mau hanya karena aku hubungan Rau dan Snow Man memburuk.” Katanya. Meguro berdecak. Lelaki itu melipat tangannya. “Kau malah membuatnya semakin memburuk, Miyahara.”

Mina membulatkan matanya. “Apa? Maksudnya?” Meguro menarik napas dan menghembuskannya. Dia bercerita bahwa selama beberapa bulan ini Raul menghindar untuk menghabiskan waktu bersama Snow Man. Lelaki itu memilih untuk menyibukkan diri dengan kelas akting dan modelingnya. Dia selalu menolak kalau diajak untuk makan bersama seperti biasanya.

“Apakah kalian tidak mau kembali bersama? Raul benar-benar bahagia saat bersamamu, Mina-chan.” Haruna meraih tangannya, menggenggamnya.

“Tapi, aku...”

“Anggap kami sudah mendukung hubunganmu dengan Raul, Miyahara. Meski itu memang hal yang harus kami lakukan padanya sejak dulu.” Kata Meguro. Mina terdiam beberapa saat. Tapi, dia merasa bahwa dia sudah menyakiti Raul, tidak ada tempat untuknya lagi di sisi lelaki itu.

“Aku sudah menyakitinya, Haruna-san...” “Minta maaf padanya, Mina-chan. Kalian berhak mendapat kesempatan kedua satu sama lain.”


Raul menghela napas, buket mawar yang dibawanya hari itu terayun pelan kebawah dengan gerakan kecewa. Suasana di sekitarnya sudah tidak begitu ramai, saat dia tanya pada petugas yang berjaga di auditorium mengatakan bahwa upacara kelulusan sudah selesai sejak dua jam yang lalu.

Mau tak mau Raul merasa kecewa karena dia tidak berhasil memberikan ucapan terakhir selamat kelulusan pada mantan kekasihnya itu. Lelaki jangkung itu menarik napas dan melangkah pergi dari sana, berjalan kearah tempat dimana dia dan Mina kali kedua bertemu. Dia berdiri di depan mesin penjual minuman, menatapnya sejenak seakan sedang memutar memori dengan vending machine itu sebagai tombol kembalinya. Seulas senyum terukir di wajahnya.

Raul merogoh saku mantelnya. Mengerjapkan mata saat menyadari ada yang aneh dari saku mantelnya. Padahal Raul ingat menyimpan dompetnya disana. Lelaki itu merogoh lebih dalam saku itu dan tetap tidak menemukan apa-apa. Raul mengapit buket mawar itu di ketiaknya, merogoh segala kantong di outfitnya saat itu.

“Kau menjatuhkan ini.”

Raul menoleh kearah tangan yang terulur padanya. Dompetnya! “Terima kasih!” Ujar Raul menerima dompetnya dari tangan seseorang itu. Kepala Raul mendongak sedikit dan bertemu dengan sepasang mata yang dia rindukan selama ini.

“Kak Mina...?”

“Hai, Rau.”

Keduanya saling bertukar pandang, menikmati waktu memandangi wajah satu sama lain. Raul menggeleng. “Kak Mina kok disini?” tanyanya. Mina mendekat kearah vending machine dan memasukkan selembar uang ke dalamnya, memencet sekaleng cola dingin dan sebotol hangat teh susu.

Dia berdiri di depan Raul dan mengulurkan tangannya yang memegang botol teh tersebut. “Aku mau menagih uang makan siang waktu itu.” katanya. Raul mengerjap. Dia mengerutkan dahi, berusaha mengingat dan tersentak saat kenangan manis itu menyelinap di benaknya.

Mina duduk di bangku yang ada di sebelah vending machine, menikmati cola dinginnya. Mina mengulum bibirnya, menoleh kearah Raul yang masih berdiri memandanginya. “Kau sedang melihat apa?”

“Kak Mina.” Balas Raul tanpa ragu, masih betah memandangi Mina dengan kedua matanya. Wajah Mina memanas, bibirnya tidak bisa menahan senyuman yang terukir di wajahnya. “Hmm, jadi untuk apa kau kemari? Seingatku kata Haruna-san, kau sedang sakit.”

“Hanya sakit yang minor, aku kemari untuk menemui kak Mina.” Kata Raul. Mina menggangguk. “Kau sudah bertemu denganku.” Balas Mina.

Raul mengangguk. Kakinya berjalan mendekat Mina, tangannya meletakan sebuket bunga itu di pangkuan Mina, sementara kedua tangannya menangkup wajah Mina dan Raul menunduk untuk bisa mendekatkan wajahnya kearah Mina. Dia mengecup lembut bibir Mina yang terdiam di posisinya.

Sotsugyou omedetou, kak Mina.” Bisiknya setelah menjauhkan diri dari Mina. Keduanya bersitatap. “Arigatou,” kata Mina. “tapi, kau hanya mau mengatakan itu?” lanjutnya berbisik. Raul menarik napas.

“Ada lagi. Tapi, ini sebuah permintaan yang terdengar mustahil,” jawab Raul. Lelaki itu menempelkan kening mereka. “Kalau bisa, aku mau menjadikan kak Mina orang yang berharga, sekali lagi. Aku mau menyayangi kak Mina dengan baik. Aku yang akan jadi orang pertama yang membuat Kak Mina merasa diterima dan merasa bahwa kita selalu di dunia yang sama, dimanapun...”

Mina mengangkat tangannya, mengabaikan jantungnya berdetak sangat cepat serta wajahnya yang terasa panas saat ini, tangan Mina mengusap pipi Raul. “Akan kujadikan permintaan itu jadi kenyataan.” Bisiknya. Raul melebarkan matanya mendengar ucapan Mina barusan. Tidak kalah dengan Mina, detakan jantung Raul semakin menggila. Raul bisa melihat Mina yang tersenyum padanya sebelum mencium bibir Raul sekali lagi.

Perempuan itu melingkarkan tangannya pada leher Raul. Dia memutuskan ciuman itu bukan hanya sekedar bibir yang saling menempel. Mina membuka bibirnya, membuat Raul dengan refleks mengapit bibir atas Mina. Suara kecupan demi kecupan memenuhi taman Keio yang sepi. Hembusan angin musim semi menerpa wajah keduanya.

Ciuman itu terhenti saat Raul tanpa sadar hendak memasukkan lidahnya ke dalam mulut Mina. Napas keduanya sedikit terengah dan Mina merasakan wajahnya semakin memanas. Raul menarik Mina berdiri, memeluk perempuan bermarga Miyahara itu ke dalam dekapannya. Memeluknya dengan erat. Takut jika dia lepaskan, Mina akan kembali menghilang.

“Maaf ya, Rau.” “Jangan pergi lagi dari sisiku. Aku takut harus belajar mencintai dari orang lain selain kak Mina...”

Mina mengangguk. Dia menenggelamkan wajahnya di dada Raul, mengeratkan pelukan mereka.


“Gimana perasaannya, kak Mina?” “Nyaman. Saat aku sama Raul, aku merasa nyaman. Seperti di rumah.” “Sama. Hehe. Aku juga!”


MinaRau, H/C, Romance, Typo, Cringe


Ini adalah pertama kalinya Mina dipertemukan secara official dengan member Snow Man oleh Raul. Langkah demi langkah yang tadinya penuh keyakinan kali ini terhenti. Sosok perempuan bermarga Miyahara itu menggigit bibir bagian dalamnya, mendadak merasakan sebuah kecemasan. Tangannya mendadak dingin dan pikiran-pikiran negatif menggerogotinya.

Bagaimana kalau nanti dia menerima tatapan tidak suka dari orang terdekat Raul di Johnnys itu? Bagaimana kalau dia tidak diterima di lingkungan mereka? Bagaimana kalau hari itu adalah hari terakhirnya bersama Raul? Bagaimana—

“Kak Mina?” Suara Raul menyadarkan lamunannya. Mina mendongak dan menemukan Raul yang berdiri di depannya sambil mengerjapkan mata. “Kak Mina, baik-baik saja, ‘kan? Apa hari ini kak Mina sedang tidak enak badan? Mau lain kali saja bertemu mereka?” Raul berujar dengan cemas. Mina terdiam sejenak.

Kalau tidak sekarang, Mina akan terus dihantui pikiran-pikiran buruknya. Dia menggeleng dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku hanya gugup.” Balas Mina. Rau tersenyum. Dia mengulurkan tangannya pada Mina. “Yaudah pegang tanganku supaya tidak gugup, ya, kak.” Katanya. Mina menerima tangan Raul dan mereka saling menggenggam tangan. Keduanya kembali melangkahkan kaki menuju ruangan yang biasa dibooking Snow Man untuk makan malam bersama. Restoran itu sudah seperti rumah ketiga untuk mereka, untuk perut mereka sebenarnya.

Raul menoleh kearah kesayangannya yang sekarang semakin mengeratkan genggaman tangan mereka begitu Raul hendak membuka pintu geser itu. “Kak Mina?” Panggilnya pelan. Mina mendongak, bertemu pandang dengan Raul yang menatapnya. “Beneran gak apa-apa?” tanyanya. Mina menggeleng. “Gak apa-apa. Aku bukan mau sidang, Rau.” Balasnya.

“Tapi, kak Mina tegang banget.” Ya. Mina ketakutan sebenarnya. Tapi, dia mencoba untuk menetralisir rasa berdebar dan takutnya. Raul membuka pintu itu dan Mina melihat ke dalam. Suasana yang tadinya ramai dipenuhi canda dan tawa langsung hening. Seluruh pandangan langsung tertuju pada Mina dan Raul.

Tidak lama, Mina bisa melihat sosok lelaki berambut pink seperti berbisik kearah lelaki berkacamata di sebelahnya sembari menatapnya dari atas sampai bawah. Beberapa pasang mata di sekitarnya juga menatapnya dengan penuh curiga. Mina langsung merasakan atmosfer di sekitarnya seperti mencekiknya. Sesak.

“Maaf aku terlambat. Kenalkan ini pacarku, kak Mina Miyahara.” Suara Raul membuyarkan lamunannya. Mina merunduk dengan sopan tanpa melepaskan genggaman tangannya dengan Raul, dia terlalu takut untuk melepaskannya. “Miyahara Mina to moushimasu.” Suaranya terdengar seperti kucing kejepit dan saat itu juga Mina mau mengubur dirinya. Telinganya hanya menangkap balasan dari beberapa orang saja. Wanita itu mendongak untuk mengecek keadaan menemukan beberapa diantara banyak orang itu hanya beberapa yang memperhatikannya. Sisanya sibuk dengan ponsel mereka. Tidak sopan sekali.

“Halo, Mina-chan! Aku Shirokawa Haruna. Salam kenal ya!” Mina mendongak kearah sumber suara dan menemukan sosok perempuan yang tersenyum ramah kearahnya. Perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai Haruna itu berjalan mendekatinya dan merangkulnya sembari melihat kearah Raul.

“Raul beberapa kali cerita loh tentang Mina-chan. Tapi, baru kali ini kita ketemu.” Katanya. Mina merasakan otot-ototnya lebih rileks. Dia bisa lupa beberapa saat tentang suasana awal saat dia dan Raul masuk ke ruangan itu pertama kali. “Raul, Mina-chan duduk di sebelahku yaa?” Haruna meminta izin pada sang lelaki untuk membawa kesayangannya.

Raul tersenyum dan mengangguk. Tautan tangan mereka terlepas, untuk beberapa saat Mina merasakan kehilangan. Merasa ditinggal sendiri. Namun, sebelum Mina berjalan menuju kursi yang kosong di tempat yang Haruna duduki tadi, Raul mengulurkan tangan untuk mengusap kepalanya. Seperti memberikan penguatan padanya. Mau tidak mau, Mina tersenyum seraya merasakan wajahnya yang memanas.

Mina duduk di sebelah seorang lelaki yang sebenarnya dia kenal sebagai Mukai Koji. Sosok member blasteran Thailand – Jepang itu tersenyum lebar padanya, menanyakan kabar dan bagaimana mereka bisa saling mengenal. Baik Haruna dan Koji seperti mencairkan suasana sementara Mina berusaha mengabaikan tatapan tajam dari beberapa orang di tempat itu. Mina juga berkenalan dengan sosok perempuan bernama Minamoto Airi dan Matsumoto Tsuki. Untuk Koji dan Airi sebenarnya ini bukan pertama kalinya mereka bertemu. Koji dan Airi pernah diwawancarai Mina untuk slot di Anan.

Mina bersyukur hari itu dia tidak benar-benar merasa sendirian menghadapi tatapan tajam disana.


Mina keluar dari toilet dan berpapasan dengan seorang lelaki berkemeja hitam yang dia kenal sebagai Meguro Ren, kekasih dari Haruna. Mina merunduk sedikit dalam kearah Meguro. Sementara Meguro melengos tanpa membalas sapaan non verbal yang diberikan Mina. Mina menatap punggung Meguro sejenak sebelum mengusap dadanya dan menggumamkan sabar berulang kali.

“Kau.”

Mina meneggakkan punggungnya, melihat Meguro yang sedang menatapnya. Lelaki itu mendekat kearahnya membuat Mina refleks mundur satu langkah. “Kenapa kau berpacaran dengan Raul?” Mina mengerjap tiba-tiba ditanya seperti itu. Nada yang digunakan Meguro pun tidak terdengar ramah sama sekali.

“Aku—“

“Aku tahu kau mantannya Kyomo. Apa kau mengincar anak Johnnys?” Meguro menatapnya dengan kedua mata yang menyipit, menatapnya penuh curiga. Sementara Mina mengerjap, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari orang yang paling dekat dengan Raul ini.

“Aku memang mantan kekasihnya Kyomoto-kun.” Mina membetulkan informasi yang diberikan Meguro barusan. “Tapi—“

“Apakah kau mengincarnya hanya untuk memeras uangnya?” Mina semakin menatap tidak percaya kearah lelaki di depannya ini. Dia memang merasa takut tadi karena seluruh mata menatapnya penuh curiga dan sinis. Tapi, kali ini dia hanya perlu menghadapi satu tatapan yang menyebalkan itu.

“Meguro-san,” Mina menarik napas, mengatur suaranya untuk tidak pecah. Jujur, semua dugaan yang Meguro katakan padanya benar-benar menyakiti harga dirinya. “Aku bukan seorang gold digger. Kalaupun aku ingin memerasnya, aku tidak akan mengincar Raul yang masih merintis karir. Aku akan mengincar ayahnya Matsumoto-san!” Mina membulatkan matanya dengan dramatis, tersenyum miring.

Meguro mengerjap. Tidak menduga akan mendapat balasan seperti itu dari perempuan yang awalnya terlihat lemah dan pemalu berubah menjadi seorang yang penuh ambisi dan mata yang menatapnya dengan sangat tajam. “Jadi, kuharap Meguro-san berhenti menduga-duga negatif atas dasar masa lalu seseorang.” Tukas Mina.

Wanita itu berjalan melewati Meguro. Kakinya melangkah dengan cepat, sementara kepalanya menunduk untuk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Sebelah tangannya memegangi dadanya yang sesak. Dia marah. Harga dirinya benar-benar diinjak.

Mina keluar dari restoran itu tanpa mengenakan mantelnya. Dia berjalan sedikit menjauh dari restoran itu dan duduk di bangku kosong di pendestrian itu. Mina mendongak untuk melihat kearah langit. Wanita itu menggigit bibir dalamnya. Ini bukan pertama kalinya tapi dia selalu tidak terbiasa. Semuanya terasa seperti pertama kali.

Kesimpulan yang bisa diambil dari pertemuannya dengan member Snow Man adalah bahwa hubungannya dengan Raul tidak direstui mereka.

Aku harus bagaimana? Aku terlanjur sayang pada anak itu...

“Kak Mina!” Perempuan bermarga Miyahara itu tersentak mendengar Raul memanggil namanya. Lelaki itu berlari kearahnya dengan mantel di lengannya beserta barang-barang mereka. “Aku tadi lihat kak Mina keluar, ada apa?” Suaranya terdengar cemas menyapa Mina.

Mina menatap lamat-lamat lelaki jangkung di depannya ini. Dia tersenyum. Kali ini, Mina tidak mau menyerah hanya karena tidak mendapat persetujuan dari orang terdekat Raul. Dia tidak mau beradaptasi lagi dengan orang lain. Dia nyaman berada di dekat Raul dan Mina berharap yang sama dirasakan oleh lelaki ini.

“Kak?” Raul memanggilnya lagi. Mina berdiri, berhadapan langsung dengan Raul. Perlahan-lahan tangannya terulur untuk melingkar di pinggang Raul. Mina menarik Raul dalam sebuah pelukan. Perempuan itu menggelamkan wajahnya di dada Raul.

“Kak Mina...?” Raul mengerjap dengan wajah memanas. Dia membalas pelukan Mina. Sedikit bingung dengan tingkah Mina yang tiba-tiba clingy padanya. “Aku sayang Raul.” Bisiknya, mengeratkan pelukannya. Raul tersenyum, menahan agar senyumannya tidak melebar. Tangannya yang lain melebarkan mantel yang tadi dipakai Mina, menyelimuti Mina dengan mantel itu.

Persetan dengan Snow Man. Selama Mina tidak menyakiti dan sayang pada Raul, dia akan terus memaksa berada di sebelah lelaki ini.

Tidak ada yang salah dengan mencintai seseorang, kan? Harusnya. Sekalipun padanya yang berulang kali merasakan jatuh cinta.


Minamoto Airi x Watanabe Shota Angst, Typo, Cringe


“Tadaima...” Sapa Shota pelan begitu dia membuka pintu unit apartemennya bersama Airi, dengan kunci yang selalu dibawanya. Aneh. Suasana apartemen mereka cukup sepi dan seperti tidak ada kegiatan sedikitpun di dalam sana, meski lampunya masih menyala dengan terang. Kaki Shota melangkah dengan perlahan masuk ke dalam, dia nyaris terlonjak saat menemukan Airi yang sedan duduk sembari melipat kakinya kesamping di atas sofa. Tatapan wanita itu mengarah kearah televisi yang tidak sedang menyala.

Shota memiringkan kepalanya. Dia mendekat kearah sang istri yang sedang mengusap perutnya yang semakin membuncit itu. Pria bermarga Watanabe itu berdiri di belakang Airi dan menepuk pundak Airi pelan sembari menyapa. “Tadaima, Airi...” Sapanya.

Airi tidak terkejut, pandangan matanya yang awal kosong dan hampa kembali berubah ke semula, hanya saja lebih dingin dari biasanya. kepalanya menoleh kesamping kanannya dan menemukan Shota yang menyunggingkan senyum lembut kearahnya.

“Ah, okaeri...” balas Airi pelan. Tapi, wanita itu tidak menyambut Shota dengan pelukannya, wanita itu langsung beranjak menuju dapur tanpa berkata apapun. Shota mengikutinya sembari melepas jaketnya, keningnya mengkerut dalam dan kebingungan. Ada apa dengan Airi? Tidak biasanya sekali dia hari ini.

Shota mengalihkan pandangannya kearah meja pantry yang terdapat lumayan banyak makanan. “Ini kamu yang masak semuanya?” Tanya Shota takjub. Airi menyunggingkan senyum tipisnya. “Sayang sekali, bukan.” Sahutnya singkat, sembari membawa beberapa piring berisi makanan itu untuk dihangatkan kembali.

Shota mengernyit. “Dari siapa?” tanyanya bingung. Hening. Cukup lama Shota tidak mendengar jawaban dari Airi, membuatnya sedikit cemas. Di dekatinya sang istri yang ternyata sedang menunduk dengan kedua mata yang berkaca-kaca, nyaris menangis membuat Shota panik karena terkejut.

Didekatinya Airi untuk dia tenangkan, tapi yang didapati Shota adalah lemparan piring kearah pria itu selama beberapa kali. Untungnya, Shota bisa menghindari setiap lemparan piring istrinya. Entah sudah berapa piring yang Airi pecahkan hari itu agar bisa mengenai Shota. Napas wanita itu memburu, wajahnya memerah dan matanya berkilat tajam dengan berkaca-kaca, menatap Shota kecewa. Airi menghembuskan napasnya, dia bersandar ke pinggir pantry sembari memegangi perutnya, untuk beberapa saat terdiam, tak ingin menatap Shota sedikitpun.

Shota menatap Airi yang tiba-tiba mengamuk padanya ini. Apakah dia telah melakukan sebuah kesalahan? Tapi, apa...? “Aya datang tadi. Dia yang bawa makanan ini.” Ujar Airi pelan namun bisa Shota dengar dengan jelas.

Shota terdiam. Kenapa tiba-tiba Airi bawa-bawa nama Aya? Ada apa? Matanya melebar. Apakah jangan-jangan Airi tahu soal rahasia itu? Rahasia dimana... Shota dan Aya... Airi menyunggingkan senyum sinisnya. “Kenapa? Kau sadar sesuatu?” cibir Airi.

Shota menggeleng. Dia menarik napas dan mendekat kearah Airi. Hendak memeluk wanita itu, tapi Airi malah sudah menarik Shota, menciumnya dengan brutal dan sempat menggigit bibir Shota, hingga mungkin bisa Shota rasakan bahwa bibirnya luka, Airi menjilatnya dan menghisap bibir suaminya itu.

Shota mengambil banyak-banyak oksigen yang sempat di rampas Airi selama beberapa saat tadi. Di lihatnya kedua mata wanitanya menyorotkan kesan dingin dan tajam yang membuat Shota tidak bisa berkata-kata. Airi berbisik pelan. “Akan ku ambil lagi apa yang sudah di ambil Aya darimu. Sekarang juga...”

Shota terkejut saat Airi menariknya, membawa mereka untuk masuk ke dalam kamar keduanya. Shota paham sekarang. Apa yang sudah dirahasiakannya selama beberapa bulan ini, berhasil terkuak. Tapi, lebih dari itu, untuk pertama kalinya Shota melihat sosok Airi yang sangat egois dan seperti menyatakan bahwa Shota hanya miliknya.


Airi menarik tinggi-tinggi selimutnya hingga menutupi tubuh polosnya sampai ke leher. Di punggunginya Shota yang berbaring di sebelahnya. Masing-masing kedua mata mereka belum bisa terpejam meski jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Meski tubuh keduanya sudah cukup lelah setelah salah satu di antara mereka, sebut saja Airi, memaksa Shota terus bercinta dengannya hingga beberapa babak. Mungkin, tidak akan berhenti kalau Shota tidak mengingatkan Airi tentang buah hati mereka yang sedang tumbuh di dalam perut Airi.

Pria itu melirik ke sebelahnya dan menemukan punggung polos Airi menyapa pandangannya. Shota mendekat kearah Airi, menyentuh pundak wanita itu. Untung saja, Airi tidak menepis tangannya ataupun membuat gerakan penolakan. Shota menyelinapkan tangannya di dalam selimut, mengusap perut polos Airi yang mulai membuncit. Shota memejamkan matanya begitu dia mendengar isakkan pelan Airi. Isakkan tertahan yang di coba wanita itu untuk ditahannya agar tidak terdengar.

Shota menenggelamkan wajahnya dibalik rambut Airi, menghirup dalam-dalam aroma khas dari wanitanya ini. “Kenapa, Shota... Kenapa kamu melakukan itu dengannya?” Lirih Airi pelan.

Shota terdiam, dia terus mengusap perut Airi, dimana ada buah hati mereka disana. “Kalau aku bilang itu khilaf, kamu gak akan terima, Airi...” Balas Shota.

Di tariknya napasnya dan di hembuskannya perlahan-lahan. “Jadi, aku akan bilang kalau itu memang kemauanku. Menahan gairah selama empat bulan itu tidak mudah meski kamu sudah melakukan sesuatu di bawah pancuran air,” Shota mulai menjelaskan. “itu salahku. Aku yang menginginkannya. Aya tidak salah...” lanjutnya.

Airi mendengkus. “Intinya kegiatan itu atas dasar sama-sama mau.” Tukasnya dingin.

Shota mengulum bibirnya dan tersenyum sendu. “Lalu, kamu mau apa?” tanyanya. Airi terkejut. Dia langsung membalikkan badannya kearah Shota dengan susah pAirih. Di lihatnya wajah suaminya itu. “Kenapa kau jadi terkesan memojokanku? Memberikan keputusan akhir seakan-akan aku salah dalam merespon hal ini?” protes Airi kesal.

Shota tersenyum. Diulurkannya tangannya untuk menyingkirkan helaian rambut Airi yang menutupi wajah wanita itu. “Kalau kamu minta pisah, aku gak mau.” Ucap Shota.

Airi mengerjap. Dia tidak pernah berpikir kalau Shota akan membahas soal perpisahan meski akhirannya adalah pria itu tidak mau berpisah dengannya.

Ditatapnya kedua mata Airi dengan lembut. “Pernikahan itu sekali seumur hidup. Yang hanya boleh memisahkannya adalah maut. Manusia tidak di perkenankan memutuskan ikatan sehidup semati itu. Jadi, apapun keinginanmu, aku gak mau pisah darimu.” Ucap Shota. Pria itu menghembuskan napasnya. “Tapi, aku juga minta maaf karena sudah melakukan hal itu di belakangmu. Maafkan aku.” Kepala Shota menunduk dalam-dalam.

Airi terdiam menatap pria di depannya ini. Untuk beberapa saat terdiam, tak lama, Airi memukul dada polos Shota. Di tenggelamkannya wajahnya di balik dada pria itu. “Kau selalu membuatku berpikir untuk berhenti mencintaimu, Shota...” Tapi, tidak pernah bisa.

Shota tersenyum lembut dan mengusap kepala Airi pelan. Dikecupnya puncak kepala Airi. “Maafkan aku ya...”

Airi sangat marah sebenarnya. Dia murka dan benci sekali pada Shota dan Aya saat tahu kenyataan itu. Tapi, dia selalu akan teringat dengan buah hati mereka. Buah hatinya dengan Shota yang mereka tunggu-tunggu kehadiranya, kehidupannya di dunia ini. Terlebih, Airi berhasil memantapkan hatinya hanya untuk mencintai Shota. Meski begitu, dia kecewa, hatinya sakit saat sadar bahwa perasaanya dikoyak setengah oleh pria yang memeluknya ini.

Aku membencimu, Shota.... Sangat membencimu hingga rasanya tidak sanggup untuk menghentikan sandiwara ini hanya demi anak ini...


ShoppiAiri, Fluff, Typo, Cringe


Seingat Airi—Minamoto Airi, sesampainya dia di apartemennya dan membuka sepatu yang dipakainya hari itu untuk bekerja seharian, dia tertidur di dekat genkan. Seharusnya saat ini dia masih berada di sana. Namun, yang dia rasakan saat ini adalah kehangatan dari kain selimut dan rasa nyaman pada seluruh tubuhnya, seakan-akan dia tidur di atas kasurnya.

Memang sudah tiga hari itu Airi merasakan fisiknya sedang tidak sehat. Mulai dari bersin-bersin, hingga tenggorokan gatal. Awalnya Airi mengira bahwa dia hanya alergi serbuk bunga mengingat sudah mulai masuk musim semi. Tapi, seingatnya, dia tidak pernah alergi. Dia hanya alergi pada paprika dan terong. Kondisinya yang demam menguatkan dugaan kalo Airi tidak alergi pada serbuk bunga.

Airi mengerang. Kepalanya terasa seperti dihantam ribuan bola. Pening, menyakitkan dan membuat Airi ingin tidur sepanjang hari. Hidungnya juga sangat tersumbat dan Airi kesulitan bernapas, dia sampai harus merubah posisinya berulang kali untuk mencari posisi yang melegakan napasnya. Dengan mata yang masih terpejam, Airi merasakan seseorang mengangkat kepalanya sedikit dan meletakan sesuatu di bawah bantalnya. Tubuh Airi langsung menggigil. Dia refleks meraba-raba sekitarnya untuk mencari selimut tebalnya.

“Selimut... Mana selimutnya...” Suara Airi serak. Tidak lama perempuan bermarga Minamoto itu terbatuk lama dengan cukup keras hingga membuat dadanya ketarik. Tidak lama dia merasakan seseorang mengusap-usap dada atasnya dengan lembut. Airi mencoba membuka matanya meski terasa sangat berat. Dia menemukan siluet sosok lelaki yang dia kenal sedang menatapnya cemas, Airi kenal dia sebagai kekasihnya, Watanabe Shota. Shota mengambil termometer yang terkatup di antara ketiak Airi. Raut wajah lelaki itu semakin cemas dan Airi merasakan tangan Shota menempel di pipinya. Sejuk. Airi menempelkan lebih dekat wajahnya kearah tangan Shota. “Dingin...” Baru Airi mengeluarkan suara, dia kembali batuk hingga membuatnya ingin pingsan saat itu juga.

“Ssh, jangan bicara. Nanti batukmu makin parah.” Itu benar-benar suara Shota. Airi ingin bersuara lagi, tapi dia sudah tidak ada tenaga lagi. Airi kembali tidak sadarkan diri.

Lalu, pagi itu, matahari bersinar terik menyusup dari balik tirai yang terbuka sebagian. Airi mengerjapkan matanya. Merasakan tubuhnya lebih ringan dari sebelumnya, tapi dia masih merasakan benda lembut dan basah di leher dan keningnya. Airi menyentuh area tersebut dan menemukan ice pack di lehernya dan fever patch di keningnya. Matanya mengerjap sekali lagi, membiasakan diri dengan berkas cahaya yang menyusup masuk.

Kalau tidak salah dia melihat Shota. Apakah itu hanya mimpi?

Airi mencoba bangkit dari posisinya. Kaki-kakinya yang telanjang menyentuh lantai apartemen yang dingin membuat Airi harus memeluk dirinya sendiri. Rupanya dia masih sedikit demam. Dengan langkah terhuyung, Airi melangkah keluar. Pintu itu dia buka dan Airi melihat sekeliling, dia mendengar suara dari arah dapur dan mencoba mendekati sumber suara.

Tubuhnya mematung menemukan sosok lelaki bernama Watanabe Shota itu sedang sibuk memasak sesuatu di dapurnya, mengenakan apron berwarna biru dongker yang biasa dia pakai. Shota menoleh kearahnya, pandangan mereka bertemu dan Airi tersentak. Dia mengerjap sedikit.

Lelaki itu langsung meletakan sendok sayurnya di atas piring dan menghampiri Airi dengan langkah cepat. “Kenapa kau disini?” Katanya begitu berada di dekat Airi. Tangannya menyentuh pipi Airi dan menyunggingkan seulas senyum lega. “Aku yang tanya begitu padamu,” Airi memegangi dadanya begitu dia terbatuk-batuk, merasakan tenggorokannya sangat gatal. Sial. “biasanya manajermu melarang untuk ketemu denganku yang sedang sakit.” Lanjut Airi dengan susah payah.

Shota berdecak. Tangannya sekarang merangkul Airi dan mengusap-usap punggungnya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. “Aku melarikan diri darinya.” Balas Shota. Lelaki itu menarik Airi untuk duduk di atas sofa. Shota mengambil selimut yang tergantung di armrest sofa yang mereka duduki, menyelimuti Airi dengan kain berbahan lembut nan hangat itu.

“Tumben sekali.” Cibir Airi. Ya. Alasan kenapa Airi berujar seperti itu adalah manajer Shota selalu membuat dirinya jauh setiap dia sakit dari Shota karena takut idol yang dia ampu ikut sakit dan tidak bisa bekerja. Memang dasar otak mesin uang. Airi ingin protes saat pertama kali mendengar ucapan itu tapi dia terlalu malu untuk membantah ucapan sang manajer di depan Shota.

“Gapapa, dong? Aku kan pacarmu,” balas Shota. “lagipula aku tidak mau mendengar kondisimu dari Datesama lagi.” lanjut Shota dengan suara pelan. Airi mengerutkan keningnya. Dia menoleh kearah Shota yang duduk di sebelahnya, lelaki itu sekarang memalingkan wajahnya kearah lain dengan bibir yang sedikit mengerucut. “Dia kan sahabatmu. Tidak apa apa, dong.” Kata Airi.

Shota menggeleng. Tangannya memeluk Airi dari samping. “Karena dia suka padamu, jadi, tidak boleh. Bagaimana kalau terjadi sesuatu diantara kalian saat aku tidak ada?” Gerutu Shota. Airi tertawa pelan. Dia mengernyit sendiri mendengar suara tawanya yang sangat berbeda akibat suaranya yang serak.

“Jadi, kau cemburu?” Airi bertanya disetai batuk membuat Shota berdecak. “Airi, berhenti bicara.” Airi menghela napas setelah batuk beberapa saat. Dia bersandar kearah kekasihnya. “Aku dan Ryota tidak ada hubungan spesial lagi setelah mengakhiri hubungan FWB kami. Kau tidak perlu khawatir, Shota.” katanya pelan.

Shota terdiam. Memang selama ini Airi selalu bertingkah akan pergi pada Date, tapi tidak pernah benar-benar dia lakukan. Semua itu sebatas sebuah godaan saja. Shota tahu habit Airi seperti itu tapi tidak pernah terbiasa apalagi kalau menyangkut sahabatnya di Snow Man itu. Terlebih otaknya selalu memutar bagaimana dengan seriusnya Date berucap padanya waktu itu.

“Aku menyukai Airi. Perasaan yang sama yang kau rasakan padanya, Shoppi. Jadi, kalau kau macam-macam dengannya, aku tidak segan untuk merebutnya darimu.”

Shota takut dia akan kehilangan Airi. Ucapan Date seperti suatu keseriusan yang membuatnya takut. “Kenapa kau melamun? Aku tidak menularkan sakitku padamu, ‘kan?” Suara Airi menyadarkannya. Dia melihat kearah Airi dan tersenyum. Kepalanya menggeleng. “Tentu saja tidak. Airi mau makan?” Shota membalas pertanyaan Airi dengan pertanyaan. Airi termenung beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng.

“Nanti saja. Aku mau memelukmu dulu.” Lirih Airi. Tangannya menyelinap di pinggang Shota dan memeluk lelaki bermarga Watanabe itu. Shota menahan senyum riangnya. Dia membalas pelukan Airi. Memang Airi sudah seminggu tidak bertemu Shota karena lelaki itu sangat sibuk terlepas dari larangan manajernya untuk bertemu dengannya saat sedang sakit. Airi jadi sedikit... merindukannya.

Lagipula jarang-jarang dia manja seperti ini pada Shota. “Kamu kalau sakit, manjanya lucu ya. Aku suka. Tapi, aku tidak suka bagian sakitnya.” Kata Shota. Airi terkekeh. Dia mengeratkan pelukannya.

“Aku juga tidak suka sakit, Shota. Aku jadi tidak bisa bertemu denganmu.”

Bertemu dengan Shota saat dia sakit seperti sebuah mimpi saat demam. Terlalu nyata untuk jadi sebuah mimpi. Tapi juga seperti halusinasi untuk jadi sebuah kenyataan.

Typo, Fluff/Hurt, Cringe


Kamu menggerakan ayunan yang kamu duduki itu dengan perlahan, sementara kedua matamu terpejam menikmati hembusan angin musim panas yang bercampur dengan aroma laut yang begitu menyegarkan. Dibanding tempat lain di Jepang, suhu Okinawa terasa seperti Indonesia. Kamu lebih terbiasa dan alergimu terhadap udara dingin juga tidak sering kambuh.

Meski tidak bisa dipungkiri, panasnya lebih membakar di banding Bekasi atau Jakarta. Yang membedakannya hanya pada tingkat polusi. Mungkin.

Gerakanmu terhenti. Tanganmu meraih ponsel yang tersimpan di saku cardigan yang kamu kenakan. Mengulum sebuah senyuman kecewa karena yang diharapkan tidak terjadi, kamu mengembalikan ponsel itu pada tempatnya.

Sebenarnya, alasan hari itu kamu datang ke tempat ini karena kamu ada janji bertemu dengan kekasihmu. Kebetulan, dia juga sedang ada rekaman untuk konten YouTube Naniwa Danshi. Ya. Kamu berpacaran dengan salah satu membernya, yang juga menjadi oshimu sejak pertama kali mengenal grup tersebut. Hubungan kalian publik? Tentu saja tidak. Itu akan sangat membahayakan kalian berdua. Mungkin suatu saat nanti? Kamu tidak mau berharap lebih pada sesuatu yang terdengar mustahil seperti itu. Meski sekarang hubungan kalian yang dulu kamu kira mustahil malah terjadi.

Memang lebih baik tidak pernah berharap.

Bicara soal janji, ya, janji itu harus teringkar karena sosok yang akan bertemu denganmu hari itu ada jadwal lain yang datang mendadak. Kamu berusaha untuk tidak mempermasalahkannya, toh, memang sudah resiko berpacaran dengan seorang Idol. 

Yang membuatmu kesal adalah, kamu masih berharap dia datang kemari padahal saat ini matahari sudah kembali mendahuluimu ke peraduannya. Sementara kamu masih menikmati sensasi semasa kecil di atas ayunan. 

Hubungan kamu dan pata–Nishihata Daigo, pata adalah panggilan sayangmu padanya–memang bukan hubungan biasa. Kalian berulang kali saling mempertanyakan ketahanan hubungan ini sampai pada sebuah konklusi bahwa mereka hanya perlu menikmati waktu bersama.

Waktu bersama darimana… Kamu jelas mencibir dalam hati pada saat itu. Tapi, kamu sendiri tidak bisa menyalahkan sesuatu. Memang sudah harusnya terjadi seperti ini. Backstreet, pergi kencan saat weekdays atau begitu malam menjelang atau bahkan berkencan dengan seseorang yang berpakaian seperti sedang menjadi buronan Interpol. Hubungan kalian memang tidak biasa.

Kamu juga berulang kali berpikir apakah sebaiknya hubungan ini diakhiri? Kamu mengeluarkan ponselmu lagi, menatap benda persegi yang ada digenggamanmu saat ini. Tidak ada satupun pesan dari Daigo. 

Kepalamu menggeleng. “Tidak. Aku tidak mau mengakhirinya.” Sekalipun ini adalah mimpi.  Selama tidak ada hal besar yang mempermasalahkan hubungan kalian, seharusnya semuanya baik-baik saja.

“HATO!!” Kamu terlonjak mendengar teriakan yang begitu familiar. Kamu refleks bangkit dan menoleh ke arah sumber suara. Matamu membulat terkejut melihat sosok lelaki yang sedari tadi memenuhi kepalamu, berlari kearahmu, langkahnya melambat dan berubah menjadi sebuah langkah yang cepat.

Daigo meraih sebelah tanganmu, sementara tangannya yang lain menyentuh pinggangmu, menarik tubuhmu mendekat kearahnya sebelum akhirnya mencium bibirmu lembut. Kamu tidak bisa bohong bahwa jantungmu saat ini berdetak begitu cepat, sementara wajahmu memanas. Perutmu bahkan terasa geli. Kamu melihat Daigo yang memejamkan matanya, mengikuti hal yang sama. 

Lelaki bermarga Nishihata itu melepaskan ciuman kalian. Dia hanya menjauhi wajah kalian sedikit sebelum menyunggingkan sebuah senyum. Tangan yang tadinya menggenggam sebelah tanganmu kini terangkat dan mengusap wajahmu lembut. “Maaf, aku tiba-tiba menciummu tanpa izin.” katanya, berbisik. 

Ya. Kamu dan Daigo selalu ciuman atas consent. Kamu tidak suka ciuman yang tiba-tiba apalagi kalau pelakunya Daigo. Kamu akan kehilangan kontrol dan wajahmu akan sangat merah, kamu tidak suka digoda Daigo setelahnya. Tapi, kamu juga jelas tidak selamanya akan marah kalau Daigo tiba-tiba menciummu. Kadang kamu ingin merasakan sensasi seperti tadi.

Rasa terkejut, berdebar dan rasa hangat yang bercampur mengaduk-aduk akal sehat.

“Tidak apa-apa.” Ya. Seperti saat ini, kamu nyaris tidak bisa berkata apa-apa akibat ciuman yang mendadak. Kamu sedikit melirik kearah Daigo yang masih tersenyum menatapmu. “Ke-Kenapa pata kesini? Bukannya gak jadi karena ada jadwal dadakan?” Kamu bertanya demi menjawab rasa penasaranmu.

“Aku batalkan,” Kamu mengernyit. Agak tidak suka dengan tindakan Daigo. “lagipula, aku sudah lebih dulu janji denganmu. Kalau kamu berpikir aku tidak menghargai waktu orang lain, waktu kamu juga sama pentingnya dengan waktu yang dimiliki mereka.” lanjut Daigo.

“Apalagi Hato itu orang yang paling berharga untukku.” Katanya. Sial. Bisakah lelaki ini berhenti mmeberikan kata-kata yang tidak terduga padamu? Kamu hanya akan speechless dengan wajah merah. 

“Pata…” 

“Ya, Hato?”

“Boleh cium lagi?” 

Suara tawa Daigo terdengar lembut dan halus. Kedua tangannnya menangkup wajahmu dan wajahnya menampilkan ekspresi yang seperti gemas padamu. 

“Aku tidak menolak.”

Kalian ciuman lagi. Ciuman yang lembut dan tidak menuntut itu perlahan berubah. Daigo memutuskan ciuman kalian tidak secepat tadi. Bibir lelaki itu mengapit bibir atas bibirmu, mengecapnya pelan. 

Tangan Daigo turun jadi melingkar di pinggangmu sementara kamu melingkarkan tanganmu di bahu Daigo. Kamu berusaha mengimbangi ciumannya meskipun saat ini kakimu, mungkin, sudah berubah menjadi jelly. Kamu tidak tahu sudah berapa lama ciuman kalian berlangsung yang pasti Daigo belum ada tanda-tanda ingin berhenti. Dia masih menciumi bibirmu. Hingga akhirnya kamu menepuk pelan pundaknya. 

Daigo paham isyarat itu meski dia masih mau menikmati waktu bersamamu. Kalian saling bersitatap. Daigo menatapmu dengan ekspresinya yang seperti seekor puppy yang kehilangan makanannya. 

“Ki-Kita masih di luar…” Kamu bingung harus berucap apa karena terlalu speechless dengan situasi barusan. Daigo tertawa. Dia memelukmu sekali lagi, menikmati angin laut yang berhembus pelan menerpa tubuh kalian berdua.

“Ayo menikmati waktu disini dulu. Kapan lagi kita melihat matahari terbenam.” Daigo melepaskan pelukannya dan menggandeng tanganmu. Kalian sama-sama berdiri menghadap kearah matahari, menikmati pemandangan yang jarang bisa kalian nikmati bersama.

“Hato…” Daigo memanggil namamu. 

“Ya?”

“ずっとそばにいてね。どこにも行かないで。。。”

Kamu tidak bisa berjanji tapi kamu juga tidak mau memberikan realita yang bisa saja merenggut kebahagiaan kalian. Jadi, 

“わかった”

 

typo, cringe, fluff


Aku menatap sosok lelaki yang berjalan di sebelahku saat ini. Sebelah tangan kami saling bertautan. Sesekali terayun karena pata–lelaki yang bernama lengkap Daigo Nishihata ini mengayunkan tangan kami dengan riang.

Bulan itu masih masuk musim dingin, bahkan hari itu saja diguyur hujan salju membuat jalanan menjadi lebih licin dipenuhi salju dan suhu udara semakin dingin. Beruntung sekali aku memakai mantel dan syal yang tebal, ditambah kehangatan yang disalurkan dari tangan kami yang tertaut saat ini.

“Sudah lama, ya, kita gak jalan-jalan begini.” Tiba-tiba pata berucap, membuat lamunanku buyar. Aku menyunggingkan senyum, kembali melihat kearah depan.

Benar. Waktu yang sering kami habiskan bersama hanyalah di indoor. Lelaki itu lebih suka menikmati aktifitas indoor dibandingkan harus ke luar rumah. Aku memang sudah lama menduganya. Lagipula, sebelum kami benar-benar bertemu, aku sudah jatuh cinta lebih dulu padanya lewat layar komputer.

Tautan tangan kami terlepas, aku sedikit terkejut melihatnya berlari kecil mendahuluiku, masuk ke dalam sebuah taman yang dipenuhi oleh tumpukan salju. Aku mengikuti langkahnya, berhenti begitu melihatnya berjongkok di depan tumpukan salju, seperti sedang sibuk membuat sesuatu dengannya.

“Pata?” Aku memanggilnya. “Hato, ayo main catch ball!” ujarnya, langsung berbalik kearahku dengan sebelah tangan yang memegang bola salju. Aku mengerjap. Dia melempar bola itu kearahku dan aku refleks mengangkat tangan untuk menangkapnya.

Sayangnya, aku masih belum terbiasa dengan rasa dingin yang berlebih membuatku langsung menjatuhkan bola itu. Kukibaskan tanganku untuk meredakan rasa dinginnya. Sial. Kenapa sampai sekarang tidak terbiasa dengan sensasi dingin yang berlebihan ini. Padahal sudah empat tahun lebih aku bekerja di Jepang.

Aku terkesiap saat merasakan sepasang tangan menggenggam tanganku erat, mengusap-usapnya dan meniupkan udara hangat. “Sudah mendingan?” Ternyata itu pata. Aku mendongak, melihatnya yang menatapku cemas.

“Maaf, aku lupa kalau Hato masih gak terbiasa dengan dingin. Maaf ya.” katanya. Aku menggeleng sembari bergumam tidak apa-apa.

“Tanganmu dingin…”Mulutku dengan tiba-tiba mengucapkan kalimat itu. Gerakannya terhenti, sepasang mata cokelat kehitaman itu menatapku sejenak. Bibirnya membuat sebuah senyuman. Sepasang tangannya yang sebelumnya menggenggam tanganku, kini beralih dengan menarik tubuhku ke dalam sebuah dekapan yang hangat dan begitu erat.

“Sekarang bagaimana? Sudah hangat?” bisiknya membuat debaran jantungku menjadi lebih cepat. Ah, satu lagi yang tidak pernah jadi kebiasaan untukku, menerima perlakuan manis dari sosok bernama kecil Daigo ini.

Kalau seperti ini, hatiku juga ikut menghangat..

Aku menghela napas. Sedikit beranya-tanya kenapa aku malah sibuk memandangi layar ponselku, sementara aku mengabaikan makan siang yang sudah susah payah kubuat ini. Bahkan sampai harus mengorbankan waktu tidurku yang berharga.

Kepalaku menggeleng, kumatikan ponselku dan kembali fokus dengan makanan yang ada dihadapanku. Tidak baik mengabaikan makanan. Begitu pikirku.

“Ah, sial.” Tanpa sadar, aku menggerutu. Andai saja selama seminggu ini dia tidak mengabaikanku mungkin aku tidak perlu uring-uringan seperti ini.

Selain itu, aku juga bingung penyebab dari silent treatment yang dia berikan padaku selama seminggu ini. Dia tidak biasanya mengabaikan semua chatku, bahkan saat bertemu pun hanya saling bersitatap tanpa bertukar kabar. Dia kira aku ini cenayang kah?

Ah, dia yang kumaksud ini Daigo Nishihata. Kami sudah berpacaran kurang lebih tiga tahun dengan pertemuan pertama kali di toko kue. Saat itu aku sedang diminta Shachou untuk mencari wagashi atau paling tidak kue tart untuk agenda meeting hari itu.

Kami tidak sengaja sama-sama menunjuk kearah kue yang kami incar. Meski aku hanya melihatnya dari layar, aku tahu bahwa itu dirinya hanya lewat sepasang matanya. Dia, Nishihata Daigo.

“Ah, silahkan. Kamu duluan saja.” katanya. Aku sempat terdiam saat itu. Terlalu takjub hingga tidak yakin apakah aku sedang bermimpi atau tidak bertemu dengannya saat ini.

“Tidak apa-apa?” Sosok yang secara diam-diam akrab kusapa 'pata' itu mengangguk. Kedua matanya menyipit membentuk garis, menandakan bibir di balik masker itu sedang membentuk bulan sabit.

Aku merunduk sopan dan melanjutkan pesananku. Anehnya, setelah itu aku lebih sering berpapasan dengannya. Entah skenario Tuhan macam apa yang sedang kujalani tapi aku tidak protes sedikitpun.

Lamunanku buyar saat seorang kolega memanggil namaku. “Hato! Ada tamu yang mencarimu.” Aku mengernyit, segera menyelesaikan makan siangku dan beranjak ke lobby. Tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada kolega yang sudah memberitahuku.

Langkahku terhenti. Dia disini! Aku mengembungkan sedikit pipiku, mengatur napas dan juga ekspresiku. Setidaknya aku harus berusaha bersikap bahwa tidak ada yang terjadi, meski hari itu aku benar-benar ingin mengakhiri silent treatment ini.

“Kau disini.” kataku padanya. “Ada apa?” lanjutku.

“Hato pulang jam berapa?” Dadaku berdesir. Aku sempat termenung dalam diamku begitu mendengar suaranya setelah sekian lama. padahal baru seminggu!

“Seperti biasa. Lagian, kenapa kamu gak ngechat aja sih? Repot-repot kemari.” Aku menjawab dengan senormal mungkin.

Sosok Nishihata Daigo dengan penyamarannya itu mengedikkan bahu. “Tidak tahu. Aku hanya mau melihatmu.” kata pata dengan santai.

Aku menggigit bibir bagian dalamku dan menggerutu dalam hati. “Baiklah.”

“Ya sudah. Nanti aku jemput lagi di jam biasanya, ya.” katanya sebelum beranjak. Sebelum benar-benar pergi, tangannya yang terasa sangat pas di genggamanku itu meraih tanganku dan meremasnya lembut.

Saat itu juga aku bisa berubah menjadi jeli.


Sudah lima belas menit lewat kami berdiam dalam posisi masing-masing. Duduk bersebelahan diatas sofa sambil menonton televisi. Oh, silent treatmentnya masih berlangsung rupanya. Aku menghembuskan napas pelan.

Mataku melihat kearah semangkuk permen Hi-Chew. Sayang sekali, permen itu di luar jangkauanku.

“Pata, tolong ambilin satu permennya.” Bukannya mengambilkan, lelaki bermarga Nishihata itu malah mendekatkan wajahnya padaku. Aku refleks mundur dari jangkauannya. Terkejut.

“Nih.” Mataku melihat tepat kearah bibirnya, tempat dimana dia mengapit perman diantara bibir atas dan bawahnya.

Wajahku memanas. Aku berdecak. “Aku tidak mau yang itu.” kataku kemudian mendorongnya sedikit untuk menyingkir dan mengambil permen itu dari tempatnya.

“Kalau Shintaro yang melakukannya Hato mau?”

“Hah?”

Aku mengerjap. Bilang apa dia barusan? Aku menatap lamat-lamat lelaki bernama Daigo ini, melihat ekspresi cemberutnya yang seperti anak kecil. Menggemaskan.

“Kenapa bawa-bawa Morimoto-kun?” tanyaku heran.

“Kau bertemu dengannya seminggu yang lalu. Di tempat kita pertama kali bertemu. Kalian sangat akrab...” Suara pata memelan di akhir. Aku menahan senyuman yang hendak merekah di wajahku.

“Kau cemburu, pata?” tanyaku, mendekat kearahnya. Pata langsung memalingkan wajahnya dariku. Kali ini aku tidak bisa menghentikan senyum geliku.

“Padahal kamu tahu sendiri, aku tidak bisa berpaling darimu,” kataku. Aku sedikit kesal mengingat bagaimana dia memperlakukanku saat sedang cemburu dan itu benar-benar bukan sesuatu yang bagus. “padahal kamu tinggal bilang padaku kalau cemburu. Tidak perlu melakukan silent treatment seperti kemarin.” lanjutku.

pata langsung menoleh kearahku dengan terkejut. Sepasang matanya yang bulat mengerjap. Kepalanya sedikit menunduk, sebelum akhirnya mengucapkan, “Maafkan aku. Aku... Aku hanya takut tiba-tiba bersikap kasar padamu hari itu. Jadi, aku coba untuk menenangkan diri... Tapi, ternyata malah membuatmu salah paham...”

Aku tersenyum. Kuraih tangan pata dan kugenggam. “Aku tidak masalah pata mau menenangkan diri beberapa saat tapi tolong bilang padaku agar kita tidak saling menduga-duga. Aku juga sebisa mungkin menjaga jarak dengan lawan jenis di sekitarku.”

Pata tersenyum. “Rasanya aku semakin menyayangimu...” Tangannya terulur untuk mendekap tubuhku. Aku tersenyum tipis.

Aku juga semakin menyayangimu, Daigo Nishihata.

Kupenjamkan mata sejenak, menyesap dalam-dalam aromanya yang menenangkan. Berdoa semoga saat kubuka mata ini bukan sekedar mimpi dalam tidur yang panjang.