soymilkao29

ShoppiAiri, Fluff, Typo, Cringe Lilas Ikuta – Midnight Talk


Airi memencet tombol lift dimana apartemennya berada. Dia bersandar sembari membuka blog Johnnys seperti biasa. Beberapa talent terlihat masih ada yang update meski sudah pukul sebelas malam. Terlihat Snow Nichijou hari itu dipenuhi update dari Meguro, Sakuma, Koji dan juga Shota. Tumben sekali ramai. Biasanya hanya Sakuma dan Koji. Meguro juga termasuk yang jarang update sih. Mungkin karena sedang musim Takibuki. Ah, Airi baru ingat dia belum sempat nonton Takibuki walau Shota sudah menyisakan satu tiket VIP padanya di setiap pertunjukkan.

“Datang kapanpun kamu senggang, tiketnya akan selalu kutitip pada manajer ya.”

Airi menghela napas. Dia selalu tidak ada waktu karena memang mulai masuk masa-masa sibuk seperti dulu. Mungkin, dia akan coba hadir bersama Tsuki atau Haruna, kalau dua orang itu tidak bisa mungkin dia akan menonton bersama Mina atau Kuro saja.

Airi membuka blog milik Shota Watanabe, sosok member penyuka skincare dan memiliki color representative Biru itu rupanya update jam empat sore tadi. Lelaki itu nyaris lupa mengupdate blognya dan bertanya apa yang harusnya ditulis di dalam blog setiap hari? Akan bagus kalo tidak kehabisan cerita. Dia juga menuliskan bahwa dango yang diberikan padanya sangat lezat.

Dibawahnya disertakan pula sebuah foto selfienya. Sosok lelaki bermarga Watanabe itu mengenakan sweater rajut putih dengan In Ear Monitors yang tergantung di lehernya sementara wajahnya mengerut dengan menggemaskan hingga matanya membentuk garis sembari mengacungkan peace sign. Gaya andalan seluruh umat. Rambutnya hari itu dibuat berponi dan membuat Airi gemas pada lelaki itu. Airi sampai harus mengatup mulutnya dengan sebelah tangan, menyembunyikan senyum meski itu tidak terlalu berhasil.

image

Airi segera turun dari lift dan melangkah menuju unitnya. Mengeluarkan kuncinya dan membuka pintu tersebut, rupanya Shota sudah pulang lebih dulu. Airi melepaskan bootsnya dan mengucapkan salam andalannya. Andalan seluruh warga jepang, sih.

Airi kembali berjalan menyusuri lorong pendek di unitnya itu dan sampai di ruang tengah, terlihat Shota sedang menonton televisi dengan Mocca yang duduk tenang di pangkuannya, menikmati belaian Shota pada kepalanya. Lelaki itu terlihat sudah mengenakan celana panjang pasangan dari piyamanya namun atasannya hanya mengenakan kaos tipis berwarna gelap. “Oh, Okaeri, Airi.”

Airi mengulum senyum tipis, membalas sapaan Shota dengan gumaman pelan sebelum beralih ke kulkas untuk mengambil minum. “Sudah makan belum?” Suara Shota terdengar lagi. Sementara Airi masih berusaha menghilangkan rasa geli di perutnya akibat foto Shota yang dia lihat di Jweb tadi. Perempuan itu berbalik dan menghadap Shota yang sekarang menoleh kearahnya. Kepalanya menggeleng seraya bibirnya mengapit ujung botol minum miliknya.

Shota mengangguk. “Mau makan sesuatu?” Airi menutup botol minumnya setelah selesai dan menggulirkan matanya. “Ramen instan mungkin?”

Shota terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya bangkit setelah meletakan Mocca—kucing peliharaan Airi di sebelahnya. Lelaki itu mendekati Airi, mengusap sekilas pipi perempuan itu—yang jelas-jelas membuat Airi semakin sekuat tenaga menahan rasa saling tingkahnya, dan membuka laci kabinet di atas kompor mereka. “Sepertinya tidak ada.” Gumam Shota. Lelaki itu berbalik, menatap Airi yang sekarang sudah berdiri menghadapnya.

“Airi ngantuk gak?”

“Enggak, sih. Malah rasanya gak bisa tidur kalau belum makan.”

Jawaban Airi mengundang tawa renyah Shota. Lelaki itu memegang wajah Airi dengan kedua tangannya dan mengusapnya gemas. “Ya sudah. Kita jalan, yuk, ke konbini depan,” Ajak Shota. “ah, aku ambil jaket dulu. Airi perlu syal?”

Hari ini Shota benar-benar banyak bicara, tidak seperti biasanya atau tidak seperti di video sunotube yang beberapa kali sempat Airi tonton. Keduanya saat ini sedang berjalan menyusuri pendestrian yang sepi. Bahkan langkah mereka hanya ditemani oleh sorot lampu jalan serta beberapa lampu luar dari rumah yang ada di sekitar apartemen mereka. Suara langkah keduanya pun hanya ditemani angin yang sesekali berhembus. Konbini terdekat jaraknya lumayan jauh dari apartemen mereka, perlu jalan kaki sepuluh menit untuk sampai. Tapi, kadang baik Shota ataupun Airi bersyukur karena di waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki, keduanya bisa merasakan waktu berdua yang jarang mereka lakukan.

Airi menoleh kearah lelaki yang berjalan di sebelahnya, sosok yang sudah menjadi kekasihnya selama tiga tahun itu terlihat bersenandung pelan. Sebuah lagu yang Airi kenal milik Lilas Ikuta. Untung saja setahu Airi judul yang disenandungkan Shota bukan sebuah lagu ballad yang sarat akan kisah menyedihkan. Justru nadanya seperti cocok dengan suasana di sekitar mereka saat ini.

Airi ikut menyenandungkan nadanya dengan pelan, membuat Shota menoleh kearah kesayangannya ini. Dia mengulum sebuah senyum dan meraih tangan Airi yang bebas terayun-ayun. Perempuan itu menoleh kearahnya dengan terkejut. “Biar gak hilang.” “Siapa yang mau culik kalau tidak ada satu orang pun disini selain kita?” cibir Airi. “Justru suasana seperti ini cocok untuk menculik orang. Apalagi Airi perempuan. Cantik pula.” Airi berdecak. Belajar ngalus dari mana lelaki ini?

“Shota, berisik...” balas Airi. Dia sudah tidak punya bahan untuk membalas ucapan Shota dengan kalimat lain. Keduanya sampai di konbini yang masih buka dua puluh empat jam itu. Tanpa melepaskan tautan tangannya pada Airi, Shota mengajak perempuan itu ke rak berisi mi instan. Lelaki itu bertanya padanya, apakah mereka perlu sekalian menyetok lagi atau nanti saja saat belanja di supermarket yang lebih besar. Airi menjawab dia hanya perlu beberapa bungkus saja sebelum jadwal belanja bulanan mereka.

“Airi mau es krim tidak?” tanya Shota yang sudah melepaskan genggaman tangannya, membuat Airi menggerutu pelan tidak terdengar lelaki itu. “Kau ini memang manusia salju ya, Shota.” kata Airi seraya menggelengkan kepalanya. Perempuan itu sudah membawa keranjang berisi belanjaan mereka ke meja kasir, meninggalkan Shota yang sedang merenggut. Meski begitu, Shota tetap mengambil beberapa eskrim sebagai stok.

Keduanya kembali berjalan beriringan menuju apartemen mereka. “Jarang-jarang ya kita jalan begini.” “Mau gimana lagi, kita sama-sama sibuk.” Balas Airi tanpa melihat kearah Shota. Lelaki bermarga Watanabe itu mengambil kantung belanjaan dari tangan Airi dan menarik tangan perempuan itu untuk dia genggam. “Airi sudah sangat lapar ya sampai merenggut gitu.” Katanya.

Airi mengerutkan kening. “Aku tidak merenggut?” katanya dengan tidak yakin. Shota menyipitkan mata kearahnya. Jelas Shota bisa mendengar gerutuan Airi begitu dia melepaskan genggaman tangannya di konbini tadi. “Kamu kesal aku lepas genggaman tanganku padamu kan?” Airi mengerjap. Dia berdecak.

“Mana ada.” Balasnya. Shota tertawa melihat wajah Airi yang meranum merah. “Tenang, Airi. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan genggaman tanganku padamu.” Katanya.

Airi melirik kearah Shota. “Jangan berjanji seperti itu, Shota. Bagaimana kalau nanti kau mengingkarinya?” kata Airi. Shota berdecak, mengeratkan genggaman tangannya pada Airi. “Makanya jangan lepaskan genggaman tanganku. Kau juga jangan berdoa seperti itu, dong.” Katanya.

Airi mengulum senyum tipis. Dia membalas genggaman tangan Shota, sebelum akhirnya melepaskan sebentar genggaman tangan lelaki itu untuk dia apit lengannya dan bersandar pada bahu Shota sambil berjalan. Shota jelas terkejut dengan gerakan Airi yang tiba-tiba itu. Sesuatu yang tidak biasa untuk dia dapatkan dari Airi.


Setelah menyantap ramen instan malam itu, Shota dan Airi duduk di atas sofa dengan Mocca yang duduk di pangkuan Airi. Mereka menonton siaran tengah malam sembari mengobrol tipis-tipis tentang kegiatan mereka hari itu. Apa saja yang dilakukan Shota maupun Airi. “Tidur duluan juga gapapa, ri.” Kata Shota. Airi menggeleng, tangannya masih asyik mengusap tubuh Mocca yang sekarang sudah terlelap di pangkuannya. “Aku masih belum ngantuk.”

Shota menoleh kearah kesayangannya, menemukan kedua mata Airi yang sudah mulai terpejam beberapa kali. Seulas senyum terukir di wajah Shota. Mereka kembali mengobrol santai, menunggu kantuk menyerang. Ucapan Shota terhenti begitu dia merasakan berat di bahunya. Kepala Airi sudah terkulai di bahunya, rambut perempuan itu sedikit menghalangi wajahnya. Jemari Shota menyingkirkan sedikit helaian rambutnya, menyelipkan di balik telinga Airi.

Diusapnya perlahan pipi Airi yang sedikit merona pink. Ditelitinya wajah kesayangannya, merekam setiap inchi dan garis yang terukir disana. Bulu mata yang lentik, bibirnya merah serta kelopak mata yang tertutup itu mengundang Shota untuk mencium kelopak Airi.

Suara Mocca menghentikan gerakannya yang hendak mencium bibir Airi. Kucing itu mendongak dan menatapnya dengan kedua mata yang terbuka lebar, menatap Shota seakan-akan bertanya, “Apa yang mau kau lakukan pada babuku, babu?” Shota tersenyum geli. Meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.

Mocca turun dari pangkuan Airi dan berpindah tidur di tempatnya sendiri. Syukurlah Shota tidak perlu repot untuk memindahkan Mocca, kucing itu sudah secara mandiri pindah ke kasurnya sendiri.

Airi menggeliat. Shota merasakan tangan Airi memeluk pinggangya dan perempuan itu semakin mendekat kearahnya, hingga Shota bisa merasakan hembusan napas Airi yang teratur pada lehernya. Jantung Shota berdetak sangat cepat bahkan kedua pipinya saat ini sudah memanas. Lelaki itu berdehem beberapa saat sebelum akhirnya membangunkan sedikit Airi agar bisa dia pindahkan ke kamar mereka. Tidak baik sering tidur di sofa.

Shota menggendong Airi, lagi-lagi Airi mengendus leher Shota dan diam disana selama beberapa saat, kembali tidur. Shota sampai harus menahan napasnya. Dia meletakan perlahan Airi di kasur mereka, membentangkan selimut dan berjongkok sebentar di sampingnya.

Shota tidak akan pernah bosan memandangi wajah Airi. Sampai kapanpun.

ShoppiAiri, Typo, Cringe, Fluff. Tapi besok-besok Angst yh


Airi mendongak sembari menggelengkan kepalanya. Beberapa kali digerakkannya lehernya ke kanan dan kiri untuk menghilangkan sedikit rasa pegal dan lelah yang menyerangnya. Sementara manajer barunya—Kurotsuchi, kita panggil Kuro mulai saat ini— sedang menyetir mobil yang dia tumpangi hari itu menuju rumahnya. Jadwal hari ini cukup padat meski Airi hanya sampai pukul delapan malam. Biasanya akan sampai dua atau tiga pagi tapi karena dia masih dalam minggu adaptasi di agensi barunya, jadwal yang diberikan juga belum terlalu banyak dan terkesan manusiawi.

Bahkan hari itu dia hanya live radio, pemotretan dengan majalah Hanako dan syuting variety show. Saking sedikitnya dia bisa makan siang bersama Kuro, hitung-hitung waktu untuk mengakrabkan diri.

“Airi-san,” Kurostuchi bersuara dari balik kemudinya. Matanya sedikit melirik kearah kaca spion yang tergantung di tengah mobil itu, untuk melihat kearah Airi yang sedang menyandarkan kepalanya ke kaca jendela mobil. Airi balas dengan lirikannya. “hari ini Watanabe-san update blognya lagi, lho.” Airi langsung menegakkan tubuh tanpa dia sadari sementara wajahnya sudah sedikit merona kala Kuro menyebut nama kekasihnya dari Snow Man itu.

Ya. Kuro tahu tentang hubungannya dengan Shota Watanabe. Oh jelas, manajer harus tahu tentang semua urusan pribadi agar bisa maksimal mengurus kebutuhanmu saat sedang menjadi idol atau publik figur. “Belakangan ini Watanabe-san sedang rajin update ya. Foto-fotonya juga seperti selfie yang dikirimkan pada pacarnya.” Kuro terkekeh, lelaki yang berusia 33 tahun itu melirik Airi dengan senyum gelinya.

Airi berdecak, mengabaikan wajahnya yang memanas. “Iya, Snow Man lagi sibuk Takibuki Final,” balas Airi. Perempuan itu sedikit terdiam mengingat kalimat kedua Kuro, dia mengulum senyum setipis mungkin, “Lagian ya, soal foto ala boyfie gitu, dia memang pacar semua Sunotan.” Cibir Airi. Kuro pura-pura mengerjap. “Aree, apa ini? Aku mencium-cium aroma api cemburu.” Airi berdecak dan menendang pelan kursi di depannya memancing Kuro untuk tertawa renyah.

Sementara Kuro kembali fokus menyetir, Airi membuka ponselnya, sesekali dia membetulkan kacamata bening yang dikenakannya. Jemarinya mengetik alamat website blog Johnnys. Setelah login selesai, dia langsung membuka tab following dan menemukan urutan update blog milik Shota berada di urutan ke tiga. Lelaki itu rupanya update jam tujuh tadi. Isi blognya membicarakan takibuki sedikit, sisanya tentang kegiatannya kemarin, pergi ke gym, sauna dan makan yakiniku bersama teman-temannya. Ya. Shota bilang ingin quality time dengan teman-temannya karena belakangan ini dia sibuk dengan Takizawa Kabuki Final. Airi tidak masalah dengan itu, toh mereka sudah sering menghabiskan waktu bersama di rumah. Meski hanya sekedar mengobrol sebentar sebelum tidur dan besok paginya kembali beraktifitas masing-masing.

Airi menggulir layar ponselnya ke bawah dan tersedak, dia bahkan nyaris menjatuhkan ponselnya saat menemukan foto Shota di bawah blog tersebut. Sosok lelaki itu mengenakan sweater tipis dengan kerah sedikit tinggi berwarna hitam dan kepalanya ditutupi topi putih dengan logo NY di depannya. Lelaki bermarga Watanabe itu berpose peace sign tanpa senyum dengan mata yang mengarah langsung ke kamera.

image

Terlalu lama memandangi layar ponselnya membuat Airi tidak sadar mobilnya sudah berhenti dan sekarang Kuro tengah menoleh kearahnya hingga memutar dirinya yang duduk di balik kemudi untuk menghadap kearah Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu mendongak dan mengerjap. “Apa?”

“Kita sudah sampai, Airi-san.” Airi menoleh ke sekitar dan menyadari mereka sudah sampai di basement. Airi berdehem sejenak sebelum mematikan ponselnya dan memasukkan benda itu ke dalam tas selempangnya. “Oh, maaf aku sedang melamun. Terima kasih, Kuro-san.” Katanya.

Airi keluar dari mobilnya setelah membuka pintu tersebut, langkahnya terhenti saat suara Kuro terdengar. “Fotonya Watanabe-san sangat bagus ya, Airi-san, sampai bisa membuatmu terdiam seperti itu.” Airi berdecak. Dia menoleh kearah Kuro dan melotot, mengacungkan jari tengah kearah lelaki itu yang langsung disambut tawa kencang. Puas sudah menggoda artis yang dia urus itu.

Airi langsung masuk ke dalam gedung apartemennya, menunggu lift setelah dia memencet tombol dan masuk selepas pintu lift tersebut terbuka. Perempuan itu bersandar di dinding lift, mengeluarkan ponsel dan menyalakannya kembali. Ternyata layarnya masih menampilkan halaman dari Johnnys Web. Jantung Airi berdetak cepat begitu dia memandangi kembali foto di halaman tersebut hingga dia merasa salah tingkah dan tersenyum lebar sembari bersandar lemas pada dinding.

Ugh. Airi tidak mau mengakui tapi Shota memang bisa membuatnya salah tingkah seperti ini meski hanya lewat sebuah foto. Yang bahkan tidak dikirimkan langsung lewat pesan pribadi padanya.


Pagi itu, Shota yang baru selesai mandi, tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk biru miliknya sembari duduk di sofa. Sementara Airi sedang sibuk di dapur membuat kreasi sarapan mereka. Shota sedikit tersenyum melihat kekasihnya yang melakukan aktifitasnya sambil bersenandung pelan. Sisi menggemaskan Airi yang seperti ini cukup jarang dia lihat.

Ponsel Airi yang tergeletak di atas meja di depan Shota menyala, menampilkan sebuah notifikasi. Shota sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan untuk mengintip. Notifikasinya tersembunyi, namun Shota bisa melihat wallpaper ponsel Airi merupakan foto seseorang. Shota mendekat sedikit lagi dan dia bisa memastikan bahwa wallpaper itu adalah fotonya. Foto yang dia kirimkan di blog kemarin lusa. Shota sedikit melirik Airi yang masih sibuk di dapur dengan seulas senyum. Lelaki itu meraih ponsel Airi dan menggoyangkannya kearah perempuan itu.

“Airi,” Perempuan bermarga Minamoto itu membalas dengan gumaman sebelum menoleh kearah Shota. “aku bisa mengirimkanmu yang lainnya dari foto ini. Kebetulan aku ambil banyak.” Lanjutnya. Airi mengerutkan kening, dia melihat kearah ponsel yang ada di tangan Shota. Tak lama dia menyadari sesuatu.

Shota tersenyum lebar kearahnya. Airi memekik panik dan berlari kearah Shota untuk mengambil ponselnya. “Shota, kembalikan!” Seru Airi. Shota mengangkat tinggi-tinggi tangannya, menghindari Airi. “Tidak mau. Aku suka melihatmu memakai fotoku sebagai wallpaper.” Katanya. Airi berdecak. Dia tidak membalas ucapan Shota lagi dan fokus untuk mengambil ponselnya.

Shota menarik sedikit pinggang Airi sebelum akhirnya perempuan itu jatuh menindihnya di atas sofa. Wajah keduanya berdekatan. Saling bersitatap. Itu bukan pertama kalinya mereka tidak bisa lepas dari pandangan satu sama lain. Shota langsung mendaratkan sebuah kecupan kecil di pipi Airi. Dia bisa melihat wajah kesayangannya yang memerah. Airi sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya buru-buru bangun dan memukul pelan dada Shota, lalu mengambil ponselnya dari tangan sang kekasih.

“Lucunya Airi yang salah tingkah.” “Berisik kau, Shota!”

Ingatkan Airi untuk memasang wallpaper 3D saja dengan kompilasi pemandangan dan satu foto Shota. Supaya kejadian digoda Shota tidak terulang kembali.


Rau x Mina, Fluff, Typo


Sosok perempuan yang sedang tengkurap dengan kedua siku sebagai tumpuan itu sedang sibuk dengan ponselnya sembari menggoyangkan kakinya. Beberapa kali helain rambut yang terlepas dari ikatan rambutnya yang dicepol itu membingkai wajahnya dan sedikit mengganggu pandangannya.

Tapi, itu yang paling Raul sukai. Outfit kasual dengan celana selutut dan kaos berbahan lembut dan sejuk itu terlihat kebesaran di tubuhnya. Raul yang sedang ikut tengkurap di sebelahnya sembari bertopang dagu tidak bosan memandangi kesayangannya. Sebelumnya, dia sudah sibuk dengan ponselnya yaitu membalas beberapa pesan yang lupa dia balas karena kesibukannya belakangan ini. Bahkan baru hari ini dia bisa bertemu dengan Mina Miyahara— Kekasihnya. Sosok perempuan yang lebih tua beberapa tahun darinya.

Beberapa kali Mina menyelipkan helaian rambutnya kebelakang telinganya namun selalu jatuh membingkai wajahnya. Mina berdecak, tidak lagi berusaha untuk menyingkirkan rambutnya. Sementara Raul sudah terlalu menikmati pemandangan di sampingnya. Hingga bibirnya membentuk seulas senyum. Senyum lembut yang berevolusi menjadi senyuman lebar dengan kerutan di hidung lelaki itu selama beberapa kali.

Mina sadar sudah lama diperhatikan Raul, tapi hari itu konten di reels Instagram dan Youtube Shortsnya sedang menarik jadi dia menahan diri untuk tidak salah tingkah meski jantungnya sudah berdetak sangat cepat. Mina tidak terbiasa dilihati Raul seperti itu. Apalagi belakangan ini mereka sedang jarang bertemu.

Dengan jarak seperti itu, Mina bisa selalu merasakan sensasi berdebar dan 'kupu-kupu' yang berterbangan di perutnya. Geli namun memberi rasa candu.

Raul mengerutkan hidungnya lagi. Menahan rasa gemas untuk tidak menerjang Mina dan memeluknya erat-erat. Wajah Mina yang sedang menikmati ponselnya terlalu menarik untuknya.

Hingga akhirnya Mina menoleh kearahnnya, menaikkan kedua alisnya dengan senyuman malu yang dia tahan. Raul mengulurkan jemarinya untuk menyentuh garis wajah Mina, menyelipkan helaian rambut di belakang telinga perempuan sebelum akhirnya bertopang dagu kembali.

“Aku suka wajah kak Mina. Menggemaskan.” “Kak Mina cantik banget ihhh! Boleh peluk gak?”

Mina menggigit bibir bagian dalamnya sebelum merubah posisi tengkurap menjadi rebahan, tidur menyamping menghadap sosok lelaki jangkung bernama lengkap Murakami Maito Raul. Lelaki itu langsung mengganti ke posisi yang sama dan melebarkan tangannya, memeluk Mina dengan erat-erat.

Typo, Cringe, Angst


Sosok perempuan berambut sepunggung dengan topi dan masker yang menutupi sebagian wajahnya itu turun dari sebuah mobil Honda Jazz yang dikendarai teman dekatnya yang juga kekasih salah satu member Snow Man. Shirokawa Haruna sedikit menunduk kearah jendela mobil yang terbuka dan menurunkan sedikit maskernya.

“Airi-san, menunggu sebentar tidak apa-apa?” Sosok dibalik kemudi bernama Minamoto Airi itu mengangguk. “Maaf aku merepotkan.” Haruna meringis.

Airi merotasi bola matanya sembari mengibaskan tangan. “Santai saja. Sana samperin Meguro dulu.” Haruna mengangguk dengan segaris senyum yang datar. Perempuan itu kembali berdiri tegak dan berjalan memasuki sebuah bar private di daerah Roppongi itu, sementara mobil Honda Jazz milik Airi melaju pergi untuk mencari parkir lot di dekat sana.

Haruna menunjukkan kartu identitasnya pada resepsionis di depan sebagai bukti legal untuk masuk ke bar tersebut. “Datang kesini untuk minum atau sedang ada janji dengan seseorang?” Haruna sedikit mengerjap saat ditanya seperti itu oleh sang perempuan resepsionis tersebut. “Uhm...” Haruna agak ragu untuk menjawab karena yang dia cari disini adalah seorang publik figur.

“Tenang saja, kerahasiaan identitas pengunjung sangat kami jaga disini.” Sang resepsionis sepertinya paham kecemasan Haruna, membuat perempuan bermarga Shirokawa itu menghembuskan napas dengan lega. “Saya mencari Meguro Ren.” Balas Haruna dengan yakin, kali ini.

Sang resepsionis tersenyum. “Mari saya antarkan.” Haruna mengikuti langkah sang perempuan, mereka menyusuri gedung tersebut, suasana di dalam bar terasa menenangkan meskipun sedang masuk jam sibuk. Haruna mengedarkan pandangan sembari terus mengikuti sang resepsionis.

“Meguro-san,” Haruna langsung memfokuskan pandangannya ke depan dan menemukan sang resepsionis berdiri di sebelah sosok lelaki jangkung yang sedang menikmati minumnya. Sang resepsionis menepuk pelan pundak lelaki itu. “ada yang mencari anda.” Lanjutnya sembari menunjuk kearah Haruna dengan sopan. Sosok itu menoleh, Haruna melepaskan masker dan topinya menatap kearah sosok bernama Meguro Ren dengan datar. “Hai, Ren-kun.” Sapa Haruna.

Sang resepsionis pamit setelah Haruna dan Meguro mengucapkan terima kasih. Haruna duduk di sebelah Meguro selagi lelaki itu menenggak minumannya. Sang bartender menghampiri Haruna dan menawari pesanan pada perempuan itu. “Ginger ale saja.” Kata Haruna. Dia tidak berniat untuk mabuk hari itu. Airi tidak perlu mengurus dua orang mabuk, dia saja sudah cukup merepotkan minta diantarkan kemari.

“Sedang apa kau kesini, Haruna?” suara berat Meguro bertanya dengan dingin. Lelaki itu memesan minumnya sekali lagi pada bartender. Haruna bisa melihat sang bartender memasang wajah jengah. Perempuan itu langsung menyadari sudah gelas keberapa yang diminum mantan kekasihnya ini.

“Haruskan kamu minum sebanyak itu, Ren-kun?” tanya Haruna cemas. Meguro terkekeh, menyesap sedikit minumannya. Lelaki itu berdehem dan menggoyangkan sedikit gelasnya. “Kau tidak bisa melihat betapa kacaunya kita, Haruna?”

Haruna terdiam. Dia mengulum bibirnya yang terasa kering sementara jemari-jemarinya saling bertaut. Ya, kalian berdua terlihat kacau sejak Haruna memutuskan hubungan keduanya. Sang bartander memutus lamunannya sembari meletakan segelas ginger ale di depan Haruna.

Meguro memutar posisi duduknya menjadi menyamping, menghadap kearah Haruna. Perempuan bermarga Shirokawa itu menoleh dan menemukan wajah Meguro yang jarang dia lihat. Kedua matanya yang memerah, kantung mata yang sangat terlihat, rambut-rambut halus yang muncul di sekitar dagunya menandakan lelaki itu sudah lama tidak merawat dirinya sendiri. Haruna menahan diri untuk tidak menyentuh garis-garis wajah itu. dia menggigit bibir bagian dalamnya, mengepalkan tangan dan menahan diri untuk tidak memeluk tubuh lelaki itu.

“Bagian mana dariku yang tidak cukup untukmu, Haruna? Bilang padaku.” Suara Meguro merilih. Kedua matanya menatap Haruna dengan sendu. Aku yang tidak cukup untukmu, Ren-kun. Aku tidak cukup mencintaimu. Haruna menggeleng. “Tidak ada, Ren-kun,” Haruna menarik napas begitu menyadari suaranya tercekik. “tidak ada.”

Haruna tersentak saat Meguro menyentuh kedua bahunya, meremasnya dengan pelan. Perempuan itu dipaksa untuk melihat kearahnya. “Tapi, kenapa kita harus berakhir? Kenapa... Kenapa kau meninggalkanku, Haruna...?”

Haruna tidak sanggup untuk menjawab kala dia masih merasakan sesak yang sama seperti pertama kali dia katakan pada Meguro keinginannya untuk mengakhiri hubungan mereka. Sesuatu yang Haruna lakukan kala dia merasakan hubungan diantara mereka tidak lagi melengkapi, Haruna tidak merasakan lagi kupu-kupu yang bermain di perutnya setiap kali Meguro memperlakukannya dengan manis. Setiap kali Meguro cemas padanya, yang dia rasakan hanya perasaan kosong dan hampa serta sesak yang tersisa.

Meguro menarik Haruna ke dalam sebuah pelukan, mendekap erat sosok perempuan yang mengisi hari-harinya selama lima tahun. “Bagaimana caranya aku membuatmu jatuh cinta padaku lagi, Haruna...”

Aku tidak yakin bisa jatuh cinta lagi, Ren-kun... Aku tidak suka rasa hampa dan kosong seperti dulu...

ShoppiAiri, Fluff, Typo


“Hah? Kau menyatakan suka pada Airi?” Koji nyaris menyemburkan sup kacang merah yang disiapkan oleh ibunya, untuk dibawa sebagai bekal hari itu. Shota yang sedang melahap pisang dan susunya mengangguk dengan bibir mengerucut.

Kedua mata Koji menyipit. “Kutebak kau ditolak olehnya?” Shota langsung memasang wajah masam. Dia tidak mau mengakui kenyataannya tapi memang itu yang terjadi padanya. Koji tertawa kencang. Sampai harus memukul-mukul bangku kosong di sebelahnya. Shota mendelik.

“Maafkan aku.” Kata Koji, meringis. Dia berdehem. “Bukannya aku minta tolong untuk kenalkan aku padanya dengan baik? Jangan-jangan kau malah menjelek-jelekkanku ya, Koji?!” Omel Shota. Ya. Shota pernah meminta tolong pada Koji untuk menceritakan apapun yang berkaitan dengan Shota pada Airi, mengingat lelaki blasteran Thailand – Jepang itu adalah teman dekatnya Airi.

Koji menahan senyum gelinya. “Sudah kulakukan, Shoppi. Tapi, dia tidak peduli. Aku juga malas cerita kalau orang yang kuajak tidak tertarik.” Kata Koji. Shota menuntaskan makan siangnya. “Lalu, kau menyerah begitu saja setelah ditolak?” Koji menyesap kochanya, menatap Shota dengan penasaran.

Shota menggeleng. “Jelas tidak! Aku tidak mau menyerah hanya perkara dia tidak mau denganku. Alasannya pun tidak jelas.” Gerutu Shota. Senyum di wajah Koji sedikit menghilang, lelaki itu terlihat melamun sebentar sebelum membalas ucapan Shota. Senyum ramah khas milik Mukai Koji terukir di wajahnya lagi. Lelaki itu menepuk-nepuk pundak Shota.

“Kalau begitu, selamat berjuang, ya, Shoppi! Dia tidak suka orang yang sudah bilang akan berjuang deminya malah berhenti di tengah jalan.” Kata Koji. Shota mengerjap, kemudian mengangguk.

“Aku belum ada niat untuk menyerah untuk mendapatkannya, Koji.”

“Yah, semoga saja tidak ada niat seperti itu.”


Matsumoto Tsuki tidak bisa menahan tawanya saat Airi menceritakan soal Watanabe Shota yang menyatakan perasaan dan mengajaknya pacaran. Airi menyikut Tsuki dengan kesal. Keduanya berjalan bersisian di pendestrian selepas sekolah di hari Kamis itu. Airi memilih rute yang sama dengan Tsuki karena perempuan itu diajak Tsuki untuk mampir sebentar ke kediaman Matsumoto. Katanya mamanya sudah lama tidak bertemu Airi dan ingin bertemu perempuan bermarga Minamoto itu.

“Lalu, kau tolak dia?” “Kau berharap apa? Pacaran dengannya? Hell no, Tsuki.”

Tsuki mengedikkan bahunya. Dia berbalik untuk menatap Airi sembari terus berjalan mundur. “Yah, mungkin saja kau mau bermain-main dengannya di sisa masa SMAmu.” Balas Tsuki. Airi merotasi bola matanya. Kedua tangannya masuk ke dalam saku blazer yang dia kenakan. Tidak membalas ucapan Tsuki lagi. Tsuki kembali berjalan dengan normal.

“Hari ini mau menginap di tempatku?” tanya Tsuki tiba-tiba. Airi menaikkan sebelah alisnya. “Kali ini kau diapakan Nakajima-senpai?” Tsuki tertawa kencang. Keduanya berbelok dipersimpangan. “Dibuat jatuh cinta berulang kali.” Kata Tsuki. Airi berdecak pelan dengan seulas senyum tipis di wajahnya.

“Dasar bucin.” Cibirnya. Tsuki membuka pintu gerbang kecil di sebelah gerbang berukuran sedang itu. Disampingnya ada papan nama yang menyatakan kediaman Matsumoto.

“Tadaima.” Tsuki berucap lantang sembari membuka pintu rumahnya. Airi mengucapkan salam dengan pelan, melepaskan sepatunya dan mengambil sandal di lemari.

“Oh, Tsuki,” Suara seorang lelaki menyapa indera pendengaran keduanya. Airi dan Tsuki refleks mendongak. Sementara Tsuki langsung menegakkan badannya dan tersenyum dengan kedua pipi yang meranum. Airi memperhatikannya dengan senyum geli di wajahnya. Di depan mereka berdiri Matsumoto Ryosuke—saudara tertua di keluarga Matsumoto, bersama dengan sobatnya yang berdiri menjulang tinggi di sebelah Ryosuke saat ini, Nakajima Yuto. Yuto melambaikan tangan dan tersenyum kearah Tsuki.

Airi bisa merasakan bahwa setelah ini Tsuki akan melemas bagai agar-agar. “Ah, hai, Yuto-senpai.” Sapa Tsuki. Airi berusaha mati-matian menahan tawanya yang akan meledak saat itu juga. Jarang-jarang dia melihat Tsuki menjaga image seperti ini, biasanya dia bar-bar di sekolah atau saat tidak ada Yuto di dekatnya.

“Males banget, giliran Yuto aja lo panggil senpai ya.” Ryosuke tiba-tiba mencibir dengan sinis kearah Tsuki. Perempuan anak kedua keluarga Matsumoto itu mendelik. “Suka-suka gue dong.” Balasnya sembari menjulurkan lidah kearah Ryosuke.

“Hai, Tsuki-chan, Minamoto.” Sapa Yuto. Sepertinya lelaki itu sedang tidak ingin banyak berbasa-basi. Airi membalas dengan senyuman dan merunduk sopan.

“Dah, yuk, To.” Ajak Ryosuke pada Yuto. Bergegas mengenakan sepatunya. Tsuki sempat meneriaki Ryosuke dan menanyakan mau kemana mereka. Ryosuke hanya bilang ingin main baseball di tempat biasa bersama Yuto dan Chinen.

“Tsuki-chan gak tuh...” Goda Airi, menyikut perempuan di sebelahnya yang sedang tersenyum lebar. Tsuki balas menyikut, nyaris membuat Airi kehilangan keseimbangan. Keduanya beranjak menuju dapur dan menyapa seorang wanita paruh baya yang sedang membentuk gyoza.

Airi menyapa dengan ramah, sementara mamanya Tsuki melebarkan tangan dan memberikannya sebuah dekapan yang singkat serta ciuman di kedua pipi Airi. Tsuki pura-pura mengernyit, “Aku gak digituin juga, nih, ma?”

Mama Mao melepaskan pelukannya untuk menoleh kearah anak perempuannya. “Kan kamu udah sering, Airi yang harus sering-sering dikasih kecupan.” Airi meringis mendengar ucapan mama Mao.

Tsuki duduk di kursi meja makan dan mencomot salah satu tempura yang ditiriskan. “Dia mah perbanyak dikecup sama Watanabe aja.” Cibir Tsuki. Airi melotot mendengarnya sementara mama Mao mengerjap terkejut, dia melihat kearah Airi yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri ini. Airi tersenyum canggung. Dia melirik kearah Tsuki dengan tajam.

“Kamu udah punya pacar, toh?” Airi menggeleng. “Udah, tapi masih digantung. Jadi, kayak hubungan tanpa status gitu.” Sergah Tsuki. Airi berdecak. “Kau ganti saja namamu jadi Minamoto Airi, Tsuki!” Gerutu Airi.

Tsuki tertawa kencang mendengarnya.

Minamoto Airi x Watanabe Shota

Sekali lagi di lihatnya waktu yang terus bergerak lewat jam digital yang ada di dekat ranjang yang sekarang di tidurinya. Helaan napas keluar perlahan sebelum akhirnya sosok perempuan manis ini beranjak dari posisinya dan berjalan keluar kamar, menyadari bahwa unit apartemen itu masih gelap. Di nyalakannya lagi lampu tengah ruangan itu membuat suasana lebih terang dan tidak membuat mata sakit sedikitpun.

Kedua matanya masih mendapati jatah makan malam tiga jam yang lalu masih ada disana, terbungkus dengan plastic wrap. Kakinya melangkah mendekati meja makan itu dan menarik kursinya untuk dia duduki. Di tatapnya dengan kosong kursi yang ada di seberangnya. Kosong. Ya. Kosong. Entah sudah berapa kali wanita ini mendapati pemandangan yang sama setiap malamnya. Selama seminggu ini, dia tidak bisa melihat dengan jelas tanda kehadiran sosok yang sudah sangat di rindukannya ini.

Semakin membuatnya yakin, bahwa malam ini sosok itu tidak datang. Lagi. Atau paling tidak pulang. Kalau dia boleh jujur, hatinya benar-benar merasa tidak tenang, apalagi setelah menyadari bahwa ada rumor dating baru yang mencuat ke media. Tentang sosok bernama Watanabe Shota diduga punya hubungan khusus yang terulang lagi dengan Kawaguchi Haruna. Lihat? Wanita bernama Minamoto Airi ini tidak bisa tenang dengan pikiran positifnya terus-menerus.

Ponselnya yang dia tinggal di atas pantry dekat meja makan ini berdering singkat. Airi sedikit harus mengangkat tubuhnya untuk mengambil ponselnya yang selalu dia tinggal di sana setiap akan pergi tidur. Membawa ponsel ke dalam kamar akan membuat jam tidurnya kacau karena godaan untuk mengecek media sosial terlalu besar.

Yah, meskipun tidak hanya karena hal itu pemicunya bukan? Lagi-lagi Airi merasa dirinya sudah mulai terbiasa dengan pesan yang sama berulang kali.

Shota Maaf, Airi! Hari ini aku tidak bisa pulang lagi. Ada kerjaan!

Uhn. Daijobou. Semangat!

Selalu seperti itu. Bohong kalau Airi tidak kecewa. Padahal ada yang ingin Airi sampaikan pada Shota. Tapi, pria itu selalu tidak ada waktu untuknya. Bohong kalau Airi tidak merasa kesal, hampa dan amarah memenuhi hatinya. Tapi, Airi selalu berusaha mengabaikan perasaan menyakitkan seperti itu.

Wanita itu menghembuskan napas. di letakannya kembali ponselnya di atas meja dan mengambil piring yang di plastic wrap itu. Di bukanya plastic itu dan di ambilnya sendok untuk melahapnya. Sayang bukan kalau makan malam yang sudah dia sisakan ini tidak di makan? Lagipula orangnya juga tidak pulang lagi malam ini.

Tapi, kali ini, makan malam hari itu terasa asin dan juga menyakitkan. Airi tidak sadar bahwa dia sudah melahap makan malam itu sembari menangis dalam diam. Wanita itu ingin marah, ingin meledak saat itu tapi dia tahu kalau dia sendiri dan hanya akan menghabiskan energinya. Jadi... dia memilih untuk menangis diam-diam seperti ini, meski pada akhirnya suara isakan juga keluar perlahan.


Sebelum menarik kopernya menjauh, Airi menyempatkan diri untuk menoleh dan melihat kearah lantai dimana unit apartemen Shota berada. Helaan napas keluar dari mulutnya bersamaan dengan tangannya meraih gagang koper dan menariknya menjauh dari sana. Di naikannya syal yang melingkar di lehernya untuk menutupi sebagia wajahnya.

Tapi, belum sampai di halte bus, langkah Airi terhenti begitu dia merasa seseorang berdiri di depannya. Menghalangi langkahnya. “Permisi.” Ucapnya pelan sembari berjalan menyingkir dari sosok yang berdiri di depannya tapi saat Airi bergerak ke samping kanan soosk itu mengikutinya begitu juga sebaliknya. Airi berdecak. Dia mendelik dan mendongak. Tapi, terdiam begitu menyadari sosok yang di kenalnya berdiri di depannya dengan senyuman khasnya.

“Date-san...?”


Birthday mini ff @shigatsunohanaa


“Hana, Hanaa!”

Sosok perempuan yang dipanggil Hana itu berhenti melangkahkan kaki begitu namanya disebut seseorang. Diputarnya tubuhnya ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilnya. Sosok lelaki bernama lengkap Morimoto Shintaro itu berjalan dengan langkah ceria sembari tangannya terlihat menenteng sebuah tas kertas dengan sebuah kepala boneka yang menyembul.

Shintaro tersenyum lebar berdiri di depan Hana. Lelaki itu terlihat menatap Hana lamat-lamat dengan senyumannya, membuat Hana tak ayal merasakan wajahnya meranum.

Hana berdehem beberapa kali. “Shin? Ada apa?” Sosok lelaki berseragam itu menyodorkan tas kertas yang sedari tadi dibawanya.

“Punya Hana, tadi ketinggalan di kelas.” Ucap Shintaro. Hana jelas mengernyit bingung, sepanjang ingatannya hari itu, dia tidak mendapat barang apapun dari siapapun.

“Ini bukan punyaku....” Balas Hana kebingungan. Shintaro mengerjap. Lelaki itu mengambil sebuah kartu ucapan yang menggantung dari pegangan tas kertas tersebut, membuka kartu tersebut dan menunjukkannya di depan Hana.

“Lihat, ada namamu terpampang disini.” Kata Shintaro. Hana menyentuh kartu ucapan tersebut. Ada tulisan happy birthday dengan emoji love di akhir kalimat dan sebuah nama pengirim di bawahnya. Shintaro.

Hana menghela napas, menahan dirinya untuk tidak salah tingkah lebih jauh pada teman sekelasnya ini. “Shintaro,” Hana tersenyum kearah lelaki berwajah menggemaskan ini. “kurasa ini punyamu.” Lanjutnya.

Shintaro langsung mengecek kartu ucapan tersebut dan pura-pura terkejut. “Astaga, benar sekali. Tapi, karena aku sudah keburu beli dengan nama Hana jadi ini untukmu.” Katanya.

Hana tertawa sembari menerima bingkisan tersebut. “Terima kasih, Shintaro.” Teman sekelas—sekaligus crushnya ini mengangguk dengan senyum khasnya.

“Selamat ulang tahun, Hana.” Yang tidak Hana duga selanjutnya adalah Shintaro yang menyentuh pipi Hana dengan jari telunjuknya.

“Karena kamu gak suka dicium pas masih sekolah, jadi ciumannya lewat jari dulu, ya.”

Hana tidak bisa berkata-kata, terlalu speechless dengan tindakan Shintaro barusan. Lelaki bermarga Morimoto itu pamit dari hadapannya setelah dipanggil oleh kakak kelasnya, Jesse.

Hana ingin menyublim saat itu juga.


Happy Birthday, Hana!

Fluff, OC x Daigo Nishihata.


Sembari masih terguncang di dalam kereta, Daigo membaca pesan singkat darimu. Dia mengulum senyum lembut meskipun kamu sedang tidak ada di depannya saat itu. Daigo mengetik sebuah balasan. Kamu mengabari Daigo kalau meet up kalian hari itu tidak bisa dilakukan karena kamu sedang kehabisan energi. Kamu bahkan sampai sangat meminta maaf karena hal ini. Padahal Daigo tidak masalah, dia sudah cukup lama mengenal kamu dan kamu berhak untuk merasa lelah dan tidak mau bertemu siapapun.

Lelaki bermarga Nishihata itu menghela napas. Mungkin dia akan jalan-jalan di sekitar destinasi tempat kalian janjian hari itu. Kereta yang ditumpangi Daigo berhenti di sebuah stasiun. Lelaki itu turun dan berjalan menuju pintu keluar. Tidak jauh dari stasiun ada taman yang cukup ramai. Mungkin Daigo akan duduk-duduk disana sambil menikmati cemilan. Lelaki itu mampir sebentar ke Lawson di dekat sana, membeli dua bungkus pocky dengan rasa stoberi dan cokelat juga dua porsi oden dan dua botol minuman dingin. Keluar dari sana Daigo mengernyit bingung. Kenapa dia beli dua?

Daigo berdecak. Tangan dan mulutnya otomatis bergerak sendiri mengambil bagian milikmu padahal hari itu kalian tidak jadi bertemu. “Ya sudah, deh. Bisa kuberikan ke orang yang disana.” Gumam Daigo. Daigo melangkahkan kakinya, keluar dari area stasiun dan menyusuri jalan setapak di taman itu. Mencari bangku yang tersedia.

Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang sangat Daigo kenal sedang duduk, seperti sedang merenung memperhatikan keramaian di sana. Perempuan yang dia kenal sebagai kekasihnya itu masih mengenakan setelan kantoran namun wajahmu terlihat lesu tanpa semangat. Pelan-pelan, Daigo duduk di sebelahmu yang masih tidak menyadari kehadiran Daigo.

Lelaki bermarga Nishihata itu menatapmu lamat-lamat dengan senyum lembut. Hendak mengulurkan tangan untuk menyentuhmu namun diurungkan. Kamu terlihat menikmati kesendirian dalam keramaian ini yang pada akhirnya membuat Daigo memutuskan untuk menikmati kebersamaan kalian dalam keheningan diantara keramaian sore itu.

Kamu menghela napas. Sedikit terperanjat menyadari seorang lelaki duduk di sebelahmu dengan tenang memegang dua porsi mangkuk kertas berdesain Lawson. Daigo tersenyum lebar kearahmu, senyuman lelaki itu nyaris membuatmu menangis. Kamu menunduk, mengatur detakan jantung dan deru napas yang mendadak cepat.

Kamu mengangkat kepalamu dan memaksakan senyum. Daigo menarik tanganmu dan menyerahkan seporsi oden itu padamu. Kamu mengernyit. “Aku kelebihan belinya,” Daigo meringis. “kebiasaan kalo inget kamu pasti selalu beli dua porsi. Tapi, syukurlah odennya gak jadi sia-sia.” Lanjutnya.

“Kamu udah sampe disini kok gak ngabarin?” Tanya Daigo, membuka tutup mangkuk oden di pangkuannya, sembari melirik kearahmu. Kamu menatap oden yang ada dipangkuanmu. “Aku sedang ingin sendiri...” balasmu.

Daigo terdiam. Kedua kelopaknya mengerjap. “Oh, ah, aku mengganggumu? Kalau begitu—“Daigo sudah bersiap untuk pindah dari sana saat tanganmu menahannya.

“Karena Pata sudah disini, aku jadi ingin berduaan denganmu di keramaian ini.” Katamu. Daigo bisa merasakan wajahnya memanas mendengar kalimat itu meluncur dari mulutmu. Kamu berdehem dan mulai menyantap oden traktiran Daigo. Lelaki itu mengangguk samar. Kalian berdua menikmati waktu bersama dengan oden date hari itu. Tanpa membuka percakapan sedikitpun.

“Jadi, ada apa hari ini?” Daigo kembali setelah membuang sampahnya dengan sebuah pertanyaan. Kamu tersenyum tipis, mulai menceritakan apa yang kamu lewati selama seharian itu. Hingga rasanya dadamu sesak dan pandanganmu mengabur oleh air mata. Kamu selalu tidak bisa untuk tidak berhenti bercerita saat Daigo sudah memancingmu seperti ini.

Daigo meraih kepalamu untuk bersandar di bahunya, sementara tangannya merangkul bahumu. “Otsukaresama...” Bisik Daigo.

Fluff. OOC.


Aku menghembuskan napas sekali lagi. Mengusap-usap mug berisi cokelat panas yang sekarang sudah berubah menjadi dingin. Kupandangi unit apartemen milik pria bernama lengkap Nishihata Daigo ini dengan seksama. Sepi. Hanya terdengar sesekali suara pengharum ruangan yang disemprotkan ke udara. Aroma yang menenangkan tapi tidak bisa menghapus rasa sepi di ruangan ini sedikitpun. Kuletakkan kepalaku diatas meja pantry ini, menatap lurus ke satu titik di dinding berwarna krem lembut. Tidak ada apa-apa di dinding itu. Ponselku berdering selama beberapa detik, menandakan pesan masuk. Tanpa mengangkat kepalaku, kulihat layar ponselku.

Nishipata >Aku dibawah. Mau dibelikan sesuatu gak?

Kusunggingkan seulas senyuman, tapi tidak membalas pesannya. Terlalu malas menggerakkan jari-jariku di atas layar ponsel pintar ini. Tapi, otakku tiba-tiba terpikirkan ide yang lucu. Aku mengangkat kepalaku, bangkit dari posisi dudukku, meletakkan mug itu di wastafel cuci piring dan berlari cepat ke closet. Memposisikan diri untuk bersembunyi disana. Entah ini antara tidak ada kerjaan atau aku hanya ingin menarik perhatiannya dengan mengejutkannya.

Kalau dia sudah dibawah mungkin akan memakan waktu 10 menit untuk sampai ke unit apartemen ini. Aku menemukan topeng yang disimpan di closetnya. Mengenakan ini dan mengagetkannya mungkin akan menyenangkan. Kudengar pintu terbuka dan gumaman pelan seseorang yang menyapa. Aku diam, menahan napas kala kurasakan Daigo mendekat ke arah closet tapi dia malah berbalik ke tempat lain. Aku mengernyit.

Mungkin akan kutunggu selama beberapa saat lagi. Namun, ini sudah lewat satu jam. Apakah dia akan tidur dengan bajunya yang dipakai berkativitas selama seharian? Oh ayolah. Aku tidak akan mau tidur satu ranjang dengannya. Suara langkah kaki mendekat lagi ke closet dimana aku menyembunyikan diri. Tapi, Daigo tidak sedikitpun berniat membuka pintu ini. Astaga.

Waktu terus berdetak dan aku mulai merasa ngantuk. Jam berapa ini... apakah aku harus keluar sekarang? Tapi, sebelum kulakukan itu, rasa kantuk sudah menyerangkan lebih dulu.


Kudengar samar pintu closet terbuka, dan helaan napas seseorang. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena pandanganku masih kabur karena rasa kantuk yang berat. “Kukira kau pergi...” gumam sosok yang sangat ku kenal ini. Kurasakan usapan lembut di puncak kepalaku dan turun ke pipiku. Aku menggumam pelan. Kulihat samar, sosok yang sangat kukenal sebagai Daigo Nishihata ini mengulurkan tangannya, menyelipkannya di bahu dan lututku, mengeluarkanku dari closet baju ini. Aku merapatkan tubuhku padanya. “Pata...?” “Oyasumi. Pasti capek ya nunggu aku buka pintu closet.” Oala. Kurang ajar. Awas kau, pata...

Stasiun

Fluff. OOC. Anak Kuliahan AU.


Kaki beralaskan sepatu kets itu turun dari kereta dan berjalan menuju salah satu bangku di peron stasiun untuk untuk duduk supaya bisa membalas pesan dengan lebih aman. Bibirnya membentuk bulan sabit saat layarnya menemukan chat dari Daigo Nishihata di barisan teratas aplikasi LINE nya. Lelaki yang sudah official menjadi kekasihnya sejak lulus SMA hingga saat ini—baik Hato maupun Daigo sudah menginjak semester 6 saat ini—mengirimkan sebuah stiker dan pesan yang menanyakan keberadaan Hato hari itu.

Meski sudah jalan dua tahun berpacaran, bagi Hato hubungannya dengan Daigo selalu terasa baru dan menyenangkan. Daigo selalu berhasil membuat jantungya berdetak sangat cepat setiap kali dia melihat senyuman manis sang pacar. Sebut saja Hato bulol.

Baru membalas pesan Daigo, layar ponselnya sudah menyala dan bergetar. Daigo menelponnya. “Hai, pata.” Hato menyapa dengan masih mempertahankan senyumannya.

Kakinya bergerak semangat. “Hai, sayang.” Sial. Baru dibilang, jantung Hato sekarang sudah mulai berdetak dengan abnormal. Belum lagi sekarang wajahnya meranum merah. Dia yakin sekali.

Hato menjauhkan sedikit ponselnya dan berdecak tanpa suara. Dihela napasnya perlahan setelah dirasa dia sudah lebih tenang. “Ehem. Bilang-bilang dong kalau mau manggil begitu.” Daigo tertawa membalas ucapan Hato barusan.

“Pasti lagi salah tingkah ya?” IYA! Hato menambahkan dalam hati dengan gemas. “Oh iya, aku lagi di Starbucks sebelah stasiun. Aku susulin ya.” kata Daigo. Hato ingat di pesan sebelumnya Daigo bilang dia ada di dekat stasiun dimana Hato turun hari itu. Dia rencananya mau ketemuan sama Risa tapi perempuan itu meminta untuk mereschedule karena dosennya mendadak memberikan jam tambahan. Hato tidak masalah karena dia sendiri paham seperti apa dosen Risa dari apa yang diceritakan perempuan itu.

Oh iya, bicara soal Risa, Hato tahu bahwa Risa dan Michieda sudah putus.:( Risa sendiri yang bilang. Perempuan itu dengan santai berkata bahwa dia dan Michieda sudah tidak ada hubungan apapun. Penyebabnya sampai saat ini tidak diketahui Hato.

“Gak usah. Aku susulin kamu aja.” Kata Hato sudah bersiap-siap untuk berdiri. Daigo berdecak pelan. “Duduk dulu! Jangan teleponan sambil jalan, Hato.” Kata Daigo dengan nada yang tidak ingin dibantah.

Hato langsung duduk kembali dengan manis dan mengatup rapat-rapat mulutnya. “Yaudah kita ketemuan di depan stasiun ya. Aku kesana sekarang,” kata Daigo. “matiin teleponnya.” Lanjut Daigo. Hato mengangguk. “Oke.” Dia memutus sambungan dan segera beranjak. Suasana stasiun hari itu cukup ramai meski bukan hari libur.

Hato membawa dirinya untuk berdiri di pojok gedung stasiun itu sembari memandangi lalu lalang di depan matanya. Sesekali memfokuskan pandangannya satu titik dan melamun. Hato berjengit begitu merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kanannya. Kepalanya menoleh, menemukan Daigo yang tertawa pelan di dekatnya. Buku-buku jari lelaki itu mengusap pipi Hato yang sedikit basah oleh kaleng minuman dingin yang ditempelkan lelaki itu pada wajahnya.

“Jangan melamun! Nanti ada yang ambil kamu dari aku, gimana?” Sial. Hato mengulum bibirnya dengan wajah memanas. Dia berdecak dan memukul pelan pundak Daigo dan menerima kaleng minuman soda itu.

Daigo ikut bersandar di sebelahnya dan memperhatikan lalu lalang di stasiun yang ramai itu. Sesekali dia melirik kearah Hato yang ternyata juga sedang memandanginya. Perempuan itu jelas terkejut dan pura-pura melihat sesuatu di sebelah Daigo. Hato berdecak dan mengusap wajahnya dengan malu.

“Aku belum terbiasa dengan pata ternyata.” Gumamnya. Daigo mengernyit. “Maksudnya?” Hato menarik napas dan berdiri menghadap Daigo, menyandarkan bahunya pada dinding di sebelahnya. Senyumnya terulum simpul. Tangannya menyentuh dadanya. “Jantungku,” Hato memegang wajahnya. “wajahku, semuanya selalu bereaksi berlebihan setiap kali kamu ada di dekatku. Bagaimana cara menghentikannya?” tanyanya.

Daigo mengerjap mendengar ucapan Hato barusan. Lelaki itu tidak bisa menahan senyum gemasnya. Daigo mengantongi kaleng minumannya dan menangkup wajah Hato, mendekatkan wajahnya kearah perempuan itu dan menggosokan kedua hidung mereka. Hato sudah merasakan bola matanya akan melompat keluar saat Daigo mendekat kearahnya seperti itu.

“Hato kenapa menggemaskan sekali sih?” Hato melotot, lagi-lagi tangannya menepuk pelan pundak Daigo. “Berhenti mendekat dengan tiba-tiba seperti itu!” Hato menyentuh dadanya, merasakan detakannya semakin tidak karuan.

“Kukira kau mau menciumku... Astaga...” Meski dengan suara yang pelan, Daigo bisa mendengar jelas ucapan Hato barusan dari jarak sedekat ini. Tanpa memberikan aba-aba apapun pada perempuan di depannya ini, Daigo mengecup dengan cepat bibir Hato.

Pada saat inilah, jantung Hato berhenti berdetak sepersekian detik.

ShoppiAiri, H/C, Typo, Cringe

Airi menghembuskan napas selepas dia keluar dari kamar mandi. Hari itu energinya benar-benar terkuras habis. Jadwalnya dari satu agenda ke agenda lain juga sangat padat dan cepat tanpa membiarkan Airi bisa bernapas terlebih dahulu. Belum lagi dia bertemu orang-orang yang tidak disangka akan sangat menyebalkan, membuat energinya semakin cepat habis. Mungkin sekarang sudah mencapai minus sekian persen kalau ada presentasenya.

Perempuan bermarga Minamoto itu membuka pintu kamarnya perlahan tanpa suara sebisa mungkin, matanya langsung menemukan sosok lelaki yang sudah terlelap di balik selimutnya. Tidak heran, sekarang sudah jam satu malam. Padahal, Airi berharap dia bisa berbagi cerita dahulu dengan lelaki itu—Kekasihnya, Watanabe Shota. Tapi, Airi tidak boleh egois. Pekerjaan kalian sama-sama menguras tenaga. Kalian harus bisa saling mehami meski sering kali berselisih dan berbeda pendapat.

Airi tidak langsung naik keatas kasur, dia bersandar sejenak pada daun pintu berwarna cokelat itu. Melamun dan memutar apa saja yang ada di otaknya saat ini. Menyadari ingatannya semakin kusut, Airi memilih untuk tidur di sofa saja malam itu. Dia tidak mau mengganggu Shota hari itu.

Begitu Airi berbalik, dia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Mendekapnya erat dan kepala sosok tersebut bersandar di bahunya. “Mau tidur di sofa lagi?”

Airi memejamkan matanya. Shota selalu tahu kebiasaannya saat sedang kalut atau lelah luar biasa. Kepala Airi mengangguk sekilas. Dirasakannya Shota mengeratkan dekapannya. “Tidak boleh. Tiddak kuizinkan. Malam ini tidur di kamar bersamaku. Kamu charge energi di kamar saja.” titah Shota enggan untuk dibantah.

Airi menggigit bibir dalamnya. Tiba-tiba merasakan air matanya menggumpal di pelupuknya. Airi melepaskan pelukan Shota dan langsung berbalik, memeluk lelaki itu dengan erat dan membenamkan wajahnya di dada bidang Shota.

Shota tidak terkejut lagi dengan gerakan Airi yang tiba-tiba itu. Dia refleks langsung mengusap kepala dan punggung Airi dengan lembut, melantunkan lullaby yang menenangkan. Lelaki itu berjalan mundur dengan perlahan menuju kasur mereka. Dia menjatuhkan diri dengan perlahan ke atas kasur dengan posisi Airi berada di atasnya.

Perempuan itu masih menangis dalam diam. Seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri dan Shota hanya bisa menenangkannya perlahan sembari menunggu Airi membuka suara.

“Shota,”

“Ya, sayang?”

“Bagaimana kalau kita putus?”