soymilkao29

TsukiAiri, Friendship, Typo, Cringe


Tsuki dengan penampilan andalannya—kaos putih dengan gambar random dan baggy jeans beserta sepatu kets putih hitam dengan shoulder bag Gucci langganan dipakainya serta tentu saja kacamata kuning andalannya, sampai di rumah sakit. Untung saja perempuan itu kali ini datang juga dengan mengenakan bucket hat berwarna hitam yang menutupi sebagian wajahnya.

Langkahnya terus bergerak dengan pasti menuju kamar yang baru sekali dia kunjungi itu. Hari itu adalah hari liburnya sebelum RED*ONE memulai lagi konser tur dunia mereka. Perjalanan mereka cukup panjang sehingga agensi memberi beberapa jeda untuk mereka beristirahat atau menyelesaikan jadwal pekerjaan mereka yang lain.

Karena hari itu Tsuki memang libur, dia berniat untuk menjenguk sahabatnya yang baru dua minggu siuman dari kondisi semi-koma. Tsuki benar-benar khawatir saat mengetahui sahabatnya itu dalam kondisi antara hidup dan mati seperti itu. Dia sendiri tidak bisa membayangkan akan seperti apa kesehariannya tanpa sahabatnya itu meski mereka juga mulai jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.

Dari kejauhan, Tsuki bisa melihat sosok yang familiar sedang mencoba berjalan menyusuri lorong yang tidak begitu ramai itu bersama seorang perawat perempuan yang membantunya. Tsuki semakin mendekat dan sadar bahwa sosok itu adalah Minamoto Airi—sahabatnya. Sang perawat menyadari kehadiran Tsuki dan hendak memberitahu Airi, namun perempuan bermarga Matsumoto itu langsung meletakan telunjuknya di dekat bibirnya, meminta sang perawat untuk tidak mengatakan apapun dan memberikan kode padanya untuk berganti menuntun Airi yang sedang fisioterapi pasca empat bulan tidak sadarkan diri dan terbaring saja di atas ranjang.

Pasti otot dan persendiannya sangat kaku. Sang perawat melepaskan tuntunannya dan bergantian dengan Tsuki, perempuan itu langsung memegang siku Airi dan bahu perempuan itu, yang tidak dia duga selanjutnya adalah Airi yang tiba-tiba saja berteriak histeris dan mendorongnya.

Sosok perempuan bermarga Minamoto itu terjatuh dengan posisi menghadap kearahnya. Tsuki mengerjap karena terkejut dengan reaksi yang diberikan oleh Airi barusan. Tas kertas yang berisi kudapan favorit Airi itu terlepas dari tangannya, sementara Tsuki hanya berfokus pada Airi yang menatapnya dengan sorot penuh rasa takut dan dia bisa melihat tangan perempuan itu sedikit gemetar. Ada apa ini?

“Airi?” panggil Tsuki. Begitu, Tsuki mendekat dengan pelan seraya memanggil namanya, Airi sedikit lebih tenang dan menghembuskan napasnya. Dia meraih tangan Tsuki yang terulur kearahnya. Meremas sedikit ujung kaos lengan pendek yang dikenakannya.

“Ma-Maaf, aku kira siapa....” katanya dengan suara serak. Airi berdehem. Tsuki dan sang perawat membantu Airi untuk bangun. Sang perawat bertanya apakah Airi masih ingin latihan atau menyudahi saja untuk hari itu. Airi jelas memilih pilihan kedua. Mereka membantu Airi untuk duduk kembali di kursi rodanya dan sang perawat membawa Airi lebih dulu menuju kamarnya.

Tsuki mengambil tas kertas yang sempat terlempar dari genggamannya. Tsuki menghela napas mendapati kotak berisi kue keju lemon favorit Airi sudah sedikit tidak berbentuk akibat guncangan tadi.

Tsuki mengerjap pelan. Apakah kondisi Airi sama seperti kue ini?


ShoppiAiri, Typo, Cringe


Airi selesai mengeringkan rambutnya yang sekarang sudah dipotong seleher. Perempuan bermarga Minamoto itu menatap sejenak pantulan dirinya di cermin. Tidak ada yang berubah, mungkin hanya sorot mata yang tidak seceria dulu. Airi sendiri tidak tahu kemana sorot mata itu menghilang. Sejak keluar dari rumah sakit dan kondisinya sudah lebih baik, dia merasa ada yang hilang tapi Airi tidak tahu apa itu. Dia hanya menikmati hidup dengan berharap siapa tahu sesuatu yang hilang itu bisa kembali.

Airi menyimpang hair dryernya kembali ke lemari diatas cermin tersebut dan berjalan keluar dari kamar mandinya. Langkah kakinya menuju ruang tengah yang menyatu dengan ruang makan beserta dapur itu. Airi menemukan Shota yang sedang menonton video koreografer baru lewat Ipadnya sambil menikmati teh yang diseduhnya sendiri.

Sebenarnya hari itu, Airi ingin meminta sesuatu dari Shota—kekasihnya, kalau dibilang mungkin izin? Airi berjalan menghampiri Shota dan duduk di depan lelaki yang masih asyik dengan tontonannya itu. “Shota,” panggil Airi setelah lama dipandanginya sang kekasih.

“Ya, sayang?”

Sial. Airi langsung merasakan jantungnya berdetak dengan cepat dengan respon yang Shota berikan barusan. Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, menetralisir rasa berdebar dan rasa panas yang menjalar di kedua pipinya. Shota jarang sekali memanggilnya dengan panggilan seperti itu, jadi, Airi tidak pernah terbiasa. Dilihatnya Shota langsung menutup Ipadnya dan menyingkirkan barang itu.

Airi baru sadar ada cangkir teh lain yang sudah disediakan Shota di meja makan. Lelaki itu menggeser cangkir itu kearahnya dan tersenyum, sementara Shota mulai memusatkan perhatiannya pada sang kesayangan. Airi menggenggam cangkir itu dengan kedua tangannya dan bergumam terima kasih pada Shota.

“Jadi,” Airi menarik napas lagi. “aku ditawari bermain drama enam belas episode dengan durasi empat puluh lima menit di Korea Selatan. Drama romantis dan lawan mainku Lee Soo Hyuk,” Airi menatap Shota yang bergeming, masih menunggu Airi menyelesaikan ucapannya. “Bagaimana menurutmu...?” tanya Airi dengan nada tidak yakin.

Shota terdiam sejenak, dia mengangkat cangkir teh miliknya dan menyesapnya pelan. “Kau akan baik-baik saja disana?” tanya Shota.

Airi mengangguk, meski dia tidak yakin. “Kurasa iya. TOBE juga yang menyarankanku untuk mengambil tawaran ini, hitung-hitung penyegar suasana.” Kata Airi.

“Siapa yang akan menjagamu disana kalau kamu kambuh sewaktu-waktu?” tanya Shota. Lelaki itu kali ini menatap lurus kearahnya. Airi mengerjap. Terkejut dengan kalimat yang dilontarkan sang kekasih.

“Kambuh? Maksudnya?” tanyanya. Shota tersenyum tipis, matanya kali ini menatap kearah air teh yang bergoyang pelan begitu dia menggerakkan cangkirnya. “Jangan kira aku tidak tahu, sayang,” katanya. Airi terkejut mendengarnya. Dia mengulum bibirnya dan mengalihkan pandangan kearah lain. “a-apa yang tidak kamu tahu?” tanyanya.

Shota terkekeh. Dia menghela napas. “Matsumoto memberitahuku soal kondisi mentalmu,” katanya. “kondisi PTSD yang kamu alami saat ini belum sembuh, ‘kan?” lanjut Shota.

Sial. Padahal Airi sudah sehati-hati mungkin agar Shota tidak tahu soal kondisinya. Dia tidak mau membuat Shota khawatir dan itu akan mengganggu aktifitas kekasihnya itu. Dia tidak mau menjadi beban untuk orang lain. Tapi, toh, kenyataannya seperti itu. Saat dia sedang kambuh.

Airi memejamkan matanya. Rasa sesak dan sedih menjalari perasaannya saat ini. Dia mengela napas. “Sudah berapa lama kamu tahu?” tanya Airi lirih. “enam bulan yang lalu.” Kata Shota. Ya. Sudah setahun lebih sejak kejadian penyerangan yang membuat Airi mengalami semi-koma. Kejadian itu juga mempengaruhi kondisi mentalnya.

Airi menemui psikiater juga tanpa sepengetahuan Shota maupun Koji dan Tsuki, hanya Takki dan Manajernya saja yang tahu. Tapi, pada akhirnya Tsuki tahu dan memberitahu pada Shota. “Begitu. Kenapa kamu diam saja?” tanya Airi.

Shota tersenyum lembut. “Karena kamu tidak mau aku tahu. Jadi, aku berpura-pura tidak tahu.” Ucap Shota dengan jujur. Meski terkadang dia mendapati Airi yang sedang kambuh, menangis keras atau diam-diam di kamar mandi atau di balik kloset. Setiap kali, perempuan itu berpikir bahwa Shota pulang larut malam atau tidak akan pulang hari itu. Itu sangat menyakiti hatinya, Shota ingin menenangkan Airi, ingin mengatakan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sejak Shota tahu bahwa kondisi mental Airi sedang tidak baik-baik saja, sebisa mungkin dia pulang cepat dan tidak menginap meski terkadang ada pekerjaan yang harus dilakukan di luar kota. Shota akan pulang hari itu juga setelah pekerjaannya selesai. Setidaknya dia bisa menemani perempuan itu meski tidak bisa memeluknya secara langsung.

“Aku belum cukup bisa kamu percayai ya, Airi?” tanya Shota. Tangannya meraih tangan Airi yang tidak menggenggam cangkir teh itu. Airi mendongak dan bertemu pandang dengan mata Shota yang menatapnya dengan berkaca-kaca. Dia tahu, dia sudah terlalu sering menyakiti perasaan Shota dengan tidak mengatakan yang sebenarnya.

“Maaf, bukan begitu....” Sebuah respon yang sangat klise. Airi berdecak. Dia menggigit bibirnya. Shota tersenyum. Genggaman tangan pada perempuan itu dia lepas. Lelaki bermarga Watanabe itu beranjak. Airi sudah berpkir bahwa Shota akan meninggalkannya tapi yang terjadi adalah Shota berdiri dengan kedua lututnya di hadapannya. Shota menarik Airi untuk menatap kearahnya.

“Aku sudah pernah bilang padamu, pelan-pelan saja. Perlahan,” katanya. “mulai dari hal-hal kecil. Adakah yang sulit dari itu?” tanya Shota dengan lembut. Tangannya tidak diam saja, Shota mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Airi dengan punggung tangannya.

Tangis Airi pecah. Dia terisak pelan. Menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, tidak sanggup untuk menatap kearah Shota di hadapannya. Dia terlalu merasa bersalah karena masih tidak bisa memberitahu apa yang dia rasakan, apa yang terjadi padanya. Airi sudah terbiasa untuk menyimpan semuanya sendiri.

“Maafkan aku... Maaf.” Ucap Airi. Shota menarik tangan Airi yang menutupi wajah cantiknya itu. Dia mengusap wajah sang kekasih dengan lembut dan tersenyum. “Sssh, tidak apa-apa, sayang. Mulai sekarang, aku hanya ingin kita saling terbuka dengan kondisi masing-masing. Katakan apa yang kita rasakan saat ini, apa yang kita lalui dan kita ingin apa atas rasa itu.” ucap Shota.

Airi mengangguk pelan. Dia membawa dirinya untuk memeluk Shota. “Aku sangat sedih saat ini karena sudah sering menyakiti perasaanmu, Shota,” Itu pertama kalinya Airi menyatakan perasaan sesungguhnya pada lelaki di hadapannya ini. “maafkan aku.” Lanjutnya dengan suaranya yang serak.

Shota mengusap kepala Airi lembut. Dia hanya mengangguk seraya menikmati waktu yang dilewati bersama dalam pelukan itu.

Setelah puas menangis, Airi melepaskan dekapannya dan menatap Shota yang masih bersimpuh di depannya. “Jadi, izinnya bagaimana?” tanyanya seraya mengambil napas. Shota tertawa mendengar pertanyaan Airi. Dia berusaha bangun dengan susah payah karena terlalu lama di posisi itu. Airi membantunya dan mereka kembali duduk berhadapan.

“Siapa yang akan menjagamu disana nanti?” “Manajer. Tsuki akan disana juga kalau dia sedang tidak sibuk.” “Kalau aku ikut saja denganmu bagaimana? Katamu drama romantis, ‘kan? Aku mau langsung mengclaimmu kembali kalau ada adegan ciuman bersama lelaki lain.”

Airi berdecak. Namun, dia tersenyum mendengar ucapan Shota barusan. “Tidak boleh.”


ShoppiAiri, Typo

“Kamu mau duluan pulang atau ikut aku sebentar beli sesuatu?” tanya Shota, membuyarkan lamunan Airi yang sudah berjalan di depan lelaki itu. Kedua alisnya terangkat sebentar sebelum akhirnya tersenyum. “Aku pulang duluan saja. Mocca pasti sudah cerewet mencariku.” Jawab Airi. Mereka baru saja selesai berbelanja di supermarket, mengisi beberapa kebutuhan rumahan mereka.

Awalnya Airi ingin mereka naik mobil saja karena tahu yang mereka beli akan lumayan banyak. Tapi, Shota ingin jalan-jalan bersama kekasihnya. Anggap saja dia ingin Shopping Date bersama Airi.

“Sini kubawakan punyamu.” Airi mengambil tas belanja dari tangan Shota. Tapi, Shota mengelak mengundang sebelah alis Airi yang terangkat. “Berat. Biar aku saja.” Katanya.

Airi menghela napas. “Jarak apartemen dari sini Cuma 6 menit, Shota. Aku tidak akan kelelahan kalau kau pikir begitu.” Kata Airi. Shota menarik napas dan menyerahkan tasnya pada Airi. “Jangan mengeluh kau kelelahan karena membawa itu semua ya.” cibir Shota.

Airi merotasi kedua bola matanya. Dia kembali berjalan meninggalkan Shota yang masuk ke salah satu toko perhiasan disana tanpa diketahui Airi. Sementara Airi berjalan menyusuri pendestrian yang dipenuhi oleh toko-toko yang cukup menarik untuk dimasuki sebenarnya. Tapi, Airi belum punya waktu untuk mengunjungi toko-toko di sekitar sana.

Langkahnya terhenti begitu dia sampai di persimpangan. Menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi biru. Beberapa kendaraan mulai berjalan melewati mereka yang menunggu di pinggir jalanan. Airi melihat ke sekitar dan terdiam mendapati sosok lelaki yang menggunakan seragam seorang kurir. Tiba-tiba rasa takut dan gemetar menyerangnya meski Airi masih berusaha sekuat tenaga untuk mengatur emosinya. Rasa traumanya.

“Kau seharusnya mati saja, Airi...”

Napas Airi berhembus cepat. Dadanya seperti dihimpit sesuatu yang menyesakkan. Seperti dinding tinggi yang menghalanginya dengan Shota. Airi tidak bisa mencengkram dadanya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Dia hanya bisa mencengkram kuat-kuat genggamannya pada tali tas yang dia bawa. Hingga dia tidak sadar bahwa langkahnya bergerak untuk melawan lampu pejalan kaki yang masih berwarna merah.

Tepat sebelum sebuah truk menyambar tubuhnya, seseorang menarik tangannya kencang untuk menyingkir dari sana. Membawanya ke pinggir jalanan kembali dan memeluknya erat. Airi masih dalam kondisi shock dan tidak stabil, dia masih merasakan sesuatu yang tidak nyata membayangi pandangannya. Sesuatu yang menakutkan. Tangan Shota—ya, Shota yang menariknya dari percobaan bunuh diri secara tidak sadar itu—mengusap-usap belakang kepala dan punggungnya lembut.

“Ya Tuhan, Airi, apa yang kau pikirkan?” Shota melonggarkan pelukannya dan menangkup wajah Airi, menatap lamat-lamat kekasih tersayangnya ini. “A-Aku...” Airi tidak sanggup menjawab.

“Jangan melamun seperti itu. Kau membuatku takut, sayang... Astaga!”

Airi mengerjap dengan pandangan sayu. Dia menggigit bibir bawahnya dan bersandar pada dada Shota. Dipejamkan matanya sejenak, teringat dengan diagnosa dokter tentang dirinya waktu itu. PTSD. Airi tidak pernah menyangka dia akan punya trauma seperti ini. Terlebih pada kurir dan kotak paket. Konyol sekali.

“Maaf...” Yang dia syukuri adalah Shota setidaknya belum tahu tentang kondisi mentalnya saat ini. Dia tidak perlu tahu untuk sementara waktu. Airi ingin mengobati dirinya seorang diri terlebih dahulu.

Untungnya, belanjaan yang dia bawa tidak terlepas dari genggamannya.

ShoppiAiri, Typo


Shota menghela napas setelah memperhatikan Airi yang sedang duduk di atas sofa dengan kaki menyilang dan Mocca yang duduk di pangkuannya, sementara tangan Airi mengusap lembut tubuh kucing tersebut. Televisi di ruangan itu menyala menampilkan sebuah variety show, tapi sepertinya Airi tidak benar-benar menonton televisi yang menyala itu.

Shota menggantung handuk yang dia pakai untuk mandi tadi di balkon apartemen baru mereka. Ya. Keduanya harus pindah lokasi apartemen dengan keamanan yang lebih tinggi sejak hubungan keduanya yang telah terungkap. Apalagi Shota tidak mau sampai ada fans fanatik yang mengganggu kekasihnya lagi.

“Ah, Shota.” Suara Airi terdengar. Lelaki bermarga Watanabe itu tersenyum kearahnya dan duduk sebelah Airi, tangan kirinya merangkul Airi dan membawa kepala perempuan itu untuk bersandar di bahunya. “Kau menonton apa?” tanya Shota berbasa-basi.

Airi sedikit mengernyit seraya kembali fokus dengan tontonannya. “Hm, apa ini? Aku tidak tahu. Tadi tidak melihat judul acaranya.” Shota menggumam sebagai balasan. Airi masih betah mengusap-usap tubuh Mocca sementara sang kucing mulai mengeluarkan suara mendengkur yang menenangkan bagi keduanya.

Dulu Shota tidak mau memelihara kucing karena dia takut tidak bisa merawatnya dengan baik, apalagi pekerjaannya sebagai idol membuatnya sering tidak ada di rumah. Tapi, Airi bersikeras untuk memelihara kucing untuk teman mengobrolnya atau paling tidak dia merasa tidak sendirian. Mocca mereka adopsi dari klinik dokter hewan di kawasan apartemen lamanya tidak lama setelah mereka resmi berpacaran. Waktu itu, Mocca masih seekor kitten yang menggemaskan. Bulunya halus dan matanya bulat. Shota tahu Airi jatuh cinta pada kucing itu. Mau tak mau mereka mengadopsi Mocca dan menjadikan Mocca sebagai anggota keluarga mereka. Syukurlah, ternyata Mocca yang juga menyelamatkan Airi dari penyerangan waktu itu dan kucing menggemaskan ini tidak mengalami luka sedikitpun. Hanya saja, sejak kejadian itu Mocca enggan jauh dari Airi. Airi harus mengajaknya ngobrol terlebih dahulu sebelum dia berangkat bekerja seperti biasa. Anehnya, kucing itu bisa paham apa yang dikatakan Airi dan menurut.

Keluarga ya...

Shota menatap Airi yang bersandar padanya. Apakah Airi mau membuat keluarga dengannya? Shota menggeleng. Dia tahu ini terlalu cepat, apalagi baru setengah tahun sejak hubungan mereka terungkap. Airi juga pasti akan menolak lamarannya karena perempuan itu terlalu sulit untuk diyakinkan.

“Airi,” panggil Shota yang dibalas dengan gumaman pelan sang perempuan. “apa ketakutan terbesarmu?” tanyanya. Airi terdiam selama beberapa saat dan dia tersenyum tipis. “Kamu,” jawab Airi tanpa pikir panjang. Dia menatap lamat-lamat Shota. “Kamu, Shota.” Katanya lirih, sekali lagi. Shota mengerjap, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari bibir Airi. “Aku?” katanya bingung.

Airi tersenyum dan mengangguk, seraya menatap keluar jendela balkon. Cuaca di luar terbilang cerah dengan langit biru dan awan-awan yang bergerak perlahan.

“Aku takut suatu saat kamu akan melihat ke cermin dan melihat dirimu seperti aku melihatmu. Kamu akan sadar betapa luar biasanya kamu bahwa kamu pantas mendapat yang lebih baik dariku,” Kata Airi. “aku takut kehilanganmu...” lanjutnya.

Airi mengedikkan bahu terkejut kala merasakan Shota mencium bibirnya sekilas. Mereka berpandangan dalam jarak dekat dan Shota mengusap pipi Airi lembut. “Perasaan kita sama ternyata,” katanya. “aku juga takut kehilanganmu, sayangku...”

Sudah cukup dia melihat Airi dalam kondisi waktu itu. Dia bingung menggambarkannya tapi yang dia rasakan sudah cukup terasa seperti kehilangan separuh jiwanya meski hanya untuk sementara waktu.

Airi mengulum bibirnya dan tersenyum. Tangannya menarik kepala Shota dan mencium bibir kesayangannya itu lagi. “Maaf karena aku pernah menghilang dari keseharianmu sebentar, Shota...”

H/C, Slight Fluff (?), ShoppiAiri, fast plot, Typo Tidak sempat dicek lagi bcs aku ngantuk sekali ueueueueueue


Baik Shota dan Tama—Tamamori Yuta merapatkan jaket yang merekan kenakan. Mereka berjalan di sekitar halaman yang masih menjadi satu dengan wilayah rumah sakit. Shota menyodorkan sekaleng kopi hangat dari vending machine kearah Tama. Lelaki jangkung itu menerima uluran kopi tersebut dan tersenyum.

Mereka memilih untuk mengobrol di luar kamar inap Airi karena tidak ingin mengganggu ketenangan. Apalagi ada Meguro dan Raul yang sedang tertidur juga disana. Keduanya duduk bersebelahan.

“Jadi, Tamamori-san kakak sepupu jauhnya Airi?” tanya Shota. Tama mengangguk selepas dia menenggak kopinya. “Sebenarnya kami sudah lama tidak bertukar kabar. Dia terlalu sibuk dan tidak suka memberitahu publik tentang hubungan saudara kami.” Jawab Tama.

“Begitu...”

Hening. Sebenarnya Shota belum terpikirkan pertanyaan atau bahan pembicaraan apapun dengan Tama. Terlebih dia baru saja tahu fakta bahwa Tamamori Yuta adalah kakak sepupu jauh Airi. Airi sendiri tidak pernah cerita soal ini. “Kondisinya tidak begitu baik ya.” gumam Tama. Shota mengangguk. “Harusnya aku tidak menyetujui keinginannya untuk jauh dariku sementara waktu.” Kata Shota.

“Yah, meski itu tidak merubah bahwa aku punya fans sekejam itu...” lanjut Shota. Tama mendongak melihat kearah langit malam. “tapi, setidaknya kau ada disana saat dia diserang. Kau bisa melindunginya,” kata Tama. “itu, ‘kan, yang kau pikirkan?” Shota menatap lamat-lamat sosok lelaki yang merupakan seniornya di Johnnys itu. Kepala mengangguk.

“Airi ya,” Tama menghela napas. “hidupnya sudah cukup tidak sempurna dengan kehilangan kedua orang tuanya dan dia hanya memiliki tantenya dan aku.” Kata Tama. “Itu juga dia jarang sekali menghubungiku,” lanjutnya. “aku cemas kalau terjadi sesuatu padanya atau dia tidak bisa menahan rasa kesepiannya lebih lama. Tapi, kemudian, dia mengirimiku pesan, bahwa dia berpacaran denganmu.”

Shota melebarkan matanya. Terkejut dengan fakta lainnya yang baru dia ketahui. “Benarkah?” Tama mengangguk. “Aku merasa tenang kalau itu dirimu, Watanabe-kun.” Ujarnya. Shota sedikit menunduk. Tidak. Dia bukannya tidak senang. Dia hanya merasa gagal karena tidak bisa menjaga Airi dengan baik.

“Shota,” Lelaki bermarga Watanabe itu terkejut kala Tama menepuk pundak dan tersenyum kearahnya. Tatapannya terlihat penuh arti dan rasa percaya pada Shota. “yang sudah terjadi, biarkan saja. Saat ini, tolong fokus pada Airi dan karirmu saja. Airi itu kuat. Dia pasti akan kembali.” Lanjutnya.

Ya. Airi akan kembali.


Tsuki mendelik kearah manajernya. Yamaguchi balik mendelik kearahnya.”Dengar, ya, Tsuki-san, meski sahabatmu sedang dirawat dan kau sangat ingin menjenguknya saat ini, tapi tolong fokus dulu pada konser grup kali ini,” katanya. Bukan tanpa alasan dia berkata seperti itu. Tsuki termasuk member yang barbar dan rebel. “Jaejin sudah berpesan padaku untuk memasang mata elang padamu.” Yamaguchi lanjut melotot kearah Tsuki.

Tsuki berdecak. “Aku tidak akan langsung menjenguknya, dasar.” Gerutu Tsuki. Meski itu adalah keinginannya. Terlalu sibuk dengan konser kali ini, membuat dia tidak ada waktu melihat kondisi sahabatnya itu. Jadi, dia hanya mendapat kabar dari Koji atau Ryohei saja. Dia masuk ke dalam mobil van yang sudah menunggu untuk membawa mereka dari bandara ke hotel tempat mereka menginap untuk World Tour kali itu. Setelah konser di Manila, mereka menyambangi tempat kelahiran Haruna, Yurina dan juga Tsuki.

“Haruna kapan mau menjenguk Airi?” Begitu Tsuki melempar pertanyaan itu, dia disikut cukup kencang oleh Joohyun, dibarengi dengan tatapan mata yang tajam. Kebetulan sekali Joohyun, Haruna, Eunbi dan Tsuki satu van kali ini. Tsuki meringis.

Haruna terdiam selama beberapa saat. Matanya sedikt menerawang jauh sebelum dia menyungginkan sebuah senyum. “Mungkin sehari setelah selesai konser, unnie. Aku pergi bersama Ren-kun.” Jawabnya. Perempuan itu menggenggam erat tangannya satu sama lain, mencegah gemetar sekilas yang tiba-tiba muncul begitu Tsuki membahas Airi.

Semoga saja kondisi Airi-san baik-baik saja, begitu pikir Haruna.


Shota tidak bisa sering pulang pergi hari itu juga untuk menemani Airi. Beberapa pekerjaannya mengharuskan dirinya untuk menginap di luar kota. Jujur saja, Shota tidak tenang. Dia tidak bisa jauh-jauh dari Airi. Bagaimana kalau terjadi perubahan mendadak pada kondisi Airi saat dia tidak ada? Shota tidak mau mengulangi kesalahan yang sama.

Seperti kali ini, Shota harus syuting drama SP di Okinawa dan dia tidak bisa kembali dalam waktu sebulan. Bahkan manajernya hanya mengizinkan untuk bolak-balik konser saja. Untung kemarin tur dome Snow Man terakhir di Nagoya sudah selesai. Sebenarnya tidak ada yang berubah, dia tetap tidak bisa pulang pergi Okinawa-Tokyo. Manajernya bersikeras bahwa itu akan membuat kesehatannya menurun. Berat badan Shota yang berkurang sudah cukup menjadi warning untuk sang manajer.

Tapi, kali itu, Ryohei yang bilang bahwa dia yang akan coba untuk menjaga Airi. Tidak. Lebih tepatnya menjenguk perempuan itu. Kebetulan, Tsuki sedang berada di Jepang. Meguro juga bilang hal yang sama padanya. Jadi, Shota berpikir bahwa pacar dua orang itu sedang berada di Jepang.

Hari itu hari ke 20 Shota berada di Okinawa. Shota merasakan hembusan angin musim panas malam hari di akhir bulan Juli itu terasa menyegarkan meski tidak cukup untuk membuat hatinya tenang. Semua yang dijalaninya terlalu biasa saja. Biasanya saat-saat bebas seperti ini akan dia gunakan untuk menghubungi Airi atau bertukar pesan, atau paling tidak saling mengirim stiker LINE. Tapi, sekarang, seberapa seringpun dia mengirimi perempuan itu stiker LINE tidak ada yang tahu kapan pesan itu akan dibaca.

“Watanabe-san,” Shota menoleh begitu namanya dipanggil. “otsukaresama desu.” Suara perempuan bernama Rika Adachi itu menyapa dengan seulas senyum di wajahnya. Sosok perempuan berambut semi curly yang dikuncir satu keatas itu berdiri di sebelahnya dan ikut bersandar pada pagar guest house yang disewa pihak TBS itu.

Shota hanya merunduk sopan dan tidak membalas sapaan sang perempuan. “Cuacanya cerah ya.” ucap Rika berbasa-basi. Shota mengangguk sekilas, masih fokus dengan suara ombak yang terdengar sesekali serta hembusan angin laut. Pemandangan di depannya lebih menarik.

Rika mengulum bibir, sedikit merasa diabaikan oleh sosok lelaki yang merupakan member Snow Man ini. Lawan mainnya di drama SP romantis kali ini. “Ano sa, Watanabe-san,” Rika memanggil Shota lagi. Kali ini dia mendapat perhatian penuh dari sang lelaki. “selama kamera off, Watanabe-san terlihat tidak bersemangat. Sedang sakit, kah?” tanyanya.

Shota terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum. Dia menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Adachi-san. Terima kasih atas perhatiannya.”

Rika mengerjap. “Benarkah? Karena kita partner untuk sementara waktu, Watanabe-san boleh cerita padaku, kalau tidak keberatan.” Katanya. Shota sedikit mengernyit. Dia seperti merasakan sesuatu yang tidak biasa. Apakah Rika sedang mencoba mendekatinya atau hanya bermaksud baik sebagai seorang teman?

Shota menarik napas. Dia melihat kearah Rika dan tersenyum sendu. “Kau pasti sudah tahu beritanya, Adachi-san, kekasihku, pacarku, saat ini sedang tidak sadarkan diri karena kesehatannya yang menurun. Aku sedih karena tidak bisa berada di sampingnya untuk menemaninya.” Jawab Shota. Dia bukannya terlalu percaya diri kalau Rika berusaha mendekatinya tapi dari setiap gerak-gerik perempuan itu yang seperti berusaha mendekatinya membuat Shota curiga dan sedikit jengah.

Watanabe Shota sampai kapanpun milik Minamoto Airi. Begitu pikir Shota.

Rika terdiam sebentar. Ah, sudah punya pacar rupanya...

“Ah, maaf aku sudah lupa,” lirih Rika. “beritanya sudah cukup lama dan aku tidak begitu mengikuti berita gosip artis.” Katanya. Perempuan itu langsung berubah terlihat canggung. Tak lama, Rika pamit untuk masuk ke dalam. Shota menghela napas, bersyukur dia tidak perlu terlalu lama bersama Rika. Bukannya tidak mau, dia hanya tidak ingin memberikan sikap yang akan disalahartikan oleh perempuan itu.

Perempuan itu sangat rumit.

Ponsel di saku celana Shota berdering. Lelaki itu segera mengambil ponselnya dan bingung mendapati kontak Ryohei yang menghubunginya. Ada apa ini? Tiba-tiba saja jantungnya jadi berdetak sangat cepat. Tanpa berpikir panjang, Shota langsung menjawab telepon itu.

“Shoppi! Syukurlah kau tidak slow respon,” sapa Ryohei. “Minamoto...”

Jantung Shoppi langsung berhenti sepersekian detik saat mendengar kabar yang diberikan oleh Ryohei barusan.


Haruna menarik napas. Langkahnya yang semula sejajar dengan Meguro, kekasihnya, kali ini tertinggal beberapa langkah di belakang. Perempuan itu menunduk sebentar menatap ujung flat shoes yang dipakainya. Tsuki dan Ryohei yang kebetulan sampai bersamaan dengan Meguro dan Haruna juga ikut berhenti dan menoleh.

Meguro segera menghampiri sang kekasih dan merangkulnya. “Haruna, daijobu?” bisiknya lembut. Haruna menghembuskan napas dan menatap Meguro sekilas. Kepalanya mengangguk. “Airi-san baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya. Meguro sedikit mendongak untuk melihat kearah Tsuki dan Ryohei yang masih memperhatikan. Kedua orang itu memalingkan wajah bersamaan.

Meguro mengulum bibir dan tersenyum. Dia membawa Haruna untuk kembali berjalan, tidak menjawab pertanyaan sang kekasih. Keduanya berjalan beriringan. Meguro menggandeng tangan Haruna dan perempuan bermarga Shirokawa itu mengeratkan genggamannya. Dia dan Tsuki baru saja selesai konser dan karena itu mereka baru bisa menyempatkan waktu untuk mengunjungi Airi.

Keempatnya sampai di depan pintu, sementara Tsuki berdiri menghalangi jendela di pintu tersebut, Meguro sedikit menundukkan pandangan untuk mensejajarkan pandangan pada Haruna. “Haruna,” panggil Meguro, tangannya mengusap-usap kedua bahu perempuannya untuk memberikan kesan yang menenangkan. Pandangannya bahkan begitu lembut. “Kamu yakin mau ketemu Minamoto?” tanyanya.

Haruna mengerjap bingung. Dia melihat kearah Tsuki yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada sembari bersandar pada pintu kamar inap Airi. Perempuan bermarga Matsumoto itu balas menatapnya. “Iya, memangnya ada apa, sih? Tidak ada yang buruk, ‘kan?” Meguro bertukar pandang dengan Ryohei dan Tsuki.

Mau tidak mau Tsuki mengangguk dan menyingkir dari pintu tersebut, dia masuk ke dalam. Ini juga pertama kalinya dia menjenguk Airi. Pintu ruang inap itu terbuka sempurna. Tsuki saja sampai tidak bisa berbicara apa-apa kala melihat kondisi sahabatnya. Monitor yang menyatakan detak jantung Airi masih berada di samping ranjang perempuan itu, begitupula dengan masker oksigen yang masih terpasang sempurna di antar hidung dan mulutnya. Termasuk kepalanya yang kata Kuro terluka serta lehernya yang masih diplester oleh perban. Lalu, selang infus beserta cairan IV yang masih tergantung di tiang di dekat sana.

Yang membuat Tsuki sedikit lega adalah napas Airi masih stabil menandakan perempuan itu masih disana. Tidak pergi kemanapun. Padahal ini sudah empat bulan sejak Airi dirawat, tapi seperti tidak ada perubahan berarti pada perempuan itu. Airi seperti jatuh tertidur untuk waktu yang lama.

“Shirokawa?!” Suara Ryohei yang terkejut membuat lamunan Tsuki terpecah. Dia segera berbalik dan menemukan Haruna yang sedang bersandar pada Meguro. Perempuan itu masih berdiri diambang pintu, mencengkram mantel tipis yang dikenakan Meguro. Bisa dilihat tubuh perempuan itu bergetar. Tatapannya shock bercampur rasa takut. Matanya tidak lepas menatap kearah Airi, lalu bergerak kesana kemari. Meguro bisa merasakan tangan yang dia genggam ini dipenuhi oleh keringat dingin.

“Ai-Airi-san bu-bukannya baik-baik saja...? Ke-Kenapa ... Kenapa dia...” Suara Haruna tercekat. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya. Tsuki menggigit bibir bagian dalamnya dan memejamkan sejenak. Memang pilihan kurang tepat mengajak Haruna. Apalagi kondisi Airi yang sebenarnya sama sekali tidak diketahui oleh Haruna. Haruna hanya tahu bahwa Airi diserang sasaeng dan perlu dirawat lebih lama di rumah sakit. Itu saja.

Tsuki menggerakkan kepalanya, menyuruh Meguro untuk membawa Haruna ke pergi dari sana untuk sementara waktu, menenangkan perempuan itu. Tsuki memijit pangkal hidungnya. Dia kembali berbalik dan menghadap Airi. Dilihatnya lamat-lamat sahabatnya.

“Duduk, Tsuki. Kau akan lelah kalau berdiri terus.” Suara Ryohei terdengar disertai suara kursi yang digeser kearah Tsuki. Perempuan bermarga Matsumoto itu tersenyum tipis. “Dia pasti lebih lelah terbaring terlalu lama seperti itu, Ryohei...” balas Tsuki.

Ryohei tidak menjawab. Dia berdiri di belakang Tsuki, mengulurkan tangan untuk mengusap-usap pundak sang perempuan. Dibanding duduk, Tsuki malah bersimpuh, duduk dengan dengkulnya dan meraih tangan Airi yang tidak terhalang apa-apa. Tangannya masih hangat. Digenggamnya erat tangan itu.

“Aku akan menarikmu kembali dari akhirat kalau kau sampai meninggal, bitch.” Bisik Tsuki. Ryohei bisa mendengar suara kekasihnya yang sedikit bergetar.

Sementara itu, Meguro masih berusaha menenangkan Haruna yang mulai panik. Dia melihat kesana-kemari, menanyakan tentang sasaeng yang sempat menyerangnya dulu. Gemetar di sekujur tubuhnya masih terasa serta air mata sudah memenuhi wajahnya. Meguro menangkup wajah Haruna dan memaksa perempuan itu untuk melihat kearahnya.

“Haruna, sayang, Haruna! Lihat aku, sayang, lihat aku, ya...” Suara Meguro melembut saat Haruna mulai memfokuskan pandangan pada Meguro. Sosok bernama kecil Ren itu tersenyum lembut. Dia mengusap-usap kedua pipi sang kekasih dengan ibu jarinya. “Mereka sudah tidak ada. Mereka tidak ada disini. Mereka sudah mendapat apa yang seharusnya mereka dapatkan. Kamu aman disini.” Katanya.

“Ta-Tapi, Airi-san.. dia... dia...” Suara Haruna bergetar serta terbata-bata. “Ssshhh, orang yang menyerangnya juga sudah tertangkap. Minamoto akan baik-baik saja, sayang.” Meguro menarik Haruna ke dalam sebuah pelukan, mengusap-usap kepala sang perempuan dan menenangkannya.

Rupanya Haruna masih belum benar-benar sembuh dari traumanya, melihatnya yang kambuh seperti ini benar-benar membuat Meguro begitu useless. Seperti memutar kenangan buruk. Tapi, demi Haruna, dia tidak boleh terbawa masa lalu. Lagipula itu semua sudah lewat yang harus dia fokuskan saat ini adalah menjaga dan melindungi Haruna.

Perhatian Meguro dan Haruna terdistrak kala mendengar suara langkah kaki yang cepat dari arah ujung lorong. Seorang pria dengan jas putih bersama seorang perawat terlihat masuk ke dalam ruangan dimana Airi dirawat. Meguro mengernyit. Dia menoleh kearah Haruna untuk memastikan bahwa perempuan itu sudah lebih tenang.

“Kamu tetap mau melihat Minamoto?” Haruna terdiam beberapa saat dan mengangguk. Meguro membantunya berdiri dan berjalan menuju ruangan Airi. Diambang pintu, mereka bisa melihat dokter dan perawat sibuk memeriksa kondisi Airi sementara Tsuki dan Ryohei menyingkir sedikit kearah sofa yang terletak di dekat sana.

Sebelum dokter dan perawat datang berkat Ryohei yang memanggil mereka lewat tombol emergency, Tsuki yang menggenggam tangan Airi merasakan pergerakan sekilas dari tangan yang digenggamnya. Perempuan itu jelas langsung melihat kearah Airi. Dia melihat sahabatnya itu sudah membuka matanya perlahan meski tatapannya masih kosong dan belum bisa melihat kearah Tsuki.

“U-Unnie...” panggil Haruna. Meguro langsung mengantar Haruna untuk mendekati sang ‘kakak’nya. Tsuki menyambut Haruna dan merangkulnya sementara Meguro bergabung dengan Ryohei. Kedua lelaki itu pamit untuk keluar dari ruangan. Lebih sedikit orang di dalam, dokter dan perawat akan lebih leluasa memeriksa kondisi Airi.

Ryohei langsung mengabari Shota yang saat ini sedang berada di Okinawa untuk urusan pekerjaan. Butuh deringan ketiga untuk telepon itu tersambung. “Shoppi! Syukurlah kau tidak slow respon,” sapa Ryohei. “Minamoto... Dia sudah bangun!”


Shota tidak bisa langsung meluncur kembali ke Tokyo begitu mendapat kabar mengembirakan itu. Tapi, setidaknya kualitas aktingnya kembali berkat kabar baik tersebut. Rika setelah tahu kabar itupun bersyukur dan menitipkan salam untuk Airi lewat Shota.

Selepas sampai di lobby halaman belakang gedung rumah sakit itu, Shota langsung melompat turun tanpa menunggu mobil yang membawanya berhenti sempurna. Lelaki bermarga Watanabe itu segera berlari menyusuri lorong rumah sakit yang panjang itu. Beruntung lorong rumah sakit bagian itu tidak ramai dilalui banyak orang.

Haruna dan Tsuki sudah kembali ke jadwal tur dunia mereka. Mereka tidak bisa terlalu berlama di Jepang karena masih terikat dengan jadwal tur. Well, setidaknya Tsuki sudah tenang karena sahabatnya sudah kembali sadar.

Pintu rawat inap Airi terbuka lebar, Shota yang berhenti diambang pintu terdiam melihat Airi yang sedang mendengarkan penjelasan dokter sementara Kuro berada di sampingnya. Shota tidak lagi melihat alat-alat medis di sekitar Airi yang tersisa hanyalah selang oksigen nasal cannula yang masih berada di hidung perempuan itu. Pandangan Airi teralihkan kearah luar begitu dia menyadari tidak hanya ada mereka disana.

Baik Shota maupun Airi saling bersitatap. Perempuan bermarga Minamoto itu tersenyum, senyumnya masih terlihat lemah sementara Shota berusaha menahan air mata yang sedari tadi sudah memaksa untuk keluar. Airi berusaha menurunkan kedua kakinya yang masih sedikit kaku, perawat yang ada disana melepaskan selang IV yang tersambung ke infus airi. Meski dia sudah menjalani fisioterapi selama beberapa hari untuk melemaskan kembali otot-ototnya yang kaku akibat tertidur cukup lama, itu tidak cukup membuatnya langsung bisa berjalan seperti dulu.

Langkah Airi masih terlihat tertatih. Selang oksigen yang tadinya dia pakai, sudah disingkirkan. Begitu keseimbangannya sedikit hilang dan hendak tersungkur, Shota langsung menangkap tubuh Airi. Perempuan itu refleks melingkarkan kedua tangannya di sekitar bahu Shota. Sudah berapa lama dia tidak merasakan kehangatan tubuh lelaki ini? Sudah berapa lama Shota tidak memeluk tubuh mungil Airi?

“Ya Tuhan, Airi... Sayangku...” Lirih Shota. Lelaki itu memeluk Airi erat-erat, memastikan bahwa dia tidak bermimpi. Bahwa dia masih diberi kesempatan untuk menjaga Airi sekali lagi. Airi tersenyum dan membalas pelukan Shota. “Hai, Shota..” balas Airi. Suara perempuan itu sudah cukup jelas meski sedikit serak.

Shota melonggarkan pelukan mereka dan menatap lamat-lamat wajah Airi. Sebelah tangannya menyusuri garis wajah Airi, kali ini ada mata yang menatapnya. Bukan lagi kelopak mata yang tertutup rapat seperti waktu itu. Diusapnya pipi Airi yang tirus itu dengan buku-buku jarinya. Airi tersenyum lembut. Dia meraih tangan Shota yang mengusap wajahnya. Digenggamnya erat meski tidak seerat Shota karena kondisinya yang masih lemah pasca pulih dari semi koma.

“Aku tidak mau melepaskan genggaman tangan ini lagi...” katanya. Shota tersenyum. Kepalanya mengangguk. “Aku juga tidak mau membiarkanmu melepaskan genggaman tangan ini.”

Shota menyatukan kening mereka berdua. Mengusap-usap pipi Airi, mengabaikan dokter, perawat dan juga manajer Airi yang sedari tadi hanya memperhatikan dengan senyum tipis.

“Maklum ya, sensei,” kata Kuro. “Tidak, tidak.” Sang dokter tertawa.

Sementara itu, Koji yang tadinya hendak menjenguk Airi seperti biasa, harus mengurungkan niat begitu melihat Shota sudah lebih dulu sampai disana. Sosok lelaki berdarah campuran itu tersenyum lebar, dia buru-buru membuka ponselnya. Sayang sekali dia tidak membawa kemarenya saat ini, padahal saat-saat seperti ini adalah peristiwa penting melihat Shota dan Airi yang terlihat sedang melepas rindu. Akan dia kirimkan foto ini di grup.


Malam itu, Shota tidak bisa tidur, dia sibuk memandangi wajah Airi yang sedang terlelap di sebelahnya. Dia menyelipkan helaian rambut Airi dibelakang telinga perempuan itu. Sudah lewat sebulan lebih sejak Airi bisa keluar dari rumah sakit dengan keadaan yang sehat.

Suasana media sosial tentang hubungan mereka pun sudah mereda. Banyak fans yang malah menunggu comeback mereka untuk bermain di satu project lagi. Well, itu sesuatu yang patut disyukuri, meski masih ada beberapa yang tidak setuju dengan hubungan keduanya.

“Kau sedang melihat apa?” Suara serak Airi yang terbangun itu membuat Shota berhenti dari lamunannya. Lelaki bermarga Watanabe itu menggeleng dan tersenyum, dia mengusap-usap pipi Airi lembut. “Melihatmu. Memastikan bahwa kau tidak tidur lama seperti waktu itu.” katanya.

Airi sedikit terdiam. Tanpa kata, dia melingkarkan tangannya di pinggang Shota dan menarik diri untuk lebih dekat dnegan lelaki bermarga Watanabe itu. “Kalau begitu kau hanya perlu menciumku untuk membangunkanku.” Katanya. Shota tertawa.

“Benar, ya! Aku akan menciummu besok pagi!” tekad Shota. Airi menggeleng. “Aku akan bangun lebih dulu darimu!” balas Airi tidak mau kalah. “Kalau begitu, kau yang menciumku?”

“Dih, kepedean.” Cibir Airi. Shota tertawa. Dia menarik selimut lebih tinggi dan memeluk Airi lagi. “Yang terpenting kamu tidak lagi pergi dari sisiku. Itu saja sudah cukup...”

“Aku tidak akan kemana-kemana lagi, Shota...”

Ada keheningan lama diantara mereka. Shota menarik diri sedikit dari Airi dan menatap sang kesayangan. “Berarti kita bisa jalan-jalan malam seperti waktu itu tanpa penyamaran?”


ShoppiAiri, Angst, Typo


Berita mengenai Airi yang diserang sudah mulai tersebar. Agensi TOBE memberikan berita lewat halaman resminya tiga hari setelah Airi dirawat. Beberapa orang mengirimkan pesan menguatkan dan berharap Airi segera pulih. Mengenai pesan negatif bahkan sekarang sudah bisa dihitung jari. Lebih banyak orang yang mendukung Shota dan Airi untuk tetap bersama.

Ini sudah masuk musim panas. Terhitung dua bulan Airi masih tidak sadarkan diri. Kondisinya masih belum menunjukkan tanda tanda pemulihan kesadaran. Padahal dokter bilang Airi tidak mengalami cidera kepala yang berat, hanya asfiksia. Hanya. Tidak. Asfiksia adalah penyebab otak Airi menolak untuk merespon karena kurangnya pasokan oksigen.

Shota selalu menyempatkan diri untuk menjaga Airi, memberi waktu Kuro untuk istirahat atau paling tidak kembali ke kantor TOBE untuk meneruskan beberapa pekerjaannya yang lain. Karena hal ini, Shota selalu menolak ajakan teman-temannya di Snow Man untuk makan malam bersama. Sekalipun ada syuting di luar kota, kalau tidak mengharuskan menginap, Shota akan memilih kembali ke Tokyo sesegera mungkin. Dia tidak mau meninggalkan Airi lagi.

Seperti hari ini, Fukka mengajak mereka untuk menikmati onsen dan makan yakiniku. Hitung-hitung refreshing. Konser tur mereka sedang berlangsung. Dome Tour lebih tepatnya. Shota yang sedang merapikan barang-barangnya tidak mengindahkan ajakan Fukka dan suara-suara heboh Sakuma dan Koji.

Aktifitasnya sebagai idol masih berjalan dengan lancar. Dia mencoba untuk tetap bersikap profesional di depan kamera, meski para member menyadari perubahan Shota yang lebih murung. Apalagi lelaki itu seperti tidak merawat dirinya dengan baik, bersyukur Date selalu mengingatkannya untuk menjaga rutinitas skincare yang biasa dia lakukan agar wajahnya tetap terlihat terawat.

Setidaknya Shota harus terlihat baik-baik saja.

“Maaf, aku tidak bisa ikut.” Katanya dengan cepat. Meguro melirik kearah Shota yang sudah bersiap beranjak dari gakuya tersebut. Lelaki bernama kecil Ren itu menahan tangan Shota. “Kalau begitu, aku ikut denganmu.” Katanya. Meguro sempat bertukar pandang dengan Date sejenak yang dibalas dengan anggukan samar oleh lelaki itu.

“Hitung-hitung aku menjenguk Minamoto. Yah, sebenarnya aku berencana menjenguknya bersama Haruna, tapi Haruna baru akan di Jepang minggu depan untuk tur dunia REDONE.” Kata Meguro. Shota mengerjap. Raul merangkul Shota dan tersenyum lebar. “Aku juga mau ikuut. Sudah lama aku tidak melihat Airi-san*.” Katanya, berusaha terdengar seceria mungkin. Menganggap bahwa Airi baik-baik saja meski kenyataannya tidak seperti itu.

Shota mengerutkan kening dan mengangguk. “Baiklah. Tapi, aku menumpang mobilmu kalau begitu.” Kata Shota, langsung pergi dari sana. Meguro mengerjap. Dia memang bawa mobil hari itu. “Yeay! Meme menyetir!” seru Raul dengan semangat, menarik Meguro untuk mengikuti Shota yang sudah jalan terlebih dahulu.

“Baiklah. Kalian jangan lupa makan ya!” seru Fukka yang dibalas anggukan oleh Meguro dan Raul sebelum mereka keluar dari gakuya.

“Meme,” Meguro yang sedang mengeringkan rambutnya selepas mandi untuk menghilangkan sisa keringat hasil bersenang-senang di konser itu menoleh. Dia melihat Date berdiri di sebelahnya, lelaki bermarga Miyadate itu bersandar di wastafel. Dia terlihat menatap lurus ke satu titik di ruangan itu.

“Keadaan Shoppi tidak baik,” katanya. Gerakan Meguro terhenti. “dia lebih sering makan makanan instan dan cepat saji dari supermarket. Kalau Airi tahu, dia tidak akan suka.” Lanjutnya. Meguro menghentikan gerakan tangan pada kepalanya dan ikut berbalik badan dan bersandar di sebelah Date.

“Jadi, kau memintaku untuk mengawasinya?” tanyanya. Date menggeleng. “Hari ini dia pasti akan menjaga Airi lagi. Aku minta tolong kau temani dia dan mengawasi makan malamnya.” Lanjutnya.

Meguro terdiam sejenak. Kalau diperhatikan tubuh Shota memang lebih kurus dari biasanya meski badannya masih cukup bidang untuk dibilang kurus. Pipinya juga terlihat tirus dan moodnya jadi agak tidak stabil. Kalau memutar ingatan ke beberapa minggu ke belakang sehari setelah Shota pergi ke rumah sakit tempat Airi dirawat sesaat setelah Koji memberikan kabar diserangnya Airi, Meguro melihat tangan kanan Shota yang diperban. Koji memberitahunya bahwa Shota terlalu keras menggenggam tangannya hingga membuat kuku-kuku jarinya menancap dan menimbulkan luka.

Ini masa-masa sulit untuk Shota. Meguro pernah ada di masa seperti ini. Rasa cemas dan bersalah karena tidak bisa ada disisi Haruna saat hal buruk itu terjadi pada kekasihnya.

Meguro mengangguk dan tersenyum. “Serahkan padaku, Datesama.” Katanya.

“Ne, Meme, mampir sebentar, dong, ke yoshinoya!” Suara Raul tiba-tiba memecah lamunannya. Lelaki bermarga Meguro itu melirik sedikit kearah Raul sementara dia masih fokus pada jalanan di depannya.

“Aku lapar.” Lanjutnya. Meguro terkekeh. Dia meminggirkan mobilnya dan menyalakan lampu hazard pada mobilnya. Meguro menoleh kearah Shota yang sedang melihat kearah luar jendela. “Kau mau sesuatu, Shoppi?” tanyanya. Shota tidak langsung menjawab. Lelaki itu menarik napas sejenak. “Tidak.” Katanya. Meguro mengangguk.

“Raul yang pesan ya, aku black pepper beef bowl, Shoppi teriyaki chicken bowl.” Kata Meguro. Raul mengangguk dan langsung turun dari mobil.

Shota menoleh kearah Meguro dan mendelik. “Aku tidak pesan apa-apa, Meme.” Katanya. Meguro tersenyum kearahnya. “Tapi, kau butuh makan, Shoppi. Minamoto tidak akan suka kalau tahu makanmu tidak teratur seperti ini.” balas Meguro.

Shota terdiam sejenak. Dia berdecak. “Tapi, kenapa kau pesankan aku ayam teriyaki...” lirihnya. Ada rasa sedih yang menjalar lagi di hatinya. Meguro mengernyit. “ayam teriyaki itu masakan andalan Airi..”

Meguro mengerjap. “Maaf... Aku tidak tahu...” balasnya. Shota tertawa. Dia menepuk pundak Meguro pelan. “Santai saja. Aku tidak semellow itu.” kata Shota.


“Hah! Keamanan anda bilang? Sekarang lihat! Airi tidak sadarkan diri karena keamanan anda yang tidak baik!” Shota berseru di depan Takki yang berkunjung ke kamar tempat Airi dirawat. Sebelumnya mereka sempat membahas kronologi kejadian yang dialami oleh Airi dan ucapan Takki yang dikatakan padanya di Shinbanshi waktu itu. Takki tidak membalas Shota. Dia membiarkan mantan juniornya itu untuk meluapkan emosinya.

Shota menyisir rambutnya kebelakang dan menggenggam rambutnya dengan keras. Gigi-giginya bergelumutuk dan wajahnya memerah. Genggaman pada rambutnya terlepas dan dia memukul dahinya berulang kali. Takki bisa mendengar isakkan sekilas yang keluar dari mulut Shota. Lelaki bermarga Watanabe itu duduk di kursi yang ada disana.

“Kalau kalian ingin memisahkan kami, setidaknya jangan bawa dia ke tempatnya yang lama...” gumam Shota dengan suara serak. Koji menggigit bibirnya, dia ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Shota saat ini. Bagaimanapun Airi adalah sahabatnya juga. Dia tidak ingin Airi mengalami hal ini.

Takki mendekati Shota, menarik kepala lelaki itu untuk bersandar pada pundaknya. Shota mencengkram mantel yang dikenakan sang senior. “Aku mencintainya, Takizawa-san... Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya di kehidupanku. Aku tidak akan terbiasa jika hidup tanpa kehadirannya...”

“Maafkan aku, Watanabe-kun...”

Shota terbangun. Dia mengerjapkan matanya begitu tersadar dari mimpinya. Sebuah potongan ingatan di masa lalu saat Takki mengunjungi Airi dan bertemu dengannya. Shota menyandarkan tubuhnya yang semula tertidur di sisi Airi ke sandaran kursi. Direnggangkannya sejenak tubuhnya.

Dia melihat kearah sofa yang saat ini sudah diakuisisi oleh Meguro dan Raul. Meguro terlelap dengan posisi duduk sementara Raul rebahan dengan posisi kepala di armrest sofa dan kakinya di pangkuan Meguro. Kedua orang itu menolak untuk pulang dan memilih menemani Shota. Shota beralih melihat kearah kekasihnya yang masih terbaring tidak bergerak sama sekali di depannya. Yang membuatnya merasa lega karena Airi masih bersamanya adalah monitor yang masih menunjukkan detak jantung Airi yang stabil.

Semi koma adalah kondisi dimana seseorang tidak bisa menerima respons verbal dan sulit untuk dibangunkan. Namun, refleks kornea dan pupilnya masih baik. Shota mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Airi yang tidak tertutupi masker oksigen yang diberikan padanya. Kedua matanya terasa panas dan berkaca-kaca.

“Airi... Cepatlah bangun... Musim panas kali ini terlalu kejam untuk kulewati sendirian...” Shota berucap lirih. Sebelah tangannya yang lain menggenggam tangan Airi yang bebas dari infusan.

Keseharian yang dia jalani terlalu biasa sejak Airi dalam kondisi tidak baik. Dia merasa sebagian hidupnya kosong dan kurang. Aktifitas yang dijalaninyapun sangat monoton dan tidak menarik. Dia ingin Airi segera bangun. Shota ingin melihat sikap Airi yang kadang-kadang tsundere padanya. Sikap Airi yang salah tingkah setiap kali dia memberikan perlakuan manis pada perempuan itu. Shota sangat merindukan Airi.

Suara pintu yang digeser menganggetkan Shota. Lelaki itu refleks menoleh dan menemukan sosok bertubuh jangkung dengan kulit putih pucat yang dia kenal sebagai seniornya di Johnnys itu masuk ke dalam ruangan itu dengan membawa sebuket bunga baby breath. Shota mengerutkan kening.

“Tamamori-san?” “Lho, Watanabe?”


ShoppiAiri, Angst, Typo


“Watanabe, kau dapat kiriman.” Takahashi menghampiri Shota yang sedang duduk di samping Meguro di ruangan latihan yang dipenuhi kaca itu. Mereka baru selesai menyelesaikan koreografi untuk beberapa lagu di album iDome.

Shota mengulurkan tangan dan menerima dua bungkusan tersebut, berterima kasih pada manajernya lalu lelaki bermarga Takahashi itu pamit dari sana.

Hatinya sedikit menghangat kala menyadari salah satunya adalah kain furoshiki yang sering dia lihat dari lemari Airi. Benar saja, ternyata kiriman itu dari Airi.

Shota mengulum sebuah senyum. Dibukanya ikatan tas furoshiki berwarna biru dengan aksen sulur daun berwarna merah muda. Di dalamnya ada sebuah kartu ucapan.

“Aku menonton soresuno kemarin, tolong jangan memaksakan diri. Kau perlu istirahat, Shota.”

Lelaki bermarga Watanabe itu tersenyum lebar. Dia tahu bahwa Airi masih peduli padanya meski mereka sudah jarang berkomunikasi dan Shota nyaris berpikir bahwa Airi tidak lagi mencintainya. Sungguh pikiran yang buruk.

“Syukurlah dia baik-baik saja, ya.” Suara Meguro tiba-tiba berucap padanya. Shota menoleh kearah kekasih Shirokawa Haruna itu dan kepalanya mengangguk. Sebelum dia membuka kotak makan yang dikirimkan Airi itu, dia membuka kiriman lainnya.

Sebuah kotak yang isinya sangat ringan membuat Shota mengernyit bingung. Aneh sekali. Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak. Perasaannya terasa mengganjal. Sebagian dari dirinya berkata untuk jangan membuka kiriman yang satu itu.

Shota membuka selotip yang menyegel kotak tersebut. Dia membuka perlahan kotak tersebut dan berjengit. Tangannya refleks melempar kotak tersebut dan Shota berdiri, merapatkan dirinya pada dinding di belakangnya. Kedua matanya mengerjap, tangannya mengepal erat untuk mencegah gemetar yang dia rasakan semakin timbul.

Tidak hanya Shota yang terkejut, Meguro, Koji, Fukka, Sakuma, Raul, Date, Iwamoto, maupun Ryohei ikut tersentak karena suara benda yang terlempar cukup keras. Dari dalam kotak itu, terlempar keluar sebuah foto bertuliskan dengan warna merah, menyatakan bahwa Airi lebih baik mati dibanding harus menjalin hubungan dengan Shota.

Napas Shota memburu. Perasaan tidak enak dan mengganjal di hatinya semakin membesar. Pikirannya sudah dipenuhi dengan Airi, Airi dan Airi. Apakah perempuan itu baik-baik saja?

Fukka mengambil foto tersebut. “Siapa yang berani mengirimkan ini ke jimusho...?” gumamnya tidak percaya. Sementara Iwamoto terlihat jengah, dipikirannya hal seperti ini seharusnya melewati pemeriksaan yang ketat. Kenapa bisa-bisanya lewat pemeriksaan?

Iwamoto mengambil foto itu dari tangan Fukka. Lelaki itu berjalan kearah telepon yang tertempel di dinding ruang latihan itu, memanggil manajer Shota untuk kembali ke ruangan tersebut.

Raul segera menghampiri Shota yang masih diam pada posisinya. Lelaki jangkung yang nyaris memiliki tinggi dua meter itu merangkul sang kakak. Barulah dia sadar bahwa tubuh Shota sudah sangat gemetar, meski lelaki itu terlihat berusaha memfokuskan pandangannya agar terlihat tetap baik-baik saja.

Raul menggigit bibirnya. Dia langsung memeluk Shota erat, mengusap-usap punggung sang kakak untuk menenangkannya.

“Kenapa bisa bisanya kiriman seperti ini lewat pemeriksaan kalian?” Iwamoto bertanya dengan tegas pada sang manajer.

Sementara Takahashi terkejut dengan apa yang disodorkan oleh Iwamoto padanya. Kedua matanya mengerjap. Diambilnya foto tersebut dari tangan Iwamoto.

“Maaf, kiriman ini tidak sempat kami cek...” kata Takahashi. Iwamoto berdecak. Lelaki yang memiliki warna kuning sebagai color representative di Snow Man itu menghembuskan napas. Kedua tangannya berkacak pinggang dan pandangannya menunduk sedikit.

“Maaf aku bilang begini, tapi,” Iwamoto menarik napasnya. “tolong dengan sangat lakukan pekerjaan kalian dengan lebih baik.” Bisiknya.

Ano! Maaf memotong pembicaraan kalian, tapi, Shota kau harus tahu ini,” Suara Koji tiba-tiba mengintrupsi mereka. Seluruh pandangan menatap kearahnya dengan bingung. Lelaki itu menarik napas dan menggigit bibirnya. Shota menatap Koji dengan curiga. Semoga saja ini tidak sesuai dengan perasaan mengganjal yang sedari tadi menggerogotinya.

“Airi diserang fans fanatik di kediamannya tadi sore. Dia hilang kesadaran dan belum membaik sampai saat ini.”

Tiba-tiba saja Shota merasakan seluruh dunianya terhisap. Napas yang sedari tadi dia keluar masukkan menjadi hilang. Tubuhnya membeku dan gemetarnya hilang dalam sekejap, digantikan dengan rasa berdebar yang kencang.

Astaga... Ya Tuhan... Lelucon macam apa lagi ini...


Tsuki baru saja sampai di dorm begitu dia menyalakan ponsel yang sedari tadi dia matikan. Hari itu dia sibuk menyusun koreografi dengan koreografer yang biasa mengurus dance yang dibawakan RED*ONE. Kenapa dia sudah kembali ke Korea? Tsuki tidak bisa berlama-lama di Jepang. Setelah dia pamit pada keluarganya untuk keliling dunia mencari kitab suci—yang langsung dicibir dan dicap sebagai jelmaan Song Gokong oleh Ryosuke, bertemu Airi dan juga Ryohei—Ya, dia dipaksa Airi untuk menemui pacarnya itu barang sepuluh menit saja.

Perempuan bermarga Matsumoto itu mengerjap bingung saat mendapati banyak panggilan tidak terjawab beserta beberapa pesan dari kontak manajer baru Airi. Sisanya hanya notifikasi lain yang dia rasa tidak begitu penting.

Ya. Saat Airi menekan kontrak dengan TOBE, dia meminta izin Tsuki dan Koji untuk mencantumkan kontak darurat yang bisa dihubungi jika terjadi sesuatu.

Kalo diingat, sepengetahuan Tsuki, Airi itu yatim piatu. Dia hanya punya tante dan kakak sepupu jauhnya. Dan yang paling dia percaya hanyalah Tsuki dan Koji. Sembari membuka pintu dorm yang dia tinggali, Tsuki membuka pesan LINE dari Kuro.

Matanya melebar kaget, sementara tubuhnya dengan refleks bersandar lemas pada pintu di belakang yang sudah dia tutup. Tangannya tanpa dia sadari menggenggam erat benda persegi tersebut, meremasnya.

Apa-apaan ini...

“Tsuki-unnie, okaeri...” Suara lembut yang dia kenal menyapa. Kepala Tsuki mendongak, bertemu pandang dengan Haruna yang sedang menikmati marshmallow yang tertusuk di garpunya. Sepertinya Eunbi juga sudah pulang dan sedang mengajak Haruna membuat cemilan.

Tsuki mengerjap beberapa kali. Terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya.

“Oh, tadaima, Haruna.” Balasnya. Tsuki segera melepas sepatu dan masuk ke dalam. Haruna sedikit memiringkan kepalanya dengan bingung. Tsuki meletakan tasnya ke atas sofa dan menghampiri Eunbi yang sedang membakar sisa marshmallow. Dilihatnya sang perempuan mengajak ngobrol Eunbi.

Haruna mengerutkan kening. Sebelum dia menyapa Tsuki tadi, dia menyadari ekspresi tegang yang dibuat oleh sang perempuan. Apakah ada sesuatu yang mengganggu Tsuki?

Tsuki melirik sedikit kearah Haruna yang masih memandanginya. Dia memejamkan mata. Ragu untuk memberitahu Haruna atau tidak. Dia hanya takut kalau berita ini akan membuat Haruna mengalami deja vu dan mempengaruhi kondisinya. Tapi, cepat atau lambat perempuan bermarga Shirokawa itu akan tahu dari pacarnya, si Meguro Maguro itu.

Tsuki menarik napas dan berbalik. Dia bersandar pada kitchen set di belakangnya. “Haruna,” panggilnya. Haruna mengangkat kedua alisnya dan menatap Tsuki dengan sepasang matanya yang bulat.

Kalau Meguro melihat mungkin lelaki itu akan menerjang Haruna dan memeluknya erat-erat.

“aku ... mau memberitahumu sesuatu. Tentang Airi. Tapi, apakah kau baik-baik saja?” lanjutnya.

Haruna terdiam. Mulutnya yang mengunyah suapan terakhir marshmallow itu memelan. Haruna menelan marshmallow yang tersisa di mulutnya dan mengangguk. “Ada apa dengan Airi-san, Tsuki-unnie?”

Tsuki menghembuskan napas. Menunduk sejenak sebelum akhirnya mendongak kembali untuk menatap lurus kearah Haruna. “Kuro mengabariku kalau Airi diserang sasaeng. Dia kehilangan kesadaran dan kondisinya belum membaik saat ini.”

Tubuh Haruna membeku. Jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik. Memori-memori mengerikan yang pernah terjadi padanya saat hubungannya dengan Meguro terungkap kembali terputar. Garpu yang semula ada di genggamannya terjatuh.

“Haruna?” Eunbi memanggil nama sang maknae.

Meski Eunbi tidak bisa menangkap semua pembicaraan Tsuki dan Haruna yang menggunakan bahasa ibu mereka, dengan hanya menangkap kata ‘sasaeng’ saja dia paham bahwa ada sesuatu yang terjadi pada teman mereka di Jepang itu.

Kepalanya terasa berputar, isi di perutnya seakan bergejolak. Haruna menutup mulutnya. Berlari menuju kamar mandi untuk mengeluarkan isi perut yang mendadak ingin keluar. Perutnya mual. Dibenamkan wajahnya ke dalam mangkuk toilet. Tsuki dan Eunbi dengan panik menyusul sang adik.

Eunbi langsung berjongkok dan mengusap-usap punggung Haruna. Berusaha membuat perasaan perempuan itu menjadi lebih baik. Tsuki menggigit bibir bagian dalamnya. Seharusnya dia tidak memberitahu Haruna kalau kondisinya menjadi seperti ini.

Haruna bersandar pada dinding kamar mandi setelah selesai mengeluarkan seluruh isi perutnya. Perasaan deja vu nan tak nyaman itu masih tersisa meski tidak sebanyak tadi. Matanya menatap sayu nan sedih kearah Tsuki.

Unnie, Airi-san... dia akan baik-baik saja, ‘kan? Dia tidak akan pergi, ‘kan?”

Tsuki tidak menjawab. Dia hanya menyunggingkan senyum setipis mungkin.


Memang terlalu awal untuk bersyukur bahwa semuanya baik-baik saja. Shota menatap kedalam ruangan VIP itu, ruangan khusus yang hanya diperuntukkan orang penting termasuk agensi yang menginginkan talentnya di rawat dengan keamanan yang ketat. Tangan Shota mengepal. Dia mendesis pelan. Tatapannya saat ini pun terlihat cukup seram.

Sosok perempuan yang terbaring di atas ranjang di dalam ruangan itu sedang diperiksa dokter dan perawat. Tidak butuh waktu lama hingga sang dokter keluar dari ruangan dan menyapa sang manajer, Kuro, yang bertanggung jawab mengurus talentnya.

“Minamoto-san mengalami asfiksia akibat pencekikan yang dialaminya. Cidera di kepalanya tidak terlalu berat. Kami bersyukur karena Kurotsuchi-san memberikan CPR untuk pertolongan pertama padanya.” Sang dokter langsung memberikan diagnosanya mengenai kondisi Airi.

“Lalu, mengapa sampai sekarang Airi belum bangun, sensei?” tanya Shota dengan cemas. Banyak hal yang membuatnya takut saat ini. Tapi, yang paling dia takutkan adalah kehilangan Airi. Sang dokter mengulum bibirnya, menggenggam kedua tangannya dan memalingkan pandangan sejenak.

Sang dokter menghela napas pelan. “Meski sudah dilakukan CPR sebagai pertolongan pertama, belum ada respon yang baik dari otak Minamoto-san karena kurangnya pasokan oksigen yang masuk ke dalam otaknya,” Shota mengerjap. Koji langsung merangkul anggota satu grup sekaligus pacar sahabatnya ini. “bisa dikatakan bahwa Minamoto-san mengalami semi koma saat ini.”

Genggaman tangan Shota semakin kencang hingga buku-buku jarinya memutih dan kuku-kukunya menancap di kulit telapak tangannya. Rasa sakitnya tidak setara dengan apa yang hatinya rasakan saat ini. Dia seharusnya ada di samping Airi, melindungi wanita itu. Seharusnya dia menolak keputusan agensi untuk memisahkan mereka. Persetan break. Harusnya dia tidak perlu peduli tentang hal itu.


“Hei, Tsuki,” Koji menggeser pintu ruangan khusus untuk menerima telepon itu dan masuk ke dalam. Ditutupnya kembali pintu tersebut dan disandarkannya punggung lelaki itu di tembok. Ada keheningan panjang, baik padanya maupun pada Tsuki. Keduanya sama-sama sedang termenung. “Airi semi koma...” lanjutnya.

“Begitu ya...” balas Tsuki di seberang sana. Di seberang sana, Tsuki yang tadinya belum tidur dan hendak mengambil minum, menerima telepon dari Koji dan dia merasa harus menerima telepon itu.

Tsuki duduk di atas sofa di tengah kegelapan dormnya. Kondisi Haruna sudah lebih baik sejak dia trigger yang dialaminya tadi. Kedua kakinya diangkat untuk mendekat kearah dadanya.

“Pelakunya... sudah ditangkap kan?” tanya Tsuki lamat-lamat. Dia benar-benar murka pada siapapun yang beraninya membuat Airi mengalami hal traumatis seperti ini. Koji mengangguk, tangannya meremas ponsel yang digenggamnya.

“Ya. Tanaka Naoto. Dia tergila-gila dan rela melakukan apa saja untuk salah seorang Nabe-tan, fans fanatik Shoppi. Crushnya ini tidak terima Shoppi berpacaran dengan Airi dan memanfaatkan kegilaan orang itu padanya untuk mencelakai Airi.” Balas Koji.

Tsuki meremas botol mineral yang sudah setengah dia habiskan isinya. “Brengsek...” Geramnya.

“Polisi mengatakan bahwa Tanaka akan dituntut dengan pasal pembunuhan berencana.” Kata Koji lagi. Tsuki tertawa pelan mendengarnya. “Lalu, si sasaeng asshole yang menyuruh si brengsek itu bagaimana? Kalau dia tidak bisa ditangkap, aku akan senang hati membunuhnya langsung.” Cibir Tsuki. Ini agaknya bukan seorang Tsuki. Koji sampai terdiam selama beberapa saat.

Sonna koto yori...” Suara Koji kembali terdengar di keheningan malam itu. “Airi... akan baik-baik saja, ‘kan? Dia.. tidak akan semudah itu meninggal, kan...” lanjut Koji pelan. Kedua matanya sudah dipenuhi air mata yang bisa kapan saja jatuh.

“Jaga ucapanmu, Koji,” Tsuki mendelik. “Kita tahu dia adalah seorang bitch yang tangguh.” Tukasnya.

Koji tertawa. Sebuah tawa yang masam. Sebulir air mata lolos dari sebelah matanya. “Kau benar.” Balasnya.

Kau akan baik-baik saja, Airi. Tsuki menyeka ujung matanya.


ShoppiAiri, Angst, Typo, Cringe, Fast plot


Hari itu, jadwal untuk show Takizawa Kabuki Final. Mereka berhasil menyelesaikan pertunjukan dengan baik tanpa luka sedikitpun. Syukurlah. Saat ini kesembilan member Snow Man sedang merekam video mengenai Sore Suno 2 jam spesial yang akan diposting di Johnnys Web. Shota mengulum senyum tipis, sesekali menyisir rambutnya kebelakangan, menunjukkan keningnya yang terkadang bisa membuat nabe tan berseru heboh. Ya, alasan mengapa dia mengganti gaya rambutnya dengan sedikit demi sedikit menunjukkan jidatnya juga karena ingin mencoba suasana baru.

Sementara Koji, Meme, Fukka dan lainnya berbicara, Shota hanya diam menyimak. Tidak benar-benar karena pikirannya masih terfokus pada kekasihnya—Minamoto Airi yang saat ini sedang menjaga jarak darinya berkat berita yang muncul di sosial media tentang hubungan mereka. Kedua agensi meminta mereka untuk tidak berhubungan selama beberapa saat. Keputusan Airi yang mengiyakan perintah agensi juga membuat Shota sedikit frustasi.

Padahal sejauh ini yang dia baca di sosial media, justru fans lebih banyak mendukung mereka. Aroma-aroma mengenai hubungan mereka sudah lama tercium oleh fans sejak project drama romantis itu. Menurut para fans—atas pengamatan Shota, mereka pasangan yang serasi dan cocok. Jadi, apa yang TOBE dan Johnnys khawatirkan? Tidak ada. Malah mereka seharusnya mengklarifikasi dan mencari keuntungan apa yang bisa diambil dari reaksi fans.

“Are, Nabe? Ada apa?” Suara Fukka tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Lelaki akrab disapa Shoppi itu langsung menggerakkan bola matanya untuk fokus pada kamera yang disodorkan oleh Sakuma. Dia mempertahankan ekspresi seriusnya dan mengacungkan jari telunjuk keatas. Suara Raul tertawa terdengar seraya lelaki jangkung itu menepuk pelan kepalanya, Shota langsung menoleh kearah Raul dan menyunggingkan seulas senyum.

“Ah, maksudnya tuh aku nomor satu gitu, ‘kan?” Ujar Koji mengundang tawa member lainnya. Shota hanya mempertahankan senyumnya. Setelahnya dia tidak lagi menangkap pembicaraan member. Pengambilan video selesai. Shota turun dari atas anak tangga dengan perlahan, berniat untuk kembali ke ruangannya saat tiba-tiba seseorang menarik sikunya.

Shota menoleh, melihat Iwamoto Hikaru menatapnya dengan serius. “Chotto ii?” tanyanya. Shota mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Mereka kembali naik keatas tangga dan berdiri berhadapan. Sebelah tangan Iwamoto dimasukkan ke dalam saku celana merah yang dikenakan mereka untuk tampil tadi.

“Aku tahu hubunganmu dengan Minamoto sedang tidak baik-baik saja,” ucap Iwamoto. Shota mengulum bibirnya, menyapu bagian dalam pipinya dan menunduk sedikit. “tapi, tolong fokus dan profesional sedikit, ya, Shota. Ini takibuki terakhir kita. Aku, kamu, kita semua mau yang terbaik.” Katanya.

“Hee, profesional ya...” Gumam Shota. Iwamoto menepuk pundak Shota. “Kalian pasti akan kembali bersama. Ini Cuma masalah waktu.” Tambah Iwamoto, dia tidak mau terdengar egois hanya karena mementingkan Takibuki dibandingkan kehidupan pribadi anggota grupnya. Tapi, dia juga tidak mau Shota dicap tidak profesional karena tidak bisa fokus dengan apa yang ada di depannya dulu.

“Ya. Terima kasih, Hii-kun.”


“Ah, Takizawa-san! Otsukaresama!” Suara Sakuma yang memanggil senior mereka yang sudah hengkang dari Johnnys itu membuat Shota bangkit dari posisi rebahannya di lantai gakuya. Koji sedikit melirik kearah Shota. “Kau mau bertemu Takki?” tanya Koji.

Shota membalas tatapan Koji. “Entahlah. Aku takut emosi pada Takki.” Balas Shota. Di lubuk hati terdalamnya dia masih emosi dengan cara agensi Takki mengurusi berita ini. Koji mengulum senyum, dia mendekat kearah Shota dan memukul pelan pundak lelaki bermarga Watanabe itu.

“Tidak ada salahnya bicara pada Takki, Shoppi. Dia pasti juga ingin mengatakan sesuatu.” Tepat setelah Koji berkata seperti itu, Takki muncul di depan pintu gakuya Koji dan Shota. Keduanya langsung bangkit dan merunduk sopan. Takki-Takizawa Hideaki tersenyum. Sudah lama dia tidak bertemu dengan junior penerus Takibuki ini.

“Hisashiburi, Watanabe-kun.” Sapanya.


Tsuki mengedarkan pandangan dari balik kacamata berlensa gradasi merah miliknya, mencari keberadaan Airi di kafe langganan mereka itu. “Ah.” Tsuki bergumam setelah menemukan keberadaan Airi di pojok kafe di dekat jendela. Perempuan itu sedang menikmati lemon mint tea nya seraya memandangi keramaian yang melewati pandangannya.

Langkah Tsuki mendekati keberadaan sang perempuan bermarga Minamoto itu. Airi langsung menoleh dan tersenyum miring. “Long time no see, bitch.” Sapa Airi. “You too, bitch. Lama kita tidak bertemu, kau malah ketahuan pacaran dengan Watanabe.” Balas Tsuki, seraya duduk di depan Airi.

Airi tertawa mendengarnya. “Well, namanya juga publik figur,” balas Airi. “tumben sekali kau sempat kembali ke Jepang, bukankah ada jadwal world tour dalam waktu dekat ini?” lanjutnya. Tsuki memanggil pelayan sebelum membalas ucapan Airi. Sang pelayan menyerahkan menu pada Tsuki dan dengan cepat perempuan itu memilih ginger ale.

“Kau membuatku kembali kesini, bitch.” Kata Tsuki. Perempuan bermarga Matsumoto itu melepaskan kacamatanya. Airi menggumam sebagai balasan. “So... Kalian pisah rumah?” tanya Tsuki.

Airi tidak menatap langsung kearah Tsuki. Dia mengulum senyum. “Hee, jadi kau khawatir padaku? Aiguuu, lucunya, Matsumoto Tsuki.” Cibir Airi. Tsuki berdecak. “Kau seharusnya merasa terhormat karena kau dicemaskan oleh seorang Matsumoto Tsuki.” Balas Tsuki.

Airi merotasi bola matanya. “Aku lebih suka dicemaskan kucingku.” Tsuki melotot. Bisa bisanya posisinya lebih rendah dari seekor kucing. Tak lama pesanan ginger ale milik Tsuki datang. Dia mengucapkan terima kasih. “Tapi, kau baik-baik saja kan?” tanya Tsuki. Airi melirik kearah perempuan di hadapannya.

Dia tersenyum geli. “As you see. Aku baik-baik saja, untuk saat ini.” katanya. Tsuki menatap lamat-lamat Airi, memperhatikan gerak-gerik perempuan di depannya ini dan memastikan bahwa dia sungguh baik-baik saja. “Well, thank god, then.” Balas Tsuki.

Hening selama beberapa saat. Sungguh sesuatu yang jarang terjadi diantara mereka. Tapi, Tsuki sadar bahwa Airi sedang ingin lebih banyak diam dan hanya ingin ditemani untuk saat ini. Perempuan itu hanya punya tante dan kakak jauhnya di Johnnys. Itupun, dia tidak terlalu dekat dengan mereka. Jadi, Tsuki asumsikan bahwa Airi benar-benar seorang diri di sini.

“Airi,” panggil Tsuki membuat Airi sedikit terkejut dengan panggilan perempuan itu yang tiba-tiba. “beritahu aku kalau terjadi sesuatu padamu.” Lanjutnya.

Airi tertawa. “Terima kasih, bitch.”

“What the fuck, Bitch.”

Keduanya tertawa renyah.


“Watanabe-kun,” “Ya, Takizawa-san.”

Saat ini, Takki dan Shota sedang berjalan santai di Shinbashi Enbujo, tempat diadakannya Takibuki. Suasana di dalam ruangan itu sudah lebih sepi. Hanya menyisakan beberapa staf yang sedang bersiap untuk pergi dari sana setelah melakukan pembersihan sisa-sisa pertunjukan hari itu. Takki menurunkan salah satu bangku dan duduk disana, dia menepuk bangku di sebelahnya meminta Shota untuk duduk di sebelahnya.

Keduanya duduk menghadap kearah panggung di depan mereka. Sempat keheningan memenuhi atmosfer keduanya. “Maafkan aku, ya, Watanabe-kun,” awalnya Shota hendak bersuara begitu mendengar Takki meminta maaf padanya. “aku harus memisahkan kamu dengan Minamoto untuk sementara waktu.” Lanjutnya.

Shota menggigit bibir dalamnya. Ada rasa tidak nyaman yang menyeruak di hatinya. “Sebenarnya, aku tidak ingin memisahkan kalian meski hanya untuk sementara.” Katanya. Shota langsung menatap Takki. Dia sedikit tidak percaya dengan apa yang dikatakan sang seniornya di Johnnys, dulu.

“Lalu, kenapa anda melakukan itu? Bagaimana kalau nanti terjadi sesuatu padanya dan aku tidak ada disampingnya? Dengan tetap membiarkan kami tinggal satu rumah, akan mencegah sesuatu yang buruk terjadi padanya, Takizawa-san!” Shota tahu cepat atau lambat dia akan menyuarakan perasaan tidak nyaman dan emosinya pada Takki dan ini adalah sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan akan dia lakukan pada orang yang dia hormati.

“Itu keputusan Minamoto. Justru dia tidak mau membuatmu dalam keadaan bahaya, dia memikirkan andai nanti penggemar fanatiknya datang dan mencelakaimu, dia tidak akan yakin bisa memaafkan dirinya sendiri.” Ucap Takki.

Shota berdecak, dia menghela napas. “Justru itu kami ada untuk saling melindungi. Aku akan melindunginya, Takki.” Kata Shota. Sosok lelaki mantan duo bersama Miyake Ken itu menatap lurus kearah Shota dari balik kacamatanya.

“Dan lagi, anda lihat di media sosial, fans mendukung kami!” ujar Shota. Dia seperti tidak memberikan kesempatan untuk Takizawa untuk bersuara. Rasa sesak dan takut di benaknya seakan meluap keluar. Takki mengangguk mendengar argumen yang diberikan Shota. “Iya, Watanabe-kun. Tapi, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya, kalian masih punya fans fanatik yang bisa melakukan hal buruk pada kalian.”

Shota menyandarkan punggungnya. Dia mendongak dan menatap langit-langit theater Shinbanshi itu. Pikirannya benar-benar berkecamuk saat ini. Perasaan tidak enak tiba-tiba memenuhi relung hatinya dan itu mengganggunya. Sangat.


Hari itu adalah hari liburnya. Airi melirik sekali lagi jam dinding di apartemen lamanya ini. Dia menghela napas. Sudah seharusnya manajernya sampai di apartemennya untuk membantunya memandikan Mocca. Mocca benar-benar akan berubah menjadi kucing agresif karena tidak suka dengan air. Jadi, dia meminta bantuan Kuro untuk memegang Mocca sementara dia akan memandikannya.

Suara bel terdengar di depan apartemennya. Airi beranjak dan mengecek siapa yang bertamu pada siang hari seperti ini lewat intercom. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup topi dengan nama kantor pengiriman. Sosok itu memberitahunya bahwa Airi mendapat kiriman. Airi mencoba mengingat-ingat apakah dia memesan sesuatu atau ada yang mengiriminya barang.

Mungkin, Haruna mengiriminya sesuatu tapi lupa mengabari. Baiklah. Dia akan menerimanya dulu saja sebelum bertanya nanti. Mocca terlihat mengikutinya, kucing itu terlihat bertingkah posesif padanya membuat Airi tertawa geli.

“Apa ini? Padahal kau mau kumandikan, kenapa jadi tidak mau ditinggal seperti ini?” katanya. Airi membuka pintu begitu dia mendengar suara pengirim paket di depan.

Sosok kurir tersebut mengangkat kepalanya dan melempar kotak itu ke samping sebelum akhirnya memaksa masuk, Airi terlalu terkejut hingga hanya bisa melompat mundur. “Kau... bukan kurir?” tanyanya bingung. Dia mencoba menenangkan diri.

“Dasar bodoh.” Bisik sang lelaki asing itu sebelum mendorong Airi dan membuat Airi jatuh terbaring, sementara sang lelaki mulai mencengkram lehernya kuat-kuat. Airi menggerakkan kakinya dengan tidak nyaman, tangannya berusaha melepaskan cengkraman sang lelaki.

“Kau tidak seharusnya berpacaran dengan Watanabe, Airi! Idol itu milik semuanya!” seru sang lelaki asing tersebut. Airi masih berusaha mencari napasnya yang tercekat. “Ta-hhhpi, idol ... juga manusia!” Airi melepaskan kalimatnya. Napasnya semakin hilang selaras dengan semakin kencangnya cengkraman lelaki itu pada lehernya.

Terdengara suara Mocca mendesis. Kucing itu melompat ke wajah sang penyerang dan mencakar kepala lelaki tersebut, membuat Airi terlepas dari cengkraman sang lelaki. Kesal karena rencananya digagalkan seekor kucing, lelaki itu mengurung Mocca ke dalam sebuah lemari penyimpanan di dekat sana. Mocca mengeong kencang dari dalam, meminta dikeluarkan.

Sang lelaki kembali mendekat kearah Airi yang sekarang mencoba merangkak menjauhinya, napasnya semakin cepat dan pandangannya mulai mengabur. Lelaki itu menarik paksa rambutnya, membuat kepala Airi mendongak. “Kalau jadinya seperti ini, kau seharusnya mati saja, Airi.” Bisiknya.

Lelaki itu membenturkan kepala Airi ke lantai apartemennya. Sebelum dia melakukan hal itu kembali, terdengar seruan seseorang. Suara yang Airi kenal. Setelahnya dia merasakan berat diatas tubuhnya hilang dan terdengar suara ribut.

Airi merasakan kepalanya sakit luar biasa. Pandangannya mengabur dan napasnya sangat sakit. Bahkan dia nyaris tidak bisa merasakan napasnya sendiri. Terlalu sesak. Sesak yang kali ini begitu nyata.

Shota... Apakah kali ini aku akan bertemu ayah dan ibu...

Hal terakhir yang dia pikirkan sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.


ShoppiAiri, H/C, Typo, Cringe


Shota tahu ini bukan keputusan yang diinginkan mereka berdua. Tapi, untuk saat ini sepertinya ini yang terbaik. Awalnya, Shota tidak setuju dengan keputusan Airi yang memilih rehat dari hubungan mereka dan kembali ke apartemennya. Untungnya TOBE masih menyimpan kunci apartemen lamanya itu.

Shota memperhatikan Airi yang mengucapkan terima kasih pada kurir yang membawa kotak terakhir dari barang-barangnya. Sekarang perempuan itu berbalik dan berdiri tepat di hadapannya. Sosok bermarga Minamoto mengulum sebuah senyuman.

“Haruskah kau bawa semua barangmu dari sini?” Lirih Shota. Airi mengangguk sebagai balasan. “Kita bukan putus, Airi....” lanjutnya.

“Ya, aku tahu,” kata Airi. “tapi, aku butuh semua barangku untuk kembali ke apartemenku.” Lanjutnya. Suara tawa kecil terdengar singkat dari bibirnya.

Shota tidak lagi membalas ucapan Airi. Keduanya saling bersitatap. Pandangan Shota terlihat sedih sementara Airi berusaha untuk tidak membuat tatapan yang sama. Dia tidak mau membuat Shota sedih lebih dari ini. Shota meraih tangan Airi dan menggenggamnya, ditatapnya sendu tangan keduanya yang tertaut.

“Kita sudah janji tidak melepaskan genggaman tangan satu sama lain...” gumamnya. Airi langsung bisa merasakan sesak di dadanya. Rasa sakit tak kasat mata yang membuat dadanya sakit. Genggaman tangan Shota mengerat. “Hanya sementara, Shota...” balas Airi. Suaranya nyaris tercekat. Dia menarik napasnya dan mendongak untuk menatap lurus ke dalam sepasang mata lelaki bermarga Watanabe itu.

Shota menariknya ke dalam sebuah pelukan. Tangannya melingkar di punggung Airi, memeluknya erat dan menghirup dalam-dalam aroma menyegarkan yang menguar dari tubuh Airi. Dia akan merindukan kesayangannya. Airi membalas pelukan Shota, melingkarkan tangannya di pinggang lelaki itu. Mereka menikmati kehangatan tubuh satu sama lain sebelum nantinya tidak bisa sesering seperti dulu.

Airi menepuk punggung Shota setelah dirasa mereka sudah cukup berpelukan. Keduanya bersitatap sekali lagi sebelum Airi pamit pergi dari sana. Tiba-tiba lelaki itu langsung merasakan rasa kosong menyerangnya. Perasaan hampa yang sudah lama tidak dia rasakan. Shota berjalan kearah sofanya dan duduk disana, terdiam selama beberapa saat sebelum merebahkan dirinya di atas sofa dan memejamkan mata, membiarkan kekosongan itu menyelimutinya, mengabaikan dering ponselnya.

Sepertinya dia memang sudah sangat mencintai Airi....


Airi naik ke dalam mobil yang biasa menjemputnya, di sebelahnya duduk dengan diam Mocca. Kucing tersebut sempat menjilati tubuhnya sendiri sebelum akhirnya naik ke pangkuan Airi. Airi meminta Kuro untuk menjalankan mobilnya, meninggalkan apartemen tersebut. Dia memperhatikan bangunan di samping kirinya berjalan menjauh. Sesak di dadanya semakin terasa nyata. Sekarang pandangan matanya buram oleh air mata yang sedari tadi berusaha dia tahan.

“Ada tisu di sebelah Mocca duduk tadi. Kau boleh pake itu untuk mengelap air matamu, Airi-san.” Suara Kuro tiba-tiba mengintrupsinya. Lelaki itu meliriknya dari kaca spion. Dibilang seperti itu, Airi semakin tidak bisa menahan tangisnya. Dia terisak. Air matanya jatuh membasahi wajah dan Mocca yang sedang melingkarkan tubuhnya di pangkuan Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu mengatupkan mulutnya, meredam isakannya.

Sepertinya dia memang sudah serius jatuh cinta pada Shota...


ShoppiAiri, H/C, Typo, Cringe


Akhirnya Airi bisa menyempatkan waktu untuk menonton Takibuki Final. Penampilan Snow Man beserta juniornya hari itu sangat memukau. Airi paling suka saat penampilan Shota yang memegang bohlam. Entah kenapa dia seperti merasakan lelaki itu seakan-akan punya magic. Berlebihan memang. Dia tidak pergi ke Takibuki bersama Haruna atau Tsuki. Kedua perempuan itu rupanya sedang disibukkan mempersiapkan album untuk World Tour grup mereka. Mina juga tidak bisa karena dia harus mengurus pekerjaannya. Anan memang sedang ramai sekali belakangan ini.

Jadilah dia menonton sendiri hari ini. Lelaki yang tadi tampil bersama anggota grupnya juga mengirim sebuah pesan padanya untuk segera ke gakuya kalau acara sudah selesai. Airi memakai kembali topi dan maskernya, mengambil tas kertas yang dia sembunyikan di bawah kakinya. Sebuah sashire untuk member Snow Man. Tidak enak kalau dia kemari dengan tangan kosong. Dia beranjak dan menuju seorang staf yang berjaga di lorong menuju gakuya. Dia menunjukkan kartu passnya dan sang staf mengantarnya ke gakuya milik Shota.

Di kejauhan, Airi bisa melihat sosok lelaki yang berlari menghampirinya. Keningnya mengerut dalam menyadari air mukanya yang panik. “Biar aku yang mengantar dari sini.” Airi mengenalnya sebagai manajer pribadi Shota. Takahashi kalau tidak salah. Takahashi merangkulnya setelah sang staf yang tadi berjaga di depan pamit. Keduanya berjalan bersisian menuju gakuya Shota. Airi mengerjap bingung.

“Ada apa, Takahashi?” tanyanya bingung. Takahashi menyunggingkan senyum tipis kearahnya. “Nanti kujelaskan di gakuya Shoppi.” Katanya. Airi disapa beberapa staf yang mengenalnya dan juga member Snow Man. Namun, Takahashi sepertinya tidak memberikan waktu pada Airi untuk mengobrol sebentar dengan mereka.

Kira-kira apa yang membuat lelaki ini sangat panik?

“Hai, bitch!” Airi berdecak begitu dia disapa oleh Koji yang ternyata satu ruangan dengan Shota. Dia melepaskan topi dan maskernya. “Hai, bastard.” Balasnya. Shota tertawa pelan melihat panggilan Koji dan Airi satu sama lain.

“Koji-kun, bisa istirahat di ruangannya Abe-san sebentar? Aku perlu bicara dengan Shoppi dan Airi-san.” Katanya. Koji menatap Airi dan Shota bergantian. Keningnya terlihat sedikit mengerut. Kebingungan karena tidak biasanya dia melihat manajer Shota seserius ini. Pasti ada sesuatu besar yang sedang terjadi. Semoga saja bukan sesuatu yang harus memisahkan keduanya.

“Baiklah,” kata Koji. Lelaki blasteran Thailand Jepang itu merapikan barang-barangnya dan membawanya ke ruangan Abe. “Kuharap kau tidak habis melakukan sesuatu pada Shoppi.” Katanya.

“Kau seharusnya khawatir pada sahabatmu ini, bastarrd!” gerutu Airi. Koji terkekeh. Dia menepuk pundak Airi dan tersenyum. “Aku lebih suka khawatir pada pacarmu, Bitch.” Katanya. Airi menyipitkan mata kearah Koji. “Oh? Aku tidak menyangka seleramu adalah pacar orang.” Cibir Airi.

Koji tertawa kencang sebelum berlari ke ruangan Abe sebelum diomeli Takahashi lagi. Airi duduk di tengah, sementara Takahashi duduk di depan Shota. Dia mengeluarkan sebuah tablet dari tas kecil yang tersampir di punggungnya tadi. Diletakannya tablet itu diatas lantai beralaskan tatami dan menggesernya kearah Shota. Terlihat sebuah website yang menampilkan headline berita gosip dengan tulisan, “Watanabe Shota tertangkap berkencan dengan soloist, Minamoto Airi.” Dibawah judul tersebut disertakan pula beberapa jepretan yang Airi dan Shota yakini diambil beberapa minggu lalu, saat mereka jalan-jalan malam untuk membeli mi instan di konbini dekat apartemen mereka.

Pandangan Airi sedikit bergetar. Jantungnya langsung berdetak begitu cepat sementara tangannya sudah mulai mengeluarkan keringat dingin. Shota menggulirkan layar tersebut. Menemukan beberapa foto yang ternyata diambil jauh sebelum berita ini keluar. Saat Airi terlihat keluar dari apartemen Shota bersama kucingnya dan banyak foto lainnya yang diambil jauh dari foto saat jalan-jalan malam itu. Dalam website gosip itu bahkan terlihat menjelaskan spekulasi sang penulis tentang bagaimana mereka bertemu. Airi dan Shota diduga mengalami cinta lokasi pada drama romantis yang mereka mainkan satu tahun yang lalu. Meski hal itu tidak akurat karena Shota dan Airi sudah lama mengenal.

“Aku tahu kalian sudah berusaha untuk tidak ketahuan,” Setelah beberapa lama tidak ada suara diantara ketiganya, Takahashi berucap. “berita ini sudah sampai ke agensi. Baik TOBE maupun Johnnys. Mereka meminta kalian untuk rehat sejenak.” Lanjutnya.

“Rehat bagaimana maksudmu?” Shota langsung menyambar dengan nada tidak bersahabat. Kedua alisnya sudah bertaut dan keningnya mengkerut dalam. “Kalian. Hubungan kalian harus dihentikan selama beberapa saat.” Jawab Takahashi.

Bukan dari Snow Man dan showbiz rupanya. “Kalian harus kembali tinggal secara terpisah sampai berita ini mereda. Di twitter sudah ramai netizen yang memberikan komentar.” Katanya.

Shota melirik kearah Airi yang sedang menatap kedua tangannya yang bertaut, sementara bibirnya mengulum pelan sebelum mengigitnya. “Apakah kami punya pilihan selain rehat?” tanya Shota pada manajernya.

“Putus,” Airi langsung mengangkat wajahnya. Baik Shota maupun Airi, Air muka mereka jelas terkejut dengan jawaban pasti yang dilontarkan Takahashi pada meraka. “tapi, aku yakin kalian tidak akan mau melakukan itu. Jadi, jalan satu-satunya hanya rehat.”

Shota menatap tak percaya pada manajernya. Dia tidak mengira bahwa manajer terdekatnya bisa mengatakan hal itu dengan santai dan tidak ingin dibantah. Shota memijit pelipisnya. “Takahashi-san, bisa tolong beri kami waktu sebentar?” Kali ini, Airi bersuara meminta izin pada Takahashi. Lelaki itu mengangguk dan beranjak, ditutupnya pintu ruangan tersebut, memberikan waktu berdua untuk Airi dan Shota berbicara.

Airi menatap lurus kearah tablet yang masih menampilkan website tersebut, sementara Shota memandangi Airi. Tangannya mengepal, menahan diri untuk tidak memeluk Airi di tempat itu meski disana hanya ada mereka berdua saat ini. Shota tidak menyangka bahwa berita ini akan muncul saat Takibuki sedang berlangsung, terlebih lagi dia memikirkan Airi. Airi baru saja memulai karirnya kembali dengan TOBE. Tidak seharusnya imagenya ternoda karena fakta baru yang keluar ini meski keduanya ataupun agensi mereka belum merilis pernyataan apa apa.

“Memang cepat atau lambat toh hubungan kita akan ketahuan publik,” kata Airi. Dia mengambil tablet tersebut dan menggulir layarnya untuk melihat bagian komentar. “jadi, bagaimana menurutmu, Shota?” lanjut Airi.

“Apanya yang menurutku? Aku tidak mau putus darimu!” ujar Shota dengan panik, mengundang tawa kecil dari Airi. Jemari lentik perempuan itu berhenti menggulir saat menemukan satu komentar jahat disana. Dia mengulum senyum simpul, mengerjapkan matanya untuk menghilangkan matanya yang berkaca-kaca. Dia tidak bisa tiba-tiba menangis di depan Shota. “Kita masih punya pilihan rehat sejenak, loh.” Kata Airi.

“Tapi, itu artinya aku harus jauh darimu!” balas Shota. Terdengar sekali bahwa lelaki itu tidak mau menjalankan satupun pilihan yang diberikan agensi mereka. Airi mematikan tablet itu dan menatap Shota. “Kau sudah pernah jauh dariku saat aku harus tampil di Korea.” Kata Airi dengan jahil.

Shota berdecak. “Airi, ini berbeda! Kita bahkan tidak tahu sampai kapan berita itu akan mereda!”

“Kau panik sekali. Kita hanya rehat, Shota. Kau masih bisa menghubungiku lewat LINE atau sejenisnya.” Kata Airi, dia berusaha untuk bersikap santai sementara Shota yang masih memutar otak untuk menolak dua pilihan itu.

“Aku tidak mau. Aku lebih suka kehadiranmu yang nyata.” Airi tersenyum. Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “Tapi, kurasa akan lebih baik kalau kita rehat dulu. Kau jadi bisa lebih fokus pada konser dome Snow Man yang pertama.”

“Memang saat Suno Labo kemarin aku tidak bisa fokus meski ada kamu di dekatku?” Shota menaikkan sebelah alisnya. Airi terdiam, dia menatap lurus kearah Shota. Tidak, penampilanmu sangat bagus di konser itu. Masalahnya hanya ada di aku. Aku takut kita akan sama-sama tersakiti dan disakiti.

“Kita coba bicarakan lagi nanti bersama manajerku dan manajermu.” Kata Airi pada akhirnya.