Bagian 1: Hari Pertama Sekolah
Nishihata Daigo x OC. Typo. Fluff. School Life.
“Beruntung sekali kau tidak dicegat anak OSIS di depan ya.” Fujiwara Joichiro mengeluh begitu dia sampai di aula dengan napas terengah, berdiri di belakang sosok lelaki berkacamata yang tersenyum simpul menanggapi gerutuan sang sahabat.
“Makanya datang pagi.” Balas Nishihata Daigo. Joichiro mendengkus. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Saat ini napasnya sudah kembali normal setelah berlari dengan kencang dari kelasnya ke ruangan aula yang jaraknya cukup jauh.
“Kau datang pagi pasti untuk mencari dimana kelas anak bernama Hato, ‘kan?” Daigo langsung menoleh kearah Joichiro dengan kedua mata yang membulat lebar. Joichiro terbahak. “Tebakanku tidak salah rupanya. Kau masih saja mencari anak itu.” kata Joichiro.
Daigo balas mendengkus. Dia kembali berdiri menghadap depan dan menggerutu. “Mana ada. Aku datang pagi supaya tidak jadi atlit marathon sepertimu di hari pertama sekolah, ya, Fujiwara.” Balas Daigo.
Joichiro berdecak. Dia menahan diri untuk tidak menjitak kepala sang teman satu kelasnya ini. Tebakan Joichiro memang tidak salah. Pagi itu sebelum suasana sekolah menjadi lebih ramai, Daigo datang pagi untuk menyusuri papan pengumuman pembagian kelas untuk tahun ajaran baru. Setelah mencari namanya di bagian kelas tiga, Daigo beralih pada bagian kelas dua dan menyusuri tempelan kertas itu dengan jemarinya. Mencari nama sosok perempuan bernama Fujiwara Hato diantara banyak list anak kelas dua itu.
Senyumnya melebar saat menemukan nama sang perempuan di list murid kelas 2A. Tanpa membuang waktu, Daigo segera beralih ke kelasnya sendiri sebelum dilihat oleh murid lain yang perlahan-lahan mulai berdatangan.
Lamunan Daigo terpecah begitu dia mendengar bahwa sambutan kepala sekolah akan segera dimulai dan mereka langsung berdiri sesopan mungkin meskipun ada beberapa yang terlihat kebosanan. Ternyata agenda pagi itu, diisi dengan pelantikan ketua OSIS SMA Gokugei Osaka. Mata Daigo tidak berhenti mengerjap begitu dia menyadari sosok yang menarik perhatiannya selama setahun lebih itu perlahan-lahan naik keatas panggung dan menerima tonggak tanggung jawab ketua dari Masakado Yoshinori—ketua OSIS sebelumnya dan memberikan sebuah sepatah dua patah kata. Sosok bernama lengkap Fujiwara Hato itu memberikan harapannya untuk bisa dekat dan mendengar aspirasi dari para murid dari berbagai angkatan maupun guru di SMA tersebut.
“Dengan ini saya mohon bantuan semuanya untuk membangun SMA Gokugei Osaka yang lebih baik lagi. Yoroshiku onegaitashimasu.”
Seluruh siswa yang ada disana bertepuk tangan, menyambut ketua OSIS baru mereka. Yang dalam sejarah, baru kali itu tonggak ketua dipegang oleh perempuan. Daigo ikut bertepuk tangan dan tersenyum lembut. Senyumnya langsung hilang digantikan dengan semburat merah yang menghangat di kedua pipinya kala dia bertemu pandang dengan Daigo. Hato tersenyum kearahnya.
Hari pertama sekolah tidak seburuk itu rupanya. Malah sangat menyenangkan bagi Daigo.
Bagian 2: Perpustakaan
Keseharian anak kelas tiga alias tingkat akhir tidaklah jauh dari yang namanya mempersiapkan ujian masuk universitas. Tidak terkecuali Daigo. Lelaki itu sibuk membaca buku pelajarannya seraya menunggu jam pergantian kelas karena hari itu sedang jam kosong. Sementara para teman sekelasnya beberapa ada yang mengobrol dan saling bermain. Joichiro duduk di depan Daigo dan mengambil bukunya. Daigo berdecak dan mendelik kearah sang lelaki bermarga Fujiwara itu.
“Berhenti membaca, dasar kutu buku.” Cibir Joichiro. Sementara itu, Ohashi Kazuya menghampiri dengan tiga buah melonpan yang dia beli secara diam-diam di kantin pada kedua sahabatnya ini. Dengan senyuman lebar, Ohashi memberikan melonpan itu pada Daigo dan juga Joichiro.
“Ini lagi satu, tukang makan.” Cibir Joichiro. Kepala menggeleng-geleng. Sementara Daigo berdecak dan mengambil kembali bukunya dan mengabaikan kedua sahabatnya. Joichiro kembali mengambil buku di tangan Daigo.
“Ayolah, sedang jam kosong dan ini tahun terakhir kita menjadi seorang murid SMA, dinikmati, Daigo~!” ujar Joichiro. Fujiwara satu ini memang memiliki jiwa yang bebas dan selalu menikmati setiap hari yang dia jalani. Berbeda sekali dengan Fujiwara lain yang dia kenal. Tapi, karena itu Daigo sempat berpikir apakah Joichiro dan Hato adalah saudara. Tapi, Daigo tidak benar-benar bertanya karena dia tidak ingin diketahui bahwa memiliki rasa pada perempuan yang merupakan adik kelasnya itu.
“Kau ini mengingatkanku pada orang rumahku yang hobinya juga belajar. Kalian kalau disatukan pasti jadi kombi yang luar biasa.” Gerutu Joichiro. Daigo mendelik. Dia mengambil kembali bukunya dan melonpan yang diberikan Ohashi tadi.
“Mari coba kau pertemukan aku dengan orang itu dan kita lihat apakah perkataanmu itu sesuai.” Tantang Daigo seraya berlalu. Tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Ohashi yang sekarang sedang menikmati melonpannya, tidak peduli dengan percakapan Joichiro dan Daigo.
Daigo memasuki perpustakaan dengan memeluk buku-buku dan catatannya, tidak lupa menyembunyikan melopannya di balik jas biru dongker yang dikenakannya. Dia menemukan perpustakaan itu tidak ramai. Hanya ada beberapa murid sepertinya yang sedang sibuk membaca atau hanya menumpang tidur disana. Perpustakaan memang tempat yang paling enak untuk dijadikan tempat bersantai dan menenangkan diri. Apalagi AC nya sangat sejuk. Meski sesekali jendela di perpustakaan itu dibuka untuk memperbaiki sirkulasi.
Daigo berjalan menyusuri rak demi rak dan menemukan spot di pojok ruangan perpustakaan yang luas itu dan duduk di bawah, bersandar pada dinding dan mulai membuka buku serta melonpannya dengan sangat berhati-hati saking sepinya suasana disana. Beberapa menit masih Daigo nikmati dengan membaca buku-buku yang dia bawa sambil menyantap melonpan hasil pembelian Ohashi diam-diam ke kantin. Sekolah mereka agak ketat untuk masalah waktu. Kalau belum waktunya makan siang, mereka tidak diperbolehkan untuk ke kantin membeli makan. Meski ada jam kosong, mereka hanya boleh di kelas, ke perpustakaan atau ke toilet.
Jadi, pilihan paling bagus adalah perpustakaan. Untuk Daigo. Untuk Joichiro tentunya akan lebih enak baginya menetap di kelas.
“Makan di perpustakaan itu dilarang loh, kak.” Daigo terperanjat kala mendengar suara seseorang menegur tindakannya. Padahal dia sudah mencari spot paling tersembunyi disana. Saat mendongak, dia melihat sosok perempuan berambut seleher kehitaman dengan celemek khas pustakawan tersenyum kearahnya.
Daigo tersedak. Dia segera menepuk-nepuk dadanya, berusaha menetralkan tersedaknya tanpa harus minum. Sosok perempuan bernama Fujiwara Hato –terlihat dari nametag di celemeknya itu berjongkok mendekat kearah Daigo dan mengusap-usap punggungnya, membantunya untuk menghilangkan rasa tersedak melonpan yang dimakannya. Untung saja itu gigitan terakhir. Wajah Daigo sedikit memanas
Hato dan Daigo bangkit bersamaan. “Kali ini, aku tidak memberi sanksi. Tapi, lain kali kalau ketahuan lagi, aku tidak segan memberikan sanksi pada kak Nishihata ya.” ucap Hato. Daigo mengerjap. “Bagaimana kau tahu namaku?” tanyanya.
Hato terkekeh. Dia menunjuk kearah nametag yang terpin di jas seragam milik Daigo. Lelaki itu menyumpah serapah dirinya sendiri dalam hati dan meringis. Cinta memang membuat bego sesaat ya.
“Baiklah. Aku pamit, ya, kak. Lebih baik kak Nishihata duduk di tempat yang sudah disediakan saja.” Kata Hato. Perempuan itu berbalik dan hendak pergi dari hadapan Hato. Namun, Daigo segera menahannya. “Fujiwara!”
Hato langsung berbalik dan meletakan telunjuknya di depan bibirnya sendiri, mengisyaratkan Daigo untuk sedikit diam karena mereka sedang di perpustakaan. Daigo meringis lagi. Lagi-lagi dia bersikap bodoh di depan gebetannya.
“A-Aku butuh sebuah buku. Tapi karena perpustakaan ini cukup luas, akan butuh waktu lama mencarinya. Bisa tolong bantu aku?” tanya Daigo. Hato terdiam sesaat, menatap sang kakak kelas kemudian tersenyum dan mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah memopad dari kantung celemeknya begitupula sebuah pulpen dan menyerahkannya pada Daigo.
“Tolong tuliskan saja disini, nanti aku bantu carikan di database.” Katanya. Daigo mengernyit. Dia baru mendengar perpustakaan mereka punya alat canggih itu. Daigo menuliskan judul buku, penulis, penerbit serta tahun terbitnya maupun nama dan juga kelasnya dan menyerahkannya pada Hato kembali.
Hato membacanya terlebih dahulu dan mengangguk. “Baiklah. Terima kasih, kak.” Katanya.
Daigo menggeleng. “Tidak... Aku yang berterima kasih.” Ucap Daigo. Tersenyum kearah Hato.
Mereka saling melempar senyum. Tanpa menyadari sosok yang memperhatikan dari salah satu rak sudah memotret kedekatan keduanya.
Bagian 3: Di jalan Pulang
Hato menarik bowstringnya dengan fingertabnya setelah meletakan sebilah anak panah di recurve bow itu. Anak panah itu melayang dengan cepat menuju objek targetnya dan menusuk tepat di bagian tengah, mengundang tepukan tangan dari beberapa anggota klub panahan.
“Sasuga, ketua OSIS.” Nagisa Sekimizu bertepuk tangan sembari mendekati sang sahabat yang sedang mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang dia bawa. “Berhenti memanggilku begitu, Nagisa.” Gerutu Hato. Nagisa terkekeh. Dia duduk di samping Hato dan menyilangkan kakinya. Sahabat yang juga rekan satu klubnya itu mengedarkan pandangannya dan berhenti pada satu titik di ruangan terbuka itu. Dia melihat sosok lelaki berkacamata yang sedang melihat kearah mereka dengan buku yang terbuka di pangkuannya.
Nagisa sedikit mengernyitkan dahi kala merasakan tatapan lelaki itu agak menyeramkan. “Kau kenal dia, Hato?” tanyanya. Hato yang sedang melepas chest guardnya teralihkan sejenak dan bertemu pandang dengan sosok yang dia kenal sedang tersenyum kearahnya.
Hato sedikit merasa jantungnya berdetak cepat kala melihat Daigo yang melambai pelan dan tersenyum lembut kearahnya. Hato berdehem dan tersenyum kearah Nagisa, menepuk pundak sang perempuan untuk menenangkannya. “Kakak kelas. Nishihata Daigo. Dia memintaku mencarikan sesuatu dari perpustakaan.” Katanya.
Nagisa mengangguk mengerti. Hato yang juga staf perpustakaan tidak heran sering dimintai bantuan seperti ini, padahal tugasnya sebagai ketua OSIS maupun atlit panahan sudah cukup sibuk. Nagisa sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya membulatkan matanya. “Nishihata Daigo?! Nishihata yang itu maksudmu?!” Nagisa memekik kaget.
Hato mendelik, refleks menangkup mulut ember Nagisa. “Berisik sekali kau ini. Iya, yang itu.” kata Hato. Dia buru-buru mengambil barang-barangnya dan beranjak dari sana ke tempat ganti baju diikuti Nagisa dibelakang yang mengekorinya.
“Dia seperti stalker.” Kata Nagisa. Hato meringis.
Daigo memasukkan buku yang sedari tadi dia baca sembari menunggu Hato selesai dengan latihannya hari itu ke dalam tasnya. Sudah masuk petang dan langit sudah berubah menjadi jingga. Hato datang dengan wajah yang lebih fresh karena dia sempat mandi sebentar di kamar mandi ruangan klub. Hato juga menyemprotkan wewangian yang begitu familiar bagi Daigo, membangkitkan kesan nostalgia bagaimana dia jatuh cinta pada Hato.
Dipelukan perempuan itu ada sebuah buku yang Daigo minta carikan pada Hato. “Maaf karena baru sempat memberikannya sekarang, kuharap aku tidak terlalu lama membuat kak Nishihata menunggu.” Daigo menggeleng.
“Pas sekali, kok, aku baru menyelesaikan bacaanku yang kemarin.” Katanya. Hato menghela napas lega. Dia menyerahkan buku itu pada Daigo. Tidak ada lagi percakapan yang terjadi diantara keduanya.
“Kau mau pulang?” tanya Daigo memecah keheningan. Suasana di sekitar kawasan klub itu sudah mulai sepi juga. Hato mengangguk. “Sebenarnya hari ini ada rapat. Tapi, aku undur besok supaya bisa datang semua.” Kata Hato.
Daigo mengangguk. “Begitu ya. Kalau begitu, mau pulang bersama?” ajak Daigo. “Arah kita sama, ‘kan?” lanjutnya. Hato memberi tahu lokasi daerah tempatnya tinggal dan kebetulan sekali searah dengan rumah Daigo. Keduanya berjalan bersisian dan menikmati keheningan yang menyelimuti keduanya.
“Fujiwara...”
“Kak Nishihata...”
Keduanya langsung terdiam. Begitupula langkah mereka. Baik Daigo dan Hato tertawa canggung menyadari keduanya memanggil nama satu sama lain secara bersamaan. “Fujiwara duluan saja.” Katanya.
Hato mengangguk pelan. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan. “Kak Nishihata boleh panggil aku dengan Hato,” kata Hato. Daigo mengerjap sebentar. “lagipula kak Nishihata kakak kelasku.”
Daigo terkekeh. “Terima kasih sudah mengizinkanku memanggilmu Hato, Fujiwara,” ujarnya. Ucapan itu berhasil membuat jantung Hato berdetak cukup kencang dari biasanya. “aku sengaja masih memanggilmu dengan nama marga untuk menghormatimu. Bagaimanapun usia kita yang berbeda, aku tetap harus menghargai dan menghormatimu karena begitulah budaya kita, ‘kan?”
Hato menatap lamat-lamat wajah Daigo dan tersenyum. “Terima kasih, kak Nishihata,” katanya.
“Kamu boleh memanggilku dengan Daigo.” Katanya.
Hato tertawa mendengarnya, secara tidak langsung mereka bertukar cara memanggil nama agar lebih akrab. “Terima kasih, kak Daigo.”
Bagian 4: Fujiwara Bersaudara
Hato dan Daigo terus mengobrol sembari berjalan menuju kediaman masing-masing. Hato sempat mampir ke Lawson untuk membeli susu vanila. Daigo tidak begitu suka dengan susu vanila jadi dia memilih untuk membeli kapucino kalengan dari lemari pendingin Lawson. Begitu mereka kembali melanjutkan perjalanan, Daigo tanpa sadar sudah mengantarkan Hato ke blok rumahnya. Blok yang sangat familiar baginya.
Daigo seperti sangat tidak asing dengan blok perumahan ini. Langkah melambat seraya menelisik sekitarnya, membuat Hato berbalik seraya menyeruput seruputan terakhir dari karton berukuran 350ml susu vanila yang dibelinya. “Kak Daigo? Ada sesuatu yang aneh, kah?” Hato bertanya bingung.
Daigo mengerjap dan dia meringis. “Entahlah. Aku merasa sangat familiar dengan lingkungan ini.” katanya. Hato menyembunyikan sedikit senyum yang terukir di wajahnya. Perempuan itu kembali berjalan meninggalkan Daigo. Lelaki bermarga Nishihata itu segera mengejar Hato dan menyetarakan jalan mereka kembali.
Hato berbelok pada sebuah rumah yang sangat Daigo kenal. Di samping pintu itu ada papan nama bertuliskan “Fujiwara”. Fujiwara dengan kanji yang mirip dengan Joichiro. Bersamaan dengan itu pintu rumah terbuka dan terlihat Joichiro dengan kaos dan celana panjangnya keluar dengan santai dan membuka pagar, bersamaan dengan Hato yang masuk ke dalam.
“LOH?” Daigo menatap keduanya dengan mata yang membulat kaget. Hato dan Joichiro menatap kearah Daigo bingung.
“Kau kenapa?” tanya Joichiro bingung. Sementara, Hato masih memperhatikan Daigo. “Ka-Kalian bersaudara?” tanya Daigo. Dia masih speechless dengan fakta yang sebenarnya sudah dia duga-duga sejak awal.
“Loh, aku gak bilang, tah? Hato tuh adikku. Kami beda setahun doang.” Kata Joichiro. Daigo melotot dan menyikut Joichiro kesal. “Tidak ada!” Serunya kesal mengundang tawa dari kedua Fujiwara bersaudara itu.
“Doumo, kak Daigo. Aku adiknya kak Jo.” Sapa Hato. Daigo menatap kearah Hato masih dengan wajah shocknya. Hato mendekat kearah Daigo lagi dan meraih tangan Daigo, digenggam dan diremasnya lembut seraya menyunggingkan senyum. “Terima kasih sudah mengantarku sampai rumah, kak.” Ucapnya.
Daigo hanya mengangguk karena sekarang jantungnya sudah berdetak sangat cepat. Terlalu banyak informasi maupun kejadian yang harus dia proses saat ini. Sementara Joichiro yang melihat itu hanya merotasi bola matanya dan menghampiri sang sahabat, Hato masuk ke dalam rumah setelah melambai pelan pada Daigo.
Dirangkulnya sang sahabat dan diajak pergi dari sana. “Kau tidak bilang bersaudara dengan Hato, Jo!” protes Daigo. Joichiro mengedikkan bahunya. “Kau tidak bertanya padaku, Nishihata.” Cibir Joichiro. Lelaki itu mendekatkan wajahnya kearah Daigo dan menyipitkan kedua matanya. “Lagipula, aku mau melihat keseriusanmu mendekati adikku itu.” lanjutnya.
“Oh ya, by the way, dia orang rumah gila belajar yang kumaksud.” Daigo mendelik.
Sejak itu, Joichiro dan Hato tidak lagi menjaga jarak setelah Daigo tahu mengenai hubungan persaudaraan mereka. Joichiro sendiri yang menyarankan pada Hato untuk pergi dan pulang sekolah terpisah supaya Daigo berpikir mereka adalah Fujiwara yang berbeda. Apalagi ada Fujiwara Sakura juga yang bersekolah disana, Daigo pasti semakin berpikir bahwa Hato pasti masuk ke keluarga yang Fujiwara Sakura.
Padahal sudah sebuah rahasia umum bahwa Hato dan Joichiro adalah adik kakak. Memang dasarnya Daigo saja yang tidak memperhatikan detail kecil seperti itu. untung saja dia tidak menganggap Jo dan Hato berpacaran.
Bagian 5: Kotak Susu Penyemangat Ujian
Kelas tiga mulai menghadapi ujian akhir semester yang termasuk ke dalam serangkaian ujian kelulusan mereka. Kelas satu dan dua pun diliburkan untuk mengkondusifkan ujian yang berlangsung selama seminggu itu. Bukan hanya para guru yang mengatur ujian kali itu, mereka meminta bantuan para anggota OSIS untuk mengatur ketertiban selama ujian.
Daigo seperti biasa datang dengan buku catatan di tangannya, sambil membaca materi sedikit-sedikit, dia mengganti sepatu sekolahnya dengan uwabaki di lokernya. Pandangan Daigo yang tadinya fokus pada buku di tangannya, teralihkan pada lokernya begitu tangan Daigo terasa menyentuh sesuatu. Keningnya mengernyit bingung. Daigo mengapit buku catatannya di ketiak dan langsung mengganti sepatunya dengan uwabaki dan mengambil sesuatu di dalam sana.
Sebuah kotak susu rasa vanila.
Kening Daigo semakin mengerut. Bertanya-tanya siapa yang menyelipkan minuman ini di loker sepatunya. Daigo mengedikkan bahunya dan kembali membuka buku catatannya. Begitu dia hendak pergi ke ruangan ujiannya, dia berpapasan dengan Hato yang sepertinya sedang bertugas jadi pengawas lingkungan sekolah, mereka bertukar senyum. Pandangan Hato sempat jatuh pada susu vanila yang ada di tangan kiri Daigo. Daigo ikut melihat kearah tangan kirinya dan mulai menyadari dari mana kotak susu ini berasal.
Daigo menghampiri Hato dan menengok ke kanan dan kiri, memastikan hanya ada mereka berdua disana saat ini. “Ini dari kamu?” tanya Daigo. Hato mengerjap dan tersenyum canggung. Daigo bisa melihat semburat merah tipis di wajah perempuan berambut sebahu yang tidak diikat seperti saat latihan panahan waktu itu.
Daigo tertawa pelan. Dia juga merasakan wajahnya memanas saat ini. Daigo mendekat kearah Hato dan menepuk pundaknya, meremasnya pelan sebagai ucapan terima kasih. “Terima kasih, Hato.”
Hato sempat terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Jangan tidur saat ujian, ya, kak.” Katanya.
“Itu mah kakakmu, Jo.” Cibir Daigo yang mengundang tawa pelan dari Hato. Keduanya berpamitan dengan arah yang berlawanan. Daigo membuka bungkus sedotan di kotak susu itu dan menusuknya. Menyeruput rasa yang disukai oleh Hato ini.
Bukan favoritnya tapi juga bukan sesuatu yang buruk. Kotak susu itu tidak hanya ada saat ujian hari pertama tapi juga kedua, ketiga dan seterusnya sampai akhir. Ujiannya kali ini akan terasa lebih menyenangkan dan ringan untuk disebut sebagai kenangan masa sekolah yang akan dia simpan baik-baik di otaknya.
Bagian 6: 新しい恋、はじめよう
Daigo tidak menyangka hari dimana dia akan melepas status seorang siswa sudah datang. Lelaki bermarga Nishihata itu duduk diantara keramaian auditorium yang sama yang digunakan saat upacara hari pertama masuk SMA itu. Seraya memperhatikan pidato panjang kepala sekolah, pandangan Daigo menelisik keseluruh bagian auditorium itu, memutar kaset kenangan yang pernah terekam lewat indera penglihatan dan pendengarannya.
Hari-hari yang dia jalani di SMA ini cukup menyisakan kenangan yang akan sulit dilupakan. Kegiatan Daigo itu terhenti kala dia melihat sosok perempuan berambut sebahu yang dikuncir setengah itu tengah berdiskusi dengan suara pelan di pojok auditorium bersama lelaki yang kalau Daigo tidak salah ingat anggota OSIS juga bernama Takahashi Kyohei.
Daigo sedikit gelagapan kala dia tertangkap sedang memandangi Hato yang sedang sibuk dengan tugasnya sebagai panitia kelulusan hari itu. Hato merunduk sopan kearahnya dan tersenyum. Daigo membalas senyum Hato. Perempuan itu menghilang dari pandangan Daigo begitu dia berjalan menuju backstage di auditorium sekolah itu.
Daigo merasakan sikutan di pinggangnya. Dia meringis pelan dan mendelik kearah sang pelaku. Joichiro menatapnya dengan senyum penuh arti, sementara kedua alisnya naik turun dengan menyebalkan di mata Daigo. “Alismu itu minta kuganti dengan nori kah?” Daigo mencibir pelan dengan galak.
Joichiro menghembuskan napas dan melipat kedua tangannya. “Calon adik iparku ini galak sekali, sih.” gerutu Joichiro. Daigo menoleh kearah Joichiro dengan wajah yang sangat merah. Daigo berdehem. Dia menyikut Joichiro dan berdecak sebal. “Berhenti menggodaku, Jo.” Ujarnya.
“Loh, kau seharusnya senang karena kudukung dong.” Ucap Joichiro. Ya. Memang seharusnya Daigo senang karena Joichiro secara tidak langsung mengatakan sudah mengizinkan Daigo jika ingin memacari Hato.
“Kau suka pada Hato, kan?” tanya Joichiro. Daigo dan Joichiro berpandangan sejenak. Belum sempat menjawab, pidato kepala sekolah sudah selesai dan digantikan dengan acara selanjutnya. Penyerahan ijazah pun sudah dilakukan di awal tadi. Acara berikutnya menjadi sebuah penutup sebelum seluruh murid diberikan jam bebas.
Sang MC yang merupakan anak kelas dua bernama lengkap Nagisa Sekimizu itu mengumumkan acara selanjutnya adalah atraksi dari klub panahan sebagai persembahan terakhir untuk kakak kelas tersayang mereka. Para murid kelas tiga yang sudah resmi lulus itu menoleh ke belakang mereka kala lampu menyorot kearah satu titik.
Daigo melihat Hato disana, berdiri dengan seragam panahan yang sering dia gunakan setiap latihan. Perempuan itu memejamkan mata sejenak dan membukanya perlahan, dia mulai mengangkat alat panahnya, memposisikan sang anak panah dan menariknya. Awalnya anak panah itu diposisikan lurus kearah para murid kelas tiga. Namun, dengan senyuman terbaik yang dia berikan hari itu, Hato langsung melepaskan anak panah itu kearah atas. sebuah bola yang tidak disadari mereka menggantung sedari tadi, bola itu pecah, membuat kelopak-kelopak bunga sakura yang ada di dalamnya jatuh dan berterbangan menghiasi upacara hari itu.
Daigo sempat bersitatap dengan Hato diantara hamparan kelopak bunga sakura yang berterbangan setelah jatuh dari dalam bola yang menggantung tadi. Namun, pandangan keduanya langsung teralihkan kala para murid kelas tiga sudah mulai saling memeluk teman-teman mereka, membuat pandangan Daigo jadi terhalangi.
Dia berusaha keluar dari kerumunan, mencari-cari sosok Hato. Namun, yang dia temukan hanyalah keramaian yang semu.
Teman-teman sekelasnya mengajak mereka untuk kembali ke kelas karena wali kelas mereka meminta untuk bertemu sebagai perpisahan. Tidak hanya sebuah wejangan yang di dapat, mereka juga jadi bertukar pesan yang ditulis di buku tahunan mereka.
Joichiro duduk di meja Daigo dan tersenyum kearah sahabatnya itu. “Sudah resmi lulus kita.” Katanya. Daigo terdiam sejenak, pandangannya terarah pada jendela di sampingnya. Dia tidak berpikir bahwa akan secepat ini dia beranjak dewasa. Tiga tahun terlalu cepat untuknya memproses semuanya.
Masih banyak hal yang ingin Daigo lakukan di masa mudanya yang singkat ini. “Kau belum memberitahu Hato soal itu?” tanya Daigo pada Joichiro. Joichiro ikut memandang keluar. Kepalanya menggeleng sebagai jawaban. “Tapi, kurasa dia sudah tahu tanpa kuberitahu.” Katanya. Joichiro terkekeh. “Hato terlalu cerdas untuk dibohongi seperti itu.” katanya. Daigo meringis. Hato memang siswa dan perempua yang pintar secara akademis. Di luar, Daigo melihat Hato yang sedang berjalan-jalan seorang diri di lapangan sekolah yang sepi. Perempuan itu berbalik dan menghadap kearah jendela kelasnya. Perempuan itu melambaikan tangan dan meminta Daigo menghampirinya.
Joichiro yang melihat tertawa pelan. Dipukulnya pelan pundak Daigo dengan toga yang dibawanya. “Sana samperin,” katanya. “jangan membuat adikku menunggu lagi, Daigo.” Lanjutnya.
Daigo pamit dan segera berlari keluar. Dia beberapa kali menabrak siswa-siswi lain di koridor itu. Tanpa menghentikan larinya, Daigo menyusul Hato yang sekarang sedang duduk di tribun lapangan luas itu. Suasana musim semi yang menyegarkan di tambah matahari yang tidak begitu bersinar terang membuat atmosfir yang tercipta begitu menenangkan.
Hato menoleh begitu Daigo mendekatinya dengan napas terengah, memancing kekehan pelan dari perempuan itu. “Padahal tidak perlu lari, aku tetap disini, loh, kak.” Kata Hato. Daigo hanya meringis. Dia naik perlahan dan duduk sebelah Hato. Keduanya menikmati keheningan bersama, memproyeksikan setiap kegiatan yang pernah terjadi di lapangan itu.
“Kemarikan buku tahunan kak Daigo.” Pinta Hato. Daigo tidak membalas dan langsung menyerahkan buku yang dibawanya sedari tadi. Hato mengeluarkan sebuah pulpen dengan case merah dari saku jasnya dan menulis di bagian kesan dan pesan. Perempuan itu menahan senyumnya kalau Daigo perhatikan, mengundang kebingungan di benak sang lelaki.
“Hai. Sudah.” Hato mengembalikan buku tahunan milik Daigo. Baru saja Daigo hendak membuka buku tahunan tersebut, Hato langsung menahannya. “Bukanya nanti saja.” Katanya. Lelaki itu mengangguk tanpa merasa curiga sedikitpun. Hato meluruskan kakinya dan menatap langit.
“Habis ini aku tidak bisa melihat kak Daigo lebih sering secara langsung,” kata Hato. Daigo mengerjap. “aku masih akan sering main ke rumah Jo, kok.” Kata Daigo.
Hato menggeleng seraya menatap kearah Daigo dengan senyum di wajahnya. Kedua matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku akan lebih sering melihat kak Daigo di layar kaca atau bahkan di billboard Shibuya.” Katanya. Daigo terdiam. Hato memang sudah tahu soal kenyataan bahwa dia, Joichiro maupun Ohashi merupakan Johnnys Jr. Daigo memalingkan wajahnya, ikut merasakan sesak yang tiba-tiba datang.
Lelaki itu membuka buku tahunannya, menemukan tulisan tangan Hato disana.
大吾をずっと恋をするんだよ。
Daigo langsung menatap kearah Hato lagi yang sekarang tanpa dia sadari sudah terisak. “ごめん。好きになちゃった。” katanya dengan suara seraknya. Daigo meletakan buku tahunan beserta toganya di sampingnya, menarik Hato ke dalam pelukannya dan menenangkan perempuan itu.
“Jangan minta maaf. Kumohon, jangan,” bisik Daigo, mengeratkan pelukannya. “karena aku juga jatuh cinta padamu.” Lanjutnya. Isakan Hato mengeras. Dia tidak menyangka akan mendapat balasan yang sama dari orang yang dia sukai. Begitupula Daigo. Dia tidak menyangka sosok adik kelas yang sudah dia perhatikan sejak kelas satu ini ternyata juga menyukainya.
Mereka berpelukan selama beberapa saat sebelum akhirnya Hato meminta Daigo melepaskannya. Mereka sempat bersitatap sejenak sebelum akhirnya Daigo mencoba mendekatkan wajahnya kearah Hato, hidung mereka baru bersinggungan namun Hato sudah menutup bibir Daigo dengan tangannya. “Aku malu...” katanya.
Daigo tertawa mendengarnya. Dia menjauhkan diri sedikit dari Hato, kali ini lelaki bermarga Nishihata itu mencium kening Hato dengan pelan dan lembut sementara kedua tangannya memegang kedua bahu Hato.
Keduanya saling memandang lagi. “Nanti, saat kita bertemu lagi, Hato mau memulai kisah cinta yang baru bersamaku?” tanya Daigo. Dia sudah menawar pada agensi untuk tidak mengganggu masa mudanya dari SMP – SMA. Daigo, Joichiro dan Ohashi masuk ke Johnnys pada usia mereka yang masih menginjak bangku SMP. Maka dari itu Daigo meminta pada agensi untuk tidak memberikan mereka izin absen pada sekolah agar Daigo, Jo maupun Ohashi bisa menyelesaikan sekolah mereka dengan hasil yang baik.
Namun, setelah itu semua selesai, Daigo akan benar-benar dilatih untuk menjadi idol selama beberapa tahun yang membuatnya akan kesulitan bertemu kembali dengan adik dari sahabatnya ini.
Hato tersenyum. Kepalanya mengangguk. “Setidaknya aku bisa tahu kabar kak Daigo dari kak Jo.” Katanya.
Daigo tertawa pelan, mereka kembali duduk bersisian dengan Hato yang menyandarkan kepalanya di pundak Daigo. Mereka sama-sama menikmati angin musim semi yang berhembus pelan membelai wajah keduanya, maupun menutup halaman demi halaman dari buku tahunan yang ada di sebelah Daigo.