soymilkao29

ShoppiAiri, Typo


Watanabe Shota tidak asal saja melabuhkan perasaannya pada seorang wanita. Dia bukan tipe pria yang akan mudah jatuh cinta pada setiap perempuan yang ditemuinya. Baginya, prinsipnya, sekali seumur hidup jika memang berjodoh. Selama 18 tahun hidup, Shota belum pernah jatuh cinta yang sampai membuatnya begitu senang bukan kepalang saat melihat sosoknya itu. Rela berdesak-desakkan di kantin yang ramai saat jam makan siang demi membelikan minuman kesukaan perempuannya. Itu sangat bukan Shota. Tapi, disinilah kita.

Melihat Watanabe Shota yang begitu bucin pada Minamoto Airi meski perempuan itu sudah menolaknya. Dia sama sekali tidak gentar untuk mendekati perempuan itu. Lagian salahnya juga karena main menyatakan perasaan tanpa memberikan kesempatan untuk Airi mengenalnya lebih dulu. Perasaan Shota terlalu menggebu-gebu pada perempuan itu.

Lalu, bagaimana pertemuan yang membuat Watanabe Shota jatuh cinta pada Minamoto Airi?

Kelas satu SMA. Waktu itu Shota masih menjadi murid yang rajin mengunjungi perpustakaan. Kalau tidak untuk tidur, dia akan iseng membaca buku yang ada disana. Saat itu perpustakaan sedang cukup sepi. Shota sedang menelusuri rak demi rak mencari bacaan yang judul dan sampul yang menarik perhatiannya. Awalnya dia tidak sadar gerakannya seirama dengan sosok perempuan berambut panjang yang gaya rambutnya diikat model half up bun dengan kunciran scarf scrunchie berwarna biru dongker. Jemari keduanya bahkan mengikuti alur buku yang tertata disana seraya memperhatikan dengan serius setiap judul di sisi buku-buku itu.

Hingga keduanya sama-sama berhenti. Seakan-akan berdiri berhadapan, Shota dan perempuan itu mengambil buku di jalur yang sama meski berbeda rak. Keduanya terdiam selama beberapa saat. Bersamaan Shota dan Airi saling bertukar pandang. Shota tidak langsung menyapa Airi, tapi perempuan itu tersenyum kearahnya dan merunduk sopan. Setelahnya, Airi tetap di posisinya dan meneliti buku yang diambilnya.

Berbeda dengan Shota yang malah memperhatikan Airi lebih lama, menelusuri setiap garis wajah perempuan itu bersamaan dengan detakan jantungnya yang menjadi abnormal dan sensasi geli di perutnya serta wajahnya yang sedikit terasa panas. Lamunan Shota langsung terbuyarkan begitu Airi pergi dari hadapannya dan menuju meja pustakawan. Shota benar-benar mengikuti gerak-gerik Airi saat itu.

Perempuan bernama lengkap Minamoto Airi setelah Shota tadi melirik kearah nametag yang tersemat di jasnya, itu berhenti berjalan keluar begitu sampai di depan pintu perpustakaan. Shota terkejut kala Airi menoleh kearahnya lagi. Shota buru-buru membalikkan tubuh dan memeluk buku yang dia ambil tadi erat-erat.

Seulas senyum terukir di wajahnya. Sepertinya Shota jatuh cinta pada perempuan itu.


Airi terkejut begitu pagi harinya dia dihampiri Shota yang terlihat baik-baik saja setelah penyerangan tadi malam. Tangan lelaki itu masih diperban jika dilihat dari jas yang dikenakannya di bagian punggung tangan sedikit mengembung.

“Ohayou, Airi.” Sapa Shota, meletakan sekotak susu perisa lemon yang jarang sekali Airi temukan. Airi menatap sekotak susu itu sejenak, kemudian menatap Shota sejenak. “Bagaimana dengan tanganmu?” tanya Airi tanpa sadar. Shota mengerjap selama beberapa saat, dia menyentuh punggung tangannya dan tersenyum. “Sudah tidak apa-apa. Orangtuaku juga tidak memarahiku. Memang sedang musim rawan.” Kata Shota, bermaksud untuk membuat Airi tenang.

Tapi, kenyataannya tidak seperti itu. Airi masih merasa bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri atas luka yang didapatkan oleh Shota. perempuan itu tanpa sadar mengulurkan tangannya pada punggung tangan Shota dan mengusapnya pelan. “Tidak sakit?” tanyanya. Shota menggeleng dengan wajah kebingungan. Airi tersenyum tipis. Dia menarik tangannya kembali dan mengambil sekotak susu karton berukuran 350 ml yang diberikan Shota pagi itu.

“Terima kasih susunya. Aku jarang sekali menemukan rasa ini.” kata Airi. Perempuan itu menggoyangkan kotak itu dan menyimpannya pada laci mejanya. Shota sempat terdiam selama beberapa saat sebelum senyumannya semakin melebar. Dia langsung bersimpuh dengan bertopang dagu di atas meja Airi, membuat perempuan itu agak terkejut dengan tingkah Shota yang tiba-tiba itu. “Apakah ini artinya kau mulai menerimaku?” tanya Shota dengan semangat. Airi mengerjap. Wajahnya sedikit terasa panas dan jantungnya berdetak kencang.

Airi berdehem-dehem. Dia hanya menggerakkan lehernya dengan kaku dan menghindari tatapan Shota, tidak menjawab pertanyaan sang lelaki. Sementara Shota tidak hentinya tersenyum lebar padanya. Lelaki itu kembali berdiri dan melompat dengan senang. Shota mendekat kearah jendela kelas yang terbuka. “Aku semakin menyukai Airi!!”

Airi mengepalkan tangannya di udara, gemas dengan tingkah Shota yang tiba-tiba berteriak seperti orang gila di pagi hari itu. “Berisik, Watanabe!!” Seru Airi kesal. Shota hanya terkekeh dan berjalan keluar kelas dengan langkahnya yang melompat-lompat kecil. Bel masuk memang belum berbunyi jadi beberapa siswa masih ada yang di lorong kelas.

Airi menghembuskan napasnya. Dia terkejut begitu merasakan colekan di pundaknya. Dia terkejut mendapati Tsuki yang sudah menatapnya dengan kedua alis yang digerakan naik turun. Airi merotasi bola matanya. Dia berhutang cerita pada perempuan itu. “Kau sudah resmi jadian dengan Watanabe itu?” Tanya Tsuki. Beruntungnya Airi hari itu sepertinya Koji kesiangan dan akan datang terlambat.

“Mana ada!” Serunya tidak terima mengundang tawa geli dari Tsuki. Perempuan bermarga Minamoto akhirnya menceritakan kejadian yang menimpanya dan Shota semalam, Tsuki jadi memasang ekspresi seriusnya dan menanyakan kondisinya. Airi jelas mengatakan dia baik-baik saja dan Cuma Shota yang harus mengalami luka gores.

Tapi, Tsuki menggeleng. “Traumamu. Aku menanyakan itu.” Airi terdiam. Dia menunduk sedikit dan tersenyum masam. “Aku baik-baik saja. Obatnya semalam dan tadi pagi sudah kuminum.” Katanya.

Tsuki menghembuskan napasnya. “Bilang padaku kalau kau merasakan rasa tak nyaman ya.”katanya. Tsuki memang selalu paham kondisinya sejak mereka berkenalan di bangku SD. Meski kelakuan perempuan itu suka di luar nalar setidaknya diantara dirinya dan Koji, Tsuki yang bisa dikatakan bisa mengatur emosi, terlihat baik-baik saja dan selalu ada untuk mereka berdua.

“Terima kasih, Tsuki.” “Anytime, bestie.”

ShoppiAiri, Fluff, School AU, Typo


Airi mengernyit begitu dia menemukan sekotak karton ukuran 350ml berisi susu rasa cokelat. Dari mana Airi tahu rasanya? Karena begitu yang tertulis di sampul kotak tersebut. Perempuan bermarga Minamoto itu mengembungkan pipinya. Begitu dia mengganti sepatunya dengan uwabaki miliknya dan menutup pintu loker sepatunya, dia nyaris merasakan jantungnya lompat pindah ke bagian lain. Airi melihat Watanabe Shota sudah bersandar pada pintu loker yang lain dan menoleh padanya, tersenyum.

“Kau suka susunya?” tanya Shota yang mengundang, alis Airi sebelah naik dan perempuan itu ikut menyandarkan tubuh dengan menghadap kearah lelaki itu. “Dicoba saja belum.” Katanya dengan sinis. Shota tertawa. “Sama seperti hubungan dan perasaan kita,” Shota meraih tangan Airi membuat Airi sedikit terkejut. “belum dicoba tapi kau sudah menolakku.” Lanjutnya.

Airi mengerjap. Dia berdecak dan menepis tangan Shota yang menggenggam tangannya. “Kau ini sangat pemaksa.” Gerutu Airi kesal seraya berlalu sementara Shota mengikuti langkahnya.

“Ini bukan pemaksaan, Airi, ini namanya usaha.” Airi berdecak begitu dia mendengar Shota memanggilnya dengan nama kecilnya. “Aku belum mengizinkanmu untuk memanggilku dengan nama kecilku, ya, Watanabe.” Kata Airi.

“Tapi, aku sudah mengizinkanmu memanggilku “Shota.” panggil aku “sayang” pun aku tidak keberatan.” Beberapa siswa yang melewati mereka sempat berbisik-bisik dengan senyuman tertahan begitu mendengar kalimat yang dilontarkan Shota. Airi menggeram pelan. Dia menarik siku Shota untuk memojok di ujung perbatasan tangga lantai dua dengan tiga.

“Astaga, Airi, kalau kau ingin bermesraan, setidaknya jangan di tangga seko—aduh!” Shota langsung menangkup mulutnya begitu merasakan Airi memukul pelan bibirnya yang sedari tadi berisik.

“Dengar ya, Watanabe, aku tidak peduli kau mau berbuat apa, dengan siapa, asal jangan kau ganggu aku.” Kata Airi dengan mengintimidasi. Shota terdiam sejenak memandangi wajah perempuan di depannya ini, dia tersenyum tipis.

“Tidak mau. Aku tidak mau berhenti memberikan perhatian pada Airi.” Katanya. Airi memejamkan matanya, menarik napas dan menghembuskannya pelan untuk meredakan sedikit emosi yang naik ke permukaan. Orang seperti Watanabe Shota akan sulit untuk diperingatkan dengan kata-kata.

“Baiklah. Lakukan sesukamu. Aku tidak peduli.” Tukas Airi sebelum akhirnya dia menaiki tangga menuju kelasnya dengan langkah cepat, meninggalkan Shota yang masih merasakan jantungnya berdetak cepat kerena dipojokkan oleh Airi.

Cinta benar-benar membuatnya lemas.


“Jadi, kau menolak Shoppi?” Airi langsung melirik tajam nan galak kearah Koji yang sedang menikmati udonnya. “Bisa gak usah ngomongin dia gak?” ujarnya kesal. Koji dan Tsuki tertawa melihat Airi yang langsung kesal begitu nama Shota disebut.

“Habisnya lucu sekali. Tiba-tiba dia menyatakan perasaan padamu begitu, apa tidak kaget?” kata Koji. “Padahal sudah kusarankan untuk mendekatimu dulu. Ini langsung main tembak.” Airi semakin menatap galak kearah Koji.

“Jadi, ini ulahmu, Mukai?” tanya Airi. Koji tahu bahwa nada bicara Airi yang rendah nan mengintimidasi itu adalah tanda-tanda bahaya. Dia langsung pindah duduk di samping Tsuki yang duduk di depan Airi dan menggeser udonnya, menyelamatkan makanannya dari amukan Airi.

“Tidak juga...” katanya dengan suara pelan. Airi sudah akan menerkam Koji kalau saja dia seekor Singa saat itu. Airi menghembuskan napas kesal, mengembungkan pipinya.

“Tapi, kalau kak Yuto yang begitu padaku, aku akan langsung terima saja.” Kata Tsuki yang tiba-tiba merubah subjek meski topiknya masih sama. Koji dan Airi langsung menatap Tsuki dengan prihatin. Airi tersenyum penuh simpatik sementara Koji seraya menyeruput udonnya menautkan alisnya dengan ekspresi sedih.

Tsuki langsung mengerutkan kening dengan sebal. “Apa-apaan wajah kalian itu?”


Watanabe Shota benar-benar melakukan apapun yang dia suka. Yaitu, memberi perhatian lebih pada Airi. Beberapa kali Airi yang sedang malas mengantri di kantin untuk membeli minum, malah diberikan sebotol air perasa lemon yang kondisinya seperti baru keluar dari mesin pendingin. Atau sesekali Shota membantunya membawa buku-buku kembali ke perpustakaan. Terkadang kalau kelas mereka punya jadwal bentrok di suatu ruangan khusus, Shota akan jadi yang pertama membantunya menyelesaikan tugasnya. Oh, perlu diingat di tahun terakhir mereka bersekolah sebagai siswa SMA itu, Shota, Koji, Tsuki, dan Airi sekelas. Airi tidak paham kutukan macam apa yang sedang mengikutinya ini.

Airi sedang sendirian di kelasnya saat jam makan siang itu. Dia tidak ikut dengan Koji dan Tsuki yang sudah ngacir ke kantin untuk membeli makan siang. Hari itu, dia dibawakan bekal oleh tantenya. Airi tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia jarang sekali dibuatkan bekal oleh tantenya, selain karena tantenya sibuk. Airi terlalu malas untuk masak sendiri.

Saat dia sedang menikmati makan siangnya tanpa menunggu kedatangan Koji dan Tsuki seperti biasa, Shota datang dan menggeser kursi di depan Airi. Lelaki itu meletakan sebotol minuman perisa lemon dan roti krim keju di atas meja Airi yang sisinya masih kosong. “Apa ini?” tanya Airi ketus.

Shota tersenyum kearahnya. “Buatmu, aku kelebihan belinya.” Airi merotasi bola matanya. Shota selalu saja beralasan seperti itu untuk memberinya sesuatu. Lelaki ini terlalu banyak uang atau bagaimana? Tsuki yang pada dasarnya adalah anak keluarga Matsumoto saja sangat menjaga uangnya. Dia bilang, suatu saat dia akan membeli saham agensi idol yang menaungi ayahnya bekerja di dunia hiburan saat ini. Ada-ada saja perempuan satu itu.

“Shoppi!” Suara seseorang memanggil nama lelaki yang duduk di depan Airi saat ini. Kedua manusia itu menoleh kearah pintu ruang kelas dan menemukan Kyomoto Taiga berdiri di depan kelas seraya melambaikan tangan. “Latihan!” katanya. Shota terlihat menepuk keningnya. Seakan-akan dia lupa akan sesuatu.

“Dimakan dan diminum ya!” kata Shota sembari menepuk kepala Airi, menimbulkan percikan-percikan aneh yang baru pertama kali Airi rasakan setelah sekian lamanya. Sebelum beranjak Airi memanggil Shota. “Lomba lagi?” tanya Airi membuat gerakan Shota yang hendak beranjak dari duduknya jadi tertunda. Lelaki itu hanya tersenyum. Dia kali ini benar-benar berdiri dan menepuk-nepuk kepala Airi.

“Makan yang banyak! Aku pergi dulu yaa~!” katanya. Lelaki itu segera menghampiri Taiga yang sudah menunggu tak sabaran di depan pintu. Airi cukup lama memandangi kepergian Shota, begitu dia sadar, pandangannya sudah menatap begitu lama pada roti krim keju dan juga minuman dingin perisa lemon favoritnya.

Airi meraih botol berukuran 500ml itu dan memandanginya sejenak. Tak lama, Koji dan Tsuki datang dengan napas terengah. Sepertinya pertarungan di kantin semakin sengit. Keduanya nampak membawa bungkusan berisi jajanan mereka hari itu.

Koji dan Tsuki yang sudah menarik meja dan kursi mereka untuk menyatu dengan meja Airi mengernyit memandangi sang sahabat yang sedang memandangi botol minum itu. Sebelum Koji ataupun Tsuki bersuara, “Koji, kau memberitahunya minuman atau buah favoritku?” tanya Airi.

Koji mengerjap. Awalnya dia bingung siapa ‘nya’ yang dimaksud oleh Airi. Tapi, begitu dia melihat sebuah roti krim keju di atas meja Airi, dia tahu siapa yang dimaksud oleh sahabatnya itu. “Tidak. Mungkin dia cari tahu sendiri.” Jawab Koji.

Airi mengangguk pelan. Kali ini, pandangannya sudah terfokus pada kedua sahabatnya yang sekarang sedang tersenyum penuh rasa curiga pada sang sahabat bermarga Minamoto ini, membuat Airi bergidik ngeri. “Kenapa kalian ini?”


“Minamoto-senpai, kami duluan yaa!” Dua orang anggota panahan di ruangan itu pamit pada Airi yang masih merapikan peralatan praktek mereka hari itu. Airi mengangguk seraya melambaikan tangan dan tersenyum. Dia yang bertugas piket hari itu, jadi dia harus tinggal selama beberapa saat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai anggota klub panahan meski dia sudah kelas tiga. Tahun terakhir.

Meski warna langit sudah berubah jingga, Airi tidak menghentikan kegiatannya. Dia duduk sebentar di tengah ruangan latihan itu, memandangi setiap sudut ruangan terbuka itu. Seulas senyum terukir di wajahnya. Sudah dua tahun setengah dia masuk klub ini dan juga tidak jarang juga dia menyumbang medali untuk sekolahnya.

Sebelum kelulusan nanti bahkan, dia sudah diminta oleh pelatihnya untuk menjadi orang yang melakukan atraksi sebagai bentuk partisipasi klub mereka di acara kelulusan. Tapi, Airi masih perlu memikirkan hal itu. Lagipula masih ada adik kelas yang lebih jago dan akan bagus untuk mereka unjuk kebolehan di acara sekolah itu. Lamunan Airi terpecah kala mendengar suara ribut dari luar ruangan. Dengan sigap, Airi mengambil panahan terdekat yang belum dia sempat rapihkan dan juga sebilah anak panah dan siap diarahkan ke pintu masuk ruangan latihan.

“Siapa disana?” Tidak ada jawaban. Airi mengernyit. Dia mendekat perlahan. “Kalau tidak jawab, aku tembak dengan anak panah!”

“Ini aku, aku!”

Airi terkejut mendengar suara yang sangat dia hapal itu, sosok lelaki yang jas sekolahmya sudah dilepas itu mengintip dari balik pintu ruangan dan tersenyum canggung. Airi menghembuskan napasnya dan langsung menurunkan panahannya. Dia mengembalikan perlengkapan itu ke tempatnya semula dan menghampiri Watanabe Shota yang sekarang sudah berdiri di ruangan latihan terbuka klub panahan itu.

“Kenapa kau masih disini?” tanya Airi. Perempuan itu sedikit mendongak untuk melihat kearah Shota yang tinggi menjulang darinya. Shota tersenyum. “Aku menunggumu.” Katanya.

Kening Airi jelas bertaut bingung. Apa pula lelaki ini menungguinya? “Aku bisa pulang sendiri, Watanabe.” Kata Airi. Shota menggeleng membuat poni yang menutupi keningnya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Lelaki itu mengembungkan pipinya.

“Perempuan tidak boleh pulang sendirian.” Airi merotasi bola matanya. Padahal dia sudah terbiasa untuk pulang semalam apapun. Tantenya tidak mempermasalahkan hal itu karena percaya Airi adalah anak yang baik-baik.

“Kau lupa, kepala sekolah tadi siang mengumumkan untuk jangan pulang larut malam karena sedang ramai penculikan dan pembunuhan anak muda.” Kata Shota. Airi mengerjap. Ah, dia lupa akan itu. Airi juga tidak terlalu mendengar pengumumannya karena sedang fokus mengerjakan tugas rumahnya yang terlambat dia kerjakan tadi.

“Jadi, hari ini aku akan mengantarkanmu pulang.” Kata Shota dengan senyuman di wajahnya. Lelaki ini pasti senang sekali bisa mengantarkan pulang kesayangannya. Airi menghela napas. Tidak ada pilihan lain. Pasti kakak sepupunya juga sedang sibuk dan tidak bisa Airi asal minta tolong di jemput. Dia sudah delapan belas tahun.

“Baiklah.” Kata Airi. Shota terlihat melompat kecil dengan senang. Senyumannya melebar berbarengan dengan senyum di wajah Airi yang berkembang tipis.

Keduanya berjalan bersebelahan keluar dari pekarangan sekolah selepas Airi menyerahkan kunci ruangan pada satpam yang berjaga di sekolah. Sementara Shota sibuk bersiul dan juga bersenandung dengan riang untuk memecah keheningan yang entah kenapa malam itu sangat sepi dari biasanya. padahal jalanan menuju rumah Airi tidak pernah sesepi ini.

Airi baru ingat, tadi Koji dan Tsuki juga menawarinya untuk menemani Airi beberes karena akan memakan waktu lama untuk melakukan piket hariannya tapi Airi menolak karena dia tidak mau merepotkan Koji dan Tsuki, lalu membuat keduanya jadi terlambat pulang.

Airi menoleh kearah Shota yang sedang berjalan di sebelahnya. “Kau tidak apa-apa pulang terlambat?” tanya Airi. Shota menatap kearah Airi yang langsung Airi buang pandangannya kearah lain. “Itu pertanyaan yang harus kutanyakan padamu, Airi.” Kata Shota.

Airi terkekeh pelan. “Aku sudah biasa pulang malam. Kadang-kadang aku harus mampir ke perpustakaan untuk meminjam buku bacaan atau DVD film.” Katanya. Shota mengangguk pelan. “Begitu. Lain kali ajak aku saja kalau kau merasa kesepian ya.” kata Shota dengan senyuman di wajahnya.

Kesepian ya... Airi menggumam pelan dalam hati. Dia tersenyum tipis yang terkesan masam. Dia tidak lagi membuka percakapan dengan Shota. Perjalanan mereka entah mengapa terasa begitu lambat dan Airi tidak suka suasana yang semakin mencekam meskipun dia tidak sendirian saat itu.

“Airi, awas!” Shota menarik Airi menyingkir begitu lelaki itu mendapati seseorang dengan sepeda yang dikendarainya mendekat dan mengeluarkan sebuah pisau lipat. Shota meringis merasakan pisau itu menggores punggung tangannya. Airi sempat terdiam beberapa saat karena sedikit shock. Dia menoleh ke depan dimana sang pesepeda itu sudah menghilang dari pandangan mereka.

Emosi Airi langsung berubah menjadi panik begitu dia melihat luka yang disebabkan sayatan benda tajam itu mengeluarkan darah cukup banyak. “Airi, kau tidak apa-apa?” tanya Shota. Lelaki itu memeriksa kondisi Airi dengan memegangi kedua bahunya dan menelisik kondisi orang yang disukainya ini. Airi berdecak.

“Kau pikirkan dirimu sendiri, Watanabe!” Airi mengeluarkan sapu tangan dari saku jas seragamnya dan mencoba menahan aliran darah yang terus keluar. Saat itu juga, Airi merasakan dadanya sesak dan potongan ingatan yang menyakitkan itu menyerangnya.

“Kita harus cari klinik terdekat. Pesepeda sialan.” Gerutu Airi. Dia menarik Shota untuk berjalan cepat, meskipun Shota sudah bilang berulang kali bahwa dia baik-baik saja. Lukanya tidak begitu sakit.

Beruntungnya tidak jauh dari sana ada klinik dan Shota bisa langsung diobati lukanya. Sang dokter yang ternyata sudah cukup sepuh memperingatkan mereka untuk lebih menjaga diri karena sedang ramai sekali kejadian seperti ini.

Baik Shota maupun Airi sekarang sedang duduk di ruang tunggu. Airi akhirnya mengirimi pesan balasan pada kakak sepupunya, begitu dia dikirimi pesan oleh sang kakak. “Maafkan aku.” Kata Airi pelan. Shota menatap Airi sejenak dengan alis bertaut. Sementara Airi masih memandangi luka sayatan yang sekarang sudah diperban itu. Shota ikut melihat kearah lukanya dan tertawa pelan untuk menenangkan Airi.

“Aku baik-baik saja, Airi. Tenang.” Katanya. Airi tidak lagi menjawab. Keheningan panjang diantara keduanya. “Kau sendiri, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Shota seraya meraih tangan Airi yang dia lihat sedikit gemetar.

Airi menatap Shota. Keduanya bersitatap sejenak. Airi menatap sendu. Dia menggeleng pelan. “Aku juga baik.” Katanya. Shota tertawa kecil. Dia menyentuh lembut hidung Airi dan mendekatkan wajahnya, mensejajarkan pandangan mereka. “Kau bukan pembohong yang jago, Airi.”

Airi meringis. “Aku tidak apa-apa. Kita tidak apa-apa.” Kata Shota terus menenangi Airi. Airi merasakan tangan Shota yang menggenggamnya mengerat.

Tidak. Bukan itu lagi yang mengganggunya. Tapi, kenangan masa lalu yang masih terekam jelas diingatannya membuat Airi tidak bisa tidak gemetar saat itu. Tapi, jelas dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Shota. Shota baginya masih orang asing.

“Airi!” Perempuan bermarga Minamoto itu mendongak begitu dia mendengar suara seseorang memanggil namanya dan suara lonceng dari klinik kecil itu berbunyi. Shota melihat sosok lelaki jangkung dengan kulit pucat dan juga wajah cukup tampan itu menghampiri Airi dengan cemas.

“Kak Tama...” panggil Airi pelan. Sosok yang dipanggil kakak oleh Airi itu, langsung duduk di samping kanan Airi dan merangkulnya. Shota sedikit menatap miring kearah lelaki jangkung yang main asal rangkul kesayangannya ini. Sosok itu akhirnya menyadari keberadaannya. “Hai, aku kakak sepupunya Airi, Tamamori Yuta.” Katanya. Ekspresi Shota kembali melunak. Dia tersenyum seraya merunduk sopan.

“Ah, doumo. Watanabe Shota, kak.” Kata Shota memperkenalkan dirinya. Tama tersenyum kearah Shota dan juga berterima kasih padanya karena sudah mau menemani Airi pulang. Lelaki itu juga yang membayar biaya perawatan Shota. Dia juga meminta maaf karena sudah membuat lelaki itu mengalami kejadian tidak mengenakkan ini.

Shota jelas mengatakan tidak masalah. Dia dengan senang hati pulang pergi sekolah bersama Airi jika diperlukan. Tama hanya terkekeh sebelum akhirnya pamit bersama Airi untuk pulang setelah memastikan bahwa Shota baik-baik saja untuk pulang sendiri.

Shota sedikit penasaran begitu melihat Airi yang terdiam selama Tama berbicara padanya. Perempuan itu seperti tidak ada disana. Tapi, dia berpikir mungkin Airi masih shock karena penyerangan itu. setidaknya Airi baik-baik saja meski dia yang harus terluka.


Sepulang dari dijemput oleh Tama, Airi langsung masuk ke kamarnya, membersihkan dirinya di kamar mandi sementara Tama yang mengurus kejelasan pada ibunya soal adik sepupunya itu. Airi tidak langsung tidur begitu dia selesai dengan bebersih diri.

Ada pesan masuk dari kontak LINE Shota, menanyakan kondisinya. Airi hanya menatap kosong pada layar ponselnya itu. Dia malah menarik laci meja belajarnya, sedikit mengacak-acak isi di dalam laci itu sebelum menemukan sebuah botol kapsul yang expired datenya masih dua tahun lagi. Botol itu masih banyak isinya karena Airi tidak pernah meminumnya lagi.

Jadi, aku harus meminum ini lagi?

Sementara bayangan-bayangan tentang kejadian masa kecil yang pernah menimpanya terus berdatangan bagai rekaman rusak, mengganggu pandangan Airi hingga perempuan itu jatuh terduduk dan meringkuk disana, terisak pelan. Tama juga memintanya untuk meminum obat itu jika Airi mengalami masa-masa seperti ini lagi.

Pintu kamarnya terbuka dan terlihat Tama yang sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana panjangnya, masuk dan memeluk Airi erat, menenangkan perempuan itu. Tama tahu bahwa Airi akan kembali masuk ke fase ini begitu ada seseorang yang mencoba melindunginya dan berakhir dengan kejadian berdarah.

“Sudah, Airi, itu bukan salahmu. Kejadiannya sudah lama lewat.”

Ya. Kejadian yang merupakan kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya.

ShoppiAiri, Typo, Cringe


Semua jadwalnya di Korea Selatan maupun Amerika Serikat untuk syuting drama produksi Netflix dan juga HBO sudah selesai. Beruntungnya dia ternyata bukan hanya dia orang Jepang di series yang diproduksi oleh HBO itu, ada Yamashita Tomohisa juga disana. Seorang mantan idol yang satu agensi dengan kekasihnya.

Keduanya juga sempat bertukar kontak dan menghabiskan waktu bersama setiap ada break syuting. Ah, perlu diingat, Yamapi dan Minamoto Airi hanya sekedar rekan kerja. Dia tidak mungkin berselingkuh dari Watanabe Shota. Dia hanya senang karena ada aktor dari negara yang sama dengannya di series itu. Airi jadi merasa tidak sendirian.

Yamapi juga beberapa kali membahas soal Shota. Airi jadi merasa lebih dekat dengan kekasihnya itu meski mereka sudah tidak bertemu selama kurang lebih setahun setengah. Airi tidak mengira bahwa seluruh jadwal luar negerinya akan sepanjang ini. Beberapa kali Shota juga protes karena merindukan Airi.

Tsuki juga tidak ketinggalan menanyakan kabarnya dan bagaimana Hollywood. Meski Airi setengah tahun berada di Korea Selatan dan sering menghabiskan waktu bersama Tsuki maupun rekan Tsuki di RED*ONE—beberapa membernya ada yang dulu seangkatan menjadi trainee di SM bersamanya. Airi jadi nostalgia juga bagaimana kehidupannya dulu di Korea Selatan sebelum akhirnya kembali ke Jepang.

Jadwal yang panjang ini juga membuat Airi sepertinya kehilangan berat badannya. Sesi konsultasinya dengan psikiater pasca kejadian penyerangan itu juga harus dilakukan via online karena jarak dan situasi. Belum lagi ada waktu-waktu dimana Airi merasa dirinya begitu hampa dan kambuh karena tidak teratur meminum obatnya pada jam-jam yang sudah diatur.

Manajernya pernah menegurnya soal ini, Airi juga sudah berusaha terus disiplin mengkonsumi obatnya agar kinerjanya sebagai seorang aktris tidak jelek. Apalagi ini debutnya di Hollywood.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya Airi kembali ke Jepang lewat Haneda. Dia disambut beberapa fans dan juga wartawan di pintu kedatangan khusus. Airi melambaikan tangan dan tersenyum sumringah melihatnya. Ah, betapa dia merindukan suasana keramaian yang hangat ini.

Bersamaan dengan itu, dia merasakan jantungnya berdetak cepat dan napasnya tercekat. Dengan tanpa sadar, dia meremas syal biru yang melingkar di sekitar lehernya dengan masih tersenyum kearah para fans.

Astaga. Tidak sekarang, tolong.

Kuro yang menyadari ada perubahan pada kondisi Airi, langsung menarik perempuan itu melewati pintu keluar yang lain seraya menghubungi supir yang menjemput mereka bahwa mereka merubah rute penjemputan.

Beruntungnya untuk mereka berdua maupun bodyguard yang dikirim TOBE untuk mengawal Airi, tidak ada fans dan wartawan yang mengikuti. Airi mengatakan pada Kuro bahwa dia perlu ke toilet. Kuro mengiyakan dan memberikan sebuah tas kecil yang dibawanya pada Airi.

Kuro tidak bisa mengikuti Airi ke toilet perempuan. Bisa bisa ditegur satpam dia. Airi membuka salah satu stall toilet itu dan masuk ke dalam. Dia membuka tas kecil berisi obat yang selalu dia bawa kemana-mana itu. Setelah meminumnya, Airi duduk sejenak di atas kloset toilet yang dia turunkan penutupnya. Dia mengatur napas dan membayangkan hal hal yang indah saja.

Tapi otaknya sedang tidak bisa diajak kerja sama. Dia seenaknya memutar bagaimana Airi menemukan sebuah papan yang bertuliskan, “Kuharap kau mati dan tidak kembali lagi ke Jepang, Minamoto Airi.” Diantara fans yang menyambutnya disana.

Airi mengusap wajahnya. Ada ada saja. Padahal dia sudah sering mendapati ujaran kebencian tapi sejak kejadian itu dia jadi sensitif dan terlalu waspada membuat mentalnya jadi lemah seperti ini.

Airi mengepalkan tangannya dan memukul pintu di depannya dengan frustasi. Suara Kuro tak lama terdengar karena dia mendengar suara bedebum dari dalam. Airi menarik napas dan bersiap untuk keluar setelah mentalnya lebih tenang.

Dia tersenyum pada Kuro yang menatapnya cemas. “Kau tidak apa apa?” Tanyanya. Airi menggeleng. Menyakinkan Kuro bahwa dia memang baik-baik saja.

Kuro berjalan di depannya dengan bodyguard lainnya mengikuti Airi dari belakang. Begitu melewati pintu keluar, entah kenapa rasa kantuk menyerang Airi. Efek obat? Airi membatin dengan setengah tidak sadar. Tanpa sadar, dia tersandung kakinya sendiri dan nyaris terjatuh.

Namun, sepasang tangan menahan tubuhnya agar tidak menyentuh lantai. Airi mendongak dan menemukan sosok lelaki yang selama ini dia rindukan ada disana. “Watanabe-san?” Kuro mengernyit. Menyatukan kedua alisnya. Tidak menyangka ada Watanabe Shota disana.

“Maaf aku datang tanpa memberitahu.” Kata Shota yang sekarang membantu Airi kembali berdiri dan merangkulnya. Entah apa yang merasuki Airi, perempuan itu refleks menyandarkan kepalanya pada bahu Shota dan menarik napas dalam-dalam.

Airi hanya mendengar percakapan samar antara Shota dan Kuro yang memintanya untuk membawa Airi pulang dengan mobilnya saja hari ini. Airi dengan digandeng Shota berjalan ke mobil yang sudah terparkir tak jauh dari sana. Barang-barang Airi juga sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil Shota.

Sementara Airi dan Shota sudah duduk di kursi masing-masing. Airi yang duduk sedikit menyamping menghadap Shota begitu pula Shota yang tersenyum menatap kesayangannya. “Okaeri, Airi.”

“Tadaima, Shota.”

Shota menelisik kekasihnya. Dia melihat sedikit ruam merah di buku-buku jari Airi. Diraihnya pelan tangan sang kekasih dan diusapnya lembut. “Sakit?” Tanya Shota.

Airi menggeleng. Yang tidak dia duga selanjutnya adalah Shota yang mencium ruam merah itu dan meniup-niupnya lembut.

“Kamu boleh tidur sekarang, nanti aku bangunkan kalau sudah sampai rumah.” Kata Shota.

Airi mengangguk tanpa kata lagi. Toh, dia sudah merasa berada di 'rumah'.

Bagian 1: Hari Pertama Sekolah

Nishihata Daigo x OC. Typo. Fluff. School Life.


“Beruntung sekali kau tidak dicegat anak OSIS di depan ya.” Fujiwara Joichiro mengeluh begitu dia sampai di aula dengan napas terengah, berdiri di belakang sosok lelaki berkacamata yang tersenyum simpul menanggapi gerutuan sang sahabat.

“Makanya datang pagi.” Balas Nishihata Daigo. Joichiro mendengkus. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Saat ini napasnya sudah kembali normal setelah berlari dengan kencang dari kelasnya ke ruangan aula yang jaraknya cukup jauh.

“Kau datang pagi pasti untuk mencari dimana kelas anak bernama Hato, ‘kan?” Daigo langsung menoleh kearah Joichiro dengan kedua mata yang membulat lebar. Joichiro terbahak. “Tebakanku tidak salah rupanya. Kau masih saja mencari anak itu.” kata Joichiro.

Daigo balas mendengkus. Dia kembali berdiri menghadap depan dan menggerutu. “Mana ada. Aku datang pagi supaya tidak jadi atlit marathon sepertimu di hari pertama sekolah, ya, Fujiwara.” Balas Daigo.

Joichiro berdecak. Dia menahan diri untuk tidak menjitak kepala sang teman satu kelasnya ini. Tebakan Joichiro memang tidak salah. Pagi itu sebelum suasana sekolah menjadi lebih ramai, Daigo datang pagi untuk menyusuri papan pengumuman pembagian kelas untuk tahun ajaran baru. Setelah mencari namanya di bagian kelas tiga, Daigo beralih pada bagian kelas dua dan menyusuri tempelan kertas itu dengan jemarinya. Mencari nama sosok perempuan bernama Fujiwara Hato diantara banyak list anak kelas dua itu.

Senyumnya melebar saat menemukan nama sang perempuan di list murid kelas 2A. Tanpa membuang waktu, Daigo segera beralih ke kelasnya sendiri sebelum dilihat oleh murid lain yang perlahan-lahan mulai berdatangan.

Lamunan Daigo terpecah begitu dia mendengar bahwa sambutan kepala sekolah akan segera dimulai dan mereka langsung berdiri sesopan mungkin meskipun ada beberapa yang terlihat kebosanan. Ternyata agenda pagi itu, diisi dengan pelantikan ketua OSIS SMA Gokugei Osaka. Mata Daigo tidak berhenti mengerjap begitu dia menyadari sosok yang menarik perhatiannya selama setahun lebih itu perlahan-lahan naik keatas panggung dan menerima tonggak tanggung jawab ketua dari Masakado Yoshinori—ketua OSIS sebelumnya dan memberikan sebuah sepatah dua patah kata. Sosok bernama lengkap Fujiwara Hato itu memberikan harapannya untuk bisa dekat dan mendengar aspirasi dari para murid dari berbagai angkatan maupun guru di SMA tersebut.

“Dengan ini saya mohon bantuan semuanya untuk membangun SMA Gokugei Osaka yang lebih baik lagi. Yoroshiku onegaitashimasu.”

Seluruh siswa yang ada disana bertepuk tangan, menyambut ketua OSIS baru mereka. Yang dalam sejarah, baru kali itu tonggak ketua dipegang oleh perempuan. Daigo ikut bertepuk tangan dan tersenyum lembut. Senyumnya langsung hilang digantikan dengan semburat merah yang menghangat di kedua pipinya kala dia bertemu pandang dengan Daigo. Hato tersenyum kearahnya.

Hari pertama sekolah tidak seburuk itu rupanya. Malah sangat menyenangkan bagi Daigo.


Bagian 2: Perpustakaan

Keseharian anak kelas tiga alias tingkat akhir tidaklah jauh dari yang namanya mempersiapkan ujian masuk universitas. Tidak terkecuali Daigo. Lelaki itu sibuk membaca buku pelajarannya seraya menunggu jam pergantian kelas karena hari itu sedang jam kosong. Sementara para teman sekelasnya beberapa ada yang mengobrol dan saling bermain. Joichiro duduk di depan Daigo dan mengambil bukunya. Daigo berdecak dan mendelik kearah sang lelaki bermarga Fujiwara itu.

“Berhenti membaca, dasar kutu buku.” Cibir Joichiro. Sementara itu, Ohashi Kazuya menghampiri dengan tiga buah melonpan yang dia beli secara diam-diam di kantin pada kedua sahabatnya ini. Dengan senyuman lebar, Ohashi memberikan melonpan itu pada Daigo dan juga Joichiro.

“Ini lagi satu, tukang makan.” Cibir Joichiro. Kepala menggeleng-geleng. Sementara Daigo berdecak dan mengambil kembali bukunya dan mengabaikan kedua sahabatnya. Joichiro kembali mengambil buku di tangan Daigo.

“Ayolah, sedang jam kosong dan ini tahun terakhir kita menjadi seorang murid SMA, dinikmati, Daigo~!” ujar Joichiro. Fujiwara satu ini memang memiliki jiwa yang bebas dan selalu menikmati setiap hari yang dia jalani. Berbeda sekali dengan Fujiwara lain yang dia kenal. Tapi, karena itu Daigo sempat berpikir apakah Joichiro dan Hato adalah saudara. Tapi, Daigo tidak benar-benar bertanya karena dia tidak ingin diketahui bahwa memiliki rasa pada perempuan yang merupakan adik kelasnya itu.

“Kau ini mengingatkanku pada orang rumahku yang hobinya juga belajar. Kalian kalau disatukan pasti jadi kombi yang luar biasa.” Gerutu Joichiro. Daigo mendelik. Dia mengambil kembali bukunya dan melonpan yang diberikan Ohashi tadi.

“Mari coba kau pertemukan aku dengan orang itu dan kita lihat apakah perkataanmu itu sesuai.” Tantang Daigo seraya berlalu. Tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Ohashi yang sekarang sedang menikmati melonpannya, tidak peduli dengan percakapan Joichiro dan Daigo.


Daigo memasuki perpustakaan dengan memeluk buku-buku dan catatannya, tidak lupa menyembunyikan melopannya di balik jas biru dongker yang dikenakannya. Dia menemukan perpustakaan itu tidak ramai. Hanya ada beberapa murid sepertinya yang sedang sibuk membaca atau hanya menumpang tidur disana. Perpustakaan memang tempat yang paling enak untuk dijadikan tempat bersantai dan menenangkan diri. Apalagi AC nya sangat sejuk. Meski sesekali jendela di perpustakaan itu dibuka untuk memperbaiki sirkulasi.

Daigo berjalan menyusuri rak demi rak dan menemukan spot di pojok ruangan perpustakaan yang luas itu dan duduk di bawah, bersandar pada dinding dan mulai membuka buku serta melonpannya dengan sangat berhati-hati saking sepinya suasana disana. Beberapa menit masih Daigo nikmati dengan membaca buku-buku yang dia bawa sambil menyantap melonpan hasil pembelian Ohashi diam-diam ke kantin. Sekolah mereka agak ketat untuk masalah waktu. Kalau belum waktunya makan siang, mereka tidak diperbolehkan untuk ke kantin membeli makan. Meski ada jam kosong, mereka hanya boleh di kelas, ke perpustakaan atau ke toilet.

Jadi, pilihan paling bagus adalah perpustakaan. Untuk Daigo. Untuk Joichiro tentunya akan lebih enak baginya menetap di kelas.

“Makan di perpustakaan itu dilarang loh, kak.” Daigo terperanjat kala mendengar suara seseorang menegur tindakannya. Padahal dia sudah mencari spot paling tersembunyi disana. Saat mendongak, dia melihat sosok perempuan berambut seleher kehitaman dengan celemek khas pustakawan tersenyum kearahnya.

Daigo tersedak. Dia segera menepuk-nepuk dadanya, berusaha menetralkan tersedaknya tanpa harus minum. Sosok perempuan bernama Fujiwara Hato –terlihat dari nametag di celemeknya itu berjongkok mendekat kearah Daigo dan mengusap-usap punggungnya, membantunya untuk menghilangkan rasa tersedak melonpan yang dimakannya. Untung saja itu gigitan terakhir. Wajah Daigo sedikit memanas

Hato dan Daigo bangkit bersamaan. “Kali ini, aku tidak memberi sanksi. Tapi, lain kali kalau ketahuan lagi, aku tidak segan memberikan sanksi pada kak Nishihata ya.” ucap Hato. Daigo mengerjap. “Bagaimana kau tahu namaku?” tanyanya.

Hato terkekeh. Dia menunjuk kearah nametag yang terpin di jas seragam milik Daigo. Lelaki itu menyumpah serapah dirinya sendiri dalam hati dan meringis. Cinta memang membuat bego sesaat ya.

“Baiklah. Aku pamit, ya, kak. Lebih baik kak Nishihata duduk di tempat yang sudah disediakan saja.” Kata Hato. Perempuan itu berbalik dan hendak pergi dari hadapan Hato. Namun, Daigo segera menahannya. “Fujiwara!” Hato langsung berbalik dan meletakan telunjuknya di depan bibirnya sendiri, mengisyaratkan Daigo untuk sedikit diam karena mereka sedang di perpustakaan. Daigo meringis lagi. Lagi-lagi dia bersikap bodoh di depan gebetannya.

“A-Aku butuh sebuah buku. Tapi karena perpustakaan ini cukup luas, akan butuh waktu lama mencarinya. Bisa tolong bantu aku?” tanya Daigo. Hato terdiam sesaat, menatap sang kakak kelas kemudian tersenyum dan mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah memopad dari kantung celemeknya begitupula sebuah pulpen dan menyerahkannya pada Daigo.

“Tolong tuliskan saja disini, nanti aku bantu carikan di database.” Katanya. Daigo mengernyit. Dia baru mendengar perpustakaan mereka punya alat canggih itu. Daigo menuliskan judul buku, penulis, penerbit serta tahun terbitnya maupun nama dan juga kelasnya dan menyerahkannya pada Hato kembali.

Hato membacanya terlebih dahulu dan mengangguk. “Baiklah. Terima kasih, kak.” Katanya.

Daigo menggeleng. “Tidak... Aku yang berterima kasih.” Ucap Daigo. Tersenyum kearah Hato.

Mereka saling melempar senyum. Tanpa menyadari sosok yang memperhatikan dari salah satu rak sudah memotret kedekatan keduanya.


Bagian 3: Di jalan Pulang


Hato menarik bowstringnya dengan fingertabnya setelah meletakan sebilah anak panah di recurve bow itu. Anak panah itu melayang dengan cepat menuju objek targetnya dan menusuk tepat di bagian tengah, mengundang tepukan tangan dari beberapa anggota klub panahan.

“Sasuga, ketua OSIS.” Nagisa Sekimizu bertepuk tangan sembari mendekati sang sahabat yang sedang mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang dia bawa. “Berhenti memanggilku begitu, Nagisa.” Gerutu Hato. Nagisa terkekeh. Dia duduk di samping Hato dan menyilangkan kakinya. Sahabat yang juga rekan satu klubnya itu mengedarkan pandangannya dan berhenti pada satu titik di ruangan terbuka itu. Dia melihat sosok lelaki berkacamata yang sedang melihat kearah mereka dengan buku yang terbuka di pangkuannya.

Nagisa sedikit mengernyitkan dahi kala merasakan tatapan lelaki itu agak menyeramkan. “Kau kenal dia, Hato?” tanyanya. Hato yang sedang melepas chest guardnya teralihkan sejenak dan bertemu pandang dengan sosok yang dia kenal sedang tersenyum kearahnya.

Hato sedikit merasa jantungnya berdetak cepat kala melihat Daigo yang melambai pelan dan tersenyum lembut kearahnya. Hato berdehem dan tersenyum kearah Nagisa, menepuk pundak sang perempuan untuk menenangkannya. “Kakak kelas. Nishihata Daigo. Dia memintaku mencarikan sesuatu dari perpustakaan.” Katanya.

Nagisa mengangguk mengerti. Hato yang juga staf perpustakaan tidak heran sering dimintai bantuan seperti ini, padahal tugasnya sebagai ketua OSIS maupun atlit panahan sudah cukup sibuk. Nagisa sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya membulatkan matanya. “Nishihata Daigo?! Nishihata yang itu maksudmu?!” Nagisa memekik kaget.

Hato mendelik, refleks menangkup mulut ember Nagisa. “Berisik sekali kau ini. Iya, yang itu.” kata Hato. Dia buru-buru mengambil barang-barangnya dan beranjak dari sana ke tempat ganti baju diikuti Nagisa dibelakang yang mengekorinya.

“Dia seperti stalker.” Kata Nagisa. Hato meringis.


Daigo memasukkan buku yang sedari tadi dia baca sembari menunggu Hato selesai dengan latihannya hari itu ke dalam tasnya. Sudah masuk petang dan langit sudah berubah menjadi jingga. Hato datang dengan wajah yang lebih fresh karena dia sempat mandi sebentar di kamar mandi ruangan klub. Hato juga menyemprotkan wewangian yang begitu familiar bagi Daigo, membangkitkan kesan nostalgia bagaimana dia jatuh cinta pada Hato.

Dipelukan perempuan itu ada sebuah buku yang Daigo minta carikan pada Hato. “Maaf karena baru sempat memberikannya sekarang, kuharap aku tidak terlalu lama membuat kak Nishihata menunggu.” Daigo menggeleng.

“Pas sekali, kok, aku baru menyelesaikan bacaanku yang kemarin.” Katanya. Hato menghela napas lega. Dia menyerahkan buku itu pada Daigo. Tidak ada lagi percakapan yang terjadi diantara keduanya.

“Kau mau pulang?” tanya Daigo memecah keheningan. Suasana di sekitar kawasan klub itu sudah mulai sepi juga. Hato mengangguk. “Sebenarnya hari ini ada rapat. Tapi, aku undur besok supaya bisa datang semua.” Kata Hato.

Daigo mengangguk. “Begitu ya. Kalau begitu, mau pulang bersama?” ajak Daigo. “Arah kita sama, ‘kan?” lanjutnya. Hato memberi tahu lokasi daerah tempatnya tinggal dan kebetulan sekali searah dengan rumah Daigo. Keduanya berjalan bersisian dan menikmati keheningan yang menyelimuti keduanya.

“Fujiwara...” “Kak Nishihata...”

Keduanya langsung terdiam. Begitupula langkah mereka. Baik Daigo dan Hato tertawa canggung menyadari keduanya memanggil nama satu sama lain secara bersamaan. “Fujiwara duluan saja.” Katanya.

Hato mengangguk pelan. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan. “Kak Nishihata boleh panggil aku dengan Hato,” kata Hato. Daigo mengerjap sebentar. “lagipula kak Nishihata kakak kelasku.”

Daigo terkekeh. “Terima kasih sudah mengizinkanku memanggilmu Hato, Fujiwara,” ujarnya. Ucapan itu berhasil membuat jantung Hato berdetak cukup kencang dari biasanya. “aku sengaja masih memanggilmu dengan nama marga untuk menghormatimu. Bagaimanapun usia kita yang berbeda, aku tetap harus menghargai dan menghormatimu karena begitulah budaya kita, ‘kan?”

Hato menatap lamat-lamat wajah Daigo dan tersenyum. “Terima kasih, kak Nishihata,” katanya.

“Kamu boleh memanggilku dengan Daigo.” Katanya. Hato tertawa mendengarnya, secara tidak langsung mereka bertukar cara memanggil nama agar lebih akrab. “Terima kasih, kak Daigo.”


Bagian 4: Fujiwara Bersaudara


Hato dan Daigo terus mengobrol sembari berjalan menuju kediaman masing-masing. Hato sempat mampir ke Lawson untuk membeli susu vanila. Daigo tidak begitu suka dengan susu vanila jadi dia memilih untuk membeli kapucino kalengan dari lemari pendingin Lawson. Begitu mereka kembali melanjutkan perjalanan, Daigo tanpa sadar sudah mengantarkan Hato ke blok rumahnya. Blok yang sangat familiar baginya.

Daigo seperti sangat tidak asing dengan blok perumahan ini. Langkah melambat seraya menelisik sekitarnya, membuat Hato berbalik seraya menyeruput seruputan terakhir dari karton berukuran 350ml susu vanila yang dibelinya. “Kak Daigo? Ada sesuatu yang aneh, kah?” Hato bertanya bingung.

Daigo mengerjap dan dia meringis. “Entahlah. Aku merasa sangat familiar dengan lingkungan ini.” katanya. Hato menyembunyikan sedikit senyum yang terukir di wajahnya. Perempuan itu kembali berjalan meninggalkan Daigo. Lelaki bermarga Nishihata itu segera mengejar Hato dan menyetarakan jalan mereka kembali.

Hato berbelok pada sebuah rumah yang sangat Daigo kenal. Di samping pintu itu ada papan nama bertuliskan “Fujiwara”. Fujiwara dengan kanji yang mirip dengan Joichiro. Bersamaan dengan itu pintu rumah terbuka dan terlihat Joichiro dengan kaos dan celana panjangnya keluar dengan santai dan membuka pagar, bersamaan dengan Hato yang masuk ke dalam.

“LOH?” Daigo menatap keduanya dengan mata yang membulat kaget. Hato dan Joichiro menatap kearah Daigo bingung.

“Kau kenapa?” tanya Joichiro bingung. Sementara, Hato masih memperhatikan Daigo. “Ka-Kalian bersaudara?” tanya Daigo. Dia masih speechless dengan fakta yang sebenarnya sudah dia duga-duga sejak awal.

“Loh, aku gak bilang, tah? Hato tuh adikku. Kami beda setahun doang.” Kata Joichiro. Daigo melotot dan menyikut Joichiro kesal. “Tidak ada!” Serunya kesal mengundang tawa dari kedua Fujiwara bersaudara itu.

“Doumo, kak Daigo. Aku adiknya kak Jo.” Sapa Hato. Daigo menatap kearah Hato masih dengan wajah shocknya. Hato mendekat kearah Daigo lagi dan meraih tangan Daigo, digenggam dan diremasnya lembut seraya menyunggingkan senyum. “Terima kasih sudah mengantarku sampai rumah, kak.” Ucapnya.

Daigo hanya mengangguk karena sekarang jantungnya sudah berdetak sangat cepat. Terlalu banyak informasi maupun kejadian yang harus dia proses saat ini. Sementara Joichiro yang melihat itu hanya merotasi bola matanya dan menghampiri sang sahabat, Hato masuk ke dalam rumah setelah melambai pelan pada Daigo.

Dirangkulnya sang sahabat dan diajak pergi dari sana. “Kau tidak bilang bersaudara dengan Hato, Jo!” protes Daigo. Joichiro mengedikkan bahunya. “Kau tidak bertanya padaku, Nishihata.” Cibir Joichiro. Lelaki itu mendekatkan wajahnya kearah Daigo dan menyipitkan kedua matanya. “Lagipula, aku mau melihat keseriusanmu mendekati adikku itu.” lanjutnya.

“Oh ya, by the way, dia orang rumah gila belajar yang kumaksud.” Daigo mendelik.


Sejak itu, Joichiro dan Hato tidak lagi menjaga jarak setelah Daigo tahu mengenai hubungan persaudaraan mereka. Joichiro sendiri yang menyarankan pada Hato untuk pergi dan pulang sekolah terpisah supaya Daigo berpikir mereka adalah Fujiwara yang berbeda. Apalagi ada Fujiwara Sakura juga yang bersekolah disana, Daigo pasti semakin berpikir bahwa Hato pasti masuk ke keluarga yang Fujiwara Sakura.

Padahal sudah sebuah rahasia umum bahwa Hato dan Joichiro adalah adik kakak. Memang dasarnya Daigo saja yang tidak memperhatikan detail kecil seperti itu. untung saja dia tidak menganggap Jo dan Hato berpacaran.


Bagian 5: Kotak Susu Penyemangat Ujian


Kelas tiga mulai menghadapi ujian akhir semester yang termasuk ke dalam serangkaian ujian kelulusan mereka. Kelas satu dan dua pun diliburkan untuk mengkondusifkan ujian yang berlangsung selama seminggu itu. Bukan hanya para guru yang mengatur ujian kali itu, mereka meminta bantuan para anggota OSIS untuk mengatur ketertiban selama ujian.

Daigo seperti biasa datang dengan buku catatan di tangannya, sambil membaca materi sedikit-sedikit, dia mengganti sepatu sekolahnya dengan uwabaki di lokernya. Pandangan Daigo yang tadinya fokus pada buku di tangannya, teralihkan pada lokernya begitu tangan Daigo terasa menyentuh sesuatu. Keningnya mengernyit bingung. Daigo mengapit buku catatannya di ketiak dan langsung mengganti sepatunya dengan uwabaki dan mengambil sesuatu di dalam sana.

Sebuah kotak susu rasa vanila.

Kening Daigo semakin mengerut. Bertanya-tanya siapa yang menyelipkan minuman ini di loker sepatunya. Daigo mengedikkan bahunya dan kembali membuka buku catatannya. Begitu dia hendak pergi ke ruangan ujiannya, dia berpapasan dengan Hato yang sepertinya sedang bertugas jadi pengawas lingkungan sekolah, mereka bertukar senyum. Pandangan Hato sempat jatuh pada susu vanila yang ada di tangan kiri Daigo. Daigo ikut melihat kearah tangan kirinya dan mulai menyadari dari mana kotak susu ini berasal.

Daigo menghampiri Hato dan menengok ke kanan dan kiri, memastikan hanya ada mereka berdua disana saat ini. “Ini dari kamu?” tanya Daigo. Hato mengerjap dan tersenyum canggung. Daigo bisa melihat semburat merah tipis di wajah perempuan berambut sebahu yang tidak diikat seperti saat latihan panahan waktu itu.

Daigo tertawa pelan. Dia juga merasakan wajahnya memanas saat ini. Daigo mendekat kearah Hato dan menepuk pundaknya, meremasnya pelan sebagai ucapan terima kasih. “Terima kasih, Hato.”

Hato sempat terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Jangan tidur saat ujian, ya, kak.” Katanya.

“Itu mah kakakmu, Jo.” Cibir Daigo yang mengundang tawa pelan dari Hato. Keduanya berpamitan dengan arah yang berlawanan. Daigo membuka bungkus sedotan di kotak susu itu dan menusuknya. Menyeruput rasa yang disukai oleh Hato ini.

Bukan favoritnya tapi juga bukan sesuatu yang buruk. Kotak susu itu tidak hanya ada saat ujian hari pertama tapi juga kedua, ketiga dan seterusnya sampai akhir. Ujiannya kali ini akan terasa lebih menyenangkan dan ringan untuk disebut sebagai kenangan masa sekolah yang akan dia simpan baik-baik di otaknya.


Bagian 6: 新しい恋、はじめよう

Daigo tidak menyangka hari dimana dia akan melepas status seorang siswa sudah datang. Lelaki bermarga Nishihata itu duduk diantara keramaian auditorium yang sama yang digunakan saat upacara hari pertama masuk SMA itu. Seraya memperhatikan pidato panjang kepala sekolah, pandangan Daigo menelisik keseluruh bagian auditorium itu, memutar kaset kenangan yang pernah terekam lewat indera penglihatan dan pendengarannya.

Hari-hari yang dia jalani di SMA ini cukup menyisakan kenangan yang akan sulit dilupakan. Kegiatan Daigo itu terhenti kala dia melihat sosok perempuan berambut sebahu yang dikuncir setengah itu tengah berdiskusi dengan suara pelan di pojok auditorium bersama lelaki yang kalau Daigo tidak salah ingat anggota OSIS juga bernama Takahashi Kyohei.

Daigo sedikit gelagapan kala dia tertangkap sedang memandangi Hato yang sedang sibuk dengan tugasnya sebagai panitia kelulusan hari itu. Hato merunduk sopan kearahnya dan tersenyum. Daigo membalas senyum Hato. Perempuan itu menghilang dari pandangan Daigo begitu dia berjalan menuju backstage di auditorium sekolah itu.

Daigo merasakan sikutan di pinggangnya. Dia meringis pelan dan mendelik kearah sang pelaku. Joichiro menatapnya dengan senyum penuh arti, sementara kedua alisnya naik turun dengan menyebalkan di mata Daigo. “Alismu itu minta kuganti dengan nori kah?” Daigo mencibir pelan dengan galak.

Joichiro menghembuskan napas dan melipat kedua tangannya. “Calon adik iparku ini galak sekali, sih.” gerutu Joichiro. Daigo menoleh kearah Joichiro dengan wajah yang sangat merah. Daigo berdehem. Dia menyikut Joichiro dan berdecak sebal. “Berhenti menggodaku, Jo.” Ujarnya.

“Loh, kau seharusnya senang karena kudukung dong.” Ucap Joichiro. Ya. Memang seharusnya Daigo senang karena Joichiro secara tidak langsung mengatakan sudah mengizinkan Daigo jika ingin memacari Hato.

“Kau suka pada Hato, kan?” tanya Joichiro. Daigo dan Joichiro berpandangan sejenak. Belum sempat menjawab, pidato kepala sekolah sudah selesai dan digantikan dengan acara selanjutnya. Penyerahan ijazah pun sudah dilakukan di awal tadi. Acara berikutnya menjadi sebuah penutup sebelum seluruh murid diberikan jam bebas.

Sang MC yang merupakan anak kelas dua bernama lengkap Nagisa Sekimizu itu mengumumkan acara selanjutnya adalah atraksi dari klub panahan sebagai persembahan terakhir untuk kakak kelas tersayang mereka. Para murid kelas tiga yang sudah resmi lulus itu menoleh ke belakang mereka kala lampu menyorot kearah satu titik.

Daigo melihat Hato disana, berdiri dengan seragam panahan yang sering dia gunakan setiap latihan. Perempuan itu memejamkan mata sejenak dan membukanya perlahan, dia mulai mengangkat alat panahnya, memposisikan sang anak panah dan menariknya. Awalnya anak panah itu diposisikan lurus kearah para murid kelas tiga. Namun, dengan senyuman terbaik yang dia berikan hari itu, Hato langsung melepaskan anak panah itu kearah atas. sebuah bola yang tidak disadari mereka menggantung sedari tadi, bola itu pecah, membuat kelopak-kelopak bunga sakura yang ada di dalamnya jatuh dan berterbangan menghiasi upacara hari itu.

Daigo sempat bersitatap dengan Hato diantara hamparan kelopak bunga sakura yang berterbangan setelah jatuh dari dalam bola yang menggantung tadi. Namun, pandangan keduanya langsung teralihkan kala para murid kelas tiga sudah mulai saling memeluk teman-teman mereka, membuat pandangan Daigo jadi terhalangi.

Dia berusaha keluar dari kerumunan, mencari-cari sosok Hato. Namun, yang dia temukan hanyalah keramaian yang semu.


Teman-teman sekelasnya mengajak mereka untuk kembali ke kelas karena wali kelas mereka meminta untuk bertemu sebagai perpisahan. Tidak hanya sebuah wejangan yang di dapat, mereka juga jadi bertukar pesan yang ditulis di buku tahunan mereka.

Joichiro duduk di meja Daigo dan tersenyum kearah sahabatnya itu. “Sudah resmi lulus kita.” Katanya. Daigo terdiam sejenak, pandangannya terarah pada jendela di sampingnya. Dia tidak berpikir bahwa akan secepat ini dia beranjak dewasa. Tiga tahun terlalu cepat untuknya memproses semuanya.

Masih banyak hal yang ingin Daigo lakukan di masa mudanya yang singkat ini. “Kau belum memberitahu Hato soal itu?” tanya Daigo pada Joichiro. Joichiro ikut memandang keluar. Kepalanya menggeleng sebagai jawaban. “Tapi, kurasa dia sudah tahu tanpa kuberitahu.” Katanya. Joichiro terkekeh. “Hato terlalu cerdas untuk dibohongi seperti itu.” katanya. Daigo meringis. Hato memang siswa dan perempua yang pintar secara akademis. Di luar, Daigo melihat Hato yang sedang berjalan-jalan seorang diri di lapangan sekolah yang sepi. Perempuan itu berbalik dan menghadap kearah jendela kelasnya. Perempuan itu melambaikan tangan dan meminta Daigo menghampirinya.

Joichiro yang melihat tertawa pelan. Dipukulnya pelan pundak Daigo dengan toga yang dibawanya. “Sana samperin,” katanya. “jangan membuat adikku menunggu lagi, Daigo.” Lanjutnya.

Daigo pamit dan segera berlari keluar. Dia beberapa kali menabrak siswa-siswi lain di koridor itu. Tanpa menghentikan larinya, Daigo menyusul Hato yang sekarang sedang duduk di tribun lapangan luas itu. Suasana musim semi yang menyegarkan di tambah matahari yang tidak begitu bersinar terang membuat atmosfir yang tercipta begitu menenangkan.

Hato menoleh begitu Daigo mendekatinya dengan napas terengah, memancing kekehan pelan dari perempuan itu. “Padahal tidak perlu lari, aku tetap disini, loh, kak.” Kata Hato. Daigo hanya meringis. Dia naik perlahan dan duduk sebelah Hato. Keduanya menikmati keheningan bersama, memproyeksikan setiap kegiatan yang pernah terjadi di lapangan itu.

“Kemarikan buku tahunan kak Daigo.” Pinta Hato. Daigo tidak membalas dan langsung menyerahkan buku yang dibawanya sedari tadi. Hato mengeluarkan sebuah pulpen dengan case merah dari saku jasnya dan menulis di bagian kesan dan pesan. Perempuan itu menahan senyumnya kalau Daigo perhatikan, mengundang kebingungan di benak sang lelaki.

“Hai. Sudah.” Hato mengembalikan buku tahunan milik Daigo. Baru saja Daigo hendak membuka buku tahunan tersebut, Hato langsung menahannya. “Bukanya nanti saja.” Katanya. Lelaki itu mengangguk tanpa merasa curiga sedikitpun. Hato meluruskan kakinya dan menatap langit.

“Habis ini aku tidak bisa melihat kak Daigo lebih sering secara langsung,” kata Hato. Daigo mengerjap. “aku masih akan sering main ke rumah Jo, kok.” Kata Daigo.

Hato menggeleng seraya menatap kearah Daigo dengan senyum di wajahnya. Kedua matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku akan lebih sering melihat kak Daigo di layar kaca atau bahkan di billboard Shibuya.” Katanya. Daigo terdiam. Hato memang sudah tahu soal kenyataan bahwa dia, Joichiro maupun Ohashi merupakan Johnnys Jr. Daigo memalingkan wajahnya, ikut merasakan sesak yang tiba-tiba datang.

Lelaki itu membuka buku tahunannya, menemukan tulisan tangan Hato disana. 大吾をずっと恋をするんだよ。 Daigo langsung menatap kearah Hato lagi yang sekarang tanpa dia sadari sudah terisak. “ごめん。好きになちゃった。” katanya dengan suara seraknya. Daigo meletakan buku tahunan beserta toganya di sampingnya, menarik Hato ke dalam pelukannya dan menenangkan perempuan itu.

“Jangan minta maaf. Kumohon, jangan,” bisik Daigo, mengeratkan pelukannya. “karena aku juga jatuh cinta padamu.” Lanjutnya. Isakan Hato mengeras. Dia tidak menyangka akan mendapat balasan yang sama dari orang yang dia sukai. Begitupula Daigo. Dia tidak menyangka sosok adik kelas yang sudah dia perhatikan sejak kelas satu ini ternyata juga menyukainya.

Mereka berpelukan selama beberapa saat sebelum akhirnya Hato meminta Daigo melepaskannya. Mereka sempat bersitatap sejenak sebelum akhirnya Daigo mencoba mendekatkan wajahnya kearah Hato, hidung mereka baru bersinggungan namun Hato sudah menutup bibir Daigo dengan tangannya. “Aku malu...” katanya.

Daigo tertawa mendengarnya. Dia menjauhkan diri sedikit dari Hato, kali ini lelaki bermarga Nishihata itu mencium kening Hato dengan pelan dan lembut sementara kedua tangannya memegang kedua bahu Hato.

Keduanya saling memandang lagi. “Nanti, saat kita bertemu lagi, Hato mau memulai kisah cinta yang baru bersamaku?” tanya Daigo. Dia sudah menawar pada agensi untuk tidak mengganggu masa mudanya dari SMP – SMA. Daigo, Joichiro dan Ohashi masuk ke Johnnys pada usia mereka yang masih menginjak bangku SMP. Maka dari itu Daigo meminta pada agensi untuk tidak memberikan mereka izin absen pada sekolah agar Daigo, Jo maupun Ohashi bisa menyelesaikan sekolah mereka dengan hasil yang baik.

Namun, setelah itu semua selesai, Daigo akan benar-benar dilatih untuk menjadi idol selama beberapa tahun yang membuatnya akan kesulitan bertemu kembali dengan adik dari sahabatnya ini. Hato tersenyum. Kepalanya mengangguk. “Setidaknya aku bisa tahu kabar kak Daigo dari kak Jo.” Katanya.

Daigo tertawa pelan, mereka kembali duduk bersisian dengan Hato yang menyandarkan kepalanya di pundak Daigo. Mereka sama-sama menikmati angin musim semi yang berhembus pelan membelai wajah keduanya, maupun menutup halaman demi halaman dari buku tahunan yang ada di sebelah Daigo.

Koji x OC, Angst, Typo, Cringe


Koji terbangun dengan suara telepon yang berdering nyaring. Matanya mengerjap untuk membiasakan diri dengan bias cahaya terang yang memasuki lewat celah-celah tirai jendela yang tidak dia tutup rapat. Lelaki berdarah Thailand-Jepang itu meraba lantai di dekat kasurnya. Dia sengaja membuat dipan kasurnya lebih rendah karena tidak suka ada space di bawah kasurnya. Akan lebih malas untuknya membereskan bagian itu.

Telepon masuk dari Tsuki.

“Ya?” balas Koji begitu dia menjawab panggilan yang mengganggu tidurnya itu. “’ya’ katamu? Mau sampai kapan kau membuat kami menunggumu, badak Thailand?” Suara Tsuki yang mengomel di seberang sana membuat Koji semakin ingin mengurung diri di kamarnya. Di latar belakang suara Tsuki, ada suara Airi yang mengoreksi ucapan Tsuki barusan. Bukan badak melainkan gajah. Dia jadi tertawa dengan pelan.

“Kau baru bangun, kan? Sebaiknya kau sudah sampai disini dalam waktu lima belas menit—ah tidak, sepuluh menit—tidak, tidak, lima menit.” Titah Tsuki.

Koji tidak membalas ucapan Tsuki lagi karena perempuan itu memutus panggilannya secara sepihak, dengan malas Koji menjatuhkan ponselnya di lantai kamar yang berlapiskan karpet itu. Dia menatap langit-langit apartemennya. Dia langsung terbangun dengan sepenuhnya kala telinganya mendengar sosok suara yang sangat dia kenal menyapa dengan ceria dan penuh hangat.

Koji segera bangun dari posisinya dan keluar kamar. Entah kenapa dia bisa melihat sosok kekasihnya sedang sibuk di dapurnya yang jadi satu dengan ruang makan itu. Sang kekasih berbalik dan tersenyum hangat padanya, menyapa dengan senyuman lebarnya. Namun begitu Koji berkedip semua bayangan itu menghilang. Tidak ada sosok kekasihnya disana. Tidak ada Sei disana. Hanya ada dapur dan ruang makan yang terasa dingin.

Koji kembali dilempar ke dalam kenyataan pahit bahwa dia seorang diri disana.


“Hai semuanya! Artis papan atas pada udah dateng nih!”

Tsuki berdecak dan Airi merotasi bola matanya. Koji tertawa dan duduk di samping Tsuki. Lelaki itu datang setengah jam kemudian membuat Airi dan Tsuki sudah cukup banyak memesan camilan, demi menunggu sahabat lelaki mereka yang sangat terlambat ini.

“Kau lama.” Gerutu Tsuki kesal. Dia benar-benar badmood karena Koji terlambat dari waktu yang dijanjikan. Dia jadi tidak bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan sahabatnya secara full. Sehabis ini dia sudah harus kembali ke kantor SM cabang Jepang untuk latihan mempersiapkan performs di Msute.

“Sorry, Sorry. Semalem tidur jam tiga soalnya.” Balas Koji. Sementara Airi tidak banyak protes dan hanya menikmati lemon teanya dengan tenang. Perempuan pecinta Lemon itu bahkan juga sambil menyemilkan biskuit sweet lemonnya.

Mereka mulai mengobrol satu sama lain. Koji dan Tsuki sesekali bertengkar ringan dan Airi sesekali juga melerai maupun tertawa melihatnya. Di balik ruangan private di kafe sekaligus restoran yang jadi langganan mereka itu terdengar keributan samar yang memecah fokus Koji.

Sebuah pertengkaran yang memancing kembali ingatannya tentang mantan kekasihnya. Sosok perempuan yang pernah menghiasi hidupnya. Mereka bertemu pertama kali saat Koji sedang melakukan riset untuk skripsinya. Ya. Dia kuliah sekaligus menyambi jadi Johnnys Jr. Cabang Kansai lebih tepatnya. Sei adalah perempuan yang penuh ambisi. Ada sisi nyamannya yang membuat Koji jatuh cinta dan senang berada di sampingnya. Namun, dia baru bisa meminta Sei menjadi kekasihnya setahun setelah Snow Man debut.

Sei bukan tipe orang yang suka backstreet. Sei cukup mudah cemburu. Sementara Koji yang terkenal menganggap fansnya sebagai ‘kekasih’nya ini jelas tidak bisa mengungkap hubungan mereka ke publik. Itu akan membahayakannya apalagi membahayakan Snow Man. Dia tidak mau itu terjadi. Koji selalu bisa mengatasi Sei yang protes soal hubungan diam-diam mereka. Bahkan Sei mengungkit kenapa dia tidak sedikitpun dikenalkan pada Airi dan Tsuki. Paling tidak pada sahabat lelaki itu.

Koji beralasan bahwa itu belum waktunya. Dia mengikuti kata hatinya. Sei akhirnya sampai pada ucapan yang cukup menyinggung profesi Koji, “Aku seperti selingkuhanmu, Koji-kun.”

Koji terdiam saat itu. Dia tersenyum tipis. Sebuah senyum sinis yang jarang dia tunjukkan pada siapapun karena kepribadiannya yang ceria. “Kau berharap apa dari lelaki yang bekerja sebagai seorang idol?”

Jawaban Koji itu benar-benar sebuah kesalahan besar. Sei ikut tersinggung dan malam itu mereka saling mendiamkan. Keesokannya Sei menuliskan pesan yang ditempel pada sticky note di kulkasnya, mengatakan bahwa dia akan menginap di tempat temannya selama beberapa hari.

Koji hanya mengabaikan pesan itu dan menyibukkan diri dengan pekerjaannya, semakin rajin mengupdate blognya, mengabari fans yang dia anggap sebagai ‘kekasih’nya itu bagaimana kesehariannya hari itu. Koji bahkan jarang pulang ke rumah hingga dia sadar bahwa begitu dia kembali ke rumah itu, kondisinya sudah lebih lengang. Koji menyusuri rumahnya, membuka kamarnya, kamar mandinya, ruangan cuci bajunya dan dapurnya. Hanya tersisa satu mug disana.

Sei sudah pergi. Tanpa pamit padanya. Koji memejamkan matanya. Ada rasa sedih nan sesak yang menggerogotinya. Dia merasakan matanya memanas dan dipenuhi cairan bening. Lelaki bernama lengkap Mukai Koji itu duduk di sofanya dengan perlahan. Belum sempat dia meneteskan air matanya terdengar suara pintu terbuka dan ucapan “Tadaima” yang begitu familiar baginya.

Koji langsung beranjak dari duduknya. Bertemu pandang dengan Sei yang berdiri di genkan dengan senyum sendunya. Koji mendekatinya perlahan. Tanpa sadar, dia membalas sapaan Sei. “Okaeri.” Sayangnya itu keliru. Sei hanya tersenyum dan mengulurkan sebuah kunci padanya.

“Koji-kun,” suara Sei memanggil namanya. “ima made arigatou ne.” katanya.

Tanpa ada kata-kata perpisahan atau suatu kata yang menyatakan dengan gamblang bahwa mereka putus, Sei hanya mengucapkan kalimat itu padanya. Perempuan itu merunduk kearahnya dan berbalik, keluar dari sana dan menghilang dari hadapan Koji di balik pintu apartemennya.

Sei dan Koji sudah tidak seirama. Bagaimanapun kesalahpahaman mereka diuraikan akan muncul masalah lainnya. Sekalipun Koji masih ada rasa pada Sei, dia tidak bisa bohong kalau dia dan Sei tidak bisa lagi bersama.

Koji berjalan keluar, hendak mengejar sang mantan kekasih. Namun, yang dia temukan malah sosok sahabatnya. Airi, berdiri di depannya dengan sebuah tas kertas dengan nama sebuah toko roti di dekat sana. Airi tersenyum. “Maaf, sepertinya waktuku tidak pas. Tapi, hari ini aku mau mengobrol dengan Koji.” Katanya.

Hanya dengan kalimat itu, Koji meledak dalam sebuah tangisan dalam diam. Kedua kakinya terasa lemas dan telapak tangannya yang menggenggam kunci dengan gantungan daun mapple itu menangkup mulutnya yang bisa saja mengeluarkan suara tangisan yang lebih keras.

Airi jelas panik. Dia segera menarik Koji masuk ke dalam dan menutup pintu apartemennya, memeluk sang sahabat seraya mengusap-usap punggungnya lembut. Membiarkan tangisan Koji tersembunyi di balik pintu itu.

“Hei, Koji!” Tsuki sudah menjentikkan jarinya di depan wajah Koji saat lelaki marga Mukai itu tiba-tiba terdiam dengan pandangan sendu.

“Apa? Kau bilang apa?” tanya Koji dengan senyuman lebarnya sementara Airi dan Tsuki menatapnya aneh. Airi menyodorkan selembar tisu padanya. “Kau menangis.” Kata Airi.

Koji mengerjap. Dia memegang wajahnya dan sadar bahwa pipinya sudah basah. Dia menyadari bahwa sedari tadi dia menangis dalam diam teringat dengan bagaimana perpisahannya dengan Sei. Koji tertawa canggung dan mengambil selembar tisu yang diberikan Airi. Dia berdehem.

“Pasangan yang berantem tadi di luar,” katanya mengubah topik pembicaraan. “semoga mereka baik-baik saja ya.” katanya. Airi tersenyum dan mengangguk. Sementara Tsuki mengernyit bingung.

“Apa maksudnya? Koji, kenapa kau menangis?” tanya Tsuki. Koji tertawa melihat Tsuki yang kebingungan. Jarang-jarang melihat kekasih Abe Ryohei ini kebingungan. “Kau belum aku ceritakan ya? Aku punya pacar dulu. Namanya Sei. Dia dan aku sudah berpacaran dua tahun.”

“Airi kau tahu ini?” tanya Tsuki dengan mata memicing curiga pada sang perempuan bermarga Minamoto. Sementara Airi menahan tawanya. “Aku baru tahu dua bulan yang lalu, kok.”

“KOJI! APA-APAAN INI?! KENAPA KAU TIDAK CERITA?!”

Airi dan Koji tertawa melihat Tsuki yang terlihat tidak terima. Koji menghela napas setelah puas tertawa. Dia tersenyum sejenak pada langit yang dia lihat dari balik jendela kafe tersebut. Begitu cerah dan indah.

Dia selalu bertanya perpisahan ini salahnya siapa. Sayangnya, jawaban atas itu semua tidak bisa selalu pasti. Hanya mereka saja yang sudah tidak sejalan.

TsukiAiri, Abtsk, Typo, Cringe


Siang itu cerah. Sangat cerah. Tsuki dan Airi sedang menikmati girls time mereka. Sementara Tsuki mengamit tangan Airi, mereka memasuki banyak butik di dekat sana. Channel, Gucci, Louis Vuitton, Tiffanny dan lain-lain. Hari itu benar-benar hari berbelanja bagi mereka berdua.

“Ah, aku sudah pernah dibelikan ini sama Shota.” gumam Airi begitu Tsuki menunjukkan kalung dari Tiffany. Perempuan bermarga Matsumoto itu langsung tersenyum lebar. “Lucu sekali kalian. Kalau begitu beli saja yang lain. Aku yang bayar.” Ujar Tsuki mengundang decakan sebal dari Airi.

“Sudah cukup belanjanya, nona muda.” Gerutu Airi. Dia sudah repot membawa belanjaannya sendiri. Dia heran kenapa brand terkenal suka sekali memberikan tas kertas yang besar meskipun mereka hanya belanja barang yang tidak begitu besar. Merepotkan saja.

“Wah, aku suka sekali panggilan itu. Pertahankan ya,” kata Tsuki. Dia langsung berjalan ke kasir untuk membayar, meninggalkan Airi yang sudah menghela napas. Perempuan bermarga Matsumoto itu belum sempat membalas ucapan narsistik Tsuki.

Keluar dari toko Tiffany, Tsuki kembali mengapit tangan Airi yang sudah kerepotan membawa belanjaannya sendiri. Keduanya melangkah bersama dengan riang. Tsuki yang lebih tepatnya begitu bahagia menghabiskan waktu bersama Airi. Gelang merah dengan bandul berwarna bening yang melingkar di pergelangan tangan mereka saling bersinggungan.

Keduanya hendak menyebrang begitu lampu pejalan kaki berubah menjadi biru. Tsuki sibuk bercerita sementara Airi mendengarkan dengan memfokuskan pikiran. Suara deru mobil yang berjalan cepat memecah fokus keduanya. Baik Tsuki dan Airi menoleh kearah sumber suara. Airi refleks melepaskan gandengan tangan Tsuki, nyaris ikut memutus gelang yang terlingkar di tangan masing-masing. Sementara itu, Airi sudah terbaring di seberang jalan dengan kepala yang membentur aspal. Pandangan Airi lurus menatap kearah Tsuki dan tersenyum lirih.

Tsuki sempat terdiam. Terlalu shock dengan kejadian yang terjadi di depan matanya. “AIRI!!”


Napas Tsuki tercekat. Dia refleks membuka kedua matanya, membuat kesadarannya kembali secara penuh dan merubah posisinya yang sebelumnya tiduran menjadi duduk seraya mengatur napasnya. Dahinya sudah dipenuhi oleh keringat sebesar biji jagung dan napasnya naik turun tidak beraturan.

Tsuki mengusap wajahnya. Astaga... Cuma mimpi...

“Tsuki...?” Suara berat seorang lelaki mengagetkannya. Dia menoleh ke samping dan menemukan kekasihnya—Abe Ryohei yang terbangun. Lelaki itu hanya mengenakan celana panjangnya dan tanpa atasan. Sementara Tsuki hanya mengenakan celana pendek dan tanktop yang sudah jadi satu sebagai bra.

Tsuki baru ingat dia saat ini sedang ada di Jepang untuk promosi album comeback Jepang RED*ONE. Dia jadi bisa menghabiskan waktu juga bersama kekasihnya. Bahkan beberapa jam yang lalu mereka baru saja melepas rindu dengan bercinta. Jadi, itu alasan mengapa Abe tidak mengenakan atasan.

Dirasakannya usapan pelan di punggungnya. Abe tersenyum kearahnya di tengah kegelapan kamar yang hanya disinari sinar lampu-lampu gedung di luar yang menelusup dari balik tirai. “Mimpi buruk?” tanyanya. Tsuki hanya mengangguk. Masih mengatur napas dan pikirannya. Dia langsung menemukan gelang persahabatannya dengan Airi yang satu talinya terputus. Tsuki mengerjap.

Dia buru-buru menyalakan lampu di samping tempat tidur itu dan mencari-cari ponselnya. Sial. Kemana benda itu saat dibutuhkan?! Abe langsung tersadar sepenuhnya melihat Tsuki yang tiba-tiba panik. “Kamu cari apa?” tanya Abe.

“PONSELKU!!” Teriak Tsuki tanpa sadar. Abe bisa menemukan air mukanya yang berubah sangat panik, sesuatu yang jarang dia temukan pada kekasihnya. Abe menarik napas dan menghembuskannya. Dia meminta Tsuki untuk menenangkan diri sementara dia mencari ponsel Tsuki.

Lelaki bernama kecil Ryohei itu beranjak keluar kamar. Tsuki bukan tipe orang yang percaya hal mistis atau legenda. Tapi gelang merah yang dia pakai kembar dengan Airi sudah seperti benang merah mereka berdua. Dengan melihat kondisi gelang itu yang satu talinya terputus saja membuat Tsuki sudah kalang kabut panik karena berpikir sesuatu terjadi pada sahabatnya itu. Padahal gelang itu sudah berusia cukup lama. Tidak heran talinya akan menjadi usang dan mudah putus.

Dua menit kemudian Abe kembali dengan ponsel kekasihnya. “Kau menjatuhkannya di bawah sofa saat kita bercinta tadi.” Tsuki tidak memperdulikan ucapan sang kekasih, meski wajahnya merona sedikit. Mengingat bagaimana brutalnya tadi dirinya dan Ryohei bercinta.

Tsuki langsung membuka LINE dan mencari kontak Airi. Ditelponnya sang sahabat. Tidak diangkat. Dia lakukan hal itu beberapa kali hingga pada akhirnya kontak Shota muncul di layar ponselnya. Watanabe Shota adalah kekasih sahabatnya. Aneh sekali dia menelpon Tsuki.

“Apa? Kenapa kau menelponku?”

“Airi sudah menghubungimu? Apakah terjadi sesuatu padanya?” Tsuki berdecak mendengar ucapan Shota barusan. Lelaki itu sepertinya lupa bahwa Tsuki sedang tidak ada di Korea Selatan saat ini.

“Aku sedang di Jepang. Mana kutahu. Aku juga sedang berusaha menghubunginya asal kau tahu.” Balas Tsuki dengan ketus. Dia sedang tidak ingin berbasa-basi saat ini. Dia hanya ingin tahu kondisi Airi. Tidak lama ada telpon masuk.

“Ah, kututup ya! Ada yang menelpon!” Tanpa menunggu Shota membalas ucapannya, Tsuki segera menutup panggilan Shota dna menjawab panggilan yang mengantri tadi. Rupanya dari Kuro, manajer Airi.

Kuro meminta maaf karena dia tidak bisa menjawab telepon Tsuki di ponsel Airi karena itu akan melanggar privasi, jadi dia mencoba menghubungi Tsuki dengan ponselnya sendiri. Tsuki langsung menanyakan alasannya dan Kuro mengatakan bahwa Airi mengalami kecelakaan kerja saat syuting.

Drama yang dia mainkan bersama Lee Soo Hyuk merupakan action drama romance. Sudah pastinya ada adegan berbahaya yang harus dilakukan aktor dan aktrisnya. Kuro mengatakan bahwa saat Airi akan melompat dari atas gedung di sebuah studio yang sudah disetting sedemikian rupa, tali pengaman perempuan itu terlepas satu dan membuat punggungnya menghantam dinding dengan keras baru kemudian Airi terjatuh karena tali yang menahannya mengalami malfungsi. Untung saja, staf menyiapkan kasur di bawah hingga Airi hanya berguling setelah jatuh ke bawah dan kehilangan kesadaran.

Tsuki berdecak. Dia menyisir rambutnya ke belakang dan meremasnya. Digigitnya bibirnya untuk menahan air mata yang tiba-tiba saja hendak merembes keluar. Sial.

“Kenapa kalian tidak bisa melakukan pekerjaan kalian dengan benar...?” Lirih Tsuki dengan galak. Kuro hanya meminta maaf dan akan menegur staf. Perempuan bermarga Matsumoto itu menggigit kukunya sejenak dan berpikir. “Kuro,” Tsuki memanggil sang manajer. “kalau ini terjadi lagi, aku tidak akan segan meminta Takizawa-san untuk membatalkan kontrak dengan produser drama itu dan menyeret Airi pulang.” Lanjutnya.

Kuro terdiam sejenak di seberang sambungan kemudian mengiyakan dan pamit. Telepon terputus. “Tsuki.” Abe memanggil sang kekasih. Perempuan itu menoleh kearahnya. Tsuki bahkan tidak sadar dia sudah berdiri di dekat lemari. “Bernapas.” Kata Abe. Dia juga tidak sadar sedari tadi sudah menahan napas.

Tsuki menghembuskan napasnya dan mengusap wajahnya. Abe mendekatinya dan menarik Tsuki ke dalam pelukannya, mengusap tubuh Tsuki dan menenangkannya, membawa perempuan itu untuk kembali tiduran di kasur mereka. “Minamoto-san akan baik-baik saja, Tsuki. Dia tangguh.” Katanya.

Tsuki menatap lamat-lamat sang kekasih sebelum akhirnya dia semakin mendekatkan diri pada Abe dan memeluknya erat. Abe menepuk-nepuk lembut punggungnya, bersenandung pelan sebagai lullaby.

Kalau aku yang ada diposisi seperti itu apakah kamu akan sama paniknya seperti ini, Tsuki?

Bisa bisanya dia cemburu pada persahabatan Tsuki dan Airi.


Pagi harinya, Tsuki mendapat telepon dari Airi. Suara perempuan itu terdengar sedikit serak namun berusaha untuk tetap ceria. Tsuki jelas langsung mengajak ngobrol sahabatnya itu diselingi omelan khas seorang ibu.

Tsuki bersyukur bahwa kali itu Airi masih sadar dalam waktu singkat. Dia tidak perlu diselimuti rasa takut kehilangan benang merahnya.

“Kita harus memperbarui gelang kita.” Kata Tsuki yang menatap gelangnya saat ini. Airi mengiyakan di seberang sana.

“Semalam aku bermimpi di tempat yang sangat dingin hingga membuat gelang milikku membeku dan pecah. Pas aku lihat, ternyata gelangku rusak. Padahal itu sudah kujadikan seperti jimatku.” Kata Airi.

“Kan, kita memang harus memperbarui gelang ini.” kata Tsuki.

Tsuki bukan orang yang percaya hal-hal seperti itu tapi setidaknya Airi menganggap barang itu sangat penting dalam hidupnya.

ShoppiAiri, Typo, Cringe


Shota yang tadinya sedang bertukar pesan di grup chat Snow Man sekarang sedang sibuk memandangi kekasihnya yang duduk di sebelahnya—di bangku belakang mobil mini van itu. Mobil yang mengantarkannya ke bandara. Lebih tepatnya mengantarkan Airi yang akan bekerja di Korea Selatan selama empat bulan lebih untuk syuting drama koreanya bersama Lee Soo Hyuk. Drama romantis.

Shota sudah bertanya mengenai skrip drama tersebut. Airi memberikan buku skripnya pada Shota dan dalam semalam lelaki itu bisa menscan apa saja yang akan dilakukan Airi dan Soohyuk di drama itu. Termasuk adegan ranjangnya.

“Aku tidak benar-benar merasakan batangnya Soo Hyuk-ssi, tenang saja, Shota.” ujar Airi saat itu disertai tawa gelinya. Shota mengejek dirinya yang tidak bisa percaya sepenuhnya pada sang kekasih yang bahkan sudah dia lamar sejak beberapa bulan yang lalu ini. Pantas saja sampai sekarang Airi belum memberikan jawaban untuknya.

“Kenapa kau melihatiku seperti itu?” Suara Airi membuyarkan lamunannya. Shota tersenyum. “Aku mau menikmati wajah perempuanku dengan puas dulu sebelum tidak bisa selama empat bulan nanti.” Katanya. Airi berdecak dan merotasi bola matanya, namun dia tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang meranum merah karena malu.

Mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di bandara. Airi keluar dari mobil diikuti oleh Shota. Sementara Kuro membantunya membawakan dua koper yang dia bawa hari itu. Shota tidak bisa mengantarkan sampai pengecekan imigrasi karena dia harus langsung pergi ke tempat syuting Sore Suno. Airi dan Shota berdiri berhadapan, saling memandang satu sama lain. Shota menyelipkan helaian rambut Airi yang pendek itu di balik telinganya. Dipandanginya lama setiap garis wajah Airi.

Lama ditatap seperti itu membuat jantung Airi berdetak dua kali lebih cepat dan perutnya terasa geli. Dia menggenggam tangan Shota yang masih memegangi pipinya dan menurunkan tangan lelaki itu. “Se-Sebaiknya aku segera check in.” Katanya.

Shota mengangguk dengan ekspresi tidak rela. Airi langsung berbalik dan bersiap untuk pergi dari sana. Shota menyadari sesuatu yang melingkar di leher perempuannya. Tanpa berpikir panjang, Shota menarik siku Airi kembali kearahnya. Perempuan itu terkejut dengan tindakan Shota dan mereka kembali berpandangan dengan kedua tangan Shota yang kali ini menangkup kedua sisi wajahnya.

Ada sebuah senyuman lebar nan bahagia di wajah lelaki bernama lengkap Watanabe Shota itu hingga membuat Airi mengerjap bingung. Belum sempat berucap, Shota sudah mencium bibirnya. Di dalam ciuman itu, Airi bisa merasakan Shota yang masih tersenyum. Ciuman itu berlangsung cukup lama hingga Airi harus menepuk punggung lelakinya.

Shota menjauhkan sedikit wajahnya, melepaskan tautan bibir mereka dan menempelkan keningnya dengan kening Airi. “Kalung itu...” Tatapan Shota mengarah pada leher Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu menyadari sesuatu. Dia tertawa pelan.

“Kau menyadarinya ternyata,” Ucap Airi. Sebelah tangannya menyentuh kalung yang dimana cincin dari Shota tergantung di lehernya. “Maaf aku belum bisa memakainya di tempat seharusnya. Tapi, kuharap ini bisa jadi jawabanku atas lamaranmu waktu itu, Shota.” lanjutnya.

“Maaf kamu harus menunggu lama hanya untuk jawaban ya atau tidak.” Lirih Airi. Dia masih merasa bersalah karena menggantung lelaki itu cukup lama.

“Sssh, sudah kukatakan take your time. Selama kita masih bersama, kau mau menjawab itu kapanpun aku akan tetap menunggu, sayang.”

Airi tersenyum. Dia mendongak sedikit untuk bertatapan langsung dengan kedua mata lelaki yang dicintainya ini. Airi memeluk Shota dan menikmati kehangatan lelaki itu untuk sementara waktu begitu pula Shota. Dia akan sangat merindukan kekasihnya ini.

ShoppiAiri, Typo, Cringe


“Tamamori-kun.” Member bernama lengkap Tamamori Yuta yang tergabung dalam grup Kis-My-Ft2 itu menoleh kala namanya dipanggil. Dia menemukan Watanabe Shota yang tersenyum kearahnya seraya membungkuk sopan. Lelaki yang akrab disapa Tama ini balas membungkuk kearah Shota.

“Maaf aku mengganggu waktunya,” ucap Shota. Tama menggeleng dan tersenyum. “Tidak. Tidak,” katanya. “ada apa, Watanabe?” tanyanya.

“Aku mau membahas sesuatu soal Airi boleh?” Tama mengerutkan kening. Bingung dan bertanya-tanya ada apa lagi dengan adik sepupunya itu.


Airi sedang berdiri dengan tenang di bawah pancuran air di kamar mandinya. Dia menikmati kucuran air dingin yang menyegarkan itu sambil menggosok-gosok badannya dengan spons yang sudah dipenuhi busa. Sesekali dia bersenandung pelan. Namun, tidak beberapa lama terdengar suara Shota—kekasihnya yang berteriak dari luar kamar mandi, menanyakan dimana mangkuk langganannya. Maksudnya mangkuk yang biasa dia gunakan. Mangkuk kesayangan kalo dibilang.

Airi menjawab dengan teriakan juga supaya Shota bisa mendengar dengan jelas tapi lelaki itu malah bertanya hal yang sama. Baru saja Airi ingin berteriak lebih keras saat pintu kamar mandi terbuka dan mengundang teriakan kaget Airi. Shota berdiri di ujung pintu dan menatapnya yang sedang berdiri di balik pintu transparan bilik shower mereka.

“Dimana mangkukku?” tanyanya, tanpa terdistraksi dengan kondisi Airi yang naked. Airi mengerjap beberapa saat, masih memegangi tubuhnya. Menutupi bagian-bagian privasinya meskipun Shota sudah melihatnya berulang kali.

“Uh,” Airi mengerjap dan berpikir sejenak. Tiba-tiba saja dia lupa jawabannya tadi. “itu, di lemari atas paling pojok.” Lanjutnya. Shota mengangguk dan tanpa membuang waktu langsung pergi dari sana. Tapi, pintu kembali terbuka dan Shota dengan wajah datarnya berujar, “Santai saja. Aku sudah melihat tubuhmu sangat sering, Airi.”

Dan pintu kembali tertutup. Seketika wajah Airi langsung memerah dan dia ingin mengubur dirinya saat itu.


Sudah lebih dari dua bulan sejak Shota melamarnya waktu itu dan Airi tidak memberikan jawaban Yes or No seperti umumnya orang yang dilamar. Dia hanya menangis waktu itu dan Shota seperti sadar bahwa bahasa tubuh Airi mengatakan bahwa dia tidak ingin menjawab lamaran Shota itu. Perlakuan Shota tidak ada yang berubah. Tapi, sejak Shota yang menerobos masuk ke kamar mandi hanya untuk menanyakan letak mangkuk yang dia simpan dan mengatakan dengan datar mengenai Shota yang sudah sering melihat tubuh telanjang Airi mengganggu pikirannya.

Apakah Shota sudah tidak mencintainya lagi? Apakah ini salah Airi hingga perasaan Shota menghilang untuknya?

“Airi!”

Perempuan bermarga Minamoto itu langsung terlempar dari lamunannya. Dia mengerjap dan menemukan Koji dan Tsuki yang duduk di depannya. Saat ini mereka sedang bertemu dan mengobrol seperti biasa di restoran kafe langganan mereka. Bahkan sang owner memberikan ruangan privasi bagi mereka di lantai dua gedung itu. “Kau memikirkan sesuatu?” tanya Tsuki.

Airi tersenyum tipis. Dia mulai menceritakan soal Shota yang melamarnya—Tsuki jelas histeris— dan juga reaksi Shota saat melihat tubuh telanjang Airi yang menurut Airi reaksi itu sangat biasa. Terlampau biasa. Pasalnya, setiap Shota melihatnya yang telanjang, lelaki itu pasti akan menggodanya dan mereka akan berakhir bercinta. Entahlah. Atau memang otak Airi saja yang sedang horny saat itu.

“Menurutku itu hal biasa.” Kata Koji. Lelaki blasteran Thailand-Jepang itu menyesap minuman yang dipesannya dan mengambil kentang goreng wedges dari keranjang beralaskan cooking paper itu. “Shoppi tetap menganggap tubuhmu itu luar biasa, Airi. Mungkin dia hanya sedang tidak ada keinginan menggodamu.” Lanjut Koji.

“Kalau begitu, kenapa kau saja yang tidak menggodanya?” Celutuk Tsuki melirik Airi seraya menggigit kentang wedgesnya, menatap kearah Airi. Airi menggeleng. “Sangat bukan aku.” Gerutunya.

Tsuki merotasi bola matanya. Dia menikmati pesanannya sendiri. Sementara Koji mulai sibuk bercerita mengenai kesehariannya dan Tsuki maupun Airi bagian mendengarkan. Seraya mendengarkan Koji, Airi melihat keluar jendela, memperhatikan orang-orang yang beraktifitas di luar sana. Matanya tidak sengaja menangkap seorang kurir yang sedang mengantarkan paket yang ukurannya sama persis dengan yang pernah dikirimkan ke rumahnya waktu itu. Bayangan mengenai hal-hal menyeramkan yang pernah menyerangnya langsung memenuhi benak dan otaknya.

Airi berdecak, menyadari dia bisa merasakan detakan jantungnya yang begitu cepat serta tangannya yang mendingin. “Koji, Tsuki, aku ke kamar mandi sebentar.” Katanya terburu-buru, membawa tasnya dan pergi dari sana menuju toilet tanpa menunggu Tsuki dan Koji menjawabnya.

Sementara itu, Tsuki hanya bisa memandangi punggung Airi yang menghilang di balik pintu ruangan private tersebut. Koji yang duduk di sebelahnya, menyikut dirinya. “Kau menyadarinya?” tanya Koji.

Tsuki terkekeh. Dia meminum colanya dan mengangguk. “Aku sudah memastikannya sendiri ke dokternya waktu itu.” Ya. Setelah Tsuki menjenguk Airi dengan membawakan kue lemon kesukaannya, Tsuki tidak serta merta pulang. Perempuan itu melipir terlebih dahulu ke ruangan dokter yang menangani Airi yang ternyata adalah kenalan ayahnya juga.

Dia menanyakan kondisi lengkapnya Airi. Awalnya sang dokter enggan untuk memberitahu karena itu termasuk ke dalam privasi pasiennya. Dia tidak bisa asal memberikan informasi seperti itu pada orang asing. Tapi, Tsuki mengatakan bahwa dia sudah lama mengenal Airi dan dia sudah merasa seperti saudara dengan Airi.

Sang dokter mengarahkannya pada seorang psikiater yang ternyata kenal dekat dengan ayahnya juga. Benar-benar social butterfly sekali ayahnya ini. Tsuki tidak kaget begitu dia mengetahui bahwa Airi mengalami PTSD. Pengalaman traumatis yang dialami oleh perempuan bermarga Minamoto itu bukan sesuatu hal yang biasa. Psikiater mengatakan pula bahwa Airi lebih takut saat melihat kotak paket dengan ukuran tertentu serta kurir.

“Shoppi... Juga sudah sadar dengan kondisinya.” Kata Koji. Tsuki menatap kearah sang sahabat dengan alis bertaut. “Setiap ada pemberitahuan dari resepsionis ada kurir yang mengantarkan barang, Airi selalu meminta untuk ditaro saja di kotak surat atau dititip ke resepsionis. Biasanya tidak seperti itu.” lanjutnya.

“Bisa jadi...” Tsuki menatap lamat gelas berisi Lemon Tea pesanan Airi.

Airi kembali tidak lama kemudian dengan raut wajah yang lebih rileks. Tsuki menyambutnya dengan senyuman. Koji dan Tsuki berhenti membicarakan soal kondisi Airi. Mereka kembali mengobrol dengan santai hingga Koji harus pamit karena sudah dijemput oleh manajernya.


“Jadi, kau berencana melamar adik sepupuku?” tanya Tama seraya duduk di ruang istirahat yang biasa digunakan talent Johnnys untuk bersantai atau sesekali merekam konten mereka untuk YouTube.

Shota yang duduk di hadapannya mengangguk. “Menurutmu bagaimana?” tanya Shota. Tama terlihat terdiam cukup lama. Pandangannya menatap lurus kebawah seperti berpikir begitu panjang. Lelaki bernama lengkap Tamamori Yuta itu tersenyum. “Aku merestui kalian, kok,” katanya.”tapi, maaf kalau aku membuat kepercayaan dirimu menurun, untuk saat ini Airi sepertinya tidak akan bisa menjawab lamaranmu dengan langsung.” Katanya.

Shota mengernyit. “Kenapa?” Tama tersenyum. Dia teringat dengan pertemuannya dengan sang adik sepupu yang sangat dia sayangi itu setelah sekian lama. Airi menginap di apartemennya hari itu dan untungnya Tama sedang mengambil jatah liburnya jadi dia bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersam sang adik. Mereka mengobrol banyak, menceritakan banyak hal yang sudah lama tidak Airi ceritakan pada sang ‘kakak’. Termasuk kondisinya saat ini.

Airi bahkan mengutarakan ketakutannya akan merepotkan Shota dengan kondisi mentalnya yang menjadi tidak stabil sejak saat itu. Tapi, menurut Tama, Shota sangat tulus padanya. Dia tidak akan peduli dengan kondisi Airi. Selama Airi sehat dan baik-baik saja, Shota akan menjaga dan menyayangi perempuan itu tanpa syarat apapun.

“Beri Airi waktu untuk menjawabnya kalau kamu jadi melamarnya ya.” kata Tama. Shota mengangguk pelan meski dia masih meraba apa yang terjadi pada Airi yang tidak dia ketahui.


Shota memencet tombol lantai dasar menuju Lobby kantor Johnnys itu setelah menyelesaikan latihannya bersama Snow Man. Dengan jaket kulit cokelat dan beannie hat hitam serta kacamata andalannya, Shota bersandar pada dinding lift. Lelaki itu terlihat melamunkan sesuatu. Lebih tepatnya memikirkan tentang kekasihnya saat ini. Pembicaraannya dengan Tama mengenai Airi pun tidak memberikannya hint tentang apa yang terjadi pada Airi. Shota jadi merasa dia seperti kehilangan interest pada Airi di rumah meskipun kenyataannya tidak seperti itu.

Pintu lift berhenti di salah satu lantai sebelum mencapai lantai tujuannya. Dia terkejut mendapati Tsuki yang masuk ke dalam lift tersebut, dengan Matsumoto Jun yang mengantar sang putri ke depan lift. Shota langsung membungkuk sopan dan menyapa sang senior dengan ramah yang dibalas sama ramahnya dan Jun melambaikan tangan pada Tsuki dan menyuruh perempuan itu untuk pulang ke rumah dulu sebelum pintu lift tertutup.

Ada keheningan di lift itu. Tsuki berjalan mundur dan bersandar di sebelah Shota. “Bagaimana kabar Airi?” Tsuki tiba-tiba bertanya padanya membuat Shota sedikit terkejut.

“Dia baik-baik saja...” balas Shota lamat-lamat. Tsuki berdecak diikuti suara mendengkus. “Kau tinggal dengannya dan bertemu dengannya lebih sering tapi tidak peka dengan perubahannya. Sungguh useless sekali.” Cibirnya membuat Shota langsung mengerutkan kening dalam-dalam. Lelaki itu langsung berdiri menghadap Tsuki dan menatapnya. “Apa maksudmu?” tanyanya. Shota sebenarnya menyadari ada yang salah pada Airi mengenai kiriman-kiriman yang diantar oleh kurir selalu dititipkan di resepsionis sampai Shota sendiri yang mengambilnya meskipun ada Airi di apartemen mereka.

Tsuki berdiri menghadapi Shota dan tersenyum miring. “Airi sakit dan kau tidak tahu?” cibir Tsuki. Sakit? Airi sakit? Sakit apa?

“Kau tanya lengkapnya pada calon istrimu itu, Watanabe. Atau cari tahu sendiri pada dokter yang dulu merawatnya.” Kata Tsuki tepat begitu lift yang mereka tumpangi sampai di lantai tujuan. Perempuan bermarga Matsumoto itu langsung berjalan keluar dan hanya menyisakan suara dentuman hak sepatu Tsuki yang berjalan menjauh.

Di lift itu, Shota menyadari Tsuki menjatuhkan sesuatu. Sebuah kartu nama.


Airi selesai mengeringkan rambutnya yang sekarang sudah dipotong seleher. Perempuan bermarga Minamoto itu menatap sejenak pantulan dirinya di cermin. Tidak ada yang berubah, mungkin hanya sorot mata yang tidak seceria dulu. Airi sendiri tidak tahu kemana sorot mata itu menghilang. Sejak keluar dari rumah sakit dan kondisinya sudah lebih baik, dia merasa ada yang hilang tapi Airi tidak tahu apa itu. Dia hanya menikmati hidup dengan berharap siapa tahu sesuatu yang hilang itu bisa kembali.

Airi menyimpang hair dryernya kembali ke lemari diatas cermin tersebut dan berjalan keluar dari kamar mandinya. Langkah kakinya menuju ruang tengah yang menyatu dengan ruang makan beserta dapur itu. Airi menemukan Shota yang sedang menonton video koreografer baru lewat Ipadnya sambil menikmati teh yang diseduhnya sendiri.

Sebenarnya hari itu, Airi ingin meminta sesuatu dari Shota—kekasihnya, kalau dibilang mungkin izin? Airi berjalan menghampiri Shota dan duduk di depan lelaki yang masih asyik dengan tontonannya itu. “Shota,” panggil Airi setelah lama dipandanginya sang kekasih.

“Ya, sayang?”

Sial. Airi langsung merasakan jantungnya berdetak dengan cepat dengan respon yang Shota berikan barusan. Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, menetralisir rasa berdebar dan rasa panas yang menjalar di kedua pipinya. Shota jarang sekali memanggilnya dengan panggilan seperti itu, jadi, Airi tidak pernah terbiasa. Dilihatnya Shota langsung menutup Ipadnya dan menyingkirkan barang itu.

Airi baru sadar ada cangkir teh lain yang sudah disediakan Shota di meja makan. Lelaki itu menggeser cangkir itu kearahnya dan tersenyum, sementara Shota mulai memusatkan perhatiannya pada sang kesayangan. Airi menggenggam cangkir itu dengan kedua tangannya dan bergumam terima kasih pada Shota.

“Jadi,” Airi menarik napas lagi. “aku ditawari bermain drama enam belas episode dengan durasi empat puluh lima menit di Korea Selatan. Drama romantis dan lawan mainku Lee Soo Hyuk,” Airi menatap Shota yang bergeming, masih menunggu Airi menyelesaikan ucapannya. “Bagaimana menurutmu...?” tanya Airi dengan nada tidak yakin.

Shota terdiam sejenak, dia mengangkat cangkir teh miliknya dan menyesapnya pelan. “Kau akan baik-baik saja disana?” tanya Shota.

Airi mengangguk, meski dia tidak yakin. “Kurasa iya. TOBE juga yang menyarankanku untuk mengambil tawaran ini, hitung-hitung penyegar suasana.” Kata Airi.

“Siapa yang akan menjagamu disana kalau kamu kambuh sewaktu-waktu?” tanya Shota. Lelaki itu kali ini menatap lurus kearahnya. Airi mengerjap. Terkejut dengan kalimat yang dilontarkan sang kekasih.

“Kambuh? Maksudnya?” tanyanya. Shota tersenyum tipis, matanya kali ini menatap kearah air teh yang bergoyang pelan begitu dia menggerakkan cangkirnya. “Jangan kira aku tidak tahu, sayang,” katanya. Airi terkejut mendengarnya. Dia mengulum bibirnya dan mengalihkan pandangan kearah lain. “a-apa yang tidak kamu tahu?” tanyanya.

Shota terkekeh. Dia menghela napas. “Matsumoto memberitahuku soal kondisi mentalmu,” katanya. “kondisi PTSD yang kamu alami saat ini belum sembuh, ‘kan?” lanjut Shota.

Sial. Padahal Airi sudah sehati-hati mungkin agar Shota tidak tahu soal kondisinya. Dia tidak mau membuat Shota khawatir dan itu akan mengganggu aktifitas kekasihnya itu. Dia tidak mau menjadi beban untuk orang lain. Tapi, toh, kenyataannya seperti itu. Saat dia sedang kambuh.

Airi memejamkan matanya. Rasa sesak dan sedih menjalari perasaannya saat ini. Dia mengela napas. “Sudah berapa lama kamu tahu?” tanya Airi lirih. “enam bulan yang lalu.” Kata Shota. Ya. Sudah setahun lebih sejak kejadian penyerangan yang membuat Airi mengalami semi-koma. Kejadian itu juga mempengaruhi kondisi mentalnya.

Airi menemui psikiater juga tanpa sepengetahuan Shota maupun Koji dan Tsuki, hanya Takki dan Manajernya saja yang tahu. Tapi, pada akhirnya Tsuki tahu dan memberitahu pada Shota. “Begitu. Kenapa kamu diam saja?” tanya Airi.

Shota tersenyum lembut. “Karena kamu tidak mau aku tahu. Jadi, aku berpura-pura tidak tahu.” Ucap Shota dengan jujur. Meski terkadang dia mendapati Airi yang sedang kambuh, menangis keras atau diam-diam di kamar mandi atau di balik kloset. Setiap kali, perempuan itu berpikir bahwa Shota pulang larut malam atau tidak akan pulang hari itu. Itu sangat menyakiti hatinya, Shota ingin menenangkan Airi, ingin mengatakan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sejak Shota tahu bahwa kondisi mental Airi sedang tidak baik-baik saja, sebisa mungkin dia pulang cepat dan tidak menginap meski terkadang ada pekerjaan yang harus dilakukan di luar kota. Shota akan pulang hari itu juga setelah pekerjaannya selesai. Setidaknya dia bisa menemani perempuan itu meski tidak bisa memeluknya secara langsung.

“Aku belum cukup bisa kamu percayai ya, Airi?” tanya Shota. Tangannya meraih tangan Airi yang tidak menggenggam cangkir teh itu. Airi mendongak dan bertemu pandang dengan mata Shota yang menatapnya dengan berkaca-kaca. Dia tahu, dia sudah terlalu sering menyakiti perasaan Shota dengan tidak mengatakan yang sebenarnya.

“Maaf, bukan begitu....” Sebuah respon yang sangat klise. Airi berdecak. Dia menggigit bibirnya. Shota tersenyum. Genggaman tangan pada perempuan itu dia lepas. Lelaki bermarga Watanabe itu beranjak. Airi sudah berpkir bahwa Shota akan meninggalkannya tapi yang terjadi adalah Shota berdiri dengan kedua lututnya di hadapannya. Shota menarik Airi untuk menatap kearahnya.

“Aku sudah pernah bilang padamu, pelan-pelan saja. Perlahan,” katanya. “mulai dari hal-hal kecil. Adakah yang sulit dari itu?” tanya Shota dengan lembut. Tangannya tidak diam saja, Shota mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Airi dengan punggung tangannya.

Tangis Airi pecah. Dia terisak pelan. Menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, tidak sanggup untuk menatap kearah Shota di hadapannya. Dia terlalu merasa bersalah karena masih tidak bisa memberitahu apa yang dia rasakan, apa yang terjadi padanya. Airi sudah terbiasa untuk menyimpan semuanya sendiri.

“Maafkan aku... Maaf.” Ucap Airi. Shota menarik tangan Airi yang menutupi wajah cantiknya itu. Dia mengusap wajah sang kekasih dengan lembut dan tersenyum. “Sssh, tidak apa-apa, sayang. Mulai sekarang, aku hanya ingin kita saling terbuka dengan kondisi masing-masing. Katakan apa yang kita rasakan saat ini, apa yang kita lalui dan kita ingin apa atas rasa itu.” ucap Shota.

Airi mengangguk pelan. Dia membawa dirinya untuk memeluk Shota. “Aku sangat sedih saat ini karena sudah sering menyakiti perasaanmu, Shota,” Itu pertama kalinya Airi menyatakan perasaan sesungguhnya pada lelaki di hadapannya ini. “maafkan aku.” Lanjutnya dengan suaranya yang serak.

Shota mengusap kepala Airi lembut. Dia hanya mengangguk seraya menikmati waktu yang dilewati bersama dalam pelukan itu.

Setelah puas menangis, Airi melepaskan dekapannya dan menatap Shota yang masih bersimpuh di depannya. “Jadi, izinnya bagaimana?” tanyanya seraya mengambil napas. Shota tertawa mendengar pertanyaan Airi. Dia berusaha bangun dengan susah payah karena terlalu lama di posisi itu. Airi membantunya dan mereka kembali duduk berhadapan.

“Siapa yang akan menjagamu disana nanti?” “Manajer. Tsuki akan disana juga kalau dia sedang tidak sibuk.” “Kalau aku ikut saja denganmu bagaimana? Katamu drama romantis, ‘kan? Aku mau langsung mengclaimmu kembali kalau ada adegan ciuman bersama lelaki lain.”

Airi berdecak. Namun, dia tersenyum mendengar ucapan Shota barusan. “Tidak boleh.”


Shota terbangun di tengah malam. Dia meninggalkan sebentar Airi yang sudah terlelap di ranjangnya sementara dia butuh sesuatu yang bisa membuatnya kembali mengantuk. Shota keluar kamar dengan perlahan. Dia menemukan Mocca yang sedang terlelap diatas meja makan. Kucing itu tidur dengan suara dengkuran yang samar.

Shota tersenyum tipis melihatnya. Dia berjalan kearah kulkas dan menemukan sesuatu. Sebuah infused lemon water milik Airi.

Shota menoleh kearah kamarnya dan Airi. Dia menghela napas dan mengambil botol berisi air tersebut dan mengambil gelasnya. Dituangkannya sedikit air tersebut dan meminumnya. Rasa asam sekaligus menyegarkan langsung menyerang lidah dan kerongkongannya. Dia masih bertanya-tanya kenapa Airi sangat menyukai Lemon.

Padahal buah ini sangatlah asam dan tidak semanis jeruk atau buah lainnya.

Nishihato, Cringe, Typo


Ini pertama kalinya Hato pulang dari kantor lebih dari jam enam sore. Dia menuntun sepedanya seraya berjalan pelan menyusuri pendestrian di jalanan Okinawa itu. Suasana sudah lumayan sepi karena waktu menunjukan pukul setengah sembilan malam. Ini memang bukan Tokyo yang selalu ramai. Sembari berjalan, Hato merenggangkan otot lehernya dengan mencoba untuk menoleh ke kanan dan kiri dengan cepat.

Dihelanya napas lega saat pegal-pegalnya mulai berkurang. Perempuan itu sedang ingin berjalan pelan dengan sepedanya, padahal hari itu adalah hari tersibuknya. Mungkin karena ingin merasakan angin malam Okinawa yang menyegarkan meski suasananya mulai agak memanas seperti di Indonesia karena akan masuk musim panas.

Ah, tapi Okinawa memang mirip dengan Indonesia, Hato tidak perlu heran lagi. Saat dia sedang berjalan dan tanpa sengaja menoleh kearah sebuah konbini di dekat sana, dia melihat sosok dengan topi hitam, masker dan juga kacamata yang dia kenal sedang membayar belanjaannya. Hato sampai harus menghentikan langkahnya untuk memastikan pandangannya.

Saat sosok itu selesai dengan administrasinya, dia keluar dan terdiam sejenak. Keduanya saling berpandangan sebelum, Hato bisa melihat kedua mata itu menyipit diikuti namanya yang dipanggil dengan suara yang dia kenal baik. “Hatoo!” Sosok itu mendekat kearahnya dan menurunkan masker yang dia pakai untuk menampilkan wajahnya serta senyuman yang sangat Hato rindukan. Mereka LDR saat ini dan hanya bisa bertemu paling cepat dua bulan sekali.

Hato yang panik kekasihnya tiba-tiba menurunkan maskernya itu buru-buru menarik kembali masker itu untuk terpasang sempurna di wajahnya. “Jangan asal menurunkan maskermu, pata!” Kekasih yang dia panggil ‘pata’ itu melebarkan senyum dibalik maskernya.

“Hato baru pulang?” Nishihata Daigo meletakan belanjaan yang dia beli tadi di keranjang sepeda Hato dan bergantian dengan Hato mendorong sepeda perempuan itu. Keduanya kembali berjalan menyusuri pendestrian seraya Daigo yang menuntun sepeda milik Hato. Tidak ada percakapan diantara keduanya. Tapi, baik Hato dan Daigo sama-sama tersenyum menikmati keheningan diantara mereka.

“Sayang sekali aku gabisa pegangan tangan sama kamu.” Tanpa berbasa-basi, Daigo langsung berujar seperti itu membuat Hato refleks menoleh dengan kedua mata terbuka lebar. Kaget. “tapi, indirect pegangan tangan juga sih, meski harus sama stir sepeda.” Lanjutnya mengundang tawa dari perempuan itu.

“Padahal bisa sebelahnya pegang tanganku.” Hato ingin memukul pelan mulutnya saat itu juga begitu sadar dengan ucapannya. Daigo mengerjap dan langsung mengangguk. “Benar juga.” Katanya.

Lelaki itu melepas satu genggaman pada stir sepedanya dan meraih tangan Hato yang menggantung di sebelah tubuhnya. Keduanya saling berpandangan. “Tangan Hato dingin.” Kata Daigo.

Tanganmu hangat, pata.

ShoppiAiri, Typo, Cringe


Airi yang sedang bermain dengan Mocca di atas karpet bulu di depan televisi itu dikagetkan dengan Shota yang tiba-tiba memeluknya dari belakang dan memeluknya erat bersama Mocca. Kucing itu langsung mendesis kearah Shota dan melompat. Tidak suka jika babunya dimiliki kembali oleh sang lelaki. Shota berdecak. “Kau sudah sering bermain dengan Airi, Mocca!” gerutu Shota.

Airi yang sedang salah tingkah karena tiba-tiba dipeluk sang kekasih hanya tertawa. Kucing itu akhirnya naik ke atas sofa dan berputar-putar sebelum akhirnya tidur disana. Airi dan Shota diam dalam posisi itu selama beberapa saat. “Hari ini mau kemana?” tanya Shota.

Airi menghela napas dan bersandar pada pelukan Shota. “Aku mau di rumah aja.” Katanya. Beberapa hari ini semua jadwalnya dilakukan di luar rumah dan jujur saja untuk introvert seperti Airi benar-benar menguras energi. Apalagi beberapa kali rasa takutnya kembali karena beberapa kali berpapasan dengan pengantar paket. Sial. Dia jadi parno dengan kurir.

Shota mengangguk. Dia meletakan dagunya di puncak kepala Airi dan merenggangkan sedikit dekapannya begitu Airi sudah bersandar sepenuhnya pada pelukannya. “Hari ini Shota libur juga?” tanya Airi pelan. Sepertinya perempuan itu mulai diserang rasa kantuk karena seharian ini membereskan apartemen mereka, mulai dari mencuci baju dan membereskan kamar karena permainan mereka semalam. Ya. Tahu ya, mereka ngapain.

Shota mundur sedikit kearah sofa dan bersandar pada kursi panjang tersebut sambil terus memeluk Airi. Sesekali tangannya mengusap punggung tangan Airi yang ada dipangkuannya. “Iya. Aku minta jatah liburku hari ini supaya bisa nemenin Airi.” Jawabnya.

Airi mengangguk. Perempuan itu membetulkan posisinya, rambut pendek sebahunya yang diikat satu itu dilonggarkan dan Airi semakin bersandar pada Shota. “Baiklah. Aku tidur sebentar ya.” katanya. Hari itu kantuknya benar-benar tidak bisa ditahan. Selain karena semalam mereka bercinta juga Airi yang pulang cukup larut dan hari itu dia bangun pagi untuk mencuci baju serta membereskan apartemen mereka. Jelas Shota juga membantu dengan membersihkan kamar mandi. Sesekali kamar mandi perlu disikat.

“Tumben sekali kamu tidur dipelukanku,” Kata Shota sebelum Airi benar-benar terlelap. Airi terkekeh. “jangan lama-lama seperti waktu itu ya. Kau membuatku takut.” Lanjutnya. Airi mengangguk tanpa menjawab perkataan Shota. Dia memeluk tangan Shota yang melingkar di tubuhnya sementara kedua matanya dipejamkan.


Airi tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur yang pasti di luar sudah gelap dan terdengar samar suara hujan serta gemuruh petir yang sesekali terdengar. Airi sadar dirinya sudah tertidur diatas sofa dengan selimut berbulu serta Mocca yang sedang duduk ala Spinx di atasnya. Kedua matanya yang bulat menatap kearah Airi langsung membuat Airi serta merta terkejut ditatap oleh sang kucing.

Mocca langsung loncat turun dan menghampiri Shota yang sedang duduk di atas kursi makan sembari menyeruput kopinya. Kucing itu naik ke kursi di sebelah Shota dan duduk disana dengan nyaman. Aneh sekali. Airi bangkit dari posisinya dan menguap, merenggangkan tubuhnya dan mengerjapkan mata untuk memfokuskan kesadarannya.

“Ohayou, Airi.” Sapa Shota. Airi tidak langsung membalas, dia terdiam sejenak melihat kearah balkon apartemen mereka, memastikan bahwa pakaian yang dia jemur disana sudah diamankan sebelum hujan turun tadi. “Tenang, pakaian yang dicuci tadi pagi sudah kering semua.” Shota berujar lagi kala melihat kekhawatiran yang terpancar dari raut Airi.

Airi bangkit dengan langkah sedikit terhuyung karena baru saja sadar dari tidur siangnya. Dia duduk tepat dihadapan Shota dan bertopang dagu. “Sudah makan malam?” tanyanya. Shota menggeleng. Dia mengulurkan tangan untuk menyingkirkan sedikit anak rambut yang menghalangi wajah kesayangannya. Airi melepaskan ikatan rambutnya yang kendur dan menyimpan karet rambut hitamnya di pergelangan tangan.

“Hari ini aku mau mengemil saja. Tadi aku udah delivery dessert. Gapapa ya?” tanya Shota. Airi mengangguk pelan. Belakangan ini Shota jadi lebih perhatian padanya—ya sebenarnya dia selalu perhatian pada Airi hanya saja sejak penyerangan itu perhatiannya jadi sangat bisa Airi rasakan.

Shota bangkit dari duduknya, membuatkannya segelas cokelat hangat dan mengeluarkan seporsi potongan segitiga kue kesukaannya, Lemon Cheese Cake dengan lemon slice diatasnya sebagai garnish. Shota meletakan gelas dan piring itu di hadapan Airi dan duduk di sebelahnya sementara Mocca masih asyik memandikan tubuhnya di kursi di sebelah kursi yang tadi diduduki Shota.

“Panas dan dingin ya.” kata Airi dengan tawanya yang kecil. Shota mengangguk dengan wajah sedikit meranum. Dia sedikit mendekatkan bibirnya ke telinga Airi dan menyeringai. “Seperti kegiatan kita tadi malam.” Bisiknya.

Airi langsung merasakan sekujur tubuhnya merinding dan wajahnya memanas. Sialan kau, Watanabe. Bisiknya dalam hati karena sekarang jantungnya berdetak sangat cepat. Dia berdecak dan pura-pura kesal dengan mendorong Shota menjauh darinya. Lelaki itu tertawa melihat wajah Airi yang memerah. Airi mengambil sendok di sebelah piring itu dan hendak menyantap kue favoritnya itu. Suapan pertama dia bisa merasakan rasa manis dan juga asam yang begitu kuat namun Airi suka sensasinya. Menyegarkan. Dia hendak mengambil garnish diatas slice kue tersebut saat menyadari ada sebuah benda berbentuk seperti cincin tergantung di ujung slice garnish berupa lemon itu.

Dia menoleh kearah Shota dan menatapnya agak lama sementara Shota membalasnya dengan sebuah senyuman lembut. “Minamoto Airi,” Suara Shota terdengar memanggil namanya lembut. Jemarinya terangkat dan menyelipkan helaian rambut Airi yang membingkai wajahnya di balik telinga sang wanita. “maukah kamu menjadi istriku?”

Airi tidak bisa merespon. Terlalu terkejut dengan lamaran Shota yang tiba-tiba. Bahkan dia bisa merasakan jantungnya yang berhenti sepersekian detik sebelum akhirnya langsung berdetak begitu cepat. Dia sampai tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri. Di depannya Shota masih menatapnya dengan lembut dan mengusap pipinya lembut.

Namun, otaknya tiba-tiba membuat sebuah visualisasi menyeramkan. Dia melihat sosok yang menyerangnya ada di belakang Shota, menatapnya dengan penuh kebencian. Tangan orang itu terulur kearah leher Shota dan membuat Airi menjerit sambil melompat kearah Shota dan memeluk lelaki itu erat-erat. Bahkan Mocca langsung bangun dari posisinya dan berlari kembali ke atas sofa.

“Tidak boleh!”

Shota yang terkejut dengan teriakan serta pelukan Airi yang tiba-tiba serta gumamannya hanya bisa terdiam. Menenangkan sang kekasih yang tiba-tiba saja terisak di bahunya, memeluknya erat-erat seakan tidak ingin kehilangannya.

Airi... Sebenarnya ada apa?