soymilkao29

Nishihato, Semi-lemon, Fluff, Typo, Cringe


Perempuan dengan setelan semi formal itu menuntun sepedanya di tengah kicauan cicadas di musim panas itu. Sesekali napasnya di hela. Arloji yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukkan pukul delapan malam. Kalau di Indonesia, ini belum terlalu malam. Masih banyak motor yang berlalu lalang atau suara obrolan tetangga yang terdengar sesekali. Tapi, Hato sudah pindah ke Jepang. Suasananya memang tenang dan sepi. Hanya terdengar suara suara cicadas khas musim panas yang sering dia dengar di drama-drama Jepang dulu yang sering dia tonton. Tapi, dia merindukan suasana ramai di Indonesia. Seperti di rumah meskipun di tempat yang tidak familiar untuknya.

Perjalanan menuju apartemennya masih butuh waktu lima menit. Hato memilih untuk menuntun sepedanya sembari menikmati waktu sendiri dan mengembalikan energinya. Dia sudah mampir terlebih dahulu ke konbini untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah menipis di apartemennya.

Hato memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus dan berjalan dengan pelan menuju unitnya. Dia mengucapkan salam begitu dia masuk ke dalam. Untuk sejenak dia menyandarkan punggungnya ke balik pintu apartemennya dan terdiam sejenak. Ditatapnya sebentar langit-langit apartemennya yang masih gelap. Helaan napas keluar lagi di mulutnya. Bibirnya mengecap-ecap dengan sebal. Belakangan ini dia merindukan masakan Indonesia yang kaya akan rempah. Makanan disini terlalu hambar.

Bahkan mi instan khas negaranya seperti kekurangan micin. Padahal MSG terkenal di Indonesia adalah Ajinomoto. Hato terperanjat kala melihat lampu apartemennya tiba-tiba menyala. Di dekat saklar lampu itu, dia melihat sosok kekasihnya, Nishihata Daigo berdiri dengan senyuman khas yang begitu Hato rindukan. Astaga, mereka hanya berpisah sekali kenapa rasanya rindunya pada lelaki ini sudah sangat menumpuk?

“Hato sepertinya sedang mumet ya,” ucap Daigo. Matanya menelisik sang kekasih, kesayangannya ini. “聞かせてくれ?” Hato mengerjap, melihat Daigo yang melonggarkan dasinya dan juga membetulkan letak kacamatanya. Dia baru menyadari bahwa outfit yang digunakan lelaki itu persis seperti karakter Detektif di drama terbaru yang Daigo perankan. Hisame! Tidak usah dibilang karena Hato tahu bahwa wajahnya sekarang sudah sangat memerah.


Daigo bertopan dagu di sisi bath tub yang dia pakai untuk berendam hari itu. Sementara matanya tidak lepas dari punggung perempuan yang sedang memainkan air di hadapannya. Ya. Dia dan Hato berendam di satu bath tub yang sama.

“Nee, Hato!” Daigo berusaha memanggil kekasihnya namun Hato hanya mengedikkan bahu dengan kaget dan berdehem. Daigo berdecak. Apa-apaan ini? Mandi dan berendam bersama hanya untuk melihat punggung? Tidak seru sekali.

Dia sudah menggosok punggung Hato tadi dan Hato juga menggosok punggungnya sambil bercerita tentang hari ini. Tapi, begitu dia hendak berbalik menghadap sang kekasih, perempuan itu langsung berbalik badan. Enggan berhadapan dengan Daigo. Lelaki itu menyapu bagian dalam pipi kanannya. “Hato! こっち向いてよ!” Namun, Hato malah menolak dengan menggeleng dan bergeming pada posisinya. Daigo berdecak. “ほら!” Daigo menarik pundak Hato dan membuat perempuan itu memekik karena posisinya jadi bersandar pada dada lelaki bermarga Nishihata itu.

Hato sampai menahan napasnya. Tapi, tangan Daigo yang memeluk pundaknya semakin mengerat. Sementara lelaki itu menciumi pundaknya. “Kenapa, sih, gak mau lihat aku?” tanya Daigo dengan suara merajuk yang dibuat-buat. Hato berdehem. “Gak apa-apa, sih,” balas Hato dengan suara yang mengecil.

Daigo memperhatikan wajah Hato dari samping. Wajah perempuan itu terlihat meranum. “Kamu malu ya?” Goda Daigo. Hato menggeleng. Punggung tangan kanannya mengusap pipinya. “Mana ada!” Hato berkilah.

Daigo terkekeh. Dia merubah posisi Hato menjadi menghadapnya. Matanya yang membuat Hato jatuh cinta berkali-kali itu menelusuri garis wajah sang kekasih. Sementara itu punggung jemari tangannya mengusap pipi Hato yang basah oleh air berendam mereka. “きれいですね.”bisiknya.

“誰?” “ハトだよ.” “へえ。。そっか。“ Daigo terkekeh melihat wajah Hato yang semakin memerah. Dia suka sekali menggoda perempuan ini. Daigo mengerutkan hidungnya dengan gemas sebelum akhirnya mendaratkan satu kecupan singkat di bibir Hato yang membuat perempuan itu tidak sempat memproses apa yang terjadi. Hato refleks menyentuh bibirnya. “Pata!” serunya. Tawa Daigo pecah. Lelaki itu terbahak. Sementara Hato berdecak.

Daigo mengatupkan wajah Hato dengan kedua tangannya dan mengecup kening sang kekasih dengan lembut. Kecupan itu berlangsung cukup lama membuat perut Hato sedikit geli dan hatinya menghangat. “Pata?”

“Hmm?” Daigo melepaskan kecupannya dan mensejajarkan pandangan mereka. Hato menyentuh kedua pundak Daigo sebagai pijakan tangannya dan sedikit mengangkat tubuhnya, mencium kening Daigo sebagai balasan kecupannya tadi.

Yang tidak Hato duga saat dia melakukan itu adalah Daigo yang tiba-tiba mencium lehernya dan memberi tanda disana. Hato refleks memukul pelan pundak sang kekasih. “俺のもの.” Ucapnya. Hato berdecak. Perempuan itu hendak beranjak namun lagi-lagi Daigo menahannya. “ね、やるか?”

“Apa?” Daigo menyeringai tipis. “これ。” Hato tidak menduga bahwa Daigo akan menarik dirinya untuk duduk di pangkuan lelaki itu dan Hato dihujani ciuman bertubi-tubi yang tidak dia duga sebelumnya. “どう?いいのこれ?“Hato mengangguk pelan sebagai tanda persetujuan yang ditanyakan oleh Daigo. Untuk pertama kalinya, mereka berbagi selimut dan kegiatan kasur bersama. Hari itu.

Airi Minamoto x Iwamoto Hikaru, Typo, Cringe


Langkah kaki yang dialaskan oleh sepatu berwarna biru dongker dengan merk Adidas itu berjalan perlahan di treadmill yang melaju pelan. Sosok perempuan berambut panjang yang dikuncir ekor kuda itu terengah-engah dengan wajah dipenuhi oleh keringat. Di bahunya tersampir sebuah handuk kecil.

“Oh, Airi?” Sosok yang dipanggil Airi itu menoleh begitu namanya dipanggil. Seulas senyum terukir di wajahnya. Iwamoto Hikaru membalas senyuman Airi sembari naik keatas treadmill di sebelah perempuan itu. “Hai, Iwamoto.” Sapa Airi Minamoto—nama lengkap sang perempuan.

“Tumben sendirian. Enggak bareng Shota?” tanya Iwamoto sembari menyetel treadmillnya. Airi menggeleng. “Shota masih tidur karena baru pulang tadi jam lima pagi.” Jawab Airi. Iwamoto terkekeh, dia mulai berjalan perlahan di atas treadmillnya.

“Belakangan ini dia sangat sibuk ya.” kata Iwamoto. Airi mengangguk. Dia masih terus berjalan pelan di treadmillnya setelah selama lima belas menit berlari tanpa henti. “Oh iya, video collabmu dengan Hirano sangat menarik ya. Bite Me ya?” Iwamoto terlihat membuka percakapan dengan Airi. Airi mengangguk. “Hanya mini cover dari lagunya Enhypen.” Balas Airi.

Iwamoto tersenyum. Dia melirik kearah Airi. “Setidaknya mampu membuat Shota uring-uringan.” Airi meringis. Well, tidak hanya uring-uringan tapi membuat Shota mengajaknya untuk main hingga setengah jam lebih. Hanya karena mini cover dance itu saja. Airi menggeleng kalau mengingatnya.

“Ya, dia sangat uring-uringan.” Balas Airi. “Ah iya, album baru Snow Man, aku suka, meski di beberapa bagian ada yang tidak masuk akal dan terlalu dipaksakan. Tsuki juga merasakan hal yang sama.” Ya. Airi juga setuju soal itu. Meski dibanding MV Kpop dia lebih sering melihat MV Jpop dan merasa memang itu ciri khas mereka.

“Benarkah? Tsuki bilang apa lagi soal album kami?” Airi menahan senyumnya. Iwamoto lebih tertarik pada apapun yang dikatakan oleh Tsuki. Padahal perempuan itu sudah berpacaran dengan teman satu grupnya Iwamoto. Memang cinta buta ya.

Airi menceritakan semua pandangan Tsuki terhadap album tersebut dan Iwamoto terlihat sangat tertarik hingga menatap kearah Airi dengan penuh rasa penasaran. Binaran di matanya juga tidak bisa bohong.

“Oh begitu. Mungkin ke depannya aku coba minta sarannya Tsuki kali ya.” gumam Iwamoto. Airi menggeleng tanpa sadar. “Boleh saja, asal kau tahu batasannya. Bagaimanapun Tsuki sudah punya pacar, Iwamoto-kun.” Airi sedikit terkejut dengan ucapannya barusan. Dia langsung menoleh kearah Iwamoto yang sekarang mengerjap padanya.

“Kau tahu maksudku.” Tambah Airi dengan hati-hati. Iwamoto mengangguk pelan. “Aku mengerti.” Katanya.

Hening dan Iwamoto menambah kecepatan langkahnya menjadi berlari. Airi memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya dia mematikan treadmill tersebut dan bersandar pada alat tersebut. Matanya bertatapan dengan Iwamoto yang melirik kearahnya. “Bagaimana dengan Kanon? Hubungan kalian ada kemajuan?” tanya Airi.

Iwamoto tertawa. Dia menggeleng. “Aku dan Kanon tidak punya hubungan apa-apa.” Airi mengangguk. Dia sedikit mengembungkan pipinya. “Kalo adapun, Tsuki senang.” Balas Airi kemudian beranjak.

Airi akan dipukul Tsuki kalau tahu dia membawa-bawa namanya ke percintaan orang lain. Yah, mau gimana, Iwamoto tidak mudah menyerah.

Halo, aku Lisa. Disini aku mau coba share pengalamanku suka sama Naniwa Danshi dan kenapa Naniwa? Kenapa gak grup yang lainnya?

Tahun 2021, awal dimana aku menikmati waktuku sebagai fans Jpop dengan masih mencari informasi seputar Arashi, hanya menyetel lagu-lagu Arashi dan menyimpan foto-foto Arashi yang baru pertama kulihat dari app gambar berwarna merah seperti lolipop. Ya, aku cuma suka Arashi di Johnnys. Setelah Arashi hiatus, aku merasa sepi. Tadinya. Namun, entah darimana munculnya, ketika aku sedang scroll ig dan nemu postingan berupa trailer kisah cinta segitiga yang dimana ada Micchi mengenakan seragam SMA dengan rambut khasnya sedang tiduran bersama Fukumoto Riko di sampingnya. Kuterkejut begitu melihatnya. “Hah? Siapa anak ini?” Ujarku dengan bingung seraya mengerjapkan mata. Dia terihat begitu familiar bagiku. 2023年07月28日 Baik. Itu hanya sebuah awal dari ceritaku menyukai Naniwa Danshi. Aku mengenal Naniwa Danshi lewat Micchi yang berperan menjadi Aoki di drama Kieta Hatsukoi. Karakter Aoki yang diperankannya begitu clumsy dan juga lucu. Micchi terlihat sedang tidak berakting. Dia seperti jadi dirinya sendiri. Lalu, aku menyadari bahwa Micchi juga menyanyikan soundtrack untuk drama yang dia mainkan, bersama sahabat-sahabatnya di Naniwa Danshi. Ubu Love. Lagu yang begitu ceria serta membuatku ingin mengenal mereka, Nanidan lebih jauh, bukan hanya Micchi. Sejak itupun aku menyukai Naniwa Danshi. Lucunya, Aku baru menyadari bahwa salah satu member tertua di Nanidan, Nishihata Daigo ternyata pernah bermain bersama Nino, ichibanku di Arashi! Belum lagi ternyata Micchi pun pernah main bersama Kinki Kids, Aiba Masaki dan juga Matsumoto Jun, di drama Bokura no Yuuki edisi spesial. Aku histeris mengetahuinya. Pantas saja aku merasa familiar dengan Micchi dan Daigo. Ternyata aku sudah mengenal mereka meski hanya sekilas. Rasanya seperti sebuah reuni dan inilah dimana Arashi seperti mengenalkanku kepada adik-adik mereka yang lain di Johnnys. Memintaku untuk mendukung dan menyayangi mereka. Saat acara debut mereka, aku benar-benar seperti diajak sibuk. Perform di garasi pesawat JAL, menaiki pesawat JAL, melihat kesibukan mereka untuk promo besar-besaran. Debut mereka begitu fantastis. Aku benar-benar bahagia dan selalu tersenyum melihat setiap berita yang lewat di media sosialku tentang Nanidan. Debut mereka sungguh manis dan membuatku lupa akan kejenuhan hari itu. Apalagi setiap part, “Nee, ima mo dayo” yang dinyanyikan oleh Micchi, membuat jantungku berdetak begitu kencang dan wajahku membuat seulas senyum. Satu hari itu, aku sungguh merasakan kebahagiaan hanya dengan melihat Nanidan menikmati debut mereka. Aku ikut bahagia melihat grup ini setelah kutonton dokumenter mereka sebelum debut, bahwa usaha mereka benar-benar keras untuk sampai di titik ini. Dengan senyum lembutku, bibirku berucap, “Ah, aku jatuh cinta pada mereka.” Bahkan, aku sampai membeli single Ubu Love. Itu menjadi merch Johnnys pertama yang kupunya. Senang sekali bisa menemukan support system untuk menjalani hari-hari sebagai seorang mahasiswa. Kalau Arashi menemaniku di masa-masa SMP-SMA. Nanidan akan menemaniku menikmati masa-masa kuliahku yang penuh suka duka ini. Nanidan seperti memberikan sebuah semangat dan juga rasa dicintai. Setiap melihat dan mendengar lagu mereka, aku seperti dibisiki, “Tetaplah berusaha dan jangan menyerah. Ingat bagaimana manisnya Ubu Love dan lagu-lagu Nanidan yang menyemangatimu seperti yang dulu Arashi lakukan padamu.” Ahh, air mataku tanpa sadar menetes. Tapi, saat ini aku sedang diculik oleh Kento, ya, Nagao Kento. Astaga. Setiap aku melihat fotonya entah kenapa membawa rasa berdebar yang kurasakan pada Micchi. Ya ampun, Ken. Direbut hatinya oleh Micchi saja sudah membuatku kalang kabut, sekarang hatiku yang kau culik dari Micchi, Ken. Habis ini siapa lagi yang akan menculikku? Daigo? Aku tertawa jika mengingatnya. Aku akan dipites para istri Nishiha-tans. Hmm, sepertinya aku akan menyelesaikan fanfic-fanfic Nanidanku jika memenangkan giveaway ini. Meski tidak menang, aku juga tetap akan menyelesaikannya, sih, meski belum tahu kapan akan selesai. Aku terkekeh. Terima kasih sudah membaca sampai akhir, kuharap hari kalian menyenangkan dipenuhi dengan kebahagiaan. Happy Naniwa no Hi!

ShoppiAiri, H/C.


Airi terbangun dengan jendela kamarnya yang terbuka lebar dan hembusan angin pagi serta sinar mentari yang menyorot masuk ke dalam jendela apartemen sewaannya itu. Dia terdiam selama beberapa saat untuk mengumpulkan kesadarannya sembari melamunkan banyak hal. Sudah jadi rutinitas paginya untuk melamum barang sejenak, setidaknya 15 menit sebelum benar-benar bangun dari posisi rebahannya. Airi beranjak, dia duduk di pinggir ranjang single bednya, menyadari bahwa hari itu dia masih seorang diri disana.

Lebih tepatnya Airi sedang berada di Korea Selatan saat ini. Sebenarnya dia tidak benar-benar me time, tapi juga sembari syuting sebuah video musik untuk album terbarunya nanti. Dia sengaja tidak memberitahu Shota dan yang lainnya karena, hal ini juga menjadi agenda liburannya sembari memikirkan banyak hal. Syuting musik video maupun rekaman lagunya sudah selesai sejak dua minggu yang lalu tapi Airi belum ada keinginan untuk pulang dan memilih untuk mengelilingi Korea Selatan sembari menikmati waktunya.

Airi juga sempat mengunjungi tempat wisata di dekat kawasan DMZ. Well, sebuah tur yang menarik untuk dilakukan seorang diri. Dia bertemu banyak orang saat sedang menikmati makan siang mereka di kawasan dekat DMZ tersebut. Beruntungnya, meski Airi sedang tidak memakai penyamaran yang banyak, nyaris tidak ada yang mengenalinya. Mereka hanya berpikir bahwa Airi adalah turis seperti yang lainnya.

Dan hari ini, Airi hanya ingin menikmati waktunya seharian dengan menonton drama sambil mengemil kimbab atau topokki. Airi mengambil jaket dan dompetnya, serta kunci apartemen sewaannya itu dan pergi ke konbini terdekat sekaligus langganannya dulu semasa dia masih berkarir di Korea. Airi mengambil keranjang dan mulai menyusuri rak demi rak. Pekerja disana sudah bukan orang yang sama yang biasa Airi temui. Yah, sudah berapa tahun sejak hari itu? Sudah pasti mereka memiliki pekerjaan yang lebih baik dibanding menjaga konbini.

Airi selesai memenuhi keranjangnya dengan snack dan ramyeon instant. Dengan tudung yang dia pakai serta rambut yang masih acak-acakan itu, Airi membayar semua belanjaannya. Begitu dia ingin berbalik, tubuhnya menabrak seseorang dengan keras. Airi dengan refleks memeluk belanjaannya agar tidak terjatuh semua. Tapi, dia merasakan sepasang tangan melingkar di tubuhnya membuat mata Airi terbuka lebar dan disaat itulah dia menyadari sosok di depannya adalah orang yang selama ini dia hindari.

Sosok lelaki berkebangsaan Jepang bernama lengkap Watanabe Shota, sedang berdiri di depannya dengan sorot matanya yang sedikit lega. Lega menyadari bahwa Airi masih bisa dia lihat sosoknya.

***

Airi menggeser cup ramyeon instant itu kearah Shota yang duduk di sebelahnya. Keduanya duduk di depan meja berkaki rendah yang menghadap kearah televisi yang sedang menyala itu. “Bagaimana kau tahu aku disini?” tanya Airi sembari meniup-niup ramyeonnya.

Shota tidak ikut langsung memakan ramyeon instantnya, dia diam dahulu memperhatikan kesayangan yang sudah lama tidak dia lihat ini sedang menyantap ramyeonnya. Airi yang sedang menyeruput mienya menoleh kearah Shota dengan kedua mata yang mengerjap. Dia menggigit mienya untuk memotong makanan tersebut dan mengunyahnya cepat. “Kenapa ramyeonnya tidak dimakan?” tanya Airi.

Shota mengangguk. “Nanti kumakan. Sekarang aku ingin memandangimu dulu,” balas Shota. “yah, meskipun sebenarnya aku lebih ingin memelukmu dulu.” Lanjutnya mengundang semburat merah di wajah Airi. Airi berdehem dan memalingkan wajahnya sembari memakan ramyeonnya. Dia tersenyum gemas sembari menahan pekikannya.

Shota terkekeh melihat kesayangannya dan mulai memakan ramyeonnya setelah puas memandangi Airi. Mereka menikmati waktu berdua di apartemen itu sambil menonton acara yang sedang tayang di televisi. Setelah keduanya selesai menyantap ramyeon mereka, Airi sempat melirik Shota yang masih fokus dengan tontonannya. Airi memandangi side profile kekasihnya itu. Ada rasa hangat sekaligus sesak yang tiba-tiba memenuhi relung hatinya. Airi berdecak pelan. Dia mendekat perlahan kearah Shota, melingkarkan kedua tangannya di bahu Shota dan memeluk lelaki itu.

Shota sedikit terkejut dengan tindakan Airi. Dia merasakan hembusan napas Airi yang hangat menerpa kulit lehernya. “Maaf, aku meninggalkanmu tanpa kabar.” Bisik Airi. Shota mengerjap. Pelukan Airi mengerat. “Aku hanya sedang merenungkan sesuatu tentang hubungan kita.” Katanya.

Shota diam terlebih dahulu, membiarkan Airi untuk menyelesaikan ucapannya. Perempuan itu menggigit bibirnya. “Dan aku yakin kalau aku tidak mau memulai lembaran baru dan sejarah yang baru di hidupku dengan orang lain.” Bisiknya. Shota tersenyum tipis, lelaki itu melepaskan pelukan Airi dan duduk menghadap sang kekasih. “Jangan pergi tanpa kabar lagi, Ai.”bisik Shota sebelum mencium bibir Airi untuk pertama kalinya sejak mereka tidak bertemu selama sebulan lebih itu.

Airi mengeratkan pelukannya pada leher Shota dan mengangguk. Ya. Waktu menyendiri dia gunakan untuk menyiapkan mental jika Shota tiba-tiba mengajaknya menikah. Meski proses penerimaan itu masih 85%.


ShoppiAiri, H/C, Typo, Cringe


Airi susah dihubungi. Perempuan itu tiba-tiba saja menghilang tanpa mengabarinya mau kemana. Sudah tiga hari, pesan maupun telepon yang diberikan Shota tidak dijawab sang perempuan. Airi juga tidak pulang ke rumah sama sekali, saat Shota mencoba mencari tahu keberadaan Airi dimana pada Kuro ataupun Takki, kedua orang itu hanya bilang Airi sedang menikmati waktu sendirinya. Oke. Shota paham dan dia menerima itu. Tapi, kali ini sudah empat minggu Airi tidak kembali ke apartemen yang mereka tinggali bersama. Setiap pesan yang dikirimkan Shota pada Airi juga tidak kunjung dibalas, boro-boro dibalas, dibaca saja tidak.

Airi seperti benar-benar hilang ditelan bumi. Shota jadi cemas dengan kondisi perempuan itu dan mencoba berpikir-pikir apa yang sudah dia lakukan sampai Airi membutuhkan waktu untuk menyendiri hingga selama ini? Shota menatap ponselnya seraya bersandar pada dinding lift yang membawanya turun ke bawah itu bersama Fuma dan kedua manajer mereka. Bersiap untuk berangkat bersama ke tempat syuting drama Usokon.

“Pacarmu belum mengabarimu lagi?” tanya Fuma. Fuma tahu soal Shota yang memiliki pacar tapi tidak tahu siapa orangnya dengan pasti. Shota menggeleng dengan wajah masam. Dia memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.

“Aneh sekali.” Komentar Fuma. Shota juga berpikir hal yang sama. Apakah Airi berselingkuh? Tidak, tidak. Dia tahu Airi bukan tipe yang seperti itu meski dia selalu bilang kalau dia bisa saja berpacaran dengan Date atau Lee Soo Hyuk, aktor yang pernah main drama korea bersamanya dulu.

Shota juga sempat bertanya pada Koji tapi Koji dengan polos balik bertanya memangnya Airi kemana. Dia saat ini juga sedang sibuk jadi tidak terlalu punya waktu untuk berkumpul dengan Airi atau Tsuki. Shota dan Fuma keluar dari dari lift saat benda itu berhenti di lantai yang mereka tuju. Begitu keluar, Shota berpapasan dengan Tsuki yang hendak naik ke lantai atas gedung Johnnys itu.

Shota refleks memanggil nama sang perempuan dan meminta Fuma dan manajernya untuk duluan ke parkiran. “Matsumoto-san!” Shota berseru memanggil Tsuki seraya berlari menghampirinya.

Tsuki menghentikan langkahnya dann mengerutkan kening menemukan Shota yang memanggilnya. “Apa?” tanya Tsuki. Shota menelan salivanya dan tersenyum tipis.

“Apakah kau tau dimana Airi? Dia sedanga apa? Apakah dia baik-baik saja?” tanya Shota. Perempuan bernama lengkap Matsumoto Tsuki menaikkan alisnya bingung. “Aku tidak tahu. Kami belakangan ini sedang sibuk jadi jarang bertemu. Memangnya ada apa?” tanyanya. Shota menghela napas kecewa. Dia menggeleng.

“Dia sudah sebulan tidak pulang ke apartemen kami dan susah sekali dihubungi. Kukira kau tahu dia kemana.” Kata Shota. Tsuki melipat tangannya. “Kau baru mencarinya setelah sebulan tidak bisa dihubungi?” cibir Tsuki.

“Manajer dan Takizawa-san sendiri yang bilang kalau Airi sedang butuh waktu sendiri. Aku mengiyakannya dan memberikannya waktu tapi tak kusangka akan selama ini.” gerutu Shota. Tsuki menghela napas. Dia menggeleng. “Aku tidak tahu dia kemana. Tapi, coba kau ingat-ingat dimana saja tempat bersejarah bagi kalian, kali saja dia mengunjungi beberapa tempat itu selama menenangkan diri.” Tukas Tsuki sebelum masuk ke dalam lift dan meninggalkan Shota yang terdiam.

Shota memutar otak, mengingat-ingat tempat-tempat apa saja yang berharga bagi hubungannya dengan Airi. Sementara itu, Tsuki di dalam lift yang hanya diisi olehnya itu menelpon sahabatnya.

Deringan ketiga kali diangkat oleh perempuan bernama lengkap Minamoto Airi itu. “Kau kenapa lagi sih dengan Watanabe?” tanya Tsuki dengan bingung. Airi hanya terkekeh di seberang sana. Tsuki sebenarnya tahu keberadaan Airi. Tapi, dia sedang tidak mau memberi tahu Shota keberadaan kesayangannya itu. Terlebih itu juga karena permintaan Airi.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang merenung saja. Tenang, sebentar lagi aku akan kembali ke Jepang.” Kata Airi. Tsuki menghela napas. “Mau sampai kapan kau meragukan diri sendiri?” tanyanya.

Airi diseberang sana terdiam. “Entahlah.”


MinaRau, Fluff/HC


Mina selesai dengan agendanya hari itu, mewawancarai Tsuki Matsumoto dan Haruna Shirokawa juga Raul yang akan muncul di majalah Anan edisi bulan depan. Seperti biasa wawancara hari itu berjalan dengan lancar dan Mina semakin nyaman dengan pekerjaannya meski beberapa ada yang suka menyikutnya dengan galak. Yah, kalian tahu apa itu.

Mina baru akan membuka pintu kaca dimana ruangan kerjanya dan tim editor Anan berada, begitu tangannya ditarik seseorang menuju ujung lorong yang sepi itu. Mina tersentak kala menemukan sosok lelaki tinggi yang merupakan teman kerjanya itu berdiri sangat dekat di depannya. Lelaki itu Mina ketahui bernama Leo, sebenarnya anak magang internasional yang sudah lama tinggal di Jepang. Mina sering kali diganggu oleh Leo. Lelaki itu selalu mengajaknya untuk keluar, makan siang bersama atau menghabiskan waktu bersama. Sekali Mina masih bisa menanggapinya tapi semakin kesini, Leo terlihat memperlihatkan rasa tertariknya pada Mina dan Mina tidak nyaman dengan rasa tertarik itu.

“Ada apa, Leo?” tanya Mina seraya sesekali melirik kearah mata Leo yang memandanginya. Lelaki itu meletakan tangannya disamping kepala Mina dan sebelahnya mengelus wajah Mina. Mina terdiam selama beberapa saat. Tubuhnya seakan mengalami bug untuk sekejap. Wajahnya yang merasakan sentuhan asing yang tidak familiar itu langsung memberikan Mina refleks untuk menepis tangan Leo yang semakin menggerayangi wajahnya selama dia terdiam tadi. Mina mencoba memberanikan diri untuk mendongak, menatap Leo dengan tatapan tajamnya.

“Oh, jangan tatap aku begitu, sayang.” Bisiknya. Mina geli mendengar panggilan itu. Panggilan yang hanya kekasihnya berikan padanya, hanya Raul yang boleh memanggilnya begitu. Mina meremas map plastik berisi kertas dan juga alat perekam yang tadi dia bawa untuk interview. Tangan Leo kali ini mengusap paha Mina yang tertutupi celana bahan berwarna krem cokelat. Lagi-lagi Mina terdiam karena dia merasakan sentuhan asing di tubuhnya. Dia berdecak pelan.

“Leo, hentikan.” Kata Mina. Dia menepis tangan Leo yang semakin menggerayangi tubuhnya, sementara wajah lelaki sialan itu semakin mendekat kearahnya, hendak mencium bibirnya tapi Mina langsung mengangkat mapnya dan melayangkan map itu pada Leo. Lelaki itu agak tersungkur namun tidak sampai terjatuh. Mina buru-buru berbalik untuk kembali ke ruangannya tapi gerakan Leo lebih cepat. Lelaki itu kembali menarik Mina memojok di dinding dan hendak mencium bibir Mina tapi Mina mengelak dengan menggelengkan kepalanya dan memukuli Leo dengan map plastiknya. Kemudian, perempuan bermarga Miyahara itu menginjak kaki Leo keras dengan docmart shoesnya. Kali ini Leo langsung terjatuh seraya memegangi kakinya yang kena hantam sol keras milik Mina.

Tanpa berpikir panjang, Mina langsung berlari, namun tidak kembali ke ruangan editor Anan. Dia berusaha berlari menuju toilet untuk menenangkan diri namun langkahnya malah memilih untuk menyusuri lorong gedung yang menaungi anan itu. Dia merasakan wajahnya memanas karena malu dan juga matanya yang basah karena air mata yang menumpuk di pelupuk matanya.

Mina berlari dan berlari hingga tidak melihat lagi orang-orang di sekitarnya, hingga pada akhirnya dia tidak sadar sudah menabrak seseorang dengan keras dan orang itu langsung menahan tubuhnya saat Mina mendongak dia terkejut mendapati Raul masih dengan outfitnya yang dipakai untuk pemotretan hari itu, begitu pula dengan Haruna dan Tsuki yang ada di belakangnya.

Napas Mina tersengal-sengal. Tangannya yang tidak memegang map plastik itu meremas pakaian yang dikenakan Raul seraya menarik napas untuk menenangkan diri. “Kak Mina, ada apa? Kenapa kak Mina panik begini?” tanya Raul dengan cemas. Sementara itu, Haruna dengan sigap langsung mengambil map plastik di tangan Mina dan Mina langsung memeluk Raul dengan tubuh yang gemetar.

Tsuki menepuk pundak lelaki jangkung itu dan Raul menoleh, melihat Tsuki menunjuk dengan matanya kearah ruangan tunggu milik Tsuki dan Haruna yang tidak jauh dari sana. Raul tahu kode yang diberikan perempuan bermarga Matsumoto itu dan langsung membantu Mina untuk masuk ke dalam ruangan itu. Bagaimanapun orang-orang belum tahu mengenai hubungan Mina dan Raul, bisa kacau kalau bocor ke publik, bahwa Raul terlihat memeluk seorang perempuan di tempat yang bisa dibilang umum ini.

Raul berdiri di dekat sofa, masih dengan Mina yang memeluknya erat. Haruna sedikit memperhatikan Mina yang tatapannya sedikit kosong dan tubuhnya yang masih gemetar. Perempuan bermarga Shirokawa itu dengan inisiatif langsung mengambilkan minum untuk Mina. Dia menyodorkan segelas air mineral itu pada Raul untuk diminumkan pada Mina yang sepertinya masih shock akan sesuatu yang belum mereka ketahui.

Raul mengusap-usap punggung Mina dan berbisik untuk melonggarkan sedikit pelukan mereka. Mina mendengarkan ucapan Raul dan lelaki itu langsung menyodorkan gelas itu pada bibir Mina yang diterima perempuan itu. Raul mengajak Mina untuk duduk di sofa sementara Tsuki duduk di arm rest sofa yang diduduki Haruna di dekat mereka.

Mina sedikit lebih tenang setelah diberikan segelas air. Raul tersenyum menatapnya. Dia menyingkirkan sedikit helaian rambut yang menghalangi wajah cantik kekasihnya ini. “Kak Mina, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Raul dengan suara yang lembut. Mina menatap sejenak Raul, bibirnya sedikit terbuka sebelum terkatup rapat lagi dan tangannya mengepal.

“A-aku... Aku... Maaf, Rau... Ta-tadi, re-rekan kerjaku berusaha me—“Mina menarik napasnya yang tiba-tiba tercekat itu. “berusaha menyentuhku... Leo... Dia berusaha menyentuh dan menciumku...” lirih Mina seraya menunduk dalam-dalam. Baik Raul, Tsuki maupun Haruna terkejut dengan pengakuan Mina barusan. Ekspresi Tsuki berubah menjadi lebih galak dari biasanya. Raul dengan tatapan tajam dan gigi yang bergelemutuk itu mengepalkan tangan dengan erat, merasakan amarah yang tiba-tiba naik ke puncak kepalanya.

“Leo, ya, namanya...?” Raul sudah hendak beranjak saat Mina menahannya. Dia langsung menatap Raul dengan sorot mata penuh ketakutan. “Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!” Raul terkejut dan langsung memeluk Mina dan menenangkannya.

Tsuki berdecak. Dia beranjak dari posisinya, keluar dari ruangan dan berbicara dengan manajernya. Sementara manajer yang dia panggil Yamaguchi itu mengangguk seraya mengeluarkan ponselnya. Raul memeluk Mina cukup lama, hingga Mina terlelap dengan wajah yang sudah lebih tenang dari sebelumnya, membuat Raul mau tak mau tersenyum. Tapi, juga mengutuk seseorang bernama Leo yang sudah berani-beraninya menyentuh miliknya.


ShoppiAiri, Fluff, Typo


Perempuan itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Dia mengerjapkan mata sejenak sebelum akhirnya menatap lama kearah langit-langit kamar apartemennya. Gelap.

Lampu di kamar itu memang dimatikan. Perempuan bernama lengkap Airi Minamoto itu merasakan dan mendengar deru napas yang stabil nan tenang di sebelahnya. Kepalanya menoleh ke samping kanannya, meski dalam kegelapan kamar, Airi bisa menyadari dengan jelas siapa sosok di sampingnya ini. Airi menatapnya sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan perlahan dan berjalan menuju lemari untuk mengambil selimut tambahan lalu keluar dari kamar sepelan mungkin agar tidak membangunkan kekasihnya yang baru saja terlelap sejam yang lalu.

Di tengah kegelapan unit yang ditinggalinya bersama Watanabe Shota itu, Airi berjalan menuju ruang tengah dimana sofa dan televisinya berada, juga dimana kucingnya, Mocca biasa tidur atau menghabiskan waktunya bermain di sekitar sana. Airi menyalakan lampu yang berdiri memanjang ke atas disamping sofa itu untuk memberikan sedikit penerangan.

Airi menemukan Mocca yang tertidur dengan tenang di kasurnya. Kucing itu meringkuk dan begitu menggemaskan di mata Airi. Airi tidak mau mengganggu tidur sang kucing dan dia memilih untuk duduk-duduk di balkon apartemennya sembari membaca buku. Insomnia benar-benar menyerangnya kali ini.

Perempuan itu duduk di dekat pintu menuju balkon dan langsung disambut oleh pemandangan lampu-lampu bak taburan bintang di bumi yang terpantul dari gedung-gedung tinggi di sekitarnya maupun di kejauhan kota Tokyo itu. Airi terdiam sebentar merasakan semilir angin malam yang berhembus.

Dia membuka sebuah buku yang belum selesai dia baca. Buku setebal 345 halaman itu butuh waktu sebulan lebih untuknya selesai membacanya. Jadwalnya yang padat membuat waktu senggangnya berkurang dan waktunya untuk membaca ataupun refreshing juga berkurang.

Mau tak mau kadang Airi harus merelakan waktu tidurnya untuk mengganti waktu sendirinya atau waktunya bersama orang tersayangnya.

“Airi...?”

Airi terperanjat kala merasakan bahunya berat dan disertai suara yang memanggil namanya dengan suara serak. Airi menyadari Shota sudah duduk di sebelahnya sambil duduk merapat padanya, menyelimuti keduanya dengan selimut yang juga Shota bawa. Sementara lelaki itu menyandarkan kepalanya di pundak Airi.

“Kenapa bangun lagi?” Tanya Shota. Airi tersenyum tipis dan menepuk-nepuk kepala Shota. “Biasa. Aku terbangun dan tidak bisa tidur.” Katanya.

Dengan mata yang masih menyipit karena baru bangun, Shota mengangkat kepalanya dan menatap kekasihnya. Shota menarik tangan Airi dan menggenggamnya sementara dia kembali menyandarkan kepalanya di pundak Airi. Lelaki itu kembali jatuh setengah tidur. Airi menggeleng-geleng melihatnya.

Dia menghembuskan napasnya begitu sadar bahwa dia tidak bisa membalikkan halaman dengan mudah karena tangannya yang satunya lagi digenggam erat oleh Shota.

Akhirnya, Airi menutup bukunya dan memilih untuk menikmati hembusan angin dan pemandangan di depannya seraya menyandarkan kepalanya di atas kepala Shota. Tangan keduanya bertaut semakin erat, menyalurkan kehangatan satu sama lain.

Pandangan Airi maupun Shota—yang setengah sadar itu terfokus pada sebuah gembok dengan coretan nama inisial mereka yang masih terpasang di pagar balkon unit mereka.

“Airi...”

“Ya?”

“Nyanyikan aku lagu yang belakangan ini suka kau dengarkan, dong.”

Airi mengerutkan keningnya. Dia terkekeh. “Aku yang tidak bisa tidur kenapa kau yang minta dinyanyikan?” Tanya Airi. Shota tersenyum.

“Tidak apa-apa kan? Aku suka suara Airi.” Balas Shota.

Wajah Airi memerah samar. Perempuan itu berdehem selama beberapa saat. Sebelah tangannya menggenggam punggung tangan Shota dan menepuk-nepuknya pelan.

“Meskipun tidak berjalan lancar, meskipun selalu saja gagal. Aku akan disini,” Airi menghentikan tepukannya dan tersenyum, teringat begitu manis lagu yang dia dengarkan belakangan ini.

“I love you so much, kucinta kamu. Kucinta kamu apa adanya. Paradise. Harta berharga ada disana. Sadarilah.” Shota kali ini membuka matanya dengan lebar dan ikut menatap kearah pemandangan di depan mereka.

“Sekalipun aku mencarimu diseluruh dunia, kamulah satu satunya. Mari hubungkan surga yang terbentang. Paradise adalah semua orang.”

Airi dan Shota tanpa sadar saling merapatkan tubuh begitu merasakan suhu udara semakin merendah.

“Lagu yang bagus.” Komentar Shota.

“Ya. Soundtrack filmnya Doraemon kemarin, yang ada Nagase Rennya.” Balas Airi.

Hening. Shota mengangkat kepalanya membuat Airi ikut melakukan hal yang sama. Keduanya saling bertatapan. Shota tersenyum. Tangannya yang bebas meraih wajah Airi dan mengusap pipinya lembut.

“Aku juga mencintaimu apa adanya...” Ucap Shota membuat Airi terdiam menatapnya. Wajahnya memanas. Airi balas tersenyum. Sebelum dia bisa membalas ucapan Shota, lelaki itu mencium keningnya. Ciuman yang dirasakan Airi begitu lama dan penuh cinta.

“Kamu juga satu-satunya untukku.”

Balkon apartemen itu selalu jadi saksi bisu untuk Shota dan Airi berbagi kehangatan di tengah udara malam saat keduanya sulit untuk terlelap dan tenggelam dalam mimpi.

ShoppiAiri H/C, Typo, Cringe.


Di jalan pulang menuju apartemennya setelah menyelesaikan jadwalnya hari itu—serta menemui Tsuki, Airi mampir ke konbini untuk membeli cemilannya. Dia juga sempat mampir ke salah satu toko yang merangkap sebagai klinik hewan di dekat apartemennya untuk membeli pasokan makanan dan beberapa peralatan untuk kehidupan Mocca, kucingnya yang sudah bersamanya selama tiga tahun lebih itu.

Entah kenapa hari itu dia berjalan dengan mode auto pilot. Tubuhnya bergerak sendiri sedangkan otaknya masih dipenuhi dengan kabar mengejutkan yang sempat dia dengar dari Tsuki tadi siang. Kabar itu mengenai Haruna yang hamil anak Meguro Ren. Perempuan itu memang sedang hiatus, kalau Airi tidak salah ingat dan sekarang sedang menyambi ngajar vokal di Johnnys untuk trainee mereka. Dia tidak memikirkan soal Meguro Ren sama sekali, melainkan Haruna.

Dia sudah lama tidak bertemu perempuan itu. Jadi, kabar tersebut juga membuatnya sangat terkejut hingga kepikiran. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Airi tahu agensi Johnnys bukan agensi yang berbaik hati begitu saja kalau sampai mendapati talent mereka mendapat masalah seperti ini. Airi tahu bahwa kehamilan Haruna ini bukanlah masalah melainkan anugerah. Tapi, dia mencoba berkaca sebagai pelaku manajemen industri hiburan di negeri ini. Itu adalah masalah yang besar apabila diketahui media.

Bahkan Airi sampai membuat skenario terburuknya jika dia ada diposisi Haruna. “Apakah dia akan disuruh menggugurkan kandungannya....”

“Siapa yang menggugurkan kandungannya?”

Airi terlonjak begitu dia dikagetkan oleh suara sosok yang sangat dia kenal, berdiri di sebelahnya yang sudah mengeluarkan kunci unitnya dan berdiri di depan pintu.

“Kenapa kau berdiri saja dari tadi disini?” Tanya Shota dengan alis yang terangkat sebelah. Lelaki itu meraih tas belanja di tangan Airi dan membawanya masuk setelah membuka pintu itu untuk mereka.

“Ah, sudah berapa lama?” tanya Airi dengan wajah kebingungan. Dia berjalan masuk ke dalam, mengikuti Shota yang sudah melepas sepatunya dan meletakan tas itu di atas pantry dapur. Mereka disambut oleh Mocca yang sepertinya baru bangun dari tidurnya di atas sofa.

Shota menatap Airi cukup lama dan mengulum bibirnya. “Lima menit kurasa. Kau hanya diam sambil menjulurkan kunci ke depan lubangnya,” Airi mengangguk perlahan seraya melepas tas dan mantelnya. Perempuan itu duduk di atas kursi makan seraya mengeluarkan belanjaannya satu persatu. “kau sedang memikirkan apa, Ai?” tanya Shota.

Airi menoleh dan menatap Shota. “Shota tahu soal kehamilan Haruna?” tanya Airi. Awalnya Shota sedikit ragu untuk menjawab bertanyaan “Yes or No” yang dilontarkan oleh Airi, dia menduga-duga darimana Airi tahu tentang itu? Padahal seingatnya, Meguro baru bercerita pada member Snow Man saja.

“Ya... Aku tahu. Meme yang memberi tahu anggota Snow Man sendiri. Ada apa?” Shota balas bertanya. Airi mengangguk-angguk. “Kau tahu darimana?” tambah Shota.

“Ah, itu, Tsuki yang memberitahuku tadi siang. Dia tahu dari Koji saat minum-minum waktu itu. Yang kau menjemputku di bar.” Kata Airi. Shota terkekeh begitu Airi menyebut kejadian itu. “Yang kau panggil aku dengan “Chota”?” Airi mendelik, mengundang kekehan Shota berubah menjadi tawa geli.

“Diam, Watanabe.” Gerutu Airi. “Ayeaye, ma’am.” Katanya.

Shota membantu Airi mengeluarkan belanjaannya. Mereka mengobrol dengan Shota yang lebih banyak bersuara dan Airi yang masih tenggelam dalam pikirannya. Shota mengatakan bahwa hari itu tumben Airi banyak belanja untuk Mocca dan juga membeli cemilan khas 117. Shota akhirnya memberi ruang untuk Airi puas melamunkan perkara kehamilan Haruna. Sekarang pasti pikiran perempuan itu sedang berkecamuk meski bukan dia yang hamil.

Shota menghampiri Mocca dan mengajaknya bermain sejenak, tidak lupa Shota menyalakan televisi agar suasana rumah itu tidak terlalu sepi untuk mereka.

“Meguro sudah mengabarkan ini pada Julie?” tanya Airi. Shota yang sedang bermain dengan Mocca terdiam. Lelaki itu menoleh sambil menggendong Mocca di pelukannya. Shota mengedikkan bahunya. “Aku tidak tahu, tapi sepertinya sudah karena tadi aku melihat dia datang bersama Iwamoto.”

“Lalu bagaimana keputusannya?” tanya Airi dengan cemas. Shota terdiam sejenak, dia menurunkan Mocca di atas meja di depan Airi dan duduk di kursi yang ada di depan perempuan itu. “Meguro belum memberikan kabar terbaru lagi soal itu. Aku yakin mereka pasti memikirkan yang terbaik untuk mereka berdua.”

Airi berdecih. “Aku tidak bisa yakin dengan pikiran terbaik ala Johnnys setelah apa yang terjadi.” Gumam Airi dengan tatapan tajam pada satu titik di meja itu. Shota tidak heran kalau kekasihnya jadi skeptis tentang Johnnys, agensi yang menaunginya sekarang, mengingat nama Johnnys sekarang juga sedang tidak bagus-bagus sekali dengan banyaknya rumor miring tentang eternal producer mereka. Belum lagi perlakuan mantan manajer Shota pada perempuan itu saat media mengetahui berita kencan mereka.

“Bisa saja Johnnys malah menyuruh Haruna-chan untuk melakukan sesuatu pada bayinya. Mereka tidak akan peduli dengannya. Yang mereka pedulikan hanyalah citra ‘produk’ dan manajemen artis mereka sendiri. Padahal artis yang mereka anggap ‘produk’ itu juga manusia.” Gerutu Airi panjang lebar. Shota hanya menatap kekasihnya dengan tatapan menenangkan.

Airi ikut terdiam setelah mengoceh panjang lebar tadi. Dia mengerjap, menyadari bahwa tindakannya barusan menjelek-jelekkan nama agensi yang sudah membesarkan nama kekasihnya juga. Airi menghela napas dan mendengkus. “Maaf aku jadi bicara yang tidak-tidak.” Katanya.

Shota menggeleng. Dia menarik tangan Airi yang saling bertumpu di atas meja. Digenggamnya erat tangan tersebut. Dia tersenyum kearah sang kesayangan. “Shirokawa dan Meme akan baik-baik saja. Banyak yang sayang pada mereka.” Kata Shota. Dibanding dia harus mengiyakan ucapan Airi yang dia rasa juga benar itu, Shota lebih memilih untuk menenangkannya. Dia tidak mau menjadi gas menggebu-gebu untuk memanaskan kompor yang sedang menyala.

Airi mengerjap. Dia mengangguk pelan. “Aku hanya cemas padanya. Haruna-chan seperti sangat fragile dan aku takut sesuatu yang buruk padanya karena ulah Meguro yang melakukan seks tanpa pengaman.” Airi menggertakan giginya. Shota langsung menenangkannya. “Ssshh, belum tentu juga ini salah mereka. Kalau takdir Tuhan bagaimana? Bagaimana kalau ini rencana Tuhan untuk menyatukan mereka?” ujar Shota.

Airi menatap Shota dengan tatapan tidak percaya. “Rencana macam apa itu? Apakah hubungan mereka berdua harus selalu diuji seperti itu?” Shota mengedikkan bahunya. “Aku bukan Tuhan. Jadi, aku tidak tahu.” Katanya.

Airi berdecak. Dia hendak menarik tangannya dari Shota namun lelaki itu langsung mengeratkan genggamannya. “Aku disini bukan sebagai pendukung agensiku atau kau, Airi. Aku tidak mau kita sama-sama mengjudge hasil yang belum kita ketahui pasti.” Airi sempat menatap Shota curiga. Tidak biasanya Shota bicara sebagus ini.

“Kau sedang kerasukan apa?” cibir Airi meskipun begitu wajahnya meranum merah. Shota tertawa dan menggeleng. Dia berdiri dan menghampiri Airi tanpa melepaskan genggaman tangannya, lelaki itu berdiri di samping Airi yang sekarang sudah duduk menyamping. Shota menarik tubuh Airi untuk didekapnya. Airi refleks melingkarkan tangannya dipinggang Shota.

“Mari berdoa saja semoga mereka baik-baik dan semuanya berjalan lancar,” bisik Shota. Airi mengangguk pelan. Shota mengusap kepala Airi.

“Kau tidak akan menghamiliku kan?” tanya Airi tiba-tiba. “Tentu saja tidak! Kau sendiri tahu aku jago tembak luar!” ujar Shota. Airi mencubit pinggang Shota gemas, mengundang tawa sang lelaki. “Aku tidak akan menghamilimu tanpa consent kita berdua.” Lanjut Shota.

Airi melonggarkan sedikit pelukannya dan mendongak menatap Shota. Mereka bertatapan sejenak dalam posisi seperti itu. “Aku akan menunggumu sampai kau siap untuk menikah denganku.” Kata Shota. Airi terdiam. Dia kembali menunduk dan memeluk Shota. Keduanya menikmati kehangatan satu sama lain dengan Mocca yang memperhatikan dengan matanya yang pupilnya membulat.

ShoppiAiri, H.C, Typo.


Shota benar-benar menjauhi Airi sesuai permintaannya. Tidak ada lagi kotak susu yang terselip di loker sepatu Airi. Tidak ada lagi Shota yang datang dengan makanan kesukaan Airi dengan wajahnya yang penuh senyuman. Shota juga terlihat tidak menyapa Airi seperti biasanya, mereka hanya berpandangan sebentar sebelum salah satu diantara mereka langsung memutus kontak.

Koji sebenarnya jadi menanyakan apakah hanya segini saja usaha Shota mendekati Airi yang sedingin itu? Padahal waktu itu, Shota dengan semangat dan penuh kepercayaan diri bilang akan mendekati Airi dan membuatnya jatuh cinta. Tapi, sekarang yang dilihatnya adalah Shota dan Airi hanya mengobrol seperlunya sesuai kebutuhan sekolah. Di luar itu tidak ada.

Airi juga bisa-bisanya mengabaikan perasaannya yang sudah berubah pada Shota menjadi rasa yang sama yang Shota rasakan pada perempuan itu. Perempuan itu menghampiri Tsuki dan Koji di tempat mereka bertiga biasa berkumpul dengan wajah penuh air mata dan langsung memeluk Tsuki dan menangis. Terus menggumamkan bahwa langkahnya kali ini benar, kan? Apa yang dia katakan pada Shota tidak menyakitinya, kan?

Koji yang mendengarnya sekilas agak kesal. Kau pikir saja sendiri. Begitu rasanya Koji ingin mengutarakan kekesalannya. Sebagai lelaki, dia mengerti perasaan Shota. Tentu saja. Shota dan dirinya satu jenis kelamin.

Sudah memasuki musim panas. Seragam mereka juga sudah berganti hanya kemeja tipis lengan pendek dengan rok ataupun celana bagi anak lelaki. Musim panas tahun ini mereka hanya masuk satu bulan sebelum menyambut liburan.

Shota melewati sebuah papan informasi yang memuat tentang festival sekolah yang diadakan sampai malam hari dan ada pertunjukkan kembang api sebagai penutup, melihat susunan acaranya sepertinya menyenangkan. Koji yang baru kembali bersama Shota dan Fukka dari kantin menyikut lelaki itu. “Kau tidak mencoba mengajaknya hadir bersama?” tanya Koji.

“Mengajak siapa?” tanya Shota balik. Koji dan Fukka melirik satu sama lain sebelum merotasi bola mata mereka. “Tentu saja Minamoto. Satu kelas juga tahu kalau kau menyukainya.” Kata Koji.

Shota terkekeh. Dia tersenyum tipis dan mengangguk. “Mungkin akan kupikirkan. Acaranya juga masih dua minggu lagi.” kata Shota. “Cepat-cepat ya ajak dia. Nanti keduluan yang lain.” Ucap Fukka.

“Siapa lagi memang yang mau mengajak Airi? Palingan kalau aku tidak mengajak, dia akan pergi bersama Koji dan Matsumoto seperti biasa.” Kata Shota. Koji dan Fukka menyipitkan kedua matanya dan tersenyum lebar.

“Lihatlah siapa disini yang masih mengingat rutinitas perempuan kesayangannya.” Goda Koji. Wajah Shota memerah. Dia berdecak, mengajak keduanya untuk kembali ke kelas.


“Airi.”

Sosok perempuan bermarga Minamoto itu tersentak kala dia mendengar namanya dipanggil oleh suara milik Watanabe Shota. Keduanya seperti diserang deja vu saat Shota menahan Airi sepulang sekolah. Waktu itu. Saat dimana Airi memintanya untuk menjauhinya. Airi tersenyum kearah Shota.

“Ya?”

Shota sudah lama tidak mendengar suara Airi dari dekat seperti ini. Dia jadi merindukan masa-masa pendekatannya dengan Airi. “Seminggu lagi ada acara Festival sekolah, mau datang bersamaku tidak?” ajak Shota. Airi mengerjap. Dia sempat melirik kearah Tsuki dan Koji yang seakan-akan tidak memperhatikan mereka.

Airi menyipitkan mata kearah kedua sahabatnya ini dan beralih kembali pada Shota. “Hitung-hitung sebagai ajakan kencan. Sekali saja.”kata Shota lagi. Dia terlihat seperti mengemis waktu dan momen pada Airi. Shota meringis.

Airi menatap sejenak lelaki di depannya dan dia menganggukan kepala. “Boleh,” jawab Airi. Shota yang kali ini mengerjap. Tidak menyangka akan mendapat jawaban yang positif dari Airi. “tapi, kita datangnya pakai seragam lengkap ya.” lanjutnya, mengundang kerutan di kening Shota. Tidak hanya Shota tapi juga Koji dan Tsuki.

“Heh, orang mah pakenya yukata sama hakama, kok, kau ini minta pakai seragam lengkap sih?” Tsuki langsung mengintrupsi pembicaraan keduanya membuat Shota dan Airi tersentak kaget.

Koji berdecak. Dia menarik Tsuki untuk menjauh. “Kau ini, mengganggu mereka saja!” omel Koji. Tsuki mendelik. “Kedua orang ini minimal harus diarahkan outfitnya! Yang benar saja mereka memakai seragam lengkap di musim panas!” Suara Koji dan Tsuki yang berdebat perlahan menjauh seiring dengan Koji yang pamit menarik Tsuki keluar dari kelas mereka.

“Kenapa harus seragam?” tanya Shota. Airi tersenyum tipis. “Kau akan tahu nanti.” Kata Airi kemudian melambaikan tangan dan pamit dari hadapan Shota, meninggalkan Shota dalam kebingungannya tapi juga rasa bahagia karena Airi menerima ajakannya.


Tsuki memandangi penampilan Airi di hari festival saat itu. Matanya menelisik, menyusuri dari atas sampai bawah dengan tatapan malas. Sementara, Airi juga sama dengan Tsuki, dia menginpeksi penampilan Tsuki hari itu.

Airi mengenakan seragam lengkap dan rapih dengan rambutnya yang dikuncir setengah sementara Tsuki dengan rambut bondolnya mengenakan kaos putih lengan pendek dengan mengenakan baju kodok yang celananya sepanjang lutut. Diantara mereka bertiga Cuma Koji yang mengenakan baju khas festival musim panas.

“Kau ini mau kencan apa menghadiri kelulusan?” Tsuki mencibir. “Kau juga mau kencan atau main dengan abang kau?” balas Airi. “Kalian aneh.” Koji menimpali.

Jelas ucapan Koji barusan menuai tatapan tajam dari kedua perempuan yang merupakan sahabatnya ini. Airi menghembuskan napasnya. Dia duduk di anak tangga dimana Tsuki dan Koji menunggunya tadi. Sebuah anak tangga darurat yang jarang dilewati oleh pengunjung festival musim panas sekolah mereka.

Biasanya jalur itu hanya digunakan oleh panitia yang bolak-balik agar memudahkan mobilitas mereka mempersiapkan festival tapi entah bagaimana Tsuki memutuskan untuk menunggu disana tahun ini. Sepertinya perempuan itu ingin leluasa menguji kesabaran Koji dan Airi disini.

Pintu darurat terbuka dan muncul sosok lelaki yang mereka kenal sebagai mantan ketua OSIS sekolah mereka, Abe Ryohei dengan yukata musim panasnya. Sangat kontras dengan Tsuki yang pakaiannya hari itu seperti ingin nongkrong di kafe.

“Maaf menunggu lama,” ucap Ryohei. Lelaki itu tersenyum kearah Tsuki yang bersandar di dinding gedung. Untuk beberapa saat perempuan itu bersitatap dengan Ryohei. “hai, Tsuki.” Sapanya. Perempuan bermarga Matsumoto itu berdecak. “Siapa yang mengizinkanmu memanggilku begitu?” Cibirnya.

“Aku sendiri. Aku suka memanggilmu dengan nama itu.” kata Ryohei. Wajah Tsuki sedikit memanas. Sementara Koji dan Airi yang memperhatikan sedari tadi hanya tersenyum sambil sebelah tangan mereka mengabadikan Tsuki dan Ryohei yang sedang bersitatap itu. Tak lama, suara ponsel Airi yang berdering kencang memecah keheningan diantara mereka berempat. Rupanya misscall dari Shota. Airi tidak sadar Shota sudah mengiriminya empat pesan via LINE, menanyakan dimana lokasi Airi sekarang. Perempuan itu langsung beranjak dari duduknya dengan terburu-buru.

“Ah, baiklah. Aku tinggal kalian disini karena teman kencanku sudah datang,” kata Airi. Airi menunjuk kearah Koji sebelum menghilang dari balik pintu darurat itu. “Kutunggu foto-foto kalian, ya, Tsuki dan Abe-chan!” Tsuki sudah hendak mengejar Airi dan memberinya pelajaran saat tangan Ryohei menggandengnya.

“Kita juga sebaiknya pergi.” ajak Ryohei. Tsuki berdecak pelan. Keduanya ikut keluar dari tangga darurat itu meninggalkan Koji yang menghela napas dengan pasrah.

“Aku akan main tangkap ikan saja lah.” Gerutunya.


Airi dengan terburu-buru menuruni tangga gedung sekolahnya. Matanya sudah menangkap sosok Shota yang sedang duduk di pinggir ujung tangga gedung sekolah mereka dengan seragam lengkap sama dengannya diantara keramaian di halaman sekolah itu. Banyak tenda-tenda makanan dan juga mini games yang sudah disiapkan oleh murid-murid SMA mereka hari itu.

“Shota!” Airi memanggil nama lelaki bernama lengkap Watanabe Shota itu masih dengan menuruni tangga dengan cepat. Rambut panjangnya itu bergoyang dan tertiup angin yang berhembus pelan seiring dengan langkahnya yang semakin cepat mendekati Shota. Lelaki itu jelas terkejut dengan suara Airi yang memanggil nama kecilnya.

Airi sampai di hadapan Shota dan tersenyum lebar. Sebuah senyuman yang jarang Shota lihat semenjak dia mengenal dan jatuh cinta pada Airi. Senyuman lebar yang ditunjukkan untuknya.

“Maaf, sudah menunggu lama ya?” tanya Airi dengan napas sedikit terengah. Shota menatap sejenak perempuan bermarga Minamoto itu dan memejamkan matanya. Airi mengerjap bingung namun dia membalas pelukan Shota. “Aku kira kau tidak jadi datang.” Bisik Shota. Airi tertawa pelan mendengarnya.

Dia menepuk-nepuk punggung Shota untuk melepaskannya. Dia mendongak untuk bisa melihat Shota dari dekat. Jemari lentiknya menyingkirkan sedikit poni yang menutupi kening Shota dan tersenyum. “Kau sudah mengajakku dan aku mengiyakannya, mana mungkin aku tidak datang.” Katanya.

Shota membalas senyuman Airi dan dia mengangguk. Airi menyelipkan sebuah korsase bunga sakura di saku jas seragam yang dikenakan Shota, mengundang tatapan bingung dari sang lelaki. Airi tersenyum, dia tahu Shota penasaran dengan apa maksudnya meletakan benda itu di saku jasnya.

“Tema kencan kita kali ini kelulusan di musim panas!” ujar Airi seraya mengangkat kedua tangannya ke udara dengan semangat. Sesuatu yang pertama kali Shota lihat.


Airi dan Shota benar-benar menikmati waktu mereka. Shota membelikan Airi manisan apel sementara Airi membelikannya takoyaki yang ujung-ujungnya mereka santap bersama. Tidak hanya membeli kudapan khas festival musim panas, Airi dan Shota juga mencoba permainan kecil di acara itu. Waktu-waktu yang mereka lalui dihiasi oleh tawa dan candaan. Sesuatu yang benar-benar baru keduanya rasakan. Rasa tenang dan juga menyenangkan.

Hari semakin tua. Langit perlahan-lahan berubah menjadi lebih gelap setelah Airi dan Shota menyadari senja sudah menyapa. Sepanjang mereka menikmati waktu bersama, Airi mengarahkan lensa kamera ponselnya pada Shota dan sesekali memotretnya tanpa seizin lelaki itu. Shota juga beberapa kali protes pada Airi karena pasti wajahnya sangat jelek saat Airi memencet tombol shutter. Tapi, Airi hanya mengelak dan mengatakan dengan enteng bahwa Shota tampan.

Tentu saja itu mengundang keheningan diantara mereka berdua. Tapi, Shota segera memecahkannya dengan mengajak Airi menonton pertunjukkan hingga malam hari menjelang. Pertunjukkan selesai dan sepertinya akan dilanjut dengan api unggun besar yang pemantiknya akan dilemparkan dari atas atap gedung sekolah mereka.

Airi mengenal salah satu pelempar dengan bow itu adalah adik kelasnya. Tadinya Airi ditawarkan untuk melemparkan api itu tapi dia menolak karena sudah ada janji lain dan itu membuka kesempatan untuk adik-adik kelasnya untuk menunjukkan kebolehannya.

“Padahal kalau kau yang melemparnya aku juga tidak keberatan. Aku malah akan dengan senang hati melihatmu tanpa bosan.” Ucap Shota. Airi menyikutnya dan tertawa. “Aku tidak mau dilihati Shota terus.” Balas Airi.

Shota menahan senyum lebarnya. “Kau malu ya?” Airi berdecak. “Sudah. Itu tonton saja sekarang!” Ujar Airi dan menyikut Shota lagi untuk fokus pada pertunjukkan selanjutnya. Dia bertemu pandang dengan Tsuki dan Ryohei di seberang sana. Airi tersenyum tipis kearah sahabatnya yang menatapnya dengan tatapan tajam. Mulut perempuan itu seperti mengeja sesuatu yang dengan mudah dibaca oleh Airi. “Kau berhutang padaku, bitch!”

Airi tertawa dan mengangguk. “Ada apa?” tanya Shota. Airi menoleh dan menggeleng. Bow yang dipasangi sumbu yang berapi itu berhasil dilemparkan dan membakar api unggun di tengah tanah kosong halaman sekolah mereka itu dan musik terdengar. Beberapa penampil mengajak pengunjung untuk menarik bersama mengelilingi api unggun.

Shota adalah salah satu yang ditarik, karena Shota sedari tadi menggenggam tangan Airi mau tak mau jadi Airi ikut terseret dan mereka mulai menarik mengelilingi api unggung. Menepuk kedua tangan mereka dan ikut berseru bersama para penari sesungguhnya. Airi dan Shota menari berpasangan, mereka bergantian menggandeng siku satu sama lain dan melompat sambil bergoyang mengikuti kerumunan. Tawa Airi yang lepas sampai di telinga Shota, menimbulkan sensasi menggelitik yang hangat dan membuat jantung Shota berdetak cepat.

Karena sudah merasa cukup, Shota menarik Airi keluar dari kerumunan penari dan mereka langsungg didekati salah satu panitia disana dan diberikan sebuah kertas beserta pensil dan gantungan botol berukuran sedang. “Terima kasih sudah mau diajak menari bersama yaa, kak!” katanya.

Airi dan Shota merunduk sebagai balasan mereka. Sepertinya ini souvenir untuk mereka. Airi dan Shota mengantongi souvenir itu di dalam saku jas mereka. “Hei, Shota,” panggil Airi. “ayo ikut aku.” Airi menarik tangan Shota untuk mengikuti langkahnya.

Shota kembali dibuat bingung dengan tingkah Airi. Perempuan itu tidak biasanya menggenggam tangannya seerat ini. Mereka masuk ke dalam gedung sekolah dan berpapasan dengan beberapa teman mereka maupun panitia yang mengenal mereka. Shota langsung menahan Airi kala Airi hendak naik ke lantai teratas gedung sekolah mereka itu. “Kau tidak boleh kesana, Ai.” Katanya.

Airi menoleh dan menepuk tangan Shota, dia berbisik. “Tenang, Shota. Aku sudah minta izin, berkat orang dalam.” Mendengar itu, akhirnya Shota tidak menolak lagi dan mereka masuk ke kawasan atap sekolah yang sudah dihias begitu indah dengan beberapa ornamen khas musim panas. Mereka juga menemukan spot dimana anggota panahan tadi melemparkan bow api mereka ke api unggun di bawah tadi.

Genggaman tangan Airi pada tangan Shota terlepas. Perempuan itu melepas jasnya. “Ternyata ide yang buruk yah mengenakan seragam lengkap saat musim panas.” Ucapnya pada Shota. Mereka duduk di salah satu bangku panjang yang ada disana. Shota ikut melepas jasnya. Beruntungnya kemeja putih yang mereka kenakan tidak terlalu basah oleh keringat mereka terutama di bagian punggung jadi Airi tidak perlu risau Shota melihat dalamannya karena tidak akan tembus.

Mereka duduk-duduk sejenak disana, menikmati semilir angin malam musim panas. Sementara Shota memandangi perempuan yang disukainya ini sepuas mungkin. Kapan lagi dia bisa memandangi Airi sedekat ini. Pemikiran seperti itu mendorongnya untuk mengecup pipi Airi dengan cepat. Airi jelas terkejut dan dia sedikit menjauhkan diri dari Shota, menatapnya dengan kedua mata yang membulat. Shota juga sama terkejutnya dengan Airi. “Ma-Maaf, aku-aku tidak sengaja!” serunya panik.

Airi mengerjap. Dia menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku hanya kaget saja.” Lirihnya. Airi sedikit menggigit bibir dalamnya, sedikit meragu. Shota menunduk sedikit, merutuki dirinya yang bisa-bisanya kehilangan kontrol meski itu hanya ciuman di pipi. Namun, hal yang terjadi selanjutnya juga tidak bisa dia prediksi. Airi balas mencium pipi Shota, mengundang keterkejutan lelaki bermarga Watanabe itu.

“Sekarang kita impas.” Kata Airi dengan senyuman di wajahnya. Shota terdiam sejenak dan dia tertawa. “Astaga, Airi.” Gerutunya pelan dengan seulas senyum.

“Ah, bagaimana kalau kita menulis sesuatu di kertas tadi dan masukkan ke dalam botol tadi lalu saling menukarnya?” ajak Shota. Airi mengangguk dengan antusias. Dia mengambil kertas, alat tulis serta gantungan botol berukuran sedang yang dia selipkan di kantung jasnya.

Mereka saling memunggungi satu sama lain dan menulis pesan dan memasukkannya pada botol yang merupakan gantungan itu. “Kau sudah selesai?” tanya Airi. “Sebentar lagi.” kata Shota.

“Sudah!” seru Shota dan mereka saling berhadapan secara bersamaan. Airi menyerahkan miliknya pada Shota begitu pula sebaliknya. Awalnya Shota ingin membuka botol tersebut tapi Airi menahannya. “Bukanya saat kelulusan saja.” Katanya. Shota awalnya bingung tapi dia mengiyakan saja. Mereka menyimpan gantungan botol itu pada saku jas masing-masing.

“Oh iya, kenapa kau memintaku untuk mengenakan seragam lengkap hari ini?” tanya Shota. Airi melirik Shota sebentar dan tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, sih, sebenarnya. Aku hanya ingin berbeda dari orang lain.” Katanya. Tentu saja Airi berbohong. Bukan itu alasan sebenarnya.

Shota mengangguk-angguk paham. Lelaki itu duduk bersandar bersama Airi menatap langit malam berbintang hari itu. Kemudian, entah dari mana, ada angin yang begitu besar berhembus kearah mereka membuat Shota dan Airi sama-sama memalingkan wajah. Wajah keduanya berhadapan dengan mata yang terpejam. Airi membuka matanya lebih dulu dan terdiam mendapati wajah Shota berjarak begitu dekat dengannya. Perempuan itu menelusuri garis wajah Shota sebelum akhirnya menerbitkan sebuah senyum lagi. Giliran Shota yang membuka matanya dan dia terkejut mendapati wajahnya yang berjarak dengan sangat dekat dengan Airi.

Mereka bersitatap cukup lama hingga terdengar suara meledaknya kembang api dan cahaya terang yang memenuhi langit hari itu. Kali ini Shota dengan sadar semakin mempersempit jarak mereka, hidung keduanya bersinggungan. Di tengah meledak-ledaknya kembang api itu, Airi berbisik. “Arigatou, Shota.”

Shota dan Airi berbagi ciuman pertama mereka di malam festival sekolah musim panas hari itu.


ShoppiAiri, Typo


Sepertinya Airi mulai terbiasa dengan keberadaan Shota di dekatnya. Dia tidak lagi menggerutu kala Shota selalu membelikannya minuman perisa lemon kesukaannya. Sesekali bahkan lelaki itu membawakannya kotak bekal berisi lemon roll cheese cake yang katanya dia beli tidak sadar begitu melewati toko bakery di dekat rumahnya.

“Sepertinya karena aku terlalu memikirkanmu.” Ucap Shota saat itu disertai senyuman yang membuat matanya tinggal segaris. Seraya mengunyah roll cake itu, Airi hanya memandangi Shota sejenak dengan wajah memanas. Jantungnya bahkan berdetak begitu kencang. Sementara itu, di belakang Shota dan Airi yang sedang makan siang bersama itu, terlihat Koji dan Tsuki yang memperhatikan keduanya dengan tatapan menilisik.

“Sepertinya Airi mulai menyukai Shoppi.” Ucap Koji. Tsuki mengangguk-angguk dengan mata yang masih berfokus pada kedua sosok yang duduk berhadapan itu. Airi sesekali tersenyum dengan tipis. Tsuki ikut mengulas senyumnya. Sedikit bersyukur bahwa Airi setidaknya baik-baik saja.


Airi benar-benar melihat sosok masa kecilnya hanya bisa duduk dengan boneka jerapah di tangannya, kepala yang berdarah dan bajunya yang dipenuhi noda darah juga tatapan kosong kearah sebuah mobil yang terbalik itu.

Sosok masa kecilnya itu berhasil merangkak keluar dari jendela mobil itu yang pecah sementara kedua orang tuanya yang duduk di bangku depan nampak tak sadarkan diri dengan posisi mobil yang terbalik. Kecelakaan tunggal itu benar-benar merebut masa-masa emasnya sebagai seorang anak kecil. Airi kecil berusaha bangkit saat melihat ibunya tersadar sejenak dan melihat kearah putri semata wayangnya itu. Senyuman serta tatapan sayu itu masih begitu Airi kecil ingat meski Airi masih berusia lima tahun.

Airi kecil menyadari ada yang salah dengan pergelangan kakinya. Ya. sepertinya kakinya cidera. Tapi, dia berusaha merangkak mendekati sang ibu sementara sang ayah masih tidak sadarkan diri.

“Airi, pergi. Menjauh dari sini.” Ucap ibunya lirih yang membuat langkah Airi kecil yang terseok terhenti. Tepat begitu sang ibu berucap seperti itu, tubuh Airi terlempar sedikit akibat ledakan dari mobil yang sempat dia naiki bersama kedua orang tuanya.

“Airi! Bangun!” Airi sontak membuka mata begitu dia merasakan seseorang berteriak kencang padanya. Kedua matanya menangkap dengan samar bayangan sosok Tama yang menatapnya cemas. Tama membantu Airi merubah posisinya menjadi duduk dan mengusapkan sebuah handuk dingin di kening dan sekitar lehernya.

“Kak? Kenapa?” tanya Airi bingung. Rasanya dia Cuma mimpi buruk. Tama menatap sejenak adik sepupu yang sudah dia anggap sebagai adik kandungnya ini. Sudah tiga belas tahun tinggal bersamanya. Tama dan Airi pun hanya terpaut dua tahun.

“Kamu demam, Ai.” Kata Tama. Lelaki itu meraih sebuah fever patch yang tergeletak di meja belajar Airi dan menempelkannya pada perempuan itu. Sementara Airi hanya terdiam seperti tidak punya energi untuk membalas ucapan kakaknya.

“Mimpi itu lagi?” tanya Tama yang disahut dengan anggukan pelan dari Airi. “Coba saja hari itu aku tidak mengajak Ayah dan Ibu ke taman bermain.” Lirih Airi. Tidak menyadari bahwa dia sudah meneteskan air matanya dan tatapan kosongnya kembali.

Tama tidak tahan melihat ‘adik’nya kembali depresi seperti ini. Tama memberikan sebuah botol kapsul pada Airi. Perempuan itu menatap sinis pada botol itu sejenak. “Aku bosan minum ini terus.” Katanya. Tama mengangguk dengan bibir yang dia gigit untuk menahan emosi sedihnya. “Dokter bilang Cuma saat kamu merasa tidak baik-baik saja,” kata Tama. “dan sekarang kamu sedang tidak baik-baik saja, Airi.” Katanya.

Dengan rasa terpaksa, Airi meminum obat itu lagi. Sudah sebulan dia harus meminum obat itu tiap hari agar perasaannya lebih tenang dan tidak terlalu mudah panik. Tama merangkul Airi dan mengusap-usap pundak sang adik. “Kau menyukai Watanabe-kun?”

Airi mengernyit. Dia menjauhkan diri sedikit dari Tama dan menatapnya dengan alis yang berkerut. “Tidak.” Katanya setelah hening cukup lama. Tama terkekeh. “Kau tidak pandai berbohong, Ai. Wajahmu memerah.” Katanya.

“Ini karena aku demam.” Katanya berkilah. Tama menggeleng dengan senyum yang dia tahan. “Kalau memang suka tidak apa-apa, Ai. Aku dan mama gak pernah ngelarang Airi buat jalin hubungan sama orang lain.” Kata Tama. Airi cukup terdiam dan dia menggeleng.

“Tidak mau,” katanya yang mengundang kerutan di dahi Tama. “aku tidak mau membuat orang itu tidak aman dengan berada di sampingku.” Kata Airi. Tama mengembungkan pipinya sejenak. Dia mencoba mengarahkan Airi untuk menghadap kearahnya. Lelaki itu menangkup kedua wajah Airi dan menelusuri garis wajah sang adik sepupunya.

“Aku dan Mama sudah tiga belas tahun hidup bersamamu dan kami baik-baik saja, Ai.” Ucap Tama. Airi merasakan perasaannya menghangat. Dia meraih tangan Tama yang masih menangkup sebelah wajahnya dan menggenggamnya.

“Untuk sekarang. Tapi, bagaimana kalau di masa depan nanti? Bisa saja aku ternyata magnet pembawa si—“ Tama langsung membungkam mulut Airi dan mendesis kesal. Dia benar-benar tidak suka kala Airi harus membawa-bawa kata seperti itu. Tidak seharusnya perempuan bermarga Minamoto itu mencap dirinya sebagai ‘pembawa sial’ atau ‘bom waktu kehidupan’. Airi sering sekali berkata seperti itu di depan Tama ataupun mamanya alias tantenya Airi.

“Kami senang mempunyaimu sebagai keluarga kami, Ai. Tidak ada yang namanya pembawa sial atau bom waktu kehidupan. Kamu manusia dan kami menyayangimu.” Tegas Tama. Dia memang harus cukup sabar menghadapi Airi yang mulai masuk masa-masa seperti ini. Ungkapan Tama itu berhasil membuat Airi diserang rasa bersalah karena meragukan dirinya sendiri maupun kasih sayang yang dia dapat dari tante dan juga kakak sepupunya. Airi berhambur ke pelukan Tama dan menangis pelan di pelukan sang kakak.

Tantenya yang merupakan ibu dari Tama ini, sedari tadi memperhatikan dari balik pintu kamar, bersandar padanya dan menatap langit-langit rumahnya. “Kalian tidak seharusnya pergi saat usianya masih sekecil itu, Rena, Kaito.”

Tapi, takdir sekecil apapun siapa yang bisa mengatur selain Tuhan?


Airi membuka loker sepatunya dan lagi-lagi menemukan susu yang kali ini rasa stoberi terselip disana. Untuk sesaat dia menatap kotak susu itu, ditariknya napasnya sejenak sebelum akhirnya dia mengabaikan eksistensi benda itu dan segera mengganti sepatu sekolahnya dengan uwabaki yang sudah disediakan sekolah itu.

Menaiki tangga menuju kelasnya, Airi dikejutkan oleh Koji yang melompat dan merangkulnya dari belakang. “Sudah mendingan?” tanya Koji tanpa berbasa-basi. Awalnya Airi terkejut dan sempat jantungnya berdetak kencang, mengira bahwa orang yang merangkulnya adalah Shota.

Airi tersenyum tipis. “Ya. Aku sudah sehat.” Jawabnya. Koji mengangguk dengan senyuman khas di wajahnya. Mereka berjalan bersama menuju kelas dan tanpa diduga Shota sudah ada di kelas lebih dulu bersama dengan Fukka—Fukazawa Tatsuya sedang mengobrol bersama. Shota terlihat tersenyum lebar kearahnya. Airi bertatapan sejenak sebelum akhirnya membuang pandangan kearah lain dan segera duduk di kursinya.

Senyuman di wajah Shota memudar. Lelaki bermarga Watanabe itu langsung menghampiri Airi dan duduk di kursi yang masih kosong di depan perempuan itu, sementara Koji yang duduk di belakang Airi hanya memperhatikan keduanya. Perlu diingat, barisan tempat duduk Airi dekat dengan jendela kelas. Shota langsung bertopang dagu menatap Airi yang masih sibuk dengan kegiatannya sendiri, tidak memperdulikan Shota meskipun lelaki itu sudah menyapanya dengan seceria mungkin.

“Susu yang kuselipkan di loker gimana? Kau menyukainya?” Shota berpikir bahwa Airi sudah menghabiskan susu itu dalam perjalanan dari pintu masuk ke kelas tadi. Tapi, Airi hanya meliriknya sebentar dan tidak menjawab pertanyaan Shota.

Airi semakin enggan menatap kearah Shota dan memalingkan wajah kearah luar jendela. Shota sempat bertatapan sejenak dengan Koji yang sedari tadi hanya memperhatikan. Suara bel masuk berbunyi dan Shota mau tak mau kembali ke kursinya sendiri yang berada di barisan dekat pintu kelas tersebut. Sepanjang pelajaran, Shota selalu memperhatikan Airi yang berbeda hari ini, apalagi sejak tiga hari Airi absen karena sakit.

Apakah Airi tidak suka susu stoberi? Shota jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, atau mungkin Airi sedang memasuki bulan merahnya. Seingatnya, perempuan kalau sedang masuk bulan merah pasti mengeluarkan aura tidak ingin diganggu.

Entahlah.


Ternyata tidak hari itu juga. Shota kali ini yakin bahwa Airi menjauhinya, perempuan itu selalu menghindarinya. Karton susu yang biasa dia selipkan di loker sepatu Airi jadi menumpuk, begitu sudah mengganggu mobilitas keluar masuk sepatu dan uwabakinya, Airi memberikan empat kotak susu itu ke salah satu siswa kelas dua yang lewat. Shota melihatnya setidaknya dia bersyukur karena Airi tidak membuang begitu saja susu itu.

Shota masih berusaha mendekati Airi dan seperti biasa memberikannya makanan atau minuman kesukaan Airi. Airi sangat suka lemon. Tapi, perempuan itu hanya menatapnya sejenak sebelum akhirnya memberikannya pada Koji dan Airi pergi dari hadapannya. Perempuan itu juga terlihat muak dengannya. Jujur saja itu membuat Shota sedih melihatnya. Rasanya dia kemarin sudah berhasil menarik hati Airi.

Sementara di lain sisi, Airi dan Tsuki yang sedang duduk menikmati makan siang mereka di taman belakang sekolah di bawah pohon sakura. Tsuki menyadari ada yang aneh pada perempuan ini. apalagi tingkah awalnya begitu Shota menggebu-gebu mendekatinya dengan sekarang jauh berbeda. Tsuki tahu, Airi sudah menyukai Shota namun perempuan itu enggan jujur.

“Jadi, ada apa?” tanya Tsuki. Airi yang sedang menyuap tamagoyakinya menaikkan sebelah alisnya. “Apa?” “Kenapa kau terkesan menjauhi Watanabe?” “Aku tidak menjauhinya. Dari dulu aku memang tidak suka padanya.” Tsuki berdecak dan merotasi bola matanya. “Padahal kau sudah jatuh cinta padanya begitu masih saja mengelak.”

Airi terdiam. Dia menarik napas dan menghembuskannya. “Kenapa dia bisa suka padaku?” Tsuki mengedikkan bahunya. “Kau tanya padanya, jangan padaku, bodoh.” Airi tertawa.


Shota ikutan muak. Dia tidak bisa diabaikan terus menerus oleh Airi seperti ini, apalagi setelah kemajuan yang pernah dia lihat pada hubungannya dengan Airi. Kenapa pula harus mundur seperti ini? Shota harus menanyakannya langsung pada Airi.

Tepat sebelum Airi pulang bersama Tsuki dan Koji, Shota langsung menahan tangan Airi. Jujur, Airi terkejut merasakan kehangatan yang sama yang pernah dia rasakan saat itu. Jantungnya berdetak cepat lagi. Sial.

“Airi, aku perlu bicara denganmu.” Kata Shota dengan wajah penuh keseriusan. Itu pertama kalinya setelah sekian lama Shota bisa bersitatap dengan Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu menoleh kearah Tsuki dan Koji yang menunggu sebentar tadi. “Kalian pulang duluan saja. Aku tidak akan lama.” Katanya.

Koji dan Tsuki mengangguk. “Langsung ke tempat biasa saja ya.” kata Koji sebelum menarik Tsuki yang sudah menyipitkan mata kearah Shota, seakan-akan berkata, ‘awas saja kau apa-apakan sahabatku’.

Ruang kelas itu perlahan-lahan menjadi sepi dan menyisakan mereka berdua saja. Airi duduk kembali di kursinya sementara Shota duduk di kursi di depan meja Airi. Keduanya duduk menyamping, menghadap kearah jendela kelas yang tirainya belum ditutup itu. ada keheningan lama di antara keduanya.

“Kau menghindariku.” Kata Shota membuka percakapan diantara keduanya. Airi terkekeh. “Wajar aku menghindarimu karena aku tidak suka padamu, Watanabe.” Balas Airi. Shota berdecih. Dia menoleh kearah Airi sementara Airi masih enggan untuk melihat kearah lelaki bermarga Watanabe itu.

“Kau tidak pandai berbohong, Airi. Jelas-jelas kau sudah jatuh cinta juga padaku.” Ucapan itu mengundang tawa kencang dari Airi. Perempuan itu akhirnya menatap balik kearah Shota dan menatapnya dingin. “Kau terlalu percaya diri, Watanabe.” Kata Airi.

“Aku tidak hanya percaya diri, tapi aku yakin seratus persen bahwa setidaknya kau sudah menyukaiku lewat semua kesan positif setiap aku berada di dekatmu.” Kata Shota. Airi menggeleng dengan senyuman mengejek di wajahnya.

“Kau terlalu naif,” kata Airi. “itu hanya formalitas karena kita teman sekelas. Tidak lebih.” Tukasnya kemudian beranjak tapi Shota mengejar dan menahannya lagi.

Airi langsung menepis tangan Shota dengan kasar dan menatapnya dengan kedua mata yang sekarang berkaca-kaca sementara tangannya sedikit gemetar. “Kenapa kau menyukaiku?! Kenapa harus aku?!” seru Airi di tengah suasana kelas yang sudah sepi itu. Hembusan angin masuk ke dalam membelai tubuh keduanya yang masih dibalut seragam sekolah.

Sejenak ditatapnya Airi, sementara sang perempuan sudah memalingkan wajah kearah lain. “Mengapa kau memilihku sebagai orang yang kau sayangi?” bisiknya.

“Aku menyukaimu bukan karena keharusan, Ai,” Airi sedikit tersentak kala Shota memanggilnya dengan nama kecil yang sering digunakan oleh Tama maupun kedua orang tuanya. “kalau orang bilang, cinta tidak bisa memilih kemana dia berlabuh, aku akan mengatakan sebaliknya.”

“Aku memilih untuk menyukaimu karena kau kuat, setiap aku melihat senyumanmu aku menjadi hangat. Keberadaanmu saja sudah cukup membuatku merasa hidup.” Jawab Shota. Airi meliriknya mencari kebohongan yang bisa saja dia temukan disana tapi Shota seperti yakin dengan apa yang dikatakannya.

“Aku tidak sekuat itu... Please don’t love me, Watanabe.” lirihnya. Airi mengepalkan tangannya. Dia menatap Shota sekali lagi dan tersenyum masam. “Mulai sekarang, tolong jangan dekati aku lagi. Kumohon, demi kebaikanmu juga.” Katanya sebelum berjalan dengan cepat meninggalkan Shota yang terdiam.

Lelaki itu merasakan dadanya sesak dan air matanya siap keluar kapanpun dia berkedip, berharap dengan berkedip itu Airi masih ada di hadapannya namun yang dia dapatkan adalah air mata yang jatuh setetes demi setetes.