soymilkao29

ShoppiAiri, Angst


Shota, i really hate you.

Shota yang semulanya sedang merebahkan diri di atas sofa ruang istirahat setelah stageplay Dream Boys langsung merubah posisinya menjadi duduk. Pesan mengejutkan dari Airi barusan berhasil membuatnya membuka mata lebar-lebar. Shintaro yang baru membawakan makan malam hari itu mengerutkan kening melihat wajah Shota yang terkejut.

Lelaki itu segera menelpon sang kekasih. Dering terakhir sebelum dijawab oleh mesin menampilkan suara kekasihnya yang begitu lembut. “Apa maksud pesanmu barusan? Kau bercanda kan?” Shota memberi isyarat Shintaro untuk diam sejenak sementara dia berbolak-balik layaknya mesin pelurus pakaian.

“Tidak.” Airi Minamoto membalas lamat-lamat. “Aku membencimu, Shota.” Lanjutnya. Shota jelas tertawa mendengar suara Airi barusan. “Kau bercanda. Pasti Truth or Dare nya Koji dan Tsuki, iya, 'kan?”

“Aku tidak sedang bersama Koji & Tsuki.” Kata Airi. Suaranya kali ini terdengar begitu datar. Shota mulai merasakan keseriusan Airi hanya dengan lewat telepon itu.

Hening sejenak. “Kamu mau kemana, Ai? Tunggu aku, ya, aku pulang sekarang.” Tanya Shota dengan suara yang berusaha dia stabilkan. Rasa cemas tiba-tiba menyelusup di hatinya. Dia segera kembali dan mengambil jaketnya.

“Aku gak mau ketemu kamu, Shota.” Kata Airi. Shota mengernyit. “Kamu kenapa? Ada apa?” Tanya Shota lembut sambil dia mencoba mencari taksi yang lewat di sekitar Enbujo.

“Please make it easy for me...” Suara Airi yang tadinya datar sekarang berubah parau. “Apa? Apa yang—?” Sambungan telepon terputus sebelum Shota bisa mendengar suara Airi lagi.

Tidak. Dia tidak bisa tinggal diam disini. Tidak menemukan taksi yang membawanya ke Airi, Shota akan pilih lari ke stasiun terdekat dan naik kereta.

Sambil terus mencoba menelpon Airi, Shota memasuki stasiun di dekat sana, mencari peron menuju destinasinya. Masih sambil mencoba menghubungi Airi, kereta milik Shota datang, lelaki itu langsung masuk tanpa berpikir panjang. Otaknya benar-benar dipenuhi oleh Airi saat ini. Ada apa pada perempuan itu? Apa yang terjadi padanya?

Shota keluar dari kereta saat benda itu sampai di tujuannya. Masih mencoba menelpon Airi, Shota terdiam di tengah keramaian stasiun. Suara mesin penjawab telepon menyapa indera pendengarannya. Di tengah keramaian itu, suara-suara orang yang berlalu lalang seperti senyap oleh sebuah kalimat, “Nomor yang ada tuju tidak terdaftar. Silahkan periksa kembali.”

Shota mengerjap. Dia menatap ponselnya bingung sementara tangannya mulai gemetar dan dadanya sesak.

“Loh...? Kenapa aku disini?”

Di tengah keramaian itu, Shota meremas ponsel dan juga dadanya. Suara isakan terdengar samar di tengah keramaian itu sementara jemarinya tanpa dia sadari menghapus seluruh kontak bernama Airi.

“Sedang apa aku disini...?”


ShoppiAiri, Typo


Shota menarik tangan Airi yang sedang sibuk mengancingkan blousenya. Sementara sebelah tangan Shota menyelusup dibalik blouse itu dan merangkul pinggang sang kekasih.

“Ai, mau cium...” bisik Shota, menempelkan ujung hidung mereka. Airi mengerjap. Tangan Shota yang lain menyingkirkan sedikit helaian rambut Airi yang menjuntai membingkai wajahnya.

“Cium saja. Kenapa izin lagi?” Balas Airi bingung. Tanpa berpikir dua kali, Shota mencium Airi. Dia mengecup berulang kali bibir atas Airi sementara Airi meremas pundak Shota, menahan desahan tipis yang tertahan di bibirnya yang sedang 'dilahap' oleh sang kekasih.

Kaki belakang Airi menyentuh pinggir tempat tidur. Perempuan itu membuka matanya, melihat wajah Shota yang begitu dekat dengannya sementara bibir Shota masih menciumi miliknya.

“Shota...” panggil Airi pelan saat Shota melepaskan bibirnya dan sekarang sedang menciumi lehernya. Kancing blouse Airi yang tadinya sudah terkancing dengan benar kembali terbuka akibat tangan nakal Shota, menurunkan blouse hitam putih milik Airi itu hingga pundak kanan sang kekasih terekspos.

“Hmm?”

“Manajer mungkin sudah menunggu ...” kata Airi.

Shota mengangkat wajahnya dari pangkal leher Airi dan menatap sang kesayangan dengan tatapan lembut sembari mengusap pipinya dengan punggung tangannya. “Tidak bisa menunggu sepuluh menit lagi? Aku masih ingin menciumi canduku...” kata Shota.

Airi tersenyum tipis, menahan salah tingkahnya meski pipinya sekarang mungkin sudah memerah tipis.

“Bisa dilanjutkan nanti malam.” Kata Airi. Shota menggeleng. “Tidak mau. Kamu suka tiba-tiba mengabari tidak bisa pulang. Aku tidak mau solo karir.” Gerutu Shota.

Airi terkekeh. “Tidak usah solo karir. Shota bisa menelponku dan kita bisa duet bersama lewat telepon.” Ujar Airi tanpa dia sadari.

Shota menyeringai. “Nakal sekali perempuanku ini. Belajar dirty talk dari siapa, hm?” Shota kembali menciumi leher Airi.

Airi mengerjap. Dia baru menyadari ucapan 'kotor' nya barusan. Wajahnya semakin memanas saat ini. “Darimu.” Tukasnya.

“Sudah ya, aku terlambat.” Airi mendorong Shota menjauh dan mengambil jaket beserta topinya, tidak lupa tas selempangnya. Kalau tidak dihentikan, mereka akan meneruskan kegiatan mereka jadi bercinta, sayangnya Airi harus menolaknya karena dia sedang ada jadwal yang tidak bisa ditinggal.

Shota menghela napas, menjatuhkan dirinya di atas ranjang mereka sembari menatap pintu kamar yang tertutup itu.

“Ahh~ aku akan merindukannya~” guman Shota, menarik napas dalam-dalam, memeluk bantal yang biasa Airi gunakan untuk tidur. Semoga saja perempuan itu benar-benar pulang.


ShoppiAiri, Typo, Cringe


Seharian itu Shota memperhatikan Airi yang sibuk rebahan di atas kasur, atau sofa apartemen mereka. Terkadang pula ditemani oleh Mocca yang tidur di sebelahnya.

Hari yang begitu santai untuk perempuan itu. Sebab konser turnya sudah selesai, baru saja kemarin. Shota yang baru hari itu dapat libur sehari, bingung mengapa Airi sangat santai hari ini. Biasanya mau habis tur lokal ataupun dunia, perempuan itu selalu menyibukkan diri melakukan apa saja di hari pertama liburnya.

Seperti membawa Mocca ke petshop, mengajaknya jalan-jalan atau main bersama Koji.

“Gak ada agenda ketemu Koji dan Matsumoto?” Tanya Shota. Airi tidak melirik kearah Shota saat dia menjawab pertanyaan sang lelaki. “Nope. Aku mau goleran saja di rumah. Capek.” Shota mengangguk, kali ini dia memperhatikan wajah Airi. Terlihat beberapa guratan lelah di wajah kekasihnya itu.

Shota yang tadinya duduk di sebelah Airi yang sedang duduk di atas sofa itu, beranjak dan menarik tangan Airi untuk ikut dengannya.

“Loh mau kemana?” Tanya Airi bingung. Mereka masuk ke dalam kamar. “Shota, kita baru aja main ya tadi malam.” Gerutu Airi.

Shota terkekeh. Dia mendudukan Airi di atas kasur mereka. “Kalau itu bisa dilakukan lagi habis ini. Sekarang kamu diam dan berikan ponselmu.” Wajah Airi meranum. Dia memberikan ponselnya pada Shota. Lelaki itu beranjak dari hadapannya dan meletakan ponselnya di meja sebelah ranjang mereka.

Airi memperhatikan Shota yang sedang sibuk di depan meja skincarenya. Seulas senyum tipis terbentuk di wajahnya, kalau diperhatikan dari belakang seperti ini, rasanya Airi ingin memeluk punggung itu. Pasti hangat.

Begitu Airi terbangun dari lamunan, Shota sudah berdiri di depannya, wajah Airi memanas saat dia berhadapan dengan perut Shota, sementara lelaki itu merapikan rambut Airi dan menyatukannya dalam satu ikatan agar surai-surai hitam dengan highlight ungu terang itu tidak menggangu aktivitas Shota pada perempuan itu.

“Mau ngapain!?” Airi sedikit panik setelah Shota mengikat rambutnya dan lelaki itu memegang bagian atas celananya. Shota mengerjap. “Mau benerin celanaku bentar, melorot.” Katanya dengan polos.

“Oh....” wajah Airi semakin memerah. Dia berdecak dan mengutuk dirinya sendiri. Shota terkekeh. Dia mengetuk-ngetuk kening Airi. “Kau berpikir aku mau minta blowjob ya? Itu nanti malam saja.”

Airi mendelik dan dia memukul perut Shota. Lelaki itu tertawa keras dengan begitu geli. “Aku mau skincare-in Airi.” Kata Shota.

Lelaki itu menarik kursi di dekat sana dan duduk di hadapan Airi, sekarang pandangan keduanya sejajar. Airi langsung dihadapkan oleh sepasang manik yang selama ini membuatnya jatuh cinta.

Setelahnya Airi membiarkan Shota untuk memberikan perawatan pada wajahnya sesekali menanyakan tentang apa saja yang sudah dilalui oleh Airi. Apalagi selama tiga bulan ini mereka benar-benar sibuk. Sebenarnya Airi yang sibuk tur konser.

“Sudah lama sekali kita tidak skincare date ya.” Ucap Shota setelah dia melepaskan sheet mask dari wajah Airi. Perempuan bermarga Minamoto itu mengangguk. Seulas senyum manis diterima Shota membuat lelaki itu menangkup wajah Airi dan menciumi wajah perempuan itu.

Dia mencium beberapa kali bibir Airi hingga Airi kehabisan napas. Setelahnya Shota memeluk Airi, memeluknya erat dengan gemas hingga keduanya jatuh ke atas kasur.

Baik Airi maupun Shota saling berpandangan. Shota memandangi wajah Airi, jemarinya menyusuri garis wajah kekasihnya. “Shota,” Airi tiba-tiba memanggilnya. Shota menggumam sebagai balasan. “Aku capek...” kata Airi. Ucapan tersebut jelas menjadi alarm untuk lelaki bermarga Watanabe itu. Sebelum dia bertanya ada apa, Airi sudah mengecup bibirnya.

“Aku capek jatuh cinta terus padamu, Shota.” Lanjut Airi. Bohong kalau Shota bilang dia tidak salah tingkah, apalagi wajahnya memanas sekarang.

“Astaga, Airi. Kau membuat jantungku nyaris berhenti.” Gerutu Shota. Lelaki itu mencubit pelan pipi kekasihnya, mengundang tawa dari sang kekasih.

“Loh, aku benar, dong. Aku capek dibuat jatuh cinta terus olehmu.”

“Habisnya aku gak mau kamu jatuh cinta sama orang lain, Ai. Biarin kamu capek.”

“Teganya Shota~” Airi merajuk. “Aku tega supaya membuatmu tetap disampingku.” Balas Shota

Airi tersenyum. Dia gantian menelusuri garis wajah Shota. “Aku gak kemana-mana.” Katanya.

“Benar ya? Jangan kemana-mana loh...” Shota menarik Airi ke dalam pelukannya. Keduanya menikmati kehangatan satu sama lain.

“Iya, Shota sayang.”


image

ShoppiAiri, Typo, Cringe


“Ah, anda datang lagi.” Seorang petugas di meseum sejarah Jepang itu datang menyapanya. Sepertinya petugas itu sedang berkeliling. Watanabe Shota yang hari itu tidak mengenakan topi khasnya tersenyum dengan santai. Matanya masih sibuk memandangi sebuah masterpiece—menurutnya, yang ada di meseum itu.

“Anda selalu saja memandangi patung ini. Tidak tertarik berkeliling?” Tanya sang petugas. Shota menggeleng. “Aku sudah tahu semua isi meseum ini dan mereka membuatku bosan, kecuali yang satu ini.” Jawab Shota.

Sang petugas mengangguk sambil tersenyum. Kedua tangannya terlipat di depan. “Saya bisa tahu dari seberapa seringnya anda kesini hanya untuk memandanginya.” Katanya.

Shota terkekeh. “Baiklah. Saya akan kembali berkeliling. Nikmati waktu anda, Watanabe-san.” Ucap sang petugas sambil berlalu membawa senternya.

Sementara itu, Shota melanjutkan kegiatannya di tengah meseum yang sepi itu. Berdiri di depan sebuah patung yang memiliki keterangan, “The Last Waterbender in Japan”

Sosok patung perempuan dengan fitur wajah yang sangat familiar untuknya. Patung itu mengenakan sebuah veil transparan berbahan kain tule putih sementara tubuhnya dibalut oleh mini dress berwarna hitam.

Airi memandangi Shota dengan tatapan penuh luka dibalik matanya yang berkaca-kaca. Dia bersimpuh di depan dewa Ameterasu dengan disaksikan oleh beberapa orang penting yang menjaga wilayah kramat di Jepang itu.

Shota yang berdiri tidak jauh dari sana hanya bisa mengepalkan tangan dan memejamkan mata kala sang dewa melayangkan pedangnya untuk menebas Airi. Dia tidak bisa melihat Airi dieksekusi di depan matanya, sudah cukup dewa menghukumnya dengan mengeksekusi kekasihnya, karena sudah membunuh makhluk tidak bersalah.

Begitu dia membuka mata Airi sudah tidak ada disana. Hanya sebuah butiran-butiran berwarna kuning keemasan yang menguap ke langit.

Sejak saat itu Shota tidak pernah lagi melihat Airi. Perempuan yang dia sayangi itu benar benar menghilang dari kehidupannya sampai saat ini.

Shota menghela napas. Dia mengeluarkan kedua tangannya yang tersembunyi di balik saku mantel hitam panjangnya. Di balik bias cahaya yang menyorot kearah patung tersebut, wajah Shota yang memandang sendu sang patung.

Kaki kakinya melangkah, sedikit mendekat kearah patung perempuan tersebut. Di dekat sana ada sebuah papan bertuliskan “Jangan sentuh”.

Shota tersenyum. Dia mendongak, menatap sosok patung yang berdiri di hadapannya ini. Lelaki itu memejamkan matanya. Dalam sesaat tubuhnya sudah melayang. Sosok bernama lengkap Watanabe Shota itu naik keatas pijakan patung tersebut. Sekarang dia benar-benar berhadapan dengan sosok patung perempuan itu. Sosok yang fitur wajahnya sangat mirip dengan Airi. Sungguhan Airi mungkin kalau Shota ingin berpikiran gila.

Dia menyentuh pipi patung tersebut, mengucapkan sebuah maaf dan mengecup pipi patung itu. Meski tulisan di samping patung tersebut sudah jelas tertulis “Jangan sentuh”

Memang peraturan ada untuk dilanggar demi menambah adrenalin.


Shota duduk di atas kursi bis yang membawanya kembali ke rumahnya. Bis itu tidak terlalu ramai tapi juga tidak sepi. Lelaki dengan topi fedora di pangkuannya itu baru saja selesai menjemput nyawa orang-orang yang mengalami kecelakaan beruntun di tol.

Harusnya atasan memberinya kendaraan pribadi tidak, sih? Jujur saja, Shota malas bolak balik dengan kendaraan umum. Memakan waktu meski dia bisa melakukan teleportasi. Hanya saja dia tidak bisa seenaknya melakukan teleportasi seperti dulu.

Perjalanan menuju halte dimana Shota turun nanti memakan waktu lima belas menit. Lelaki itu bersiap untuk turun setelah menekan tombol di dekat kursinya. Dia beranjak. Bis tersebut berhenti di depan sebuah halte.

Shota melangkah turun, bersamaan dengan langkah kaki beralaskan heels hitam yang hendak masuk. Shota meliriknya. Sosok perempuan bergaun cocktail kuning keemasan itu masuk ke dalam bis yang dinaiki Shota. Shota sempat terkesima melihatnya. Seperti ada sesuatu yang melekat pada perempuan itu, yang membuatnya begitu tertarik.

Rambut cokelat kehitamannya yang bergelombang bergoyang pelan saat dia berjalan melewati Shota dan duduk di kursi yang sebelumnya di duduki oleh lelaki itu. Yang membuatnya semakin terkejut adalah perempuan itu seperti Airi. Bahkan Shota berpikir dia adalah reinkarnasi Airi.

Apakah dia Airi?

“Anda mau turun atau tidak?” Suara supir bis mengintrupsi lamunannya. “Ah... Maaf.” Shota segera turun dan bis itu kembali melaju meninggalkan Shota.

Lelaki itu memandangi bis yang perlahan menjauh itu. Dia membulatkan matanya kala menyadari butiran-butiran debu berwarna kuning keemasan yang berterbangan tipis melewatinya.

Shota semakin yakin bahwa perempuan tadi adalah Airi. Reinkarnasi dari kekasihnya.


Beberapa petugas meseum sekaligus supervisor tempat tersebut berdiri dengan wajah penuh kebingungan. Mereka menatap cukup lama patung yang bertuliskan The Last Waterbender itu. Patung yang sebelumnya memiliki guratan wajah seperti manusia itu sekarang berubah menjadi guratan khas sebuah patung pahatan.

“Bagaimana...?”

“Apakah ada yang sempat menyentuhnya?”

“Saya rasa tidak...”


image

Do not Touch!

ShoppiAiri, Typo, Cringe


“Ah, anda datang lagi.” Seorang petugas di meseum sejarah Jepang itu datang menyapanya. Sepertinya petugas itu sedang berkeliling. Watanabe Shota yang hari itu tidak mengenakan topi khasnya tersenyum dengan santai. Matanya masih sibuk memandangi sebuah masterpiece—menurutnya, yang ada di meseum itu.

“Anda selalu saja memandangi patung ini. Tidak tertarik berkeliling?” Tanya sang petugas. Shota menggeleng. “Aku sudah tahu semua isi meseum ini dan mereka membuatku bosan, kecuali yang satu ini.” Jawab Shota.

Sang petugas mengangguk sambil tersenyum. Kedua tangannya terlipat di depan. “Saya bisa tahu dari seberapa seringnya anda kesini hanya untuk memandanginya.” Katanya.

Shota terkekeh. “Baiklah. Saya akan kembali berkeliling. Nikmati waktu anda, Watanabe-san.” Ucap sang petugas sambil berlalu membawa senternya.

Sementara itu, Shota melanjutkan kegiatannya di tengah meseum yang sepi itu. Berdiri di depan sebuah patung yang memiliki keterangan, “The Last Waterbender in Japan”

Sosok patung perempuan dengan fitur wajah yang sangat familiar untuknya. Patung itu mengenakan sebuah veil transparan berbahan kain tule putih sementara tubuhnya dibalut oleh mini dress berwarna hitam.

Airi memandangi Shota dengan tatapan penuh luka dibalik matanya yang berkaca-kaca. Dia bersimpuh di depan dewa Ameterasu dengan disaksikan oleh beberapa orang penting yang menjaga wilayah kramat di Jepang itu.

Shota yang berdiri tidak jauh dari sana hanya bisa mengepalkan tangan dan memejamkan mata kala sang dewa melayangkan pedangnya untuk menebas Airi. Dia tidak bisa melihat Airi dieksekusi di depan matanya, sudah cukup dewa menghukumnya dengan mengeksekusi kekasihnya, karena sudah membunuh makhluk tidak bersalah.

Begitu dia membuka mata Airi sudah tidak ada disana. Hanya sebuah butiran-butiran berwarna kuning keemasan yang menguap ke langit.

Sejak saat itu Shota tidak pernah lagi melihat Airi. Perempuan yang dia sayangi itu benar benar menghilang dari kehidupannya sampai saat ini.

Shota menghela napas. Dia mengeluarkan kedua tangannya yang tersembunyi di balik saku mantel hitam panjangnya. Di balik bias cahaya yang menyorot kearah patung tersebut, wajah Shota yang memandang sendu sang patung.

Kaki kakinya melangkah, sedikit mendekat kearah patung perempuan tersebut. Di dekat sana ada sebuah papan bertuliskan “Jangan sentuh”.

Shota tersenyum. Dia mendongak, menatap sosok patung yang berdiri di hadapannya ini. Lelaki itu memejamkan matanya. Dalam sesaat tubuhnya sudah melayang. Sosok bernama lengkap Watanabe Shota itu naik keatas pijakan patung tersebut. Sekarang dia benar-benar berhadapan dengan sosok patung perempuan itu. Sosok yang fitur wajahnya sangat mirip dengan Airi. Sungguhan Airi mungkin kalau Shota ingin berpikiran gila.

Dia menyentuh pipi patung tersebut, mengucapkan sebuah maaf dan mengecup pipi patung itu. Meski tulisan di samping patung tersebut sudah jelas tertulis “Jangan sentuh”

Memang peraturan ada untuk dilanggar demi menambah adrenalin.


Shota duduk di atas kursi bis yang membawanya kembali ke rumahnya. Bis itu tidak terlalu ramai tapi juga tidak sepi. Lelaki dengan topi fedora di pangkuannya itu baru saja selesai menjemput nyawa orang-orang yang mengalami kecelakaan beruntun di tol.

Harusnya atasan memberinya kendaraan pribadi tidak, sih? Jujur saja, Shota malas bolak balik dengan kendaraan umum. Memakan waktu meski dia bisa melakukan teleportasi. Hanya saja dia tidak bisa seenaknya melakukan teleportasi seperti dulu.

Perjalanan menuju halte dimana Shota turun nanti memakan waktu lima belas menit. Lelaki itu bersiap untuk turun setelah menekan tombol di dekat kursinya. Dia beranjak. Bis tersebut berhenti di depan sebuah halte.

Shota melangkah turun, bersamaan dengan langkah kaki beralaskan heels hitam yang hendak masuk. Shota meliriknya. Sosok perempuan bergaun cocktail kuning keemasan itu masuk ke dalam bis yang dinaiki Shota. Shota sempat terkesima melihatnya. Seperti ada sesuatu yang melekat pada perempuan itu, yang membuatnya begitu tertarik.

Rambut cokelat kehitamannya yang bergelombang bergoyang pelan saat dia berjalan melewati Shota dan duduk di kursi yang sebelumnya di duduki oleh lelaki itu. Yang membuatnya semakin terkejut adalah perempuan itu seperti Airi. Bahkan Shota berpikir dia adalah reinkarnasi Airi.

Apakah dia Airi?

“Anda mau turun atau tidak?” Suara supir bis mengintrupsi lamunannya. “Ah... Maaf.” Shota segera turun dan bis itu kembali melaju meninggalkan Shota.

Lelaki itu memandangi bis yang perlahan menjauh itu. Dia membulatkan matanya kala menyadari butiran-butiran debu berwarna kuning keemasan yang berterbangan tipis melewatinya.

Shota semakin yakin bahwa perempuan tadi adalah Airi. Reinkarnasi dari kekasihnya.


Beberapa petugas meseum sekaligus supervisor tempat tersebut berdiri dengan wajah penuh kebingungan. Mereka menatap cukup lama patung yang bertuliskan The Last Waterbender itu. Patung yang sebelumnya memiliki guratan wajah seperti manusia itu sekarang berubah menjadi guratan khas sebuah patung pahatan.

“Bagaimana...?”

“Apakah ada yang sempat menyentuhnya?”

“Saya rasa tidak...”


image

Do not Touch!

ShoppiAiri, Typo, Cringe


“Ah, anda datang lagi.” Seorang petugas di meseum sejarah Jepang itu datang menyapanya. Sepertinya petugas itu sedang berkeliling. Watanabe Shota yang hari itu tidak mengenakan topi khasnya tersenyum dengan santai. Matanya masih sibuk memandangi sebuah masterpiece—menurutnya, yang ada di meseum itu.

“Anda selalu saja memandangi patung ini. Tidak tertarik berkeliling?” Tanya sang petugas. Shota menggeleng. “Aku sudah tahu semua isi meseum ini dan mereka membuatku bosan, kecuali yang satu ini.” Jawab Shota.

Sang petugas mengangguk sambil tersenyum. Kedua tangannya terlipat di depan. “Saya bisa tahu dari seberapa seringnya anda kesini hanya untuk memandanginya.” Katanya.

Shota terkekeh. “Baiklah. Saya akan kembali berkeliling. Nikmati waktu anda, Watanabe-san.” Ucap sang petugas sambil berlalu membawa senternya.

Sementara itu, Shota melanjutkan kegiatannya di tengah meseum yang sepi itu. Berdiri di depan sebuah patung yang memiliki keterangan, “The Last Waterbender in Japan”

Sosok patung perempuan dengan fitur wajah yang sangat familiar untuknya. Patung itu mengenakan sebuah veil transparan berbahan kain tule putih sementara tubuhnya dibalut oleh mini dress berwarna hitam.

Airi memandangi Shota dengan tatapan penuh luka dibalik matanya yang berkaca-kaca. Dia bersimpuh di depan dewa Ameterasu dengan disaksikan oleh beberapa orang penting yang menjaga wilayah kramat di Jepang itu.

Shota yang berdiri tidak jauh dari sana hanya bisa mengepalkan tangan dan memejamkan mata kala sang dewa melayangkan pedangnya untuk menebas Airi. Dia tidak bisa melihat Airi dieksekusi di depan matanya, sudah cukup dewa menghukumnya dengan mengeksekusi kekasihnya, karena sudah membunuh makhluk tidak bersalah.

Begitu dia membuka mata Airi sudah tidak ada disana. Hanya sebuah butiran-butiran berwarna kuning keemasan yang menguap ke langit.

Sejak saat itu Shota tidak pernah lagi melihat Airi. Perempuan yang dia sayangi itu benar benar menghilang dari kehidupannya sampai saat ini.

Shota menghela napas. Dia mengeluarkan kedua tangannya yang tersembunyi di balik saku mantel hitam panjangnya. Di balik bias cahaya yang menyorot kearah patung tersebut, wajah Shota yang memandang sendu sang patung.

Kaki kakinya melangkah, sedikit mendekat kearah patung perempuan tersebut. Di dekat sana ada sebuah papan bertuliskan “Jangan sentuh”.

Shota tersenyum. Dia mendongak, menatap sosok patung yang berdiri di hadapannya ini. Lelaki itu memejamkan matanya. Dalam sesaat tubuhnya sudah melayang. Sosok bernama lengkap Watanabe Shota itu naik keatas pijakan patung tersebut. Sekarang dia benar-benar berhadapan dengan sosok patung perempuan itu. Sosok yang fitur wajahnya sangat mirip dengan Airi. Sungguhan Airi mungkin kalau Shota ingin berpikiran gila.

Dia menyentuh pipi patung tersebut, mengucapkan sebuah maaf dan mengecup pipi patung itu. Meski tulisan di samping patung tersebut sudah jelas tertulis “Jangan sentuh”

Memang peraturan ada untuk dilanggar demi menambah adrenalin.


Shota duduk di atas kursi bis yang membawanya kembali ke rumahnya. Bis itu tidak terlalu ramai tapi juga tidak sepi. Lelaki dengan topi fedora di pangkuannya itu baru saja selesai menjemput nyawa orang-orang yang mengalami kecelakaan beruntun di tol.

Harusnya atasan memberinya kendaraan pribadi tidak, sih? Jujur saja, Shota malas bolak balik dengan kendaraan umum. Memakan waktu meski dia bisa melakukan teleportasi. Hanya saja dia tidak bisa seenaknya melakukan teleportasi seperti dulu.

Perjalanan menuju halte dimana Shota turun nanti memakan waktu lima belas menit. Lelaki itu bersiap untuk turun setelah menekan tombol di dekat kursinya. Dia beranjak. Bis tersebut berhenti di depan sebuah halte.

Shota melangkah turun, bersamaan dengan langkah kaki beralaskan heels hitam yang hendak masuk. Shota meliriknya. Sosok perempuan bergaun cocktail kuning keemasan itu masuk ke dalam bis yang dinaiki Shota. Shota sempat terkesima melihatnya. Seperti ada sesuatu yang melekat pada perempuan itu, yang membuatnya begitu tertarik.

Rambut cokelat kehitamannya yang bergelombang bergoyang pelan saat dia berjalan melewati Shota dan duduk di kursi yang sebelumnya di duduki oleh lelaki itu. Yang membuatnya semakin terkejut adalah perempuan itu seperti Airi. Bahkan Shota berpikir dia adalah reinkarnasi Airi.

Apakah dia Airi?

“Anda mau turun atau tidak?” Suara supir bis mengintrupsi lamunannya. “Ah... Maaf.” Shota segera turun dan bis itu kembali melaju meninggalkan Shota.

Lelaki itu memandangi bis yang perlahan menjauh itu. Dia membulatkan matanya kala menyadari butiran-butiran debu berwarna kuning keemasan yang berterbangan tipis melewatinya.

Shota semakin yakin bahwa perempuan tadi adalah Airi. Reinkarnasi dari kekasihnya.


Beberapa petugas meseum sekaligus supervisor tempat tersebut berdiri dengan wajah penuh kebingungan. Mereka menatap cukup lama patung yang bertuliskan The Last Waterbender itu. Patung yang sebelumnya memiliki guratan wajah seperti manusia itu sekarang berubah menjadi guratan khas sebuah patung pahatan.

“Bagaimana...?”

“Apakah ada yang sempat menyentuhnya?”

“Saya rasa tidak...”


! image

Do not Touch!

ShoppiAiri, Typo, Cringe


“Ah, anda datang lagi.” Seorang petugas di meseum sejarah Jepang itu datang menyapanya. Sepertinya petugas itu sedang berkeliling. Watanabe Shota yang hari itu tidak mengenakan topi khasnya tersenyum dengan santai. Matanya masih sibuk memandangi sebuah masterpiece—menurutnya, yang ada di meseum itu.

“Anda selalu saja memandangi patung ini. Tidak tertarik berkeliling?” Tanya sang petugas. Shota menggeleng. “Aku sudah tahu semua isi meseum ini dan mereka membuatku bosan, kecuali yang satu ini.” Jawab Shota.

Sang petugas mengangguk sambil tersenyum. Kedua tangannya terlipat di depan. “Saya bisa tahu dari seberapa seringnya anda kesini hanya untuk memandanginya.” Katanya.

Shota terkekeh. “Baiklah. Saya akan kembali berkeliling. Nikmati waktu anda, Watanabe-san.” Ucap sang petugas sambil berlalu membawa senternya.

Sementara itu, Shota melanjutkan kegiatannya di tengah meseum yang sepi itu. Berdiri di depan sebuah patung yang memiliki keterangan, “The Last Waterbender in Japan”

Sosok patung perempuan dengan fitur wajah yang sangat familiar untuknya. Patung itu mengenakan sebuah veil transparan berbahan kain tule putih sementara tubuhnya dibalut oleh mini dress berwarna hitam.

Airi memandangi Shota dengan tatapan penuh luka dibalik matanya yang berkaca-kaca. Dia bersimpuh di depan dewa Ameterasu dengan disaksikan oleh beberapa orang penting yang menjaga wilayah kramat di Jepang itu.

Shota yang berdiri tidak jauh dari sana hanya bisa mengepalkan tangan dan memejamkan mata kala sang dewa melayangkan pedangnya untuk menebas Airi. Dia tidak bisa melihat Airi dieksekusi di depan matanya, sudah cukup dewa menghukumnya dengan mengeksekusi kekasihnya, karena sudah membunuh makhluk tidak bersalah.

Begitu dia membuka mata Airi sudah tidak ada disana. Hanya sebuah butiran-butiran berwarna kuning keemasan yang menguap ke langit.

Sejak saat itu Shota tidak pernah lagi melihat Airi. Perempuan yang dia sayangi itu benar benar menghilang dari kehidupannya sampai saat ini.

Shota menghela napas. Dia mengeluarkan kedua tangannya yang tersembunyi di balik saku mantel hitam panjangnya. Di balik bias cahaya yang menyorot kearah patung tersebut, wajah Shota yang memandang sendu sang patung.

Kaki kakinya melangkah, sedikit mendekat kearah patung perempuan tersebut. Di dekat sana ada sebuah papan bertuliskan “Jangan sentuh”.

Shota tersenyum. Dia mendongak, menatap sosok patung yang berdiri di hadapannya ini. Lelaki itu memejamkan matanya. Dalam sesaat tubuhnya sudah melayang. Sosok bernama lengkap Watanabe Shota itu naik keatas pijakan patung tersebut. Sekarang dia benar-benar berhadapan dengan sosok patung perempuan itu. Sosok yang fitur wajahnya sangat mirip dengan Airi. Sungguhan Airi mungkin kalau Shota ingin berpikiran gila.

Dia menyentuh pipi patung tersebut, mengucapkan sebuah maaf dan mengecup pipi patung itu. Meski tulisan di samping patung tersebut sudah jelas tertulis “Jangan sentuh”

Memang peraturan ada untuk dilanggar demi menambah adrenalin.


Shota duduk di atas kursi bis yang membawanya kembali ke rumahnya. Bis itu tidak terlalu ramai tapi juga tidak sepi. Lelaki dengan topi fedora di pangkuannya itu baru saja selesai menjemput nyawa orang-orang yang mengalami kecelakaan beruntun di tol.

Harusnya atasan memberinya kendaraan pribadi tidak, sih? Jujur saja, Shota malas bolak balik dengan kendaraan umum. Memakan waktu meski dia bisa melakukan teleportasi. Hanya saja dia tidak bisa seenaknya melakukan teleportasi seperti dulu.

Perjalanan menuju halte dimana Shota turun nanti memakan waktu lima belas menit. Lelaki itu bersiap untuk turun setelah menekan tombol di dekat kursinya. Dia beranjak. Bis tersebut berhenti di depan sebuah halte.

Shota melangkah turun, bersamaan dengan langkah kaki beralaskan heels hitam yang hendak masuk. Shota meliriknya. Sosok perempuan bergaun cocktail kuning keemasan itu masuk ke dalam bis yang dinaiki Shota. Shota sempat terkesima melihatnya. Seperti ada sesuatu yang melekat pada perempuan itu, yang membuatnya begitu tertarik.

Rambut cokelat kehitamannya yang bergelombang bergoyang pelan saat dia berjalan melewati Shota dan duduk di kursi yang sebelumnya di duduki oleh lelaki itu. Yang membuatnya semakin terkejut adalah perempuan itu seperti Airi. Bahkan Shota berpikir dia adalah reinkarnasi Airi.

Apakah dia Airi?

“Anda mau turun atau tidak?” Suara supir bis mengintrupsi lamunannya. “Ah... Maaf.” Shota segera turun dan bis itu kembali melaju meninggalkan Shota.

Lelaki itu memandangi bis yang perlahan menjauh itu. Dia membulatkan matanya kala menyadari butiran-butiran debu berwarna kuning keemasan yang berterbangan tipis melewatinya.

Shota semakin yakin bahwa perempuan tadi adalah Airi. Reinkarnasi dari kekasihnya.


Beberapa petugas meseum sekaligus supervisor tempat tersebut berdiri dengan wajah penuh kebingungan. Mereka menatap cukup lama patung yang bertuliskan The Last Waterbender itu. Patung yang sebelumnya memiliki guratan wajah seperti manusia itu sekarang berubah menjadi guratan khas sebuah patung pahatan.

“Bagaimana...?”

“Apakah ada yang sempat menyentuhnya?”

“Saya rasa tidak...”


Mmhr, Typo, Cringe


“Kau diapakan oleh si ikan Maguro itu?!” Matsumoto Tsuki menggeram. Sementara, Airi yang sedang memainkan air dari danau, dengan tangannya itu hanya tersenyum tipis.

“Aku sempat meninggalkan Haruna sendirian. Padahal Meguro sudah memintaku menjaganya karena sedang ada yang mengincar nyawanya.” Ucap Airi. Tsuki berdecak. Dia menggeleng.

“Aku tidak bertanya kenapa kau bisa diapa-apakan Maguro itu...” Kata Tsuki. Airi tersenyum dan menatap kearah sahabatnya yang merupakan Dewi Penunggu Gunung di Jepang itu. Bentakan yang dikeluarkan perempuan itu tadi bahkan membuat seisi hutan sedikit terusik, burung-burung sampai berterbangan karenanya.

Airi terdiam sejenak menyadari ucapan Tsuki. Dia mengerutkan kening dan senyumannya memudar. “Apa maksudmu? Kau tahu kenapa aku diapa-apakan Meguro?”

Tsuki mengerjap sejenak. Dia berdehem dan memalingkan wajahnya. Enggan menatap kearah Airi. “Tsuki, jawab aku.” Hanya Airi yang bisa memerintah sang Dewi untuk meresponnya. Kalau bukan Airi, Tsuki sudah melayangkan pukulan dan tatapan tajamnya.

“Tidak.” Balas Tsuki dengan pelan. Airi semakin menyipitkan matanya. Air di tangan Airi berubah menjadi sekumpulan api yang menyala merah. Tsuki menggigit bibirnya. Dia menoleh perlahan ke Airi dan tersenyum.

“Matsumoto?”

Meguro sedang memandangi dengan bingung Haruna yang sedari tadi bersin saat sedang menggendong kucing peliharaannya. Meski dia seorang siluman angsa, dia termasuk penyuka hewan berbulu tersebut.

Tapi, tidak sekalipun selama Meguro, sang Goblin, melihat Haruna bersin tidak henti saat menggendong kucingnya. Kucing itu bahkan terlihat menatap tajam kearah Haruna, beberapa kali mendesis tajam.

Lelaki itu langsung berlari menghampiri Haruna yang memekik sambil memegangi punggung tangan yang dicakar oleh sang hewan peliharaan. Sementara sang kucing berlari keluar.

“Kau baik-baik saja?” Tanya Meguro cemas. Haruna mendelik pada kucing yang sudah menghilang di balik pintu tersebut. “Dasar kucing sialan...” gerutu Haruna. Semakin membuat Meguro heran dan curiga. Haruna tidak pernah sekalipun mengutuk hewan seperti itu. Ini pertama kalinya Meguro dengar selama dia mengenal gadis itu.

Haruna tersenyum kearahnya. Kepalanya mengangguk. “Aku baik-baik saja.” Balas Haruna. Meguro tersenyum dan mengusap wajah Haruna. Dia menelisik setiap inchi wajah sang kesayangannya.

Sudah seminggu sejak Haruna kembali, selama seminggu itu pula Meguro merasa asing pada sosok Haruna. Tapi, dia berpikir bahwa setiap orang bisa berubah. Termasuk kekasihnya. Tapi mereka berdua bukan manusia.

“Haruna, kita main ke danau hutan, yuk.” Ajak Meguro. Perempuan bermarga Shirokawa itu mengangguk. Dia mengamit tangan Meguro dan menggenggamnya erat.

“KENAPA KAU TIDAK LANGSUNG MEMBERITAHUKU?!” Airi nyaris saja membakar sebuah pohon di dekat Tsuki kalau saja perempuan itu tidak langsung melompat untuk menghindarinya. “Aku juga memikirkan keselamatan Haruna!” Teriak Tsuki. Airi berdecak. Dia mengacak-acak rambutnya. “Sekarang Haruna dimana?” Tanya Airi. Tsuki mendekati sang sahabat dengan perlahan. “Dia—” Tsuki membulatkan matanya. Dia langsung menarik tangan Airi untuk pergi dari sana, namun bersembunyi di dekat sana begitu menyadari ada seseorang yang mendekat kearah danau dimana mereka sedang menikmati waktu bersama itu.

Tsuki dan Airi berjongkok di dekat tumbuhan ilalang. Keduanya memperhatikan dengan seksama sosok yang mendatangi danau di tengah hutan itu selain mereka. Tsuki dan Airi saling bersitatap begitu menyadari bahwa yang datang kesana selain mereka adalah Haruna dan Meguro. Kedua sejoli itu duduk di rerumputan di pinggir danau itu. Keduanya saling menikmati waktu bersama, sementara Meguro memandangi Haruna.

Lelaki itu sedikit mengerutkan kening. “Kau tidak berenang?” tanya Meguro. Setiap dia datang kesana bersama Haruna, pasti perempuan itu akan merubah wujudnya sebagai seekor angsa yang cantik dan begitu putih bersinar. Sedikit membingungkan untuk Meguro melihat kekasihnya tidak melakukan kebiasaannya.

Haruna menggeleng. Dia menarik kedua kakinya kearah dadanya, memeluk lututnya. “Aku sedang tidak mau berenang disana.” Balas Hruna dengan senyuman di wajahnya. Meguro mengangguk. Benar-benar ada yang aneh dari perempuan ini.

Airi dan Tsuki yang memperhatikan lagi-lagi bertukar pandang. Keduanya sedang menahan diri untuk tidak melompat keluar dari persembunyian mereka. Meguro menelisik perempuan bermarga Shirokawa di sebelahnya ini. Kedua matanya sedikit membulat tidak percaya, tangannya terulur untuk menyentuh rambut Haruna yang sedang terurai itu. Haruna memekik kecil begitu Meguro mengambil sesuatu dari rambutnya secara paksa.

Sebuah bulu angsa berwarna hitam. Meguro terlihat shock melihatnya. Mulutnya sedikit terbuka. Sementara Haruna memegangi bagian kepala dimana bulu yang dicabut paksa oleh Meguro. “K-Kau bukan Haruna...” Bisik Meguro. Lelaki itu meremas bulu hitam itu, menghancurkannya berkeping-keping dalam satu genggaman.

Haruna mengerjap, menatap tak percaya pada kekasihnya ini. “Apa maksudmu? Aku Haruna. Shirokawa Haruna yang kau kenal, Ren-kun.” Haruna menyentuh tangan Meguro yang langsung ditepis sang lelaki.

Meguro langsung beranjak. “Tidak,” katanya. “pantas aku merasa ada yang aneh pada kucing peliharaanmu, pada tingkahmu pada mereka. Itu bukanlah Haruna.” Lanjutnya.

Meguro mengeluarkan pedangnya dengan sekali cahaya. Lelaki itu mundur menjauh dari Haruna. Sementara Haruna menatapnya bingung dengan kepala yang miring. “Ren-kun?”

“Jangan panggil namaku, jalang.” Desis Meguro, mengacungkan ujung pedangnya pada Haruna. Airi menahan Tsuki yang tiba-tiba hendak bergerak keluar. “Mau apa kau?” Tanya Airi dengan panik.

“Menghampiri si ikan itu! Bisa-bisanya dia mengacungkan pedangnya pada Haruna!” Seru Tsuki dengan suara tertahan. Airi berdecak. “Ingat, kau bilang sendiri dia bukan Haruna!” kata Airi. Tsuki mendengkus, membenarkan ucapan Airi barusan.

Haruna menghela napas. Perempuan itu terkekeh. Dia menopang kepalanya dengan menyandarkan tangannya pada lututnya, menatap Meguro dengan seringaian dan tatapan mata yang tajam. Sesuatu yang tidak pernah Meguro lihat dari Haruna. Haruna selalu menampilkan tatapan lembut nan hangatnya.

“Ahh~ Tidak seru sekali ketahuan dalam waktu tiga hari.” Suara lembut Haruna berubah menjadi suara seseorang yang begitu Meguro benci. Dia bahkan tidak pernah membayangkan akan bertemu sosok sialan itu lagi.

“Sial, Imada! Kau kemanakan Haruna?!” Meguro semakin berani mengacungkan ujung pedangnya pada sosok sang angsa hitam yang dia panggil Imada itu. Haruna—Imada yang berada di tubuh Haruna—merotasi bola matanya, telunjuknya menyingkirkan ujung pedang Meguro dan dia berdiri.

“Jangan galak seperti itu, Meguro. Kau tidak mau menyakiti tubuh kesayanganmu ini, ‘kan?” cibir Imada dalam tubuh Haruna itu. Sosok yang Meguro kenal sebagai Black Swan bernama Imada Mio itu menyeringai. Meguro berdecak. “KEMANA HARUNA, BAJINGAN?!” Bentakan Meguro barusan membuat hembusan angin kencang menerpa keduanya.

Haruna—alias Imada sampai harus memejamkan matanya karena hembusan angin yang menerbangkan butiran debu beserta daun-daun yang berguguran di sekitar mereka. “Santai, Meguro, kekasihmu tidak kemana-mana,” jawab Imada. Telunjuknya menunjuk kearah dirinya sendiri. “Disini, Haruna sedang tertidur di dalam sini, Meguro.” Ujarnya.

Meguro mengerjap. Dia menatap tidak percaya kearah Imada yang masih betah di tubuh Haruna. Perempuan itu menggaruk belakang kepalanya. “Kenapa kau lakukan itu padanya?” Bisik Meguro dengan tajam.

Imada mengedikkan bahunya. Dia tertawa. “Kau yang paling tahu alasannya, Meguro.” Meguro mengerutkan kening membuat Imada berdecak. “Karena dia berhasil memilikimu, bukan aku. Padahal seharusnya aku. Bukan anak ini.” Imada menunjuk-nunjuk dada bagian atasnya.

Meguro semakin jengah melihat sosok Imada itu menyentuhkan jarinya pada tubuh Haruna. “Menyedihkan sekali.” Cibir Meguro. Imada tersenyum tipis. Dia mengusap pipi bagian dalamnya. “Jika kau tidak bisa jadi milikku, maka tidak ada yang berhak memilikimu.” Haruna mendekat dengan gerakan cepat kearah Meguro, memutar balikkan pedang itu dan menusuk tepat di dada Meguro.

Lelaki itu terkejut, dia terbatuk. Tsuki dan Airi refleks keluar dari persembunyian mereka, keduanya menatap nyalang pada Imada di tubuh Haruna itu. “Aku tidak mau menyakiti Haruna, tapi kuharus lakukan untuk mengeluarkan si jalang ini dari tubuhnya.” Gerutu Tsuki, mengambil aba-aba untuk melakukan serangan namun terhenti dengan tubuh Haruna yang tiba-tiba menerima sebuah serangan berupa anak panah yang dilemparkan padanya.

Di depan mata mereka, sosok Imada Mio terlihat terlempar keluar dari tubuh Haruna, menyisakan Haruna yang seperti terbangun dari tidurnya yang panjang. Meguro yang masih dengan posisi tertusuk pedangnya sendiri, langsung menangkap tubuh Haruna yang limbung. Sementara itu, sosok yang melemparkan anak panah pada Imada, muncul di sebelah Airi.

“Shota?” Airi tidak menyangka bahwa sosok Grim Reaper dengan suara nyaringnya itu muncul dan langsung melemparkan anak panah mematikannya pada Haruna, hanya untuk membunuh Imada yang sekarang sedang sekarat, meringkuk dan meringis kesakitan.

Tsuki mendekat kearah Watanabe dan mendorong tubuh lelaki itu dengan kasar. “Apa yang kau lakukan pada Haruna?!” Geram sang Dewi Penunggu Gunung itu. Watanabe tidak gentar langsung menatap kearah sang perempuan. “Aku menyelamatkannya.” Balasnya tanpa ekspresi.

“Tapi, kau membunuhnya juga!” Teriak Tsuki. Dia sudah siap mengajak Watanabe berkelahi, namun terhenti saat mendengar teriakan frustasi Meguro.

“Haruna, Haruna...” panggil Meguro dengan suara yang gemetar, tangannya menyentuh wajah Haruna. Perempuan itu menggeggam tangan Meguro. Napas sosok White Swan itu mulai terputus-putus.

“Maaf, Ren-kun... Aku membiarkan dia merasukiku...” Meguro menggeleng. Dia menunduk. Menahan tangisan yang bisa saja pecah saat itu juga. Haruna menyentuh pedang yang masih menusuk Meguro. Pedang itu perlahan-lahan menghilang, hanya menyisakan rasa nyeri yang tidak seberapa dibanding patah hati yang dirasakan olehnya saat ini. “Maaf aku melukaimu.” Bisiknya parau.

Meguro menggeleng. “Tidak, Haruna, tidak...” balasnya. Meguro berusaha melepaskan anak panah yang menancap tepat di jantung Haruna. Sosok Imada sudah mulai terbujur kaku, kehilangan nyawanya.

Anak panah yang dilemparkan oleh Watanabe, sang Grim Reaper itu merupakan alat untuknya mengambil nyawa di masa ini. Mau sekuat apapun Meguro melepaskan anak panah ini, hanya sia-sia yang akan dia terima. “Ren-kun, lihat kesini...” panggil Haruna. Meguro tidak mau melihat kearah Haruna, dia takut. Dia takut saat melihat sang kekasih, sosok kesayangannya itu akan menghilang.

“Aku mencintaimu,” bisiknya. “maukah kau menungguku?” lanjutnya. Meguro menggigit bibirnya. Kepalanya menggeleng pelan. Haruna mengusap wajah Meguro. “Hanya sebentar. Aku hanya pergi sebentar, Ren-kun.”

Sebentar yang dimaksud adalah sangat lama. Sangat lama hingga Meguro sepertinya tidak akan sanggup. “Aku tidak mau. Kau tidak boleh meninggalkanku...” ucap Meguro parau. “Tidak boleh, Haruna.” Lelaki itu mengangkat tubuh Haruna untuk mendekat padanya, mendekapnya erat.

“Maaf, Ren-kun...”

Itu adalah kalimat terakhir yang Haruna berikan pada Meguro sebelum akhirnya menghilang dari pelukan Meguro, meninggalkan Meguro yang terisak, menangis tersedu-sedu di tempat dia pertama kali bertemu sang kekasih, sang pujaan hati.

Nishihato, Fluff, Cringe, Typo


Hato menggeliat. Dia mengerjapkan mata begitu merasakan sinar matahari pagi menyinari wajahnya lewat sela-sela tirai kamar unit apartemennya. Hato sempat terdiam selama beberapa saat, menyadari bahwa di kasur yang biasa dia tiduri ini bukan hanya dia disana. Tapi, juga kekasihnya, Nishihata Daigo yang saat ini masih terlelap, sambil memeluk pinggangnya sementara hembusan napasnya yang hangat menyentuh leher Hato yang terekspos.

Keduanya nampaknya sudah berbagi kasur dan kegiatan bersama disana. Hato menyentuh tangan Daigo yang memeluk pinggangnya. Dia tersenyum tipis dan wajahnya sedikit meranum, mengingat bagaimana pertama kalinya mereka melakukan itu. Perlahan-lahan Hato memutar tubuhnya dan menghadap sang kekasih. Dia memandangi wajah tidur Daigo. Beberapa helaian rambut terlihat menutupi keningnya. Perempuan itu menyingkirkan sedikit helaian rambut yang menutupi kening sang kekasih. Dia mendaratkan sebuah kecupan singkat di kening Daigo, mengundang suara pelan dari Daigo. Lelaki bermarga Nishihata itu mengeratkan pelukannya pada Hato sementara Hato menahan napas karena merasakan keintiman di pagi hari yang baru pertama kali mereka rasakan.

“Hato, Ohayou~” Daigo menyapa dengan suara serak dan tatapan mata yang sayu serta senyumannya yang hangat. Hato membalas senyuman Daigo dan mengangguk. “Ohayou, Pata.” Balasnya.

Daigo melepaskan pelukannya pada pinggang Hato dan merenggangkan tubuhnya. Lelaki itu menopang kepalanya dengan tangan kanannya dan menatap Hato yang masih berbaring di sebelahnya, sementara sebelah tangannya yang lain mengusap wajah Hato. “Masih sakit?” tanya Daigo.

Pertanyaan Daigo tersebut tentunya mengundang rona merah muncul di kedua pipi sang perempuan. Hato berdehem pelan. “Sedikit. Sisanya hanya pegal saja.” Balas Hato dengan suara yang kecil, mengundang tawa pelan dari Daigo. “Begitu,” katanya. “mau sarapan apa hari ini? Biar aku saja yang masak.” Lanjut Daigo.

Hato tersenyum. “Apa ya? Yang simpel saja. Pata ada jadwal nanti siang, ‘kan?” ucap Hato. Daigo mengangguk, seketika senyuman di wajahnya menghilang digantikan dengan bibir yang memaju dikit. Dia merajuk. “Ayolah jangan bahas soal jadwal dulu. Aku masih punya banyak waktu untuk kuhabiskan denganmu, Hato~” Gerutu Daigo, memeluk Hato dengan manja.

Perempuan itu tertawa pelan. Dia menepuk-nepuk punggung telanjang Daigo. “Iya, iya. Dasar manja.” Cibir Hato. “Ayo bangun. Katanya kau yang memasak.” Hato melepaskan pelukannya pada sang kesayangan meski dia lebih suka cuddle untuk saat ini. Dia benar-benar merindukan kekasihnya itu. Maklum, mereka hanya bisa bertemu dua bulan sekali. Itu juga hanya semalam, besoknya Daigo sudah harus kembali ke Osaka atau Tokyo. Sementara Hato harus menetap di Okinawa karena pekerjaannya.

Daigo mengerucutkan bibirnya. Sementara Hato bangkit dari tidurnya dan beranjak dengan langkah pelan menuju kamar mandi. Di depan cermin, dia berhenti. Dipandanginya wajahnya. Hato mengulas senyum tipis. Wajahnya kembali memanas saat menemukan tanda merah kebiruan di sekitar leher dan pangkalnya. Hato meringis, dia menyentuh tanda yang dibuat oleh Daigo di sana.

“俺のもの。” Hato mengedikan bahunya saat merasakan Daigo memeluknya dari belakang dan berbisik lembut di samping telinganya. Sesekali mencium tanda yang ditinggalkan lelaki itu sebelumnya. “Ugh, Pata! Jangan ditambah lagi.” gerutu Hato sembari menjauh-jauhkan kepalanya dari Daigo.

“Gak apa-apa. Bisa ditutupi pakai foundation atau concealer.” Kata Daigo. Keduanya saling bersitatap lewat pantulan diri di depan cermin. Hato tersenyum, dibalas oleh sang kekasih.

“Aishiteru, Hato.” “Uhm.”

Astaga, kapan lagi Hato merasakan pagi yang begitu manis seperti ini lagi? Jarang sekali.

Mmhr, Typo, Cringe


Meguro murka. Lelaki bernama kecil Ren itu nyaris menebas sosok perempuan berpakaian Hakama yang berdiri di depannya dengan pedang yang selalu dibawanya itu.

Beruntungnya perempuan bernama lengkap Minamoto Airi itu berhasil diselamatkan oleh sosok lelaki yang Meguro kenal bernama Watanabe Shota. Watanabe jelas menatapnya tajam dan penuh amarah.

“Apa yang kau lakukan, bajingan?”

Meguro mendengkus. “Perempuan itu membiarkan Shirokawa sendirian saat aku memintanya menjaga Shirokawa di danau,” ucap Meguro. Lelaki itu menunjuk kearah Airi dengan ujung pedangnya, mengundang desisan tajam dari Watanabe seraya lelaki itu menepis pedang yang diarahkan pada pujaan hatinya. “DIA YANG MEMBUAT SHIROKAWA MENGHILANG!”

“ITU RESIKOMU, MEGURO!” Watanabe balas berteriak. Kedua tangannya memeluk Airi, menghalangi pandangan perempuan itu untuk melihat kearah Meguro begitu dia menyadari bahwa sepasang mata Meguro berkilat kuning keemasan.

“Kau memintanya, bukan dia yang mengajukan diri menjaga perempuanmu! Kau seharusnya tau resiko meminta Airi menjaganya.” Ujar Watanabe. Dia bisa merasakan tubuh Airi yang bergetar. Perempuan itu meremas kimono yang dikenakan Watanabe.

“Maafkan aku...” Gumam Airi, melirik kearah Meguro yang mendelik kearah sang perempuan. “Kata Maaf tidak bisa mengembalikan Shirokawa begitu saja, Minamoto!”

Airi menggigit bibirnya. Dia memejamkan matanya dan semakin merapat pada tubuh Watanabe, membuat sang lelaki menggeram. “Kau keterlaluan, Meguro.” Tukas Watanabe sebelum membawa Airi pergi dari kediamanan Meguro.

Meguro menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia melempar pedangnya ke sembarang arah. Menjatuhkan diri diatas kursinya. Dipijatnya pangkal hidungnya.

Kemana kamu, Haruna?

“Ren-kun?”

Meguro langsung terbangun dari pikirannya. Dia mengangkat kepalanya, menemukan sosok yang dia cari dengan panik hingga nyaris membunuh kekasih sahabatnya sendiri sedang berdiri di ambang pintu sembari memegang pedang milik Meguro.

“Haruna!” Meguro langsung bangkit dari duduknya, menghampiri sosok perempuan bernama lengkap Shirokawa Haruna itu dan memeluknya erat.

“Astaga, Haruna. Kau kemana saja? Aku cemas sekali.” Ucap Meguro.

Haruna tersenyum. Dia membalas pelukan Meguro. “Aku hanya pergi sebentar. Maaf aku tidak memberitahumu dan Airi-chan.” Katanya.

Meguro menghela napas. Dia melepas pelukan sang kesayangannya dan mengusap wajahnya. “Airi-chan? Jarang sekali aku dengar kamu memanggilnya begitu.” Kata Meguro.

Haruna terkekeh. “Aku hanya ingin mencoba panggilan baru padanya. Kau tidak melakukan sesuatu yang buruk padanya kan?”

Meguro memalingkan wajahnya, membuat Haruna mengerutkan kening curiga. “Kau... Membunuhnya? Hanya karena aku menghilang sebentar?” Tanya Haruna.

Meguro langsung menggeleng. “Tidak! Aku hanya nyaris kehilangan akal karena takut kehilanganmu!” Seru Meguro. Haruna tersenyum. Dia mengulurkan tangan untuk mengusap wajah Meguro lembut.

“Hmm begitu ya...”

Meguro tersenyum tipis, kepalanya mengangguk selagi sebelah tangannya menggenggam tangan Haruna yang mengusap wajahnya. Dia memejamkan mata dan bayang-bayangan mengerikan itu tiba-tiba saja muncul. Bayangan yang membuat Meguro sampai tidak sanggup jika itu jadi kenyataan.